Her Savior 15 - Ayah Galuh

2314 Words
Andari mengucek mata, membetulkan rambutnya. Barulah setelah lebih jelas gadis itu menatap pria yang mulai bisa mengendalikan keterkejutannya. “Kamu mau hamilin siapa, Mas?” ulangnya. Angga berdeham. Mematikan ponsel dan membereskan apapun yang bisa ia jangkau. “Mas!” “Kamu ngelindur.” “Nggak ih! Aku baca jelas, kok.” “Selain ngiler, kamu juga punya kebiasan mengintip isi pesan orang lain, ya?” “Maksudnya?” “Raba coba sekitar bibir kamu. Dan ini buktinya.” Pria itu menunjukkan kaos bagian lengannya yang agak basah karena air liur Andari. Gadis itu meraba bibir dan mulutnya. Membeliak lantas membekap mulutnya sendiri kemudian. Tersadar sudah melakukan kebodohan yang memalukan. Rasanya ingin menggali tanah dan mengubur diri saking malu dan konyolnya apa yang sudah ia lakukan tanpa sadar. Bisa-bisanya ia tidur memeluk orang lain bahkan sampai memberikan lukisan pulau kapuk indah di baju orang tersebut. “Maaf!” ucap lirih gadis itu sebelum berlari ke kamar mandi dan berdiam di dalam sana cukup lama. “Duh, malu ih! kok bisa sih ngiler? Biasanya juga nggak,” runtuknya sambil mengusap mulut dan bibir lalu mengentak-entakkan kaki ke lantai. Mirip anak kecil yang sedang merajuk kesal karena di marahi ibunya. Angga yang sudah selesai membereskan meja dan sofa menoleh ke arah kamar tidur mereka yang pintunya terbuka lebar itu. Berjalan santai ke dalam kamar, diketuknya pintu kamar mandi yang terkunci rapat di sana. “Kamu masih lama di dalam sana?” Tak ada jawaban. Si pemilik sementara kamar mandi itu sedang sibuk meruntuki kebodohannya yang memalukan. Tok tok tok …. “Kamu sedang dzikir, ya?” imbuhnya berseru. ‘Apa?’ “Masa dzikir di kamar mandi?” rungut Andari balas berteriak sambil membukakan pintu. Angga mengendikkan bahu. “Siapa tahu kamu punya kebiasaan aneh seperti itu.” “Mas mau apa?” rungutnya sambil tetap bersembunyi di balik pintu. Memperlihatakan sedikit wajah dan kepalanya saja yang melongok keluar. “Saya harus mandi. Sebentar lagi magrib. Kamu belum mandi?” Andari menggeleng. “Masih malu?” “Ayah Galuh!” Angga tertawa. Tawa yang membuat Andari terbungkam dalam kekaguman. Rasanya seperti melihat keajaiban dunia. Sesuatu yang langka dan sulit didapatkan kecuali atas kehendak yang kuasa. Bahkan matahari terbit dari kutub selatan pun sepertinya masih kalah dibanding melihat tawa pria itu. Tak hanya tawa, Angga juga mengusak kepalanya dengan gemas dan tersenyum hangat saat tubuh gadis itu keluar kamar mandi seutuhnya. “Sudahlah. Bukan hanya kamu yang tidur suka ngiler di dunia ini.” “Bukan suka, ya?” “Lalu?” Andari berdecak. “Oh, sering gitu?” “Ayah Galuh! Udah atuh ih! nggak usah dibahas. Malu.” Angga mengulum tawa. “Kalau kamu tidak mau mandi, saya mau mandi atau kamu mau–“ “Jangan jorok deh!” Kening Angga terlipat dalam. “Memangnya kamu pikir saya mau bilang apa?” “Mau ngajak mandi bareng kan?” Andari langsung membekap mulutnya sendiri. Raut wajahnya membeliak, rona pipinya memerah cabe. Mirip orang yang kepedasan. Gadis itu semakin malu dengan pikiran messum yang ia celetukkan begitu saja kemudian. Peletak …. “Aawwsshhh!” Andari mengusap keningnya yang disentil. “Saya nggak berencana bilang begitu.” “Terus apa?” “Kalau kamu tidak mau mandi, kamu bisa pesen makanan untuk makan malam kita,” terang pria itu tenang. Rasanya ingin mencekik diri sendiri. Sungguh, tebakan terbodoh dan memalukan yang bisa-bisanya ia lontarkan tanpa pikir. Kenapa pula ia harus mengatakan hal semesum itu. Apa karena mereka tidur satu ranjang? Bukankah Andari sendiri yang meminta pria itu tidur di sebelahnya? Wajar bukan kalau yang dipikirkannya juga adalah hal-hal yang berbau seronok? Dan lagi mereka orang dewasa. Apalagi Angga sudah punya anak. Tapi rasanya mereka memang tidak cukup dekat untuk sekedar bercanda seperti itu. Ah, Andari. Ada apa dengan dirimu? Runtuknya dalam hati. Gadis itu berjalan lesu dan membiarkan Angga masuk kamar mandi. Duduk di sofa yang tadi ditidurinya, Andari pun menyadarkan punggung dan kepalanya ke sandaran sofa. Menarik dan menghembuskan napas berulang, barulah gadis itu menelepon pihak restoran hotel dan memesan makanan untuk di antar ke kamar mereka. Usainya, gadis itu pun kembali memejamkan matanya. Tertidur sejenak hingga setetes air dingin yang jatuh dari rambut basah Angga membangunkannya. Andari membuka mata. Di lihatnya wajah pria itu berada tepat di atas wajahnya. “Kamu nggak wudhu? Sudah mau magrib.” Bola matanya membeliak sambil berteriak, “MAS!” Andari bangun dan menutup wajahnya yang malu. Angga yang masih bertelanjang d**a, hanya mengenakan handuk dari pinggang hingga lututnya itu menatapnya dengan seraut datar. “Mas Angga bukannya pake baju dulu ih! Porno tahu!” “Kamu nggak pernah jalan-jalan ke pantai?” “Maksudnya?” Andari merenggangkan jarinya yang menutupi wajah agar bisa mengintip wajah Angga. Ya, hanya wajah Angga. Tidak yang lainnya meski Andari masih bisa melihat tubuh liat yang sedikit berotot itu. “Anggap saja kamu lihat penjaga pantai sedang jalan-jalan.” Andari tergelak. Tangan yang tadinya menutupi wajah kini memegangi perutnya yang sakit karena tertawa terbahak-bahak. Sementara pria yang tadinya terlihat porno itu jadi terlihat menggelikan di depan Andari. “Penjaga pantai nyasar di kamar hotel?” “Kenapa?” “Mau jaga laut atau bikin lautan asmara?!” lirihnya. “Apa?” “Eh. Nggak. Itu … em … itu … maksudnya.“ Ketukan di pintu kamar mereka pun menyelamatkan Andari dari kegagalan otak mesumnya untuk yang kedua kali. Angga sendiri memilih acuh dan kembali ke kamar untuk berpakaian. Andari langsung berlari ke arah pintu dan membiarkan pelayan masuk membawakan makanan mereka. “Makasih, Mas.” Pelayan mengangguk. “Eh, ini kok ada bunga sama anggurnya, Mas? Kan nggak pesen tadi.” “Oh, itu hadiah dari kami karena Mbak dan Mas-nya tamu spesial.” “Hah?” Dua orang petugas tersenyum dan pamit usai Andari mengatakan tidak butuh apa-apa lagi. Dilihat dan diciumnya kemudian buket bunga asli dengan padanan aneka jenis bunga yang dirangkai menjadi cantik dan harum itu. “Wangi banget.” Ada bunga sedap malam yang terselip di antara rangkaian bunga itu. Andari menyukainya. Damar sering membelikan dan menatanya di meja belajar di kamar Andari. Membuat wangi kamar gadis itu semerbak meski sang adik malah bergidik karena menurutnya harum bunga sedap malam itu membuatnya teringat dengan pemakakaman. Andari terkekeh sendiri mengingat hal itu. “Kenapa senyum-senyum sendiri?” Gadis itu menoleh dan tersenyum cantik. “Bunganya wangi banget. Terus aku inget Kala nggak suka bunga sedap malam. Katanya kayak bau kuburan.” Gadis itu terkekeh sendiri lagi. Angga menanggapinya dengan dengan pertanyaan, “Bunga dari siapa?” “Katanya dari hotel.” Dihampirinya lantas gadis itu kemudian diambil kartu ucapan kecil yang terselip menyerupai warna bungnya. Plukkk …. Sebuah benda kecil jatuh. Andari memungutnya. Gadis itu mengerutkan kening begitu melihat bungkusan yang berisi benda berbentuk cincin dengan sedikit cairan di dalamnya. Angga belum memperhatikan benda yang kini berada di tangan Andari itu. Gadis itu ikut membaca isi pesan yang ditulis di sana dengan suara keras. “Selamat menikmati malam indah kalian,” ejanya lalu memekik. “Eh, siapa yang buat begini?” Angga lalu membuka tutup makanan yang masih diletakkan di atas meja beroda itu. “Kamu pesan ini?” Andari ikut melihat lalu menggeleng. “Nggak. Salah mungkin. Aku pesannya cuma selat solo aja kok. Pantesan ada anggurnya segala. Ini mah makanan buat penghuni presidential suite room,” cicitnya. “Terus ini apa, Mas?” Andari mengacungkan bungkusan yang dipegangnya tadi. Namun karena bagian plastik alumunium foilnya yang tampak terlihat oleh Angga, pria itu pun memastikan lebih jelas dengan meraih dan membaliknya. “Itu apa, Mas?” ulang Andari penasaran. “Kamu tidak tahu ini?” Andari menggeleng. “Betulan tidak tahu?” Andari mengangguk yakin untuk kedua kalinya. Angga menghembuskan napas kasar dan panjang. “Ini kondom. Kamu sungguh-sungguh nggak tahu?” tanyanya sekali lagi untuk memastikan. Angga tidak percaya kalau gadis seusia Andari tidak tahu yang namanya kondom. “APA?” Andari langsung mundur waspada setelah memberikan buket bunga itu pada Angga. Gadis itu tentu saja sering melihat merek kondom yang dipajang di meja kasir minimarket. Namun yang biasa ia lihat hanya kemasan luarnya saja. Andari sendiri tidak tahu isinya seperti apa. Karena itu, ia tak mengira kalau benda bebentuk bulat tadi adalah kondom. Sebuah nama kini melintas di pikiran Angga. Tentu saja nama pelaku yang ia yakini menyiapkan semua ini untuknya. Diraihnya ponsel di saku lalu dibuka dan ditekannya sebuah nama yang muncul dalam pencarian buku telepon ponselnya. “Ini pasti kerjaan kamu kan?” todong Angga dalam percakapan teleponnya begitu saja. “ …. “ Andari yang masih penasaran namun ragu-ragu dan merasa geli kemudian meraih bungkusan kondom yang diletakkan di atas bunga tadi. Tak memperhatikan percakapan Angga dengan seseorang di telepon sana, Andari malah sibuk membolak balikkan bungkusan itu. Memperhatikannya dengan seksama sambil memikirkan bagaimana cara menggunakannya. Gadis itu menjenggit saat Angga merampas bungkusan kondom itu usai bertelepon. “Kamu mau apa?” “Mau lihat aja.” Andari memang gadis pintar secara akademis. Namun terlalu polos untuk urusan yang berbau seks. Ini pertama kalinya ia melihat kondom dan ingin tahu bagaimana cara memasangkannya. "Kenapa?" “Itu … em … dipakainya gimana, sih?” “Mau saya contohkan?” Andari mengangguk saja. Angga menaikan kaosnya lalu hendak membukan resleting celana cargo pendeknya di depan gadis itu. “EHHH! Mas Angga apa-apaan?” serunya setengah berteriak dan panik. “Katanya mau lihat cara pakainnya?” “Ya kenapa harus buka celana? Emang yang harus pake cowok?” Karena kondom juga termasuk alat kontrasepsi, Andari kira kondom itu juga diperuntukkan untuk wanita. “Memang laki-laki yang pakai.” “Ya tapi apa nggak bisa pake cara lain buat simulasinya?” sungutnya. Angga lantas pergi ke pantry dan mencari sesuatu yang bisa dijadikan alat peraga. Karena yang ditemukannya pertama adalah botol mineral, pria itu mempraktekkan dengan botol itu. Andari memperhatikan dengan seksama saat Angga membuka bungkus kondom itu lalu memakaikannya ke botol. Namun karena ukuran botol itu terlalu besar, kondom itu pun robek saat ditarik ke bawah. “Jadi itu baju buat adenya, ya?” Tak tahan dengan pertanyaan dan wajah polos Andari, Angga akhirnya tergelak dan terbahak-bahak. Gadis di hadapannya sekarang ini sungguh-sungguh sangat polos menggemaskan. Padahal, Galuh saja sudah tahu sejak gadis itu duduk di awal sekolah menengah atas. Angga memang mengajarinya pemahanan tentang seks edukasi sejak dini. Karena itu, melihat wajah polos merungut Andari, Angga jadi sedikit kasihan dan berhenti tertawa. “Sel telur tidak akan bisa dibuahi kalau tidak ada sel s****a. Jadi penghasil spermanyalah yang harus dihalangi jalannya.” “Itu mah aku juga tahu. Di pelajaran Biologi ada kali.” “Kamu tidur ya pas pelajaran Biologi?” Angga membuang kondom dan botol air mineral itu ke dalam tong sampah lalu mencuci tangannya. “Di pelajaran Biologi nggak ada kali gimana caranya makein sarung kondom ke alat kelamin. Lagian kupikir itu buat cewek. Makanya bingung gimana makenya,” aku gadis itu jujur. “Terus ini gimana?” imbuhnya menunjuk semua makanan yang ada. “Ya di makan. Mau dikemanakan memangnya?” Pria itu membawakan makanan mereka lalu duduk di kursi meja pantry. Andari menyusul dan melakukan hal yang sama. “Jadi siapa yang kirim ini semua?” Angga tak menjawab. Ia lebih memilih menikmati makanan yang ada di hadapannya. Andari sendiri hanya bisa mendesah kesal kalau Angga sudah seperti itu. “Ibu Mas Angga dulu ngidam apa, sih?” Pria itu mendongak. “Kalau ditanya tuh dijawab. Nggak sop–“ “Laras yang kirim.” “Lho, Bu Polwan itu tahu dari mana kita nginep di sini?” Angga mengendikkan bahu lalu kembali fokus dengan makanannya. “Tadi ditanya apa aja?” alih-alihnya. Mereka ngobrol sambil makan. “Tanya data diri terus pertanyaan lainnya yang hampir sama kayak yang Mas Angga tanyain waktu di kantor Bu Polwan.” Angga mengangguk paham. “Lain kali, hati-hati. Mungkin kamu memang ingin menolong. Tapi kalau gelagatnya mencurigakan, lebih baik panggil orang lain juga. Supaya kamu tidak sendiri dan ada saksi. Kita tidak tahu kan kalau mereka punya niat buruk?” “Kalau yang aku mintain tolong juga komplotannya gimana? Sama aja kan?” “Makanya hp jangan ditinggal. Kamu bisa rekam kalau ada hp.” “Iya. Aku ceroboh. Aku kasihan aja tadinya. Ibunya keliatan panik banget.” “Jangan gampang iba. Terkadang ketulusan yang murni sering kali mudah dimanfaatkan orang lain.” Raut wajah pria itu sedikit mendung saat memberikan nasehatnya barusan. Dan hal itu tak lepas dari penglihatan Andari. “Mas?” “Makan!” “Jangan ngajak ngobrol dari awal kalau gitu,” rungutnya protes. Angga mengalah. Andari memang mirip Galuh. Paling tidak suka ditolak. “Apa?” “Aku kepikiran sesuatu.” Wajah pria itu kini menatap lurus wajah gadis di depannya. “Kalau kita minta bantuan Bu Polwan aja gimana?” “Maksudnya?” “Minta bantuan polisi untuk nyari Ayah kandungku.” “Maksudnya buat laporan?” “Bisa gitu? Laporannya apa?” “Sulit. Tidak mungkin bisa. Ini kan bukan kasus–“ “Maksudku minta bantuan Polisi pasti lebih mudah nyari data orangnya kan?” “Bisa saja mendapatkan data. Tapi harus ada kasus atau alasan kuat secara administrasi. Kalau alasannya hanya mencari, takutnya jadi pelanggaran. Itu kan informasi pribadi.” “Setidaknya Mas kan bisa tanya dulu. Katanya mau bantu.” Andari menunduk sedih. Angga meletakkan alat makan lalu minum. “Habiskan dulu makanan kamu. Nanti kita coba tanya.” Raut mendung itu berubah cerah. “Beneran?” “Hm.” “Makasih, Ayah Galuh.” Entah kenapa Angga suka dipanggil seperti itu. Membuatnya tampak benar-benar seperti seorang Ayah di mata orang lain selain keluarganya. Dengan lahap dan sedikit tak sabaran, Andari menghabiskan makan malam mereka. Keduanya lantas duduk di sofa lantas menelepon Laras dan bicara dengan pengeras suara ponsel yang diaktifkan. Bersambung .... *** Ini kejadian sendiri. Waktu main ke rumah pacar (dulu) terus nemu kondom di dompetnya. Sungguh aku baru tahu setelah beberapa tahun kemudian cara pake kondom itu setelah nonton film dewasa. Wkwkwkwkwk
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD