Semua orang berkumpul di ruang keluarga. Tidak ada yang tersisa satu pun, termasuk Marsel. Lelaki yang super duper sibuk dengan jadwal operasi yang mengantre.
"Apa Mama yakin sama keputusan Mama?" Rafli, memperlihatkan wajah tak relanya.
Semua mata tertuju ke arah Erika. Mereka kaget dengan keputusan wanita yang paling dihormati di kediaman Fabiano. Apalagi Marsel, apa pun kemauan Erika pasti dituruti. Salah satunya adalah menikah dengan Alexa, meski Marsel tidak cinta dengan istri keduanya itu. Tapi demi Erika, Marsel rela mengorbankan perasaannya.
"Yakin Raf, ini sudah keputusan Mama."
"Ini bukan salah satu rencana Mama kan?" Marsel memicingkan sebelah matanya, curiga dengan sang Mama.
Erika malah menaikkan sebelah alisnya ke atas, merasa bingung atas pertanyaan sang putra sulung. Karena merasa tidak mendapatkan jawaban atas apa yang membuatnya bingung, Erika memilih membuka suara.
"Maksud kamu rencana Mama itu apa?" wanita baruh baya itu memilih mengambil secangkir teh hijau kemudian menyandarkan bahunya ke sofa.
"Ya siapa tahu Mama udah ngerencanain ini dari awal, minta aku nikah sama Alexa biar Mama bisa ikut Papa ke Perancis." Marsel membuang muka, dirinya memang sudah berusia kepala tiga tapi rasanya sulit jika harus jauh-jauh dari Erika.
"Mama kalian gak pernah ngerencanain ini. Semua ini atas permintaan Papa. Kalian gak kasihan ngebiarin Papa sendirian terus di sana? Gantian dong Papa yang diurus, bukan kalian terus." Hans merangkul bahu istrinya penuh sayang.
"Dengar sendiri kan kalau ini bukan rencana Mama. Lagi pula Mama juga mikir, kasihan Papa di sana sendirian. Nanti kalau ada wil gimana? Kan yang repot Mama sendiri." ujar Erika penuh candaan.
Hans dan Erika lantas tertawa sendiri mendengar lelucon dari Erika.
"Wil? Apaan tuh Wil?" tanya Rafli penuh kekepoan.
"Masa gak tau wil sih?"
"Iya apaan Mamaku sayang?" Rafli gemas melihat tingkah kedua orang tuanya yang masih terlihat sangat mesra meski usia keduanya sudah tidak muda lagi.
"Wanita idaman lain. Gak mau kan kalau Papa punya wil di sana? Kan kasihan Mama." Erika langsung meletakkan cangkir tehnya ke atas meja lagi.
"Ya udahlah kalau memang itu keputusan yang terbaik terserah Mama, aku sama Rafli cuma bisa doain yang terbaik aja buat Mama sama Papa di sana. Maaf, setengah jam lagi aku ada jadwal pemeriksaan seluruh pasienku." Marsel langsung pergi dari ruang keluarga. Lelaki itu menuju pintu keluar, ke mana lagi tujuannya jika bukan rumah sakit.
"Al, Mama nitip Marsel, Zulla sama Yudha ya. Kalau mereka nakal bilang aja ke Mama atau Papa, nanti biar Mama cubit online mereka."
Semua yang ada di ruang keluarga tertawa lepas. Bagaimana bisa jika salah satu dari mereka nanti akan dicubit online oleh mama mertuanya itu.
"Mama bisa aja, Marsel kan udah gede. Dia juga tahu mana yang benar dan enggak. Kalau masalah Yudha sama Zulla, semoga aku masih bisa ngatasin." jawab Alexa penuh tawa.
Tidak lucu kan kalau nanti Erika benar-benar meminta Hans untuk membayar salah satu orang yang hebat dalam bidang IT untuk membuatkannya aplikasi cubit online.
"Aku gak dititipin nih?"
"Hahaha... Ada yang cemburu ceritanya."
"Terus Mama jadi besok pagi pergi ke Parisnya?"
"Jadi dong, Mama juga kan butuh liburan berdua sama Papa. Honeymoon lagi gitu."
"Hahaha... Berapa kali Mama honeymoon sama Papa? Gak bosen apa?" ledek Rafli membuat Hans dan Erika semakin terbahak.
"Papa mana mungkin bisa bosen sama Mamamu ini. Dia satu-satunya wanita yang bisa bikin Papa meleleh kayak keju mozarella."
Tawa kembali pecah di ruang keluarga. Lagi-lagi karena candaan kedua paruh baya yang berjiwa muda di antara mereka.
"Eh iya, ngomong-ngomong kalian kapan mau honeymoon?" pertanyaan Hans membuat Alexa bingung harus menjawab apa.
"Iya, Yudha udah pantes punya adek." Erika ikut menggoda.
"Biar Rafli ada kerjaan juga, gendong-gendong bayi gitu."
"Kalau masalah itu sih aku terserah sama Mas Marsel, Ma. Lagi pula aku juga masih sibuk sama skripsi dulu."
"Ya sudah, itu terserah kalian. Nanti kalau kapan-kapan kalian mau honeymoon, bilang aja sama Mama ya."
"Iya Ma, nanti aku bakal bilang ke Mama."
"Sebenernya tanpa honeymoon juga kalau Marsel mau punya anak dari gue sih, gue juga udah seneng. Buat apa honeymoon kalau hasilnya bakalan sama, gue gak akan hamil." Batin Alexa kesal mengingat penolakan Marsel.
***
"Bagaimana keadaan anak saya dok?" seorang ibu-ibu paruh baya menunggu jawaban dari Marsel. Berharap jawaban dari Marsel membuat hatinya tenang.
"Keadaan Ranu sudah jauh lebih baik, Bu. Kalau dia mampu mengatur pola makan dan minum obat teratur, minggu depan sudah diperbolehkan pulang." ujar Marsel tenang, dan satu lagi yang pasti. Lelaki itu berbicara dengan nada datar, tidak ada ekspresi sama sekali.
"Syukurlah kalau begitu, terima kasih dok. Terima kasih sudah membantu anak kami."
"Sama-sama Bu. Tapi tetap, yang memberikan kesehatan itu tetap Sang Maha Pencipta. Kalau begitu, saya permisi dulu Bu."
"Tunggu dok, saya punya kado buat dokter dan istri dokter." ibu-ibu tadi memberi bungkusan berukuran sedang kepada Marsel.
"Ini apa, Bu?"
"Saya dengar dokter baru saja menikah, jadi anggap saja itu kado dari kami untuk dokter dan istri. Maaf kalau jelek dok, hanya itu yang bisa kami beri untuk dokter."
"Terima kasih Bu, padahal gak usah repot-repot."
"Tidak apa-apa dok, saya tidak merasa direpotkan."
"Kalau begitu saya permisi Bu."
Marsel meninggalkan ruang rawat inap salah satu pasiennya yang bernama Ranu Vikran. Diikuti oleh Brenda, asisten pribadi Marsel. Suster cantik itu mengikuti Marsel ke dalam ruangannya.
"Ini dok laporannya, saya permisi."
"Apa besok saya ada jadwal operasi?"
"Tidak ada dok, lusa baru ada. Jadwal operasi untuk peserta BPJS yang terkena usus buntu di ruang mawar."
"Kalau gitu, bisa kan kamu gantiin saya untuk mengecek pasien-pasien di ruang tulip, melati, lily dan mawar? Saya ada janji untuk mengantar Mama saya ke bandara karena harus ke Paris."
"Bisa dok, saya bisa gantikan tugas dokter sementara." meski terpaksa, Brenda menyanggupi perintah sang dokter.
Padahal tadi dirinya berniat ingin izin untuk berangkat siang karena harus membantu orang tuanya masak dan beres-beres di rumah yang mau berangkat ibadah umrah lusa. Tapi Brenda selalu mengingat kebaikan Marsel. Makanya sedatar dan sekeras apa pun Marsel, Brenda betah menjadi asisten pribadi Marsel. Hanya Marsel yang bisa dia mintai bantuan di rumah sakit ini. Begitu juga kejadian dua tahun lalu saat Brenda difitnah menukar resep obat bahkan sampai terancam dikeluarkan, Marsel yang mencari bukti dan membantu Brenda supaya tidak dikeluarkan.
"Kalau begitu kamu bisa keluar."
"Baik, dok."
***
Di sinilah sekarang, Marsel sedang duduk di salah satu bangku yang ada di cafe dekat rumah sakit.
"Udah seminggu lo nikah, masih sama aja tuh wajah." seorang lelaki berpakaian santai terkekeh melihat wajah sahabatnya yang sama sekali tidak ada perubahan.
"Ya emang wajah gue harus gimana? Gue udah cakep dari brojol." Marsel menyesap jus wortelnya. Lelaki itu akhir-akhir ini merasa penglihatannya sedikit buram, jadi dia putuskan untuk meminum jus wortel lebih sering.
"Narsis amat jadi orang." seru lelaki yang satunya.
Mereka sekarang bertiga, ada Marsel, Ricky dan Arya. Ketiganya sama-sama dokter di rumah sakit yang sama. Hanya saja Arya baru pulang dari tugasnya untuk membantu team sar yang sedang bertugas membantu korban longsor. Sedangkan Ricky, dia baru aktif di rumah sakit itu lagi minggu depan. Selama setahun ini Ricky ditugaskan di rumah sakit kota kecil di daerah Jawa Tengah yang kekurangan dokter mata. Dan hari ini mereka kembali berkumpul untuk merayakan kedatangan Arya dan Ricky.
"Ngomong-ngomong ya, lo curang tahu gak. Nikah lagi tapi gak ngasih tahu gue sama Ricky. Gak ngundang pula."
"Ya sorry, bukan gue gak mau ngundang. Tapi emang gue gak bikin acara gede-gedean."
"Bini lo cantik gak? Katanya masih mahasiswi di semester akhir." Ricky mulai tertarik.
"Inget lo, bini temen sendiri. Jangan diembat, buruan nyari sono." Arya menoyor kepala Ricky.
"Bantuin gue nyari ngapa, gak kasihan ama gue? Belum kawin juga ampe sekarang." benar saja, di antara mereka bertiga yang belum menikah hanya Ricky.
"Suster juga banyak, tinggal deketin susah amat."
"Ah elah, bosen. Yakali di rumah sakit sama di rumah ntar yang dilihat suster mulu."
"Gue kira lo bakal balik sama gadis desa yang mau lo kawinin. Emang di sana lo gak nemu cewek cakep?"
"Alah, bosen gue. Mereka terlalu polos."
"Asisten gue tuh cakep, ajak kencan aja."
"Siapa? Brenda? Halah, masih cantikan suster Riana."
"Kalau cantikan suster Riana kenapa ngajak kencan gak bisa?" ejek Arya membuat Ricky mendengus kesal.
"Suster Riananya aja yang lebih milih tuh supir ambulans. Padahal ke mana-mana masih cakepan gue."
"Brenda pasti seneng lihat lo balik tugas di sini." Marsel menyahut.
"Emang dia suka sama Ricky?" Arya malah yang tertarik akan pembicaraan ini.
"Gue sih gak tau pasti, tapi dulu sebelum Ricky dipindah tugas dia sering senyum sendiri tiap habis lihat Ricky. Terus pas lo pindah tugas, gue jarang lihat dia senyum-senyum gaje lagi."
"Cuma gitu bisa nyimpulin dia suka ama gue. Lagi pula ya, dia itu gak ada menarik-menariknya sama sekali."
"Lihat aja minggu depan, gue lihat dia senyum-senyum sendiri lagi apa enggak. Kalau enggak ya bukan karena lo, tapi kalau iya berarti ada kaitannya sama lo."
"Lagi pula nih ya Rick, suster Brenda cantik juga kok menurut gue."
"Cantik sih iya, tapi kurang semlohay keyak suster Riana."
Plak!
"Kok lo pukul gue sih? Salah gue di mana coba." Ricky menatap kesal ke arah Marsel.
"Mendingan lo embat aja kalau emang beneran suster Brenda suka sama lo. Dari pada lo jadi perjaka tua, gak laku lo lama-lama."
"Ya iyalah milih-milih. Gue kan pengen punya bini cakep, pinter, jago masak, pinter ngurus suami sama anak, sexy, putih, body mulus, lemah lembut, pokoknya sempurna."
"Woy, sadar! Gak usah ngimpi mulu. Lo pengen punya pasangan sempurna, tapi lo gak mandang diri lo sendiri kayak apa. Tanpa lo sadari kalau lo itu juga punya segudang kekurangan. Kalau lo terus-terusan nyari yang sempurna, sampai kiamat pun lo gak bakal nemuin. Karena di dunia ini gak ada yang sempurna. Adanya hanya bersatu dan saling melengkapi untuk menyempurnakan."
Marsel dan Ricky sampai melongo mendengar petuah dari Arya. Tumben sekali satu temannya itu bijak dalam berkata-kata.
"Lo gak kesurupan kan, Ya?" Ricky malah menempelkan punggung tangganya ke kening Arya.
"Tapi ada benernya juga apa kata Arya, Rick. Lo harus dengerin itu baik-baik. Lo bakal jadi perjaka tua kalau lo terus-terusan nyari yang sempurna."
"Tuh, dengerin Marsel juga. Inget, lo udah masuk di usia kepala tiga. Semakin tua, cewek juga semakin mikir buat mau jadi bini lo. Paling yang ada juga janda anak dua. Mau lo gak ngerasain yang namanya perawan? Marsel aja udah dua kali dapet virgin."
Plak!
"Sakit bego kepala gue." gantian sekarang Arya yang terkena timpukan Marsel.
"Congor lo kalau ngomong gak dijaga."
"Berisik kalian! Udah sono baliklah, gue juga mau balik."
"Ya udah, gue balik dulu." Marsel langsung pergi dari cafe tanpa mempedulikan panggilan Arya yang memekakkan telinga.
***
Hari sudah berganti, Alexa masih sibuk di kampusnya dari tadi pagi. Dia sedang berjalan menuju pintu gerbang dan ingin segera pulang.
Brak!
"Aw... Kalau jalan lihat-lihat dong." sentak Alexa kepada lelaki yang tak sengaja menabraknya.
"Maaf, gue gak sengaja nabrak lo." lelaki itu pun membantu Alexa memunguti buku-bukunya yang berserakan.
Alexa diam, dia seperti kenal dengan suara itu. Tapi Alexa ragu, jika benar untuk apa lelaki itu berada di perpustakaan fakultas arsitek.
"Nih buku lo, sekali lagi gue minta maaf ya. Gue beneran gak sengaja." lelaki tadi memberikan setumpuk buku milik Alexa.
"Aiful, lo ngapain di sini?" benar dugaan Alexa, lelaki yang menabraknya adalah Aiful.
"Loh Alexa, sorry banget gue udah nabrak lo tadi."
"Iya-iya, udah gue maafin. Ngomong-ngomong lo ngapain di sini?" Alexa memicingkan matanya, bertanya-tanya apa yang dilakukan anak fakultas IT itu di perpustakaan fakultas arsitektur.
Aiful adalah teman Alexa dari jaman mereka masih sama-sama memakai seragam putih biru. Bukan teman akrab atau dekat, mereka hanya sekedar kenal sebagai teman satu sekolahan dan satu angkatan. Meski mereka juga pernah sekelas, tapi tetap saja mereka bukan teman akrab.
"Gue ada urusan sama anak arsitek, makanya gue ke sini."
"Anak arsitek? Siapa?"
"J-u-n-i-o-r kok, gue kasih tahu pun lo juga gak bakalan kenal. Gue cabut dulu ya." Aiful kembali berlari meninggalkan Alexa yang masih penasaran.
"Mungkin dia emang ada urusan sama junior gue." Alexa mengedikkan bahunya tak acuh. Dia lebih memilih pulang, hari sudah sore, dan seharian ini waktunya dia habiskan di kampus. Bahkan Alexa tidak ikut mengantar keberangkatan Erika dan Hans ke bandara tadi pagi.
***
Pandangan Alexa tertuju ke sebuah pintu di tembok sisi kanan di kamar. Marsel sering melarangnya untuk tidak membuka pintu itu. Tapi semakin dilarang, semakin Alexa penasaran. Dengan sejuta rasa kekepoannya, Alexa langsung bangun dan mendekat ke arah pintu.
Alexa masih berdiri di depan pintu, tapi dirinya ragu. Dia ragu, harus masuk atau tidak. Dalam hatinya takut jika nanti Marsel marah besar kepadanya.
"Buka saja kalau kamu penasaran." gema suara itu mengagetkan Alexa.
Wanita cantik ini langsung menoleh ke belakang. Benar saja, di sana ada Marsel yang terlihat baru pulang dari rumah sakit.
"Ayo buka, bukannya kamu penasaran?" Marsel sudah semakin dekat dengan Alexa. Langkah kaki lelaki itu pun semakin dipercepat.
Alexa hanya diam saat Marsel membuka kunci pintu kemudian membuka pintu itu. Mulut Alexa mengaga, merasa tak percaya dengan yang dilihat. Dengan santainya, Marsel langsung memasuki ruangan itu.
"Ini hasil tangan cantik milik Airin, dia sangat suka seni dan bunga." ujar Marsel.
Alexa hanya mengikuti saja, ini benar-benar luar biasa. Ternyata ini bukan sebuah ruangan aneh, tapi ini adalah taman buatan. Tapi anehnya, hanya satu bunga yang ditanam di sana. Bunga kecil dengan warna biru indigo, wanginya sangat membuat hati damai. Di dinding pun banyak sekali lukisan cantik.
"Airin sangat suka melukis, ruangan yang menjadi kamarmu itu dulunya adalah ruangan khusus melukis untuk Airin. Dan ini pun juga kebun milik Airin."
"Kenapa hanya ada satu jenis bunga?"
"Ini adalah bunga favorite Airin. Karena kata Airin, bunga ini sangat cocok dengannya." Marsel duduk di salah satu kursi yang memang di sediakan. Alexa sendiri berkeliling melihat-lihat lukisan serta mengagumi bunga cantik yang ada di depannya.
"Kenapa bisa cocok?" Alexa semakin tertarik dengan cerita Marsel.
"Airin, seorang gadis yatim piatu. Dia tidak memiliki orang tua sejak kecil dan tidak memiliki saudara kandung. Semua keluarga besarnya tidak ada yang mau membesarkannya dan semua mengucilkannya. Akhirnya Airin tinggal di panti asuhan. Meski pun begitu, Airin masih saja dikucilkan. Dia tidak memiliki teman karena semua mengejeknya." Marsel menjeda ceritanya. Alexa masih setia mendengarkan.
"Dan menurut legenda, saat Adam dan Hawa baru diturunkan ke bumi. Tuhan menciptakan berbagai macam bunga. Saat itu Tuhan sudah memberi nama bunga mawar, melati, lily, tulip, dan berbagai macam nama bunga lainnya. Saat itu bunga kecil ini protes kepada Tuhan, kenapa dirinya tidak diberi nama. Dia berteriak forget me not! forget me not! Tuhan pun tersenyum dan akhirnya Tuhan memberikan nama bunga itu forget me not. Airin merasa nasibnya hampir sama dengan bunga itu, dilupakan dan dikucilkan oleh semua orang." Marsel bercerita.
Alexa merasa sangat tersentuh, ternyata kehidupan Airin tidak semulus dan semenyenangkan yang dia pikir. Alexa kira, Airin terlahir dari keluarga kaya raya dan hidup dengan berlimpah harta. Tapi ternyata jauh berbeda, jika dibandingkan dengan dirinya masih sangat mending Alexa.
"Itu alasan kenapa Airin suka sama bunga ini?"
"Ya, Airin merasa dirinya seperti bunga ini. Bunga forget me not. Bahkan saat Airin meregang nyawa, dia bilang forget me not kepada saya." Marsel melihat Alexa yang sepertinya sangat haru atas apa yang dia ceritakan.
"Kamu sudah masuk ke ruangan ini, jadi jangan sekali-kali lagi masuk. Hanya saya dan anak-anak saya yang boleh masuk. Karena kamu bukan bagian dari Airin." Marsel keluar dari ruangan meninggalkan Alexa yang masih terdiam.
"Alexa! Cepat keluar!" bentak Marsel karena kesal melihat Alexa tak kunjung beranjak dari tempat duduknya.
Wanita itu hanya menurut dan langsung keluar. Dia berdiri di samping Marsel yang mengunci kembali ruangan tadi. Bahkan sekarang Marsel membawa kuncinya.
"Jangan pernah mengulik tentang kehidupan pribadi saya lagi. Cukup ini yang terakhir. Kamu bukan siapa-siapa di hidup saya, jadi jangan berusaha untuk menjadi bagian penting." Marsel meninggalkan Alexa begitu saja.
***
Next...