Cinta Segitiga

2607 Words
Politikus itu minus dimatanya. Mau titelnya sepanjang apapun, ia sulit percaya. Apalagi yang modal tampang seperti Agha. Ia tak bermaksud merendahkan. Hanya saja, ia merasa seperti sedang dimanfaatkan. Boleh jadi proposal yang sedang ia baca ini memang bagus. Ia mengakui. Tapi ia tak butuh kata-kata. Sekalipun deretan prestasi yang Agha menangkan tertulis di sana. Ada juga deretan aksi yang telah Agha canangkan. Mulai dari riset kecil-kecilan hingga pemberdayaan masyarakat. Cowok itu kan masih aktif mengurus Yayasan Pelangi milik Farras. Ya, ia sudah lama bergabung di sana bersama beberapa sepupunya. Sebulan sekali pasti berkunjung untuk menghibur dan mengajar di sana. Tapi kontribusinya masih belum terlihat, itu perspektif Amri. Sebagai cowok yang sudah menjalani banyak pengalaman hidup terpahit, ia yakin kalau Agha tak sekuatnya dalam memimpin. Ia sebegitu percaya dirinya. Tapi itu kan hanya perspektifnya saja. Kenyataan? Belum tentu sama. Ia menutup map yang berisi proposal itu. Ia tak tertarik. Jawabannya masih sama dengan beberapa hari yang lalu ketika rombongan Agha tiba di rumah belajarnya. Meski saat ingin membalas pesan dari Masayu justru membuatnya membeku. Entah kenapa, sebagian kecil dari hatinya belum benar-benar ingin menolak dan ini membuatnya ingin mencari tahu lebih dalam. Jadwalnya hari ini adalah bimbingan penelitian yang sedang berjalan. Sebagai anak ekonomi, ia sudah menyelesaikan pengambilan data. Yang tersisa justru eksperimennya untuk skripsi Teknik Lingkungan. Yeah, seperti yang dikatakan Masayu, ia memang anak double degree, kampus UI dan Trisakti. Berkas beasiswa yang ia upayakan sendiri, ia bisa berkuliah di dua kampus sekaligus tanpa kendala. Keren? Bisa dibilang begitu. Ketika lulus nanti, gelar di belakang namanya langsung bertambah dua, yaitu SE dan ST. "Lo Amri?" Keningnya mengerut ketika ia bahkan baru saja keluar selangkah dari perpustakaan. Ia hendak mengejar dosen pembimbingnya yang sibuk hari ini. "Ada apa?" Cowok itu tersenyum tipis. Ia mengulurkan tangannya. "Gue Andros." Amri hanya berdeham. Ia membalas jabatan tangan itu tanpa perlu menyebut namanya. Kemudian berjalan menuju departemen di mana dosennya berada. "Ada hal penting yang pengen gue obrolin ke elo." Amri mengerutkan kening. Ia menghentikan langkahnya. Jelas bingung. Kemarin-kemarin ada yang datang dengan menanyakan kesediaannya untuk menjadi wakil ketua BEM universitas. Lalu hari ini apalagi? "Apaan?" Ia sama sekali tak suka basa-basi. Andros tersenyum kecil menanggapinya. "Tahu ustad kondang dari Kalimantan Barat? Beliau mengatakan kalau seorang pemimpin diibaratkan sebagai jari telunjuk yang bertugas untuk mengurusi segala hal yang berkaitan dengan kepentingan rakyat." Amri menghela nafas. Ia melanjutkan langkah. Andros mengikuti langkahnya dari belakang. Ia sudah tahu kepribadian lelaki ini dari banyaknya rumor dan penilaian pertama. Penilaian pertama mungkin bisa salah. Tapi Andros tak pernah meleset dalam persoalan ini. Amri menyahutnya dengan santai. "Dengan kuasanya, seorang pemimpin tidak hanya dapat membuat sebuah daerah menjadi makmur dan sejahtera, ‎tapi juga dapat mengantarkannya ke jurang kehancuran," tuturnya dalam dengan sorot mata tajam menatap Andros yang terpaku. Mungkin kaget karena Amri akan mengatakan hal itu. Benar-benar di luar dugaannya. "Apalagi kalau yang memimpin bukan orang yang memiliki kemampuan untuk memimpin." Andros tersenyum kecil. Menyukai pola pikirnya yang kritis meski penuh dengan persepsi negatif. "Ada banyak pemimpin di dunia yang berhasil memakmurkan dunia dengan kebaikan yang mereka lakukan." "Ada banyak juga pemimpin yang kejam dan menakuti rakyatnya. Meski begitu, mereka tetap dalam kemakmuran." Andros mengangguk-angguk. Benar juga. Tapi penilaiannya lagi-lagi tak berubah. Amri hanya melihat dari sisi negatifnya. "Tapi akan seberapa lama bertahan kepemimpinan dengan cara yang buruk namun bisa memakmurkan rakyat itu? Contoh saja Firaun. Yang akhirnya mati dilahap Laut Merah." "Itu konteks yang terlalu jauh," tukasnya. Lalu berhenti tepat di depan pintu departemen. "Bagi gue, siapapun pemimpinnya, gak ada urusan sama hidup gue," tuturnya lantas bergerak masuk. Andros menahan bahunya. Amri menoleh untuk ke sekian kali. "Apa? Mau nawarin gue jabatan? Sorry, sama sekali tidak berminat," tegasnya. Andros justru tersenyum kecil. @@@ Setelah mendengar cerita Andros..... "Lo nyamperin gue cuma untuk nyuruh gue ngerayu cowok gitu?" Andros terbahak mendengar kata-katanya. Maksudnya tentu bukan itu. Tapi sudah ditanggapi dengan nada sarkatis. Berhubung suasananya sedang panas di kantin dan Humaira sedang pusing kepala dengan banyaknya tugas kuliah. "Ayo lah, Maii. Lo tahu maksud gue?" "Gue gak punya waktu, Androooos. Tugas numpuk gini." Andros terkekeh. "Gue bantu." Humaira menatapnya dengan sangsi. Andros tertawa. Oke, itu memang sesuatu yang impossible. Apalagi ia sama sekali tak paham Kimia. Niat hati masuk IPS sejak SMA juga untuk menghindar dari pelajaran yang satu itu. "Dan lagi, lo tuh diplomat ulung. Masa gak bisa ngerayu? Ngegombali cewek aja jago." "Nah itu!" Andros terkekeh. "Susah ngerayu cowok. Geli yang ada. Masa jeruk makan jeruk sih?" "Haha," Humaira tertawa garing. "Lucu." Lalu wajahnya kembali serius. Andros gemas melihat perubahan ekspresinya. Ia rela datang memutar jalan dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis untuk datang ke sini. Gilak gak tuh? "Ayo dong, Mai. Gue janji gak akan bilang Mas lo kalo lo mau ikut demo besok." Maira melotot seketika. Andros memainkan alisnya. Anggap saja itu ancaman. Tapi Maira melengos kemudian. "Bodo amat. Nanti Mas juga pasti tahu." Andros terkekeh. Ya emang sih. Seorang aktivis ulung yang hobi meneliti kasus korupsi pejabat negara seperti kakaknya Humaira ini pasti tahu kalau cuma persoalan Humaira yang gemar ikut demo. Bagi Humaira, demo itu kayak candu kebaikan. Ia suka berorasi dan menyemangati teman-temannya untuk menyuarakan hati nurani yang masih tersisa di dalam d**a. Baginya, suara rakyat dan kebenaran memang harus disuarakan. Ada banyak tindakan aksi yang bisa dilakukan. Tapi menurut Humaira, yang menjadi pejabat pemerintahan saat ini lah yang memiliki porsi terbesar untuk mengubah bangsa ini menjadi lebih baik. Karena kekuasaan memang ada ditangan mereka dan bukan berarti mereka selalu benar dengan segala keputusan mereka. Mereka juga harus diingatkan ketika salah jalan. Agar tidak membawa negara ini ke dalam jurang kehancuran. "Yaah payah. Nolak mulu lo." "Biarin!" Ia memeletkan lidah. Andros tersenyum kecil melihat Humaira yang terkadang memang kekanakan. Gadis itu masih fokus dengan laptopnya. "Asal permintaan gue waktu itu gak ditolak ya?" tuturnya lantas beranjak dari bangku dan mengejar Bani yang kebetulan melintas. Humaira menghela nafas. Sungguh ia dilema. Sulit untuk memilih di antara keduanya. Meski yaa sampai sekarang, Humaira masih condong pada Andros. Karena ia paling lama mengenal lelaki itu. Kalau Agha? Humaira baru berselancar sendiri untuk mengenal Agha. Ia baru tahu kalau lelaki itu dirumorkan sebagai salah satu cucu konglomerat Indonesia. Berstatus sebagai mahasiswa Kedokteran di kampus mereka. Yaaah kalau melihat tampangnya kemarin-kemarin juga Humaira tahu kalau cowok itu bukan anak sembarangan. Penampilannya sudah menunjukan kelas yang berbeda. Tapi anehnya, Agha itu memiliki sesuatu hal yang sampai saat ini masih menjadi tanda tanya bagi Humaira. Maksudnya, lelaki itu terlihat memiliki aura yang sangat baik. Aura lelaki baik-baik. Berbanding terbalik dengan penampilannya yang keren dan lebih mirip artis mau syuting atau modelling itu. Aneh bukan? Karena Humaira merasa ada yang langka darinya. Tapi tak tahu apa dan masih tak paham pula. Masih gelap. Jadi ia tak memikirkannya lagi lebih jauh. Kalau memang tidak ada hal menarik lain selama seminggu ke depan, ia mungkin akan memutuskan untuk membantu Andros saja. Pada akhirnya, faktor teman memang menjadi alasan utama. "Oh, kenapa Dros?" "Eh lo mau ikutan jadi timses gue?" Bani meneguk ludah dalam-dalam. Ia sudah menerima tawaran dari Agha lebih dulu dan lagi, ia memang lebih dekat dengan Agha. Meski lebih lama mengenal Andros. Ia kan mengenal Andros karena Andros sering terlihat bersama Humaira. Satu fakultas juga tahu bagaimana hubungan Andros dan Humaira. Judulnya sahabatan. Tapi tak ada satu pun yang percaya kalau itu adalah murni sahabat. Ia tahu kalau Andros memang punya rasa pada Humaira sejak dulu. Tapi kalau Humaira? Tak ada satu orang pun yang yakin. Gadis itu terlalu santai dalam menghadapi cowok manapun. Mungkin bahkan tak pernah terpikir kalau mereka akan tertarik padanya. Padahal satu fakultas ini pun mengenal Humaira. Mungkin karena keaktifannya di organisasi juga. Tapi namanya juga sempat heboh gara-gara Saras mengirim fotonya ke media sosial mahasiswi UI cantik. Siapa pun yang masuk ke sana dijamin, akan membuat heboh seisi kampus. Karena akun media sosial yang satu itu memang terkenal. Bahkan dalam beberapa acara yang sering diikuti Humaira, ia selalu membuat geger dengan kehadirannya. Karena para panitia membocarakannya dan mencari-carinya untuk melihat sosoknya secara langsung. "Yaah sorry nih," tuturnya. Lebih baik jujur dari pada Andros tahu dari orang lain atau bahkan ketahuan di kemudian hari. Iya kan? "Kenapa?" Bani menghela nafas. "Gue udah jadi timses yang lain." "Oh?" Andros malah tampak kaget. Lelaki itu tak tahu saja kalau Humaira juga ditawarkan. Tawaran itu datang kan gara-gara Bani juga. Bani sudah lama mengenal Humaira. Mereka sama-sama anggota BEM FMIPA. Meskipun berbeda jurusan. Karena Bani itu anak Biologi. "Siapa?" Bani mengangkat telapak tangannya. Maksud hati mau bertos ria. Ia juga mau pergi ke Salemba. Sudah ada janji dengan Agha untuk menyelesaikan pemberkasan. "Nanti lo juga tahu." Andros mengangguk-angguk. Menghormati keputusan Bani. Toh ia juga tak melarang. "Gue jalan dulu," pamitnya yang dibalas anggukan oleh Andros. Cowok itu tampak berpikir. Apa ia sudah ketinggalan langkah? Akhirnya ia kembali ke kantin. Niat hati mau menghampiri Humaira. Tapi begitu melihat ke arah bangku yang tadi diduduki Humaira, gadis itu sudah menghilang. Ketika ia hendak berbalik, ia justru melihat Humaira sedang berjalan dengan seorang lelaki. Yeah, pesaingnya. Cowok yang masih menjabat sebagai bendahara BEM universitas dan paling ganteng se-Fakultas MIPA. Namanya? Andi Hanafi Almairi. Anak Fisika yang satu itu memang sudah sejak lama menyukai Humaira. Meski tak pernah berterus-terang dengan perasaannya. Andros menghela nafas. Ia benar-benar membalik badan dan berjalan menuju parkiran motor. Ia tak bisa melarang Humaira untuk tak dekat dengan siapapun. Ia sadar betul kalau cewek itu cantik dan selalu menarik banyak perhatian dari banyak lelaki. Tahun kemarin, Andros bersaing dengannya saat perlombaan futsal antar fakultas. Namun sialnya timnya kalah. Yaa meskipun berat juga karena harus melawan timnya Humaira. Tapi ia ingin sesekali mengalahkan cowok itu. Selama ini, ia selalu kalah cepat. Bahkan saat pemilihan bendahara BEM universitas tahun lalu juga sama. Cowok itu yang terpilih. Makanya Andros memutuskan untuk mencalonkan diri sendiri ke BEM di fakultasnya. Meski bukan setingkat universitas, setidaknya jabatannya mumpuni sebagai ketua BEM. Walau yaah, cowok itu juga berpengalaman. Dari segi apapun, ia dan Hanafi itu hampir sama, kecuali satu hal. Hanafi selalu lebih cepat dan di depan dibandingkan dengannya. @@@ Bagaimana? Sekiranya akan bergabung kah? Ia baru saja mengirim pesan pada Humaira. Agha mengusap wajahnya lalu beranjak dari atas sajadah. Cowok itu berjalan keluar dari masjid sembari memikirkan banyak hal. Calon wakil ketua BEM belum ada sama sekali. Yang muncul malah pesaing baru. Kemarin-kemarin memang Agha belum mendengar kalau ada yang mencalonkan diri juga. Tapi ini? Ternyata ia salah. Ya kalau dipikir-pikir, tak mungkin juga tak ada pesaing. Selama beberapa tahun terakhir, selalu ada dua pasangan yang muncul dalam kompetisi memperebutkan tahta BEM universitas. Agha sendiri sudah percaya diri kalau fakultasnya pasti akan memenangkannya. Apalagi beberapa hari terakhir, anak-anak juga membicarakannya sekaligus menyemangatinya. Karena memang hal langka, anak dari Kedokteran mengajukan diri sebagai calon ketua BEM universitas. "Yu!" Masayu yang sedang memakai sepatu, menoleh. Bahkan bukan hanya Masayu tapi juga Shiren. Bedanya, gadis itu duduk di seberang masjid kampus. Namun ia bisa melihat kemunculan Agha yang baru selesai solat Ashar. Dulu ia sempat cemburu dengan beberapa perempuan yang berada di sekeliling Agha. Seperti Masayu, Lia, Devana sampai Jessi. Tapi ketika tahu kalau mereka hanya rekan Agha di BEM fakultas, kecemburuan itu hilang. Agha memang begitu. Dekat dan akrab dengan banyak orang. Mungkin karena dari wajahnya saja sudah menunjukan keramahan. Kata-kata yang keluar dari mulutnya juga membuat orang nyaman berada di dekatnya. "Kenapa, Gha?" "Lo udah ngehubungi si Humaira?" Kening Masayu mengerut. "Humaira?" ia malah bertanya balik. Agha berjalan mendekat lantas duduk tak begitu jauh darinya. Retno berdeham sembari menyenggol lengan Shiren. "Ngeliatnya gitu amat, Neng," godanya. "Agha gak bakal berpaling kali. Apalagi cuma sama Ayu," tuturnya. Shiren hanya berdeham mendengarnya. Ya iya sih. Ia juga tahu bagaimana hubungan keduanya. Memang dekat karena sejak dulu selalu tampak bersama. Agha nyaman berada di dekat Ayu karena satu frekuensi. Mereka juga sama-sama aktivis dan Agha sangat menyukai pikiran Ayu. Ayu selalu membawa ide segar dalam suatu hal. Dapat membantunya juga dalam menyelesaikan masalah. Ia juga sangat tergantung pada Ayu karena cewek yang satu itu selalu update perkembangan kampus dan orang-orangnya. Kebetulan Ayu memang kepo. Tapi kepo yang positif. "Temennya si Bani." Aaaaah. Masayu mengangguk-angguk. Ia mengeluarkan laptopnya lagi. Kemudian mencari file-file profil dari orang-orang yang sudah ia simpan di dalam laptop. "Lo yakin sama dia?" Masayu malah bertanya balik. Sebelah alis Agha terangkat. Tentu saja bingung. "Kenapa?" Masayu berdeham. Ia masih berkonsentrasi mencari profil Humaira yang sudah ia ringkas. Begitu dapat, ia langsung membuka file itu. Lalu menyerahkan layar laptopnya pada Agha. "Humaira Nasywa. Anaknya keren sih. Orator ulung. Juara KTI se-UI tahun kemarin. Aktif banget di banyak organisasi kampus dan selalu memegang jabatan penting. Bendahara terbaik di fakultasnya bahkan yaa gue bisa bilang sekampus lah. Karena belum ada yang bisa ngalahin rekornya soal ngumpulin duit. Gue denger, BEM MIPA berhasil boyong hampir satu miliar dana kas berkat kerja keras dia. Tapi entah kenapa, gue gak yakin dia mau bergabung sama kita." "Kenapa?" Ayu mengambil alih layar laptopnya dari Agha lalu membuka folder lain. Begitu ketemu, ia meng-klik sebuah foto dan kembali menyerahkannya pada Agha. Kening Agha mengerut melihat foto Humaira berada di tengah-tengah dua lelaki. "Yang kiri itu namanya Hanafi. Anak Fisika dan mungkin lo kenal." "Bendahara BEM sekarang?" Ayu mengangguk. "Gosip-gosipnya, tuh cowok naksir Humaira dari lama." Agha terkekeh. "Gue gak lagi ingin tahu kehidupan pribadinya, Yu." Masayu mengendikan bahu. Ia tak perduli. Karena menurutnya itu penting. "Yang kiri, lo masih inget kan?" Agha mengerutkan kening. Wajahnya tampak tak asing. Tapi ia lupa karena baru melihat sekali. "Itu Andros. Sahabat Humaira dari SMA. Lo pikir, ketika Andros juga maju dalam PEMIRA kali ini, siapa yang bakal dia pilih?" Agha terdiam. Oke, ia akui. Ini ada hubungannya dengan kehidupan pribadi. Ayu menghela nafas. "Mending cari yang lain deh, Gha. Mengharapkan cewek ini sama kayak mengharapkan bulan tauk. Mus-ta-hil." Agha berdeham. Ia melihat sekali lagi foto ketiga orang itu. Dari sudut pandang lelaki, ia bisa melihat ada hubungan yang tampak berbeda dari ketiganya. Maksudnya, foto ini diambil secara sengaja dalam sebuah momen yang mungkin tidak tepat? Karena di sini, kedua lelaki ini sama-sama ingin dekat dengan Humaira. Humaira? Cewek itu tampak biasa saja. Bahkan tak terbaca. Atau yaa mungkin Agha saja yang belum lama mengenalnya. "Lo ada calon lain?" "Itu Hanafi." Agha tertawa. "Gue serius. Kan gak masalah rekrut pejabat BEM." "Ya memang gak masalah. Tapi yang jadi masalah, dia itu pejabat BEM yang masih menjabat. Gak etis, Yu." Ayu terkekeh. "Tapi kalo bisa, kenapa enggak?" "Kenapa lo ngajuin dia?" "Karena dia masih jadi bendahara BEM. Lo bisa nawarin ke dia dua posisi sekaligus. Bisa jadi wakil lo atau bendahara lagi." Agha menghela nafas. "Yuu--" "Dengerin dulu! Kalo insting gue bener, lo narik si Hanafi, ada kemungkinan si Humaira juga mau nerima tawaran lo." Kening Agha mengerut untuk ke sekian kalinya. "Kenapa bisa gitu?" "Yaaa itu kalau si cewek ini juga suka sama Hanafi. Kalau gak ada rasa, yaaa berarti dia akan tetap ikut Andros." Agha ternganga. "Sejak kapan, seorang cewek bisa ikut ke mana pun cowok yang dia suka?" Ayu tertawa. Kalau Ayu memberitahu contoh konkritnya, ia akan menunjukan dirinya sendiri dan Agha mungkin akan syok sekali. Jadi akhirnya, gadis itu menunjuk Shiren dengan dagunya. Agha menoleh dan malah tak sengaja bersitatap dengan cewek itu. "Cewek itu kalo lagi suka sama cowok, ke ujung dunia pun dia ikutin, Gha. Apalagi yang cuma beginian doang? Maka itu, gue ngasih saran ini. Yaa cuma sebagai pilihan aja. Sekiranya lo masih berminat buat narik si Humaira bergabung sama kita, coba tawarin si Hanafi juga. Karena si Hanafi gak mungkin gabung sama Andros." Agha berdeham. Ia mengalihkan tatapannya lagi pada Ayu. "Kenapa gak mungkin?" "Cowok mana yang mau rekrut pesaingnya sendiri?" "Hah?" Agha tak paham. "Ini tuh cinta segitiga, Gha. Andros, Humaira dan Hanafi." @@@ Catatan: KTI : Karya Tulis Ilmiah
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD