Chapter 4

1386 Words
Langkah seorang wanita berjalan menuju sebuah ruangan besar yang berpintu kaca tebal. Di atas pintu itu ada tulisan yang bertuliskan tinta emas. Sebelum membuka pintu. Kirana tersenyum sekilas. "Hai, tunanganku yang ganteng." Sapa Kirana begitu melihat sosok Al sudah berada di depannya. "Kirana? Kenapa kau disini?" tanyanya kaget. "Aku mengunjungimu karena akhir-akhir ini kau susah sekali diajak bertemu." Kirana berjalan mendekati Alvaro dan duduk di pangkuannya. "Maafkan aku, banyak yang harus kuurus ketika sampai disini." Al membelai halus punggung Kirana yang saat itu memakai blouse berwarna putih gading. "Dimaafkan, tapi dengan satu syarat." "Apapun syaratnya akan kupenuhi." "Benarkah? Baik. Swal mulanya adalah kau harus pulang sekarang." Al mengerutkan kening, "Sekarang?" "Iya sekarang, kau sudah mengatakan ingin menuruti kemauanku." Kirana merajuk. Al terkekeh. "Baiklah, ayo kita pergi." Al lalu menggandeng tangan Kirana dan menuntun nya keluar dari ruangan kerjanya. "Bagaimana pekerjaanmu?" "Aku selalu bekerja dengan baik." Ujarnya penuh percaya diri. "Walaupun akhir-akhir ini ada beberapa kendala pada penerbitan majalahnya." "Oh ya? Ada masalah apa?" tanya Alvaro. "Tidak begitu penting, aku sudah mengurusnya semua. Bagaimana dengan pekerjaanmu? Menikmati menjadi Direktur?" Kirana tersenyum jahil. Alvaro hanya tertawa. "Tidak ada wanita yang mendekatimu kan?" Kirana melihat sekitarnya. Ada beberapa karyawati yang langsung berbisik-bisik ketika Alvaro dan Kirana baerjalan melewati mereka. "Tidak ada. Mereka tidak berani menggoda bos mereka sendiri," "Kalau bos mereka berani tidak menggoda bawahannya?" Kirana menatap tajam Alvaro. "Tergantung." Kali ini Alvaro menyengir. "Apa kau bilang?" Pekik Kirana. "Aku hanya bercanda." Alvaro mengedipkan sebelah matanya lalu membukakan pintu mobil untuknya. Ketika Alvaro berbalik, ia melihat Aretha sedang menatapnya dan tampak terkejut. Perasaan itu bukan hanya berlangsung saat ia melihat Al bersama dengan wanita lain tapi Aretha masih merasakannya hingga sampai di rumah. Walaupun jam di dinding sudah menunjukan hampir jam satu malam, tapi Aretha belum bisa melepaskan pikirannya dari Alvaro. Siapa wanita yang bersamanya itu? Tanya nya pada dirinya sendiri. *** Ketika Al menyadari bahwa ia terlalu asik melamun, waktu sudah menunjukan jam satu dini hari. Ia terduduk melamun di balkon di dalam kamarnya. Menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dalam dirinya. "Al sudah memutuskan untuk menerima perjodohan ini. Tapi ada syaratnya." Ujar Al pada Papa dan Mama nya. "Apa syaratnya?" tanya Alarik. "Al hanya ingin menikah karena keinginan Al sendiri. Biar Al yang memutuskan kapan akan menikah." Alarik tampak mempertimbangkan. Keningnya berkerut cukup lama. "Baiklah, cukup adil. Lagipula kita tidak perlu buru-buru mengadakan pernikahan." Ujar Alarik menyetujuinya. Al mengangguk setuju. Dua tahun yang lalu, Alarik, Papa nya dan Kalani, Mamanya mengajukan perjodohan dengan seorang perempuan anak dari Relasi Alarik. Awalnya Alarik tidak yakin kalau Alvaro akan menerima perjodohan itu tanpa perlawanan. Alvaro tidak mengatakan apa maksud dia menerima perjodohan itu, setahu Alarik ia tidak pernah terlibat percintaan dengan wanita manapun kecuali dengan salah satu teman sekolahnya. Saat Alvaro kuliah di luar negeri, Alarik tanpa sengaja menemukan sebuah foto wanita di meja belajarnya dan sebuah surat tulisan tangan yang nampaknya tidak pernah dikirim kepada orang yang dituju. *** Saat Kirana pertama kali bertemu dengan Alvaro, tentu ia tidak mempunyai perasaan apa-apa. Yang ada hanya perasaan yang diada-adakan. Ia tidak tau kalau sikap nya membuat Kirana terpesona kepada nya. Kirana jatuh cinta pada Alvaro sejak pertama kali bertemu dan Kirana pun menyetujui perjodohan mereka dan langsung ingin meminta pertunangan di adakan. Kirana merupakan anak tunggal, maka dari itu setiap permintaannya selalu di turuti. Meskipun sudah dua tahun bertunangan, Al belum mau mengajakknya menikah meskipun sudah beberapa kali disinggung oleh Kirana. Ia bekerja di sebuah redaksi majalah fashion ternama milik kedua orang tuanya. Ia tidak perlu susah payah mengejar karir, karena ia sudah mendapatkannya sejak kecil. Segala nya bisa ia dapatkan. Namun ia merasa belum mendapatkan Alvaro. Walaupun ia selalu dengan bebas bertemu dengan Alvaro namun ia merasa belum memiliki hatinya. Ia tidak terbiasa tidak mendapatkan apa yang ia inginkan. Maka ia bertekad bahwa ia akan segera memilki Alvaro sepenuhnya. "Permisi, Non ini jus tomat tanpa susunya." Salah satu pelayan memasuki kamar Kirana yang besar hanya menaruh jus tomat tanpa s**u di atas meja di dekat balkon. *** Aretha memasuki ruangan Alvaro dan menyerahkan beberapa kertas kepadanya. Al tanpa banyak bertanya dari pada pertama kali mereka bertemu. Ia hanya melihat sebentar dan kemudian menyuruh Aretha lekas pergi dari ruangannya. "Hmm ada yang mau saya tanyaakan." Ujar Aretha. "Ada apa?" tanya nya. "Apa kau–, ehm maksud saya apakah bapak sudah menerima kiriman paket bolpoin?" "Sudah, saya sudah membaca nya juga." Ujar Al. Sudah? Hanya itu? Aretha hanya mengangguk dan meninggalkan ruangan. "Mengenai kejadian sepuluh tahun yang lalu, aku sudah melupakannya dan aku juga ingin kau melupakannya, Aretha." Alvaro membuka suaranya dan langkahnya terhenti seketika. Ia berbalik dan memandang kaget, "Apa?" "Ya aku ingin kita melupakan kejadian sepuluh tahun yang lalu." Ujarnya sekali lagi. Hati Aretha memanas, d**a nya terasa sesak dan air mata mulai menggenang di sudut matanya. Seperti ini kah rasanya sakit hati? Tanya Aretha. *** Aretha memilih pulang cepat hari ini, konsentrasinya buyar setelah pengakuan Alvaro. Ia tidak menyangka bahwa Al bisa cepat melupakannya begitu saja. Setelah sepuluh tahun berlalu ia menunggu bertemu dengan Al dan berharap situasi bisa membaik setelah pertemuan mereka. Namun harapannya tidak di dengar, kenyataan berbicara lain. Mau tidak mau, Aretha harus menerimannya walaupun dengan susah payah. Ia memasuki sebuah kedai kafe yang malam itu cukup sepi. Ia langsung berjalan menuju spot favoritnya yang berada di pojok ruangan. Seorang pelayan datang menanyakan pesanan nya. Aretha selalu memilih menu Caramel Macchiato dan dengan camilan berupa kentang goreng ukuran large. Ia memang berniat untuk menghabiskan malam nya disini. Aretha membuka laptopnya dan mulai mengetik beberapa kata.. Ia punya kebiasaan tidak baik dalam komunikasi, ia tidak biasa curhat pada orang. Ia lebih suka menumpahkan segala kekesalannnya dalam bentuk tulisan dan disimpan nya rapat-rapat seorang diri. *** Seorang pemuda tampan dan tinggi Nampak memasuki sebuah keda kopi malam ini, dirinya memesan sebuah kopi Americano pada seorang pelayan. Ia duduk bersender pada sofa empuk dan merilekskan seluruh otot nya yang tegang karena terlalu focus bekerja hari ini. Tatapannya beralih pada seorang perempuan yang duduk sendirian di pojok ruangan, tampak asik dengan laptop nya hingga tidak memperdulikan sekitar. Ia memandangnya cukup lama. Entah kenapa, pemuda itu tidak pernah bosan melihat wajah perempuan yang sedang di pandanginya. *** Tidak terasa, Aretha sudah berada di kafe dan menulis dengan tenang. Sudah dua gelas Caramel Macchiato pun ia habiskan. Waktu sudah lewat dari tengah malam. Aretha akhirnya memutuskan untuk segera pulang. Sembari ia merapihkan laptopnya, matanya menangkap ada seorang pria yang sedang menatapnya. Aretha tidak mengetahui siapa laki-laki tersebut, kemudian ia mempercepat gerakannya dan lekas pergi dari kafe. Aretha tidak menyadari bahwa sosok laki-laki itu sudah tidak ada di bangku nya. Aretha menghembuskan napas lega. Ia berjalan menuju halte bis terdekat dari kafe. Walaupun sudah tengah malam, dan suasana ibu kota masih cukup ramai tetapi bagi seorang wanita, Aretha tetap harus waspada mengingat kejahatan sedang meningkat tajam. "Tidak baik bagi seorang wanita masih berkeliaran tengah malam seperti ini." Sebuah suara laki-laki muncul dan mengaggetkan Aretha. Ia melihat sosok pria yang tadi memerhatikan nya di kafe, kini sudah berada dihadapannya. Ia memeluk erat tas laptop di dadanya. "Tak usah khawatir, aku bukan bermaksud untuk menakutimu." "Kau mau apa?" tanya Aretha. Laki-laki itu tersenyum, "Aku mau menemanimu." "Apa?" Aretha sukses terkesima. "Seperti yang aku bilang, tidak baik bagi seorang wanita masih berkeliaran di tengah malam seperti ini. Kau mau kemana?" "Pulang." Ujar Aretha singkat. "Taksi?" Aretha mengangguk. Pria itu mengangguk dan kemudian mereka berdua diam. Lalu setelah kediaman yang cukup lama, Pria itu menyetop taksi yang lewat. "Taksimu sudah datang." Ujar Pria itu. Aretha memandangnya sejenak. Lalu pria itu membukakan pintu untuknya. "Thanks." "With my pleasure. Namaku Kayana, kau bisa memanggilku Kay saja. Aku harap kita bisa bertemu kembali. By the way, siapa namamu?" "Aretha," "Well, nice to meet you Aretha. Hati-hati di jalan." *** "Varo, apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Kirana bertanya sebal lantaran ia tidak mengerngarkan Kirana berbicara. Alvaro agak tersentak, ia menggeleng pelan. "Aku tidak sedang memikirkan apa-apa. Tadi kamu bicara apa?" tanya Al. Kirana berdecak, "Tidak mungkin, kamu diam saja ketika aku bertanya kapan kita akan menikah?" "Maaf sayang, mungkin aku hanya keleleahan." Al mendengar suara Kirana mendesah panjang. "Apa kau tidak mau segera menikah denganku?" "Tidak, bukan seperti itu." "Lalu apa alasannya?" Al diam cukup lama, "Nanti kita bicarakan lagi ya." Ujar Al membelai halus tangan Kirana. Kirana tidak melanjutkan bertanya lagi, ia memilih diam. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD