Keesokan harinya ….
Sambil menunggu informasi dari Laras, pria itu mengajak Andari jalan-jalan sebelum pulang ke Yogya.
Mereka check out dari hotel lebih awal agar waktu untuk jalan-jalan lebih banyak dan tidak kemalaman sampai Yogya.
Angga mengajak gadis itu berbelanja dulu di Pasar Klewer sebelum mengajaknya lagi ke Pasar Antik Tiwindu untuk menemui seorang teman.
Meskipun jalan-jalan ke pasar, Andari cukup menikmati waktunya berjalan-jalan di sana.
Sesekali gadis itu juga mengambil gambar acak yang menurutnya bagus untuk di posting di media sosia.
Mampir sebentar ke Masjid Al-Wustho Mangkunegara untuk beribadah sebentar, Angga lantas mengajak Andari sekalian mengunjungi istana Mangkunegaraan.
Istana yang memiliki ciri khas bangunan bergaya eropa ini memiliki beberapa area yang banyak dikunjungi wisatawan.
Seperti Ndalem Ageng, Keputren atau Balewarni, Pendopo Ageng, dan Pracomoyoso.
“Kalau keraton itu beda, ya?”
“Beda. Kenapa? Mau ke sana?”
Andari menganggukkan kepalanya dengan cepat.
“Jadwalnya hanya hari senin sampai kamis. Tak sekarang akan terlambat karena waktunya memang dibatasi,” terang pria itu.
“Ah, sayang,” lirih Andari sedikit kecewa.
“Kamu mau naik kereta lagi?”
“Oh, iya. Di sini juga ada, ya?” Angga mengangguk cepat.
“Namanya kereta Api Jaladara."
“Mau!”
Keduanya saling melempar senyum sebelum akhirnya pria itu mengemudikan mobilnya ke arah Stasiun Purwosari.
“Yang ini beneran kereta uap ya yang nariknya?”
“Iya.”
Keduanya lalu membeli tiket dan masuk ke dalam area stasiun.
Andari hendak memotret tiket kereta wisata yang ia beli sebelum akhirnya gadis itu sedikit terkejut dengan kocek yang harus dirogoh untuk bisa menikmati wisata kereta kali ini.
“Mahal juga. nanti aku ganti. Mas kasih aku nomor rekening Mas aja.”
“Tidak usah.”
“Tapi ini mahal.”
“Kapan-kapan kamu bisa ganti.” Andari menoleh. “Kalau saya atau Galuh ke Bandung.”
“Tapi bulan depan aku berangkat ke Inggris.”
“Kalau begitu setelah kamu pulang dari Inggris.”
“Kalau aku nggak pulang?”
Angga mendesah pelan sambil menatap gemas pada gadis yang kini terkekeh di sampingnya itu.
“Ya kan aku nggak tahu kalau ternyata dapat pekerjaan di sana dan nggak kembali.”
“Kamu bisa traktir saya di sana.”
Andari tersenyum sambil mengangguk setuju.
“Okay. Nanti kabarin aja kalau Mas mau ke sana.”
Angga mendengkus pelan sambil geleng kepala sebelum mempersilakan gadis itu naik duluan ke atas gerbong kereta yang terbuat dari kayu berbahan jati asli itu.
Berbeda dengan kereta yang Andari naiki di Ambarawa, di dalam kereta ini penumpangnya disuguhi live musik tembang jawa dan mendapatkan jajanan pasar tenong serta jamu.
Kereta yang melaju dengan kecepatan maksimal hanya 50 km/jam itu pun melintasi jalan Slamet Riyadi.
“Seru ya? Kayak di luar. Ada jalur kereta dalam kota,” ucap Andari sambil memperhatikan sekitar.
“Iya. Tapi hanya ada dua kereta yang melintasi jalur ini.”
“Apa aja?” tanya gadis itu terlihat sungguh ingin tahu.
“Railbus Bathara Kresna dan kereta Jaladara ini. Kalau Railbus jalannya setiap hari. Dua kali perjalanan pulang pergi. Ujungnya ada di Stasiun Wonogiri. Kalau Jaladara ini hanya hari tertentu. Seperti kereta Ambarawa kemarin.”
“Ah, kalau di Bandung ada namanya Baraya Geulis. Dulu keretanya pakai rangkaian KRL hibahan Jepang. Tapi nggak tau kalau sekarang,” terang gadis itu.
Angga manggut-manggut saja. Lanjut Andari,
“Tapi yang ini seru. Kereta uapnya jalan.”
Angga hanya mendengkus dan tersenyum tipis menanggapi reaksi riang gadis itu.
Andari mirip anak kecil yang senang diajak naik kereta api.
Kereta yang menggunakan bahan bakar kayu jati dan air untuk menghasilkan uap yang menggerakkan loko tersebut melintasi tiap rute yang juga menjadi persinggahan para penumpang kemudian.
Beberapanya adalah rumah Walikota Solo, Loji Gandrung, Taman Sriwedari, Kampung Batik Kauman, lalu berakhir di Stasiun Sangkrah atau Solo Kota.
Hari yang semakin sore pun membawa Andari dan Angga singgah sebentar di sebuah restoran sebelum melanjutkan perjalanan pulang yang harus ditempuh sekitar satu setengah jam hingga sampai ke rumah pria itu di Yogya.
Mereka pun memesan menu makanan selat solo yang sempat gagal di pesan di hotel kemaren karena ulah Laras.
“Mau pulang atau lanjut menginap lagi?”
“Kok nginep lagi?” tanya gadis itu sambil mengikuti langkah Angga yang keluar dari restoran.
“Barangkali mau menunggu di sini.”
Andari terdiam. Gadis itu meragu. Tak tahu harus memutuskan bagaimana.
Namun, karena tak enak dengan Angga, gadis itu pun meminta Angga untuk membawanya kembali ke Yogya saja.
“Nanti aku bisa balik lagi kalau memang udah ketemu. Sekarang pulang aja. Mas Angga pasti banyak urusan kan?”
Mesin mobil pun menyala. Angga memilih diam tak bertanya lagi usai mendapat jawaban pasti dari gadis itu.
Namun, di tengah perjalanan Angga mendapat pesan yang berisi memintanya untuk menelepon.
Pria itu pun memarkirkan mobilnya di pinggir jalan lalu turun sebentar setelah meminta Andari menunggu saja.
Andari juga tak banyak protes. Mungkin Angga memang sedang perlu menelepon dan tak ingin didengar orang lain.
Gadis itu pun duduk sambil membuka-buka ponselnya dan berselancar di media sosial.
Tiba-tiba saja suara petir menggelegar. Langit berubah mendung.
Andari yang menoleh ke samping langsung membuka kaca jendela dan mencari keberadaan Angga.
Sayangnya pria itu tak terlihat keberadaannya di manapun.
Entah kenapa, Andari mendadak cemas. Gadis itu menyalkan mobil dan memarkirkan mobil pria itu di minimarket terdekat.
Gadis itu turun dari mobil dan menguncinya sebelum berjalan kembali ke arah jalan sebelumnya di mana Angga menghentikan mobilnya tadi.
Andari juga mencoba menghubungi Angga namun nada sambung yang terdengar hingga dijawab operator itu tak kunjung mendapat jawaban hingga diulang tiga kali.
“Mas Angga ke mana, sih?” runtuknya kesal sambil terus berjalan.
Petir semakin terdengar bersahutan. Rintik hujan mulai turun dan akhirnya beramai-ramai datang dengan cepat.
Andari langsung berlari mencari tempat untuk berteduh. Perasaannya kesal sekaligus bertanya-tanya apa yang terjadi pada Angga.
Gadis itu jadi berpikir kalau Angga mungkin mengalami hal serupa seperti dirinya kemarin.
“Tapi Mas Angga kena tipu apa coba? Dia kayaknya bukan orang yang gampang ditipu.”
Gadis itu menggosok-gosok kedua lengannya, mencoba menghangatkan tubuh karena udara yang tiba-tiba dingin.
Sambil menunggu hujan reda, gadis itu mencoba menghubungi nomer Angga lagi. Namun hasilnya tetap sama, pria itu tak menjawab panggilannya.
“Maunya apa, sih? Dia mau balas dendam gitu sama aku?” omelnya kemudian menghubungi Galuh dan menceritakan apa yang terjadi.
“Lho, Ayah ke mana kalau gitu?” balas gadis itu di seberang telepon sana.
“Coba kamu yang telepon. Mungkin diangkat.”
“Bentar kalau gitu, Kak.”
Andari menunggu hingga akhirnya hujan lebat itu sedikit mereda.
Sambil menunggu kabar dari Galur, Andari pun berusaha mencari Angga dan akhirnya menemukan pria itu sedang terduduk dengan pakaian yang basah di pinggir bangku jalan.
Andari mengernyit aneh melihat raut pria itu yang terlihat kosong dengan bola mata memerah.
Bergegas Andari pun menghampiri pria itu dan mengomelinya.
“Mas ngapain sih di sini ujan-ujanan? Aku nungguin tahu nggak?”
Pria itu bergeming. Andari merasa aneh sesaat sampai suara panggilan telepon Galuh masuk ke ponselnya.
“Gimana, Kak?”
Gadis itu bicara terus terang saja tentang kondisi Ayah Galuh yang memang terlihat aneh.
“Mosok Ayah kena gendam?”
“Hp-nya masih ada kok. Dompetnya juga tadi ada di mobil,” terang Andari.
Galuh pun mengganti panggilan teleponnya ke video call untuk memastikan apa yang dikatakan Andari.
Namun, karena Angga tak kunjung menerima panggilan dari anaknya, Andari pun berinisiatip mengambil ponsel di tangan Angga dan menerimakan panggilan Galuh untuk ayahnya.
Saat itulah, gerakan tangan Andari langsung dicekal oleh Angga. Tatapan pria itu menghunus dingin padanya.
“Mas kenapa, sih?”
Pria itu hanya menatap Andari dengan seraut yang rumit sebelum akhirnya menerima panggilan dari Galuh.
“Ayah kenapa? Ayah kok ujan-ujanan? Kak Andari loh nyariin. Ayah kok pergi nggak bilang-bilang.”
Omelan gadis kesayangannya itu tak digubris sama sekali.
Alih-alih menjawab, Angga hanya menjawab kalau ia akan segera pulang setelah ini.
Tanpa perlu memberi penjelasan pada kedua gadis itu, Angga pun mematikan teleponnya dan berjalan meninggalkan Andari.
“Astaga, apa lagi sih dia maunya?” runtuk Andari sambil berlari mengejar pria itu.
Dan begitu Angga tak menemukan kendaraannya, barulah pria itu bertanya.
“Di mana mobilnya?”
“Aku parkirin di minimarket. Di sini takutnya–“
Angga mengulur tangan dan meminta kunci mobil yang ada di saku celana belakang Andari kemudian.
Gadis yang sekarang tampak kesal karena diacuhkan tiba-tiba dan tak diberi penjelasan sama sekali itu pun balas melakukan hal yang sama pada Angga.
Andari berjalan meninggakan Angga hingga keduanya tiba di minimarket.
Gadis itu menekan tombol kunci remot mobil sebelum menyerahkannya pada pria itu.
Andari masuk duluan ke dalam mobil dan memilih diam setelah memakai sabuk pengamannya.
“Kamu nggak ganti baju dulu, Mas?”
“Tidak perlu.”
“Nanti masuk angin.” Gadis itu mencoba mengingatkan. Namun lagi-lagi diabaikan.
Perjalanan menuju Yogya itu pun terasa panjang dan melelahkan.
Bukan karena waktu yang ditempuh, namun jarak yang terasa membentang di antara mereka.
Andari dengan kekesalannya yang diperlakukan dingin dan diabaikan dengan tiba-tiba. Pun dengan Angga yang terlihat rumit sendiri.
Hingga tiba di rumah, pria itu masih tak mengeluarkan sepatah katapun dan memilih berlalu usai mengeluarkan semua barang bawaan mereka.
“Ayah kok gitu sih, Mbah?”
Sumarni menatap pintu kamar sang anak yang sejak tadi tertutup rapat usai pria itu makan malam dan masuk lagi ke kamarnya.
“Ayahmu mungkin lagi ada masalah. Sudah. Ndak usah diganggu.”
“Tapi aku nggak enak sama Kak Andari. Masa tiba-tiba ditinggalin katanya.”
Sumarni juga tidak mengerti kenapa anaknya bersikap seperti itu.
Terakhir kali Sumarni melihat Angga begitu adalah saat Galuh masih usia tiga tahun. Usai pria itu membawa sang anak menemui ibu kandungnya.
“Sudah. Mending kamu bawakan ini ke kamar Nak Andari.”
“Iya, Mbah.”
Galuh berseru di depan pintu kamar Andari sambil membawa nampan berisi pisang goreng dan tempe mendoan.
Andari tidak makan malam karena merasa masih kenyang. Meski alasan sebenarnya adalah malas bertemu dengan Angga.
Aroma pisang goreng hangat juga tepung tempe yang semerbak masih panas itu membuat perut Andari langsung keroncongan.
“Kak Andari kenapa sih ndak mau makan tadi? Itu loh buktinya lapar. Mau tak bawain aja maemnya ke kamar?”
Andari menggeleng. “Kak Andari makan ini aja, Galuh. Ini juga ngenyangin kok. Lagian udah jam setengah sembilan,” elaknya.
Gadis itu mulai menyantap camilan yang dibuatkan Sumarni untuknya sambil mendengarkan keluhan Galuh yang juga kesal akan sikap ayahnya itu.
“Kak Andari nggak tahu Ayah teleponan sama siapa sebelum pergi itu?”
Andari menggeleng. “Kak Andari juga nggak tahu. Ayah kamu cuma bilang mau telepon penting terus minta Kak Andari tunggu di mobil aja.”
“Ayah dapet telepon dari siapa ya?”
“Memangnya kenapa?”
“Pasti gara-gara orang yang telepon itu makanya Ayah jadi gitu.”
Andari mengendikkan bahu lalu menghabiskan sisa tempe mendoannya hingga tandas.
“Ah, kenyang banget. Makasih ya, Galuh. Kamu nggak tidur? Udah jam sembilan. Besok kuliah kan?”
Galuh mengangguk. “Tapi aku boleh tidur di sini, nggak?”
“Lho, kasurnya sempit. Nggak papa?”
“Kak Andari keberatan nggak?”
Gadis itu tersenyum. “Nggak sih. Kan kamu yang punya rumah.”
Gadis itu terkekeh. “Tapi Kak Andari kan tamu di rumah ini. Kalau ndak nyaman aku juga ndak boleh maksa dong!”
“Nggak. Kasurnya cukup kok buat berdua. Cuma mepet banget kayaknya nanti.”
“Aku tidurnya anteng kok.”
Andari lantas mengangguk. Malam ini mereka pun tidur di kamar dan ranjang yang sama.
“Kak Andari jangan marah sama Ayah ya?”
Galuh memiringkan tubuhnya ke samping dan menatap Andari yang sudah memejamkan mata dengan posisi terlentang.
Napas gadis itu mendesah panjang dan tampak berat.
“Kak Andari sebetulnya kesel. Masalahnya nggak ada penjelasan sama sekali. Tapi ya mau gimana lagi?”
“Maafin Ayah, ya? Besok aku omelin biar minta maaf sama Kak Andari.”
“Nggak usah. Besok Kak Andari juga mau pergi.”
“Lho, Kak Andari mau ke mana?” Galuh bangun dari tidurnya dan duduk menatap Andari kalut.
“Tadi Kak Andari dapet sms dari orang yang katanya kenal sama orang terdekat Ayah kandung Kak Andari. Jadi Kak Andari mau ketemu sekalian pamit saja.”
“Terus nanti Kak Andari tidur di mana?”
Andari terkekeh mendengar pertanyaan merajuk gadis itu.
“Ada hotel. Banyak kan?”
“Tapi ini mau natal dan tahun baru, Kak. Hotel pasti penuh.”
“Masih ada kost. Hostel, atau yang lainnya. Pasti ada kok. Kalau nggak ada Kak Andari bisa nginep di tempat temen.”
“Emang Kak Andari punya temen di sini?”
Andari mengangguk saja agar Galuh tak bertanya banyak lagi. Ia tak ingin gadis itu mencemaskan dan berakhir menahannya pergi.
Bagaimanapun, Andari harus fokus dengan tujuannya semula. Mencari sang Ayah kandung.
“Tidur yuk! Kak Andari ngantuk dan besok mau pergi habis subuh.”
“Aku anter ya?”
Andari mengangguk lagi lalu mengusap lengan gadis itu dan menariknya agar berbaring lagi.
Andari juga memiringkan tubuhnya agar berhadapan.
Tangan Andari lantas terulur dan menepuk-nepuk lengan Galuh seraya menina bobokan gadis itu hingga dirinya pun ikut tertidur.
Andari langsung pamit begitu Sumarni keluar dari kamar usai subuhan.
“Lho, kok mendadak?”
“Iya, Bu. Saya harus ketemu seseorang yang katanya tahu keberadaan Ayah kandung saya.”
Sumarni tersenyum. “Semoga segera dipertemukan, ya?”
“Aamiin. Terima kasih doanya. Maaf Andari sudah merepotkan Ibu dan semuanya.”
“Ndak. Ibu senang kok. Rumah jadi tambah rame. Galuh juga ada temannya.”
Andari mengangguk lalu berpamitan untuk terakhir kali.
Galuh juga minta ijin pergi mengantar Andari sekalian langsung kuliah jam sepuluh nanti.
Angga yang baru pulang dari masjid usai duha langsung bertanya begitu melihat motor anaknya tidak ada di garasi rumahnya.
“Galuh ke mana, Bu?”
“Kuliah sekalian ngeterke Andari.”
“Kuliahe kan siang.”
Sumarni menggelengkan kepalanya sementara pria itu berlalu ke kamarnya lagi kemudian.
Tatapannya kini tertuju pada sebuah goodiebag merah yang tergeletak di dekat kaki meja kerja di kamarnya.
Di dalam goodiebag itu terdapat makanan ringan yang tadinya hendak ia berikan untuk menemani Andari selama perjalanan mereka dari Solo ke Yogya.
“Bu?” panggilnya begitu keluar kamar dan berpapasan dengan Sumarni.
“Iyo, Le?”
“Titip iki.”
“Gaek sopo?”
“Andari.”
“Andari tadi sekalian pamit karo Ibu.”
“Maksude pergi dari sini?”
Sumarni mengangguk. Pria itu tertegun. Tak menyangka kalau gadis itu akan pergi secepat ini.
Bersambung ....