"Please," Masayu menahan Agha yang hendak menurunkan jendela mobil. Cowok itu mengerutkan kening. "Jangan diturunin dulu, Gha. Mobil lo bisa bau," tuturnya. Dia bahkan sudah mengeluarkan masker. Ia sempat membelinya di kampus lalu memberikannya pada ketiga temannya. "Gue aktifin maps-nya lagi. Bentar," tambahnya. Dari pada harus membuka jendela dan bertanya di tengah-tengah lautan sampah ini. Jumlah sampah yang masuk ke sini memang selalu membludak. Meski teknologinya sudah sangat canggih dalam mengolah. Namun ternyata, kemarin alatnya sempat rusak sehingga harus diperbaiki dulu. Alhasil yaa, sampah-sampah ini kembali mengantri. "Lurus lagi," titahnya.
Agha kembali melajukan mobilnya. Lalu berhenti. Masayu menunjuk ke arah rumah kayu yang ada di sebelah kiri. Letaknya agak ke dalam. Jadi Agha terpaksa memarkirkan mobilnya di pinggir jalan.
The Green Life Style
Agha mengangguk-angguk usai membaca papan itu. Lokasi rumah panggung ini tak begitu jauh dari lautan sampah dan pemukiman warga yang rata-rata berprofesi sebagai pemulung.
"Ini?"
Indra bertanya untuk sekedar memastikan. Masayu mengangguk. Gadis itu memimpin langkah dan diikuti oleh ketiga teman-temannya. Ia mengucap salam, hingga salah satu anak berusia sepuluh tahunan keluar.
"Ada Amri gak?"
Ia langsung bertanya. Si anak sepuluh tahun yang mendadak malu itu langsung ngacir ke dalam rumah lalu berteriak memanggil Amri. Lelaki itu sedang sibuk bereksperimen dengan anak-anak didiknya.
"Siapa?"
"Temen-temennya Bang A'am kali!"
Amri memberi kode pada Yudi. Anak putus sekolah yang kini sudah berusia 17 tahun. Ia sudah lama mengikuti Amri untuk membantu mengajari anak-anak eksperimen sampah. Yudi mengangguk lantas mengambil alih. Begitu keluar, ia melihat wajah-wajah asing. Tentu saja ia tak mengenal satu pun dari mereka. Namun sepertinya, seusia dengannya. Asal tahu saja, Amri sudah menyelesaikan perkuliahan di kampus. Kebetulan ia sedang penelitian.
"Ada apa ya?"
Masayu langsung maju. Cewek itu mengenalkan diri dan juga menjelaskan maksud juga tujuan mereka ke sini. Amri hanya berdeham. Ia tentu saja sudah tahu isi pesan, email dan bahkan media sosialnya. Ia baru tahu kalau orang ini adalah orang yang menerornya selama beberapa hari ini.
"Saya tidak bersedia."
Ia langsung memotong ucapan Masayu yang menurutnya terlalu panjang dan terlalu basi. Ia tak percaya anak-anak aktivis kampus. Baginya, mereka hanya lah kumpulan orang-orang yang suka bicara tanpa aksi. Masayu terdiam mendengarnya.
"Kenapa?" tanya Agha. Ia penasaran melihat raut wajah Amri yang tak begitu bersahabat.
"Tidak perlu tahu alasannya. Tidak penting. Dan lagi, saya tidak bersedia. Jadi urusan ini tidak perlu diperpanjang," tukasnya lantas membalik badan untuk masuk ke dalam rumah.
Agha langsung berkata, "kami datang bukan untuk menawarkan jabatan." Langkah kaki Amri terhenti. "Kami datang untuk menawarkan kerja sama dunia-akhirat. Sama-sama menjadi bermanfaat untuk orang banyak dengan cara yang baik."
Lelaki itu berdeham lantas membalik badannya. "Maka saya pilih cara ini untuk berbuat baik dan bermanfaat. Bukan dengan cara kalian yang hanya omge, omongan gede tapi aksinya? Nihil."
Tangan Indra langsung terkepal mendengarnya. Jelas tersinggung. Agha menahan Indra agar tak bergerak maju. Ia tahu kalau Indra tersulut emosi. Sebaliknya, Agha justru tenang bahkan tersenyum tipis.
"Ya silah kan mau berbicara apapun. Masing-masing manusia mempunyai hak untuk menilai manusia lain. Tapi alangkah baiknya kalau menilai seseorang itu setelah mengenalnya dan mengamatinya lebih lama. Bukan kah kita belum berkenalan?"
Agha maju, mendekat ke arahnya lalu mengulurkan tangan dengan raut wajah yang sangat bersahabat. Amri terpaku. Tentu saja bukan ini yang ia harapkan sebagai balasan.
"Opa saya bilang untuk menghargai siapapun yang datang, terlepas baik dan buruknya," tambahnya sambil tersenyum tipis. "Agha Muhammad Fahlevi, mahasiswa Kedokteran tingkat akhir. Kita di kampus yang sama."
Masayu mengembangkan senyumnya. Ia suka dengan cara Agha yang tidak mudah terpancing emosi. Cowok itu selalu tahu cara mengatasi masalah tanpa harus baku hantam. Itu juga yang sangat ia sukai dari sisi Agha. Agha punya wibawa sebagai pemimpin, selain disegani tapi juga solutif.
Akhirnya Amri mengulurkan tangan. Meski wajahnya masih belum tampak ramah. "Amri."
Agha mengangguk dengan senyum lebar. "Kalau basa-basi itu terlalu panjang. Barangkali, kita tipe yang sama," tuturnya lantas menoleh ke arah Masayu. Ayu segera mengeluarkan profil organisasi BEM yang hendak mereka bangun. Tak lupa, Agha juga menaruh beragam prestasi dan aksi yang telah ia lakukan. Ia tak mau dicap sebagai orang yang hanya pandai bicara tanpa aksi seperti kebanyakan anggota DPR saat ini. Perempuan itu memberikan map beserta isinya pada Agha dan Agha memberikannya pada cowok di depannya ini. "Boleh dibaca dulu. Saya menyebutnya sebagai proposal ta'aruf. Kita sering mendengar pepatah kalau tak kenal maka tak sayang. Maka itu, melalui ini, anggap aja gue lagi ngajak lo berkenalan untuk menjadi salah satu temen gue. Terlepas dari lo mau nerima atau enggak, doa gue semoga ini bermanfaat."
Amri masih terdiam. Sementara Agha masih mengulurkan map itu dengan senyuman tipisnya. Setelah bergeming beberapa menit, akhirnya Amri mengambil juga.
"Berhubung sudah sore, kami sepertinya pamit dulu. Kapan-kapan, temen saya yang itu akan menghubungi lagi. Yaa kalau memang mau bergabung."
Amri hanya diam. Sementara Agha sudah bergerak pamit. Cowok itu mengucap kata-kata pamit lalu salam. Begitu hampir sampai di mobil, Agha kembali membalik badannya dan menatap Amri.
"Boleh tahu. Masjid terdekat di mana?"
@@@
"Ini nih, Gha, yang gue suka. Lo selalu punya cara untuk membuat hati orang tertarik."
"Termasuk elo?"
"Apaan sih, Dra?!" kesalnya dan Indra terbahak.
Mereka sudah hampir sampai di dekat kosan Masayu yang ada di sekitar Cikini. Dia sudah turun di Stasiun Cikini tadi. Gadis itu kan pulang ke arah Tangerang dengan naik kereta.
Agha hanya menggelengkan kepala. Tak ambil pusing dengan kata-kata itu. Masayu baru berhenti mengoceh saat mobil Agha sudah tiba di depan g**g masuk kosannya. Gadis itu pamit. Lalu mobil Agha melaju lagi hingga sampai di depan gedung apartemen Indra. Keduanya bertos ria sebelum Indra keluar. Agha melirik jam di mobilnya. Sudah hampir Isya.
Yeah, perjalanannya memang lumayan panjang. Apalagi mereka mendadak ke Bekasi kan. Jalanan sore tadi sangat macet. Lalu berhenti solat dan makan pula. Tapi ia berharap ada hasilnya. Kalau pun tidak? Ya anggap saja ini adalah ujian yang memang harus dilewati. Agha memang begitu santai dalam menanggapi segala hal buruk yang menimpanya. Ia selalu ber-huznuzzan. Karena ia percaya pada Allah, Allah pasti memberikan sesuatu yang terbaik dibaliknya dan mungkin baru saja melindunginya dari beragam marabahaya.
Dua jam kemudian, ia akhirnya tiba di rumah. Begitu keluar dari mobil, ia sudah mendengar suara langkah kaki yang berlarian dari dalam menuju teras rumah. Tapi baru mau berteriak.....
"Iiihhh! A'aaak Agha bauuuuu!" seru Adel. Ia bahkan menutup hidungnya. Begitu pula dengan Adeeva yang terlambat sampai. Ia selalu kalah cepat dengan Adel.
Agha terkekeh. Ia hendak memeluk kedua gadis kecil itu. Tapi keduanya sudah berlari sambil berteriak-teriak. Agha tertawa. Ia kan baru pulang dari Bantargebang tadi. Mobilnya saja bau. Mereka bahkan tak menggunakan AC di sepanjang perjalanan pulang tadi. Terpaksa membuka jendela demi menghilangkan bau. Tapi barangkali malah menempel dibaju-baju mereka.
Usai mandi, Agha kembali turun. Ia belum makan. Senyumnya mengembang melihat Umminya selesai menghangatkan makanan. Ini nih yang paling ia sukai dari Umminya. Tahu saja kalau ia belum makan dan selalu siap sedia seperti ini. Bagaimana Abinya tak bertambah cinta disetiap hari? Hahaha.
"Jadi ke Bantargebang tadi, Ak?"
Ia selalu izin ke mana kepergiannya. Biar Umminya tak khawatir.
"Jadi. Tadi bentar aja."
Umminya mengangguk-angguk. Ia tak perlu bertanya karena sangat percaya dengan anak sulung yang sangat bisa diandalkan ini. Adel yang mendengar suara Agha di meja makan pun kembali datang. Tadi ia sudah hampir tertidur di dekat rak-rak buku. Adeeva? Sedang dibawa Akib ke kamar.
"Pangkuuuu," rengeknya manja. Agha terkekeh lantas mengacak rambutnya. Lalu mengangkat tubuhnya yang berisi ini ke pangkuannya. Adel memang manja sekali dengannya. Airin tersenyum kecil melihat kelakuannya. Sudah biasa.
"Di sekolah ngapain aja?"
"Ya belajar dong. Adel kan rajin!"
Ia memuji dirinya sendiri. Agha terkekeh. Si bawel ini selalu punya banyak kosa kata.
"Rajin kok, nilainya turun sih?" ledek Abinya yang baru keluar dari kamar Adeeva.
"Rajin itu gak ada hubungannya sama nilai tauk, Abiii! Ada nih cewek di kelas Adel, namanya Ira. Dia lebih rajin lagi dibanding Adel. Suka nyapu kelas meskipun bukan hari piketnya. Nilainya? Gak beda jauh sama Adel!" serunya. Ia memang sangat pandai berkilah. Airin terkekeh. Mulutnya sangat mirip dengan Akib. Akib tertawa. Tak mampu membalas. Ia menyerah kalau urusannya dengan Adel. Ya-ya terserah Adel lah. Anaknya yang satu itu memang tak bisa diganggu gugat.
"Si baweeeel!" seru Agha lantas menggelitiki perutnya. Adel terpingkal-pingkal dibuatnya.
@@@
Semalam Shiren sudah membaca beberapa hal. Ia hanya ingin mengecek kembali tentang perasaan Agha padanya. Apakah masih sama? Pasalnya, cowok itu sudah terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Ya-ya ia tahu kalau anak-anak di jurusannya juga akan mengatakan hal yang sama. Kalau Agha itu masih sangat mencintainya. Itu terlihat jelas dari matanya. Ya, dulu Shiren memang sering menangkap basah Agha menatapnya dari jauh. Tapi dua tahun terakhir, Agha sudah sibuk dengan organisasinya. Rasa-rasanya ia pun hanya bertemu dengan Agha ketika di kelas. Ketika mereka kebetulan sekelas saja. Anak Kedokteran kan banyak dalam satu angkatan mereka. Bisa mencapai 120 orang per angkatan. Itu akan dibagi ke beberapa kelas. Meski mata kuliah yang diambil sama, dosennya belum tentu bisa sama. Buktinya, semester kemarin saja, tak sekalipun Shiren satu kelas dengan Agha. Ditambah lagi, Agha sangat sibuk dengan dunia aktivisnya. Ia bahkan hampir-hampir tidak pernah lagi melihat Agha ada di kampus. Saking sibuknya lelaki itu. Dan hari ini, mumpung ia tahu kalau ia memiliki kelas yang sama dengan Agha, ia dengan agak berdandan sedikit. Tujuannya? Hohoho. Tentu saja mencari perhatian Agha. Ia kan hanya sekedar memastikan. Kalau asumsi teman-temannya tidak salah. Jika memang Agha masih mencintainya hingga sekarang. Ia bukannya ragu, justru takut kehilangan. Karena sampai sekarang, ia masih menaruh harapan besar pada lelaki itu. Ia juga tak pernah lepas berdoa agar bisa bersatu lagi seperti masa manis dikala mereka SMA dulu.
"Waaah...."
Cowok-cowok bagai terbius saat Shiren lewat. Ia melambaikan tangan ke arah teman-temannya yang sedang asyik mengobrol di bangku tengah. Ini kan kelas besar. Mau sebesar apapun, ia pasti akan bisa menangkap Agha. Kebetulan, cowok itu belum datang. Jadi ia duduk dulu sembari sesekali melirik ke arah pintu kelas. Berharap Agha segera datang.
"Cantik bangeet sih, Reeen!" puji Retno yang baru saja menaruh tasnya di bangku sebelah Shiren. Shiren hanya tersenyum kecil. Semua anak di jurusannya juga mengakui kalau wajah Arabnya memang cantik abis. Hidung mancung, berkulit putih, dan senyuman yang manis. "Bikin pangling aja pagi-pagi. Tumbenan pakek lipstik berwarna dan bedak gini."
Shiren hanya tersenyum kecil. Ia memang perempuan kalem dan tak banyak bicara. Ketika teman-temannya masih asyik memuji, Agha justru baru datang. Tentu saja tidak sendirian. Ada Indra dan Masayu di belakangnya. Ketiganya tampak asyik berbicara. Lalu duduk di pojok ruang aula yang hari ini digunakan untuk kelas pembelajaran.
"Ciyeee," Retno menyenggol lengannya. Sudah tahu ke arah mana Shiren menatap. "Dandan buat si A'ak rupanya?"
Shiren hanya mengukum senyum. Pipinya sudah memerah. Teman-temannya kompak berseru, "ciyeeeeee!" lalu dilanjutkan dengan lirikan ke arah Agha. Hal yang membuat Agha, Indra dan Masayu menoleh. Pembicaraan mereka langsung terhenti.
Agha sempat tak sengaja bersitatap langsung dengan mata Shiren lalu ia mengalihkan tatapannya. Bukannya tidak cinta. Justru itu cara Agha menjaga diri, hati dan Shiren. Baginya, perempuan itu bukan untuk dinikmati melalui mata. Mereka justru harus dihargai keberadaannya dengan cara menundukan pandangan. Kece kan? Hahaha.
Indra ikut-ikutan meledek Agha. Masayu hanya terdiam. Ia sudah tak asing dengan fenomena ini. Shiren justru senyum lantas menunduk. Meski hanya sebentar, ia senang sekali karena tadi sempat bersitatap dengan Agha. Meski.....
"Penampilan yang berlebihan seperti mengenakan perhiasan, atau pakaian yang menunjukkan lekuk tubuh, akan menarik perhatian laki-laki untuk menatapnya. Karena itu, hukum make up dalam Islam yaitu tabaruj, dilarang dan perempuan tidak diizinkan untuk menunjukkan kecantikannya kecuali pada suaminya."
Begitu pesan Agha begitu keluar dari kelas dan tak sengaja berpapasan dengan Shiren yang hendak masuk ke dalam kelas usai izin ke kamar mandi. Gadis itu terpaku melihat Agha pergi begitu saja. Nasehatnya dalam dan mengena dihati. Alih-alih tersinggung, Shiren malah tersenyum. Ia benar-benar tidak boleh meragukan perkataan teman-temannya. Agha benar-benar masih mencintainya. Buktinya? Tadi. Lelaki itu berupaya melindunginya. Bukan melindungi dari hal-hal yang dilakukan dengan cara pelukan atau semacamnya. Tapi melindunginya dengan nasehat dan meluruskan niatnya untuk memperdalam Islam. Agha tidak akan berkata seperti ini pada perempuan yang tidak membuatnya tertarik. Dan Shiren tersentuh untuk ke sekian kalinya dengan cara Agha melindunginya dari dosa. Seperti dulu. Ketika Shiren akhirnya memutuskan untuk menutup aurat. Cowok itu mengatakan ini dihari kelulusan SMA mereka saat itu....
"Tahu surat Al-Ahzab ayat 59?"
Shiren menggeleng saat itu. Kemudian Agha melantunkan bacaan yang ia hapal. Cowok itu memang hapal Quran. Tapi tak pernah menunjukannya. d**a Shiren terasa sejuk ketika mendengarnya.
"Artinya, hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu'min: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
@@@
"Ada kabar dari Amri?"
Ini sudah tiga hari berlalu sejak mereka datang ke Bantargebang. Masayu menggelengkan kepala. Ia dan Indra sedang duduk di kantin. Seperti biasa, sibuk di depan laptop dengan urusan pencalonan Agha. Mereka sedang mengecek ulang berkas yang akan dikumpulkan. Tapi berkas calon wakil Agha masih kosong.
"Kalau dia gak mau. Gue berniat ngajak Rahmat sih."
Masayu terbatuk-batuk mendengarnya. Matanya melebar mendengar ucapan itu. "Gak salah?"
"Huuush!" tegur Indra.
"Yeee kan gue cuma ngomong begitu."
"Abisnya kayak su'uzzan!"
Masayu mencebikan bibirnya. "Bukan gitu. Gue kaget aja. Masa Rahmat sih? Lo gak tahu gosipnya, Gha?"
Agha menggeleng polos. Ia mengambil kacang polong yang ada di toples. Kacang polong itu milik Ayu. Toplesnya juga. Ia biasa membawa cemilan semacam itu di kampus. Alasannya menghemat pengeluaran.
"Ckckck!" Masayu menggelengkan kepalanya. "Dia itu terkenal di BEM FISIP!"
"Bentar-bentar," Indra memotong. "Ini gosipnya cuma kabar burung, opini, mitos atau fakta nih?"
Ia langsung mendapat toyoran dari Ayu. Agha terkekeh melihatnya.
"Gue itu gak pernah asal ngomong dan gak pernah asal percaya omongan orang tanpa bukti. Selain gue dengar omongan orang tentang dia dari anak-anak BEM FISIP, gue juga pernah beberapa kali satu acara sama dia di kampus Depok."
Aaaah. Indra dan Agha kompak mengangguk-angguk. Pantas saja. Masayu kan emang anak yang aktif. Tak bisa diam. Pagi, siang, sore hingga malam ada saja kegiatannya di kampus. Mulai dari rapat sampai jurit malam. Biar pun begitu, nilainya tetap lumayan sebagai anak Kedokteran.
"Terus?"
Indra mulai percaya. Ia bukannya sentimentil terhadap informasi yang didapatkan Masayu. Hanya takut menjadi ghibah saja. Kan gak enak memakan bangkai saudara sendiri. Iya kan? Apa enaknya memakan daging manusia coba? Hiiii.
"Anaknya gak banget deh. Mungkin kalian juga bakal terpesona sama orasi-orasinya, tulisan-tulisannya di media massa bahkan rayuan mautnya. Tapi aksinya? Nol banget. Mungkin kata-kata Amri kemarin lebih cocok buat dia."
Agha mengangguk-angguk. Paham. "Jadi jangan?"
"Gak usah nanya kali, Gha!" semprot Indra yang membuat Agha tertawa.
"Terus gimana dong? Kalian ada ide, nama lain untuk wakil gue?"
Indra tampak berpikir. Sementara itu, Masayu sibuk membongkar file-file-nya. Ia kan sudah melakukan penelitian yang sangat dalam untuk mengurusi pencalonan Agha. Meski jabatannya bukan intelijen. Ia hanya anak yang hobi bongkar-bongkar informasi untuk dibagi.
"Gue ada sih beberapa. Meski profilnya gak setanding dengan Amri." Masayu tentu punya banyak nama cadangan. "Nih yang kedua," tuturnya sembari memutar layar laptopnya menghadap ke arah Agha yang ada di seberangnya. Cowok itu membaca profil calon yang diajukan Masayu dengan serius.
"Siapa?"
Indra penasaran. Cowok itu memepetkan kursinya ke arah Agha.
"Andros Keenan Al-Kahfi," sebut Indra usai membaca profil itu.
Masayu mengangguk-angguk mafhum. "Dia anak Sastra Belanda. Waktu SMA, menang debat politik di Dubai. Dia juga ketua BEM FIB yang jabatannya baru aja selesai. Kalo soal diplomasi, dia jagonya."
"Keren," puji Indra dengan tulus. "Dia bisa nutup kekurangan Agha dari mananya?"
Masayu berdeham. "Ini nih yang susah."
Kedua cowok itu fokus padanya. Masayu kembali memutar layar laptop agar menghadap ke arahnya.
"Dia punya semua kelebihan yang Agha punya."
"Terus?"
"Kekurangannya? Hampir sama dengan Agha. Tapi..."
"Tapi apa?"
Indra menyimak dengan serius.
"Dia punya satu hal yang Agha gak punya."
Sebelah alis Agha terangkat.
"Suara."
Kedua cowok di depannya langsung terdiam.
"Satu kampus UI Depok kenal sama dia. Kalo lo bisa jadiin dia sebagai partner, gue yakin kita menang telak. Sebaliknya.....," ia menghela nafas. "Gue baru aja dapat bocoran kalo dia juga mencalonkan diri sebagai pesaing lo di PEMIRA kali ini, Gha."
Itu kabar buruk.
@@@
PEMIRA : PEMIlihan RAya