Tanggung Jawab Akhirat

2623 Words
"A'aaaak mmuuuaaach!" Agha terkekeh melihat kelakuan dua adik kecilnya itu. Keduanya kompak memonyongkan bibir dan mengedipkan mata dengan genit. Cowok itu melambaikan tangan sebelum menutup kaca mobil kemudian melanjutkan perjalanan ke kampus. Hari ini ia punya jadwal kuliah pagi, jam sembilan. Ya tidak pagi-pagi amat jadi masih sempat mengantar dua adik kecilnya ke sekolah mereka. Tiba di kampus, ia sudah dicegat Masayu. Gadis itu tampak buru-buru karena ada kelas yang harus dihadiri. "Gue udah berkali-kali sih kirim pesan si Amri sampe email bahkan gue teror dengan telepon. Satu pun gak diangkat, pesan gua juga sama apalagi email." Ia mengeluh. Semingguan ini mencoba menghubungi Amri begitu mendapatkan kontaknya. Tapi tak ada hasil. Sementara mereka perlu untuk menyempurnakan berkas pendaftaran pencalonan ketua BEM universitas. Masih ada waktu satu bulan tapi itu mepet sekali. Belum lagi mempersiapkan kampanye. Agha menghela nafas. "Terus gimana?" Masayu berjalan di depannya. Melangkah sambil mundur agar bisa melihat Agha. Agha ganteng banget sih kalau pagi-pagi begini. Astagfirullah, ia khilaf. Hahaha. "Kalo kita samperin aja ke Bantargebang gimana?" Agha tampak berpikir sementara Masayu sudah mencerocos lagi. "Yaa itu satu-satunya jalan, Gha. Gak mungkin kan kita nyari-nyari dia ke fakultasnya? Belum tentu ketemu. Terus tiap detik, dia bisa pindah ke mana aja. Ya kan? Kalo ke Bantargebang, yeah gue tahu sih jauh dari sini. Tapi persentase ketemu dia lebih besar." Agha mengangguk-angguk. Benar juga. "Oke." Mata Masayu melebar. "Seriusan?" Agha tertawa. "Iya lah. Tapi tunggu kelar kuliah ya." Mata Masayu hampir lepas mendengarnya. "HARI INI?" teriaknya lalu menutup mulutnya sendiri. Agha mengangguk. Ia sangat serius. "Semakin cepat semakin bagus. Kita kan gak punya banyak waktu." Masayu mengangguk-angguk benar juga. "Ya udah. Nanti ketemu jam berapa?" Agha tampak berpikir. "Jam dua gimana? Jadwal kuliah lo udah kelar?" Masayu tampak ragu. Ingin mengangguk tapi.... Agha terkekeh melihat ekspresinya itu. "Kalo ada kuliah, gak apa-apa. Gue bisa jalan sama yang lain." Masayu nyengir. "Nanti gue titip absen aja deh," tuturnya. Terpaksa agak-agak berbohong hari ini. "Allah dengar loh, Yu." "Iiih! Elooo!" Agha tertawa. "Kalo emang gak bisa, gak apa-apa. Gak usah maksain." "Jangaaaan. Gue kan mau ketemu Amri juga. Pengen lihat apakah anaknya sama dengan ekspektasi gue." Agha terkekeh. "Jangan terlalu berharap sama yang namanya manusia." "Takut kecewa? Udah biasa kaleh," tukasnya santai. Agha terkekeh. "Ya udah deh, Gha. Nanti kirim pesan aja ya. Gue mau kuliah duluuuuu!" pamitnya lantas berlari cepat. Agha geleng-geleng kepala melihat ia sudah berlari duluan. Berhubung Agha masih punya waktu sebelum kelasnya dimulai setengah jam lagi, ia mampir dulu ke masjid kampus untuk solat Dhuha. Kemudian duduk-duduk santai di terasnya sembari memakai sepatu. Tanpa tahu kalau beberapa teman Shiren mendorong-dorong gadis itu. Mereka tampak berisik di koridor depan kelas. Shiren menahan tubuhnya sendiri agar tak terjatuh karena didorong-dorong. Ia bukannya tak mau mendekat. Tapi malu mendera. Seberapa lama pun mengenal Agha dan pernah bersamanya, ia tetap saja merasa malu dan gugup. Wajar kan? Karena itu lah rasanya bertemu dengan lelaki yang disukai. "Ya kalo lo cuma diem begini, gimana Agha bisa tahu coba? Deketin aja sana. Ajak ngobrol apa kek. Dia pasti masih suka sama lo, Ren. Coba deh lo pikir. Kalo Agha dapat barang-barang dari cewek gitu, dia kasih ke siapa? Elo kan? Itu kode!" Shiren berdesis sambil melotot. Ya iya tahu. Tapi setahun ini, sudah jarang. Mungkin karena Agha juga sudah jarang menerima berbagai hadiah dari para perempuan. Lebih tepatnya sih bukan karena itu. Semenjak Agha sukses menjadi ketua BEM fakultas, yang berhembus kencang tentu saja bukan sosok Agha yang ramah, ganteng dan soleh itu. Tapi juga masa lalunya. Apalagi teman-teman seangkatan mereka kan tahu bagaimana hubungan Shiren dan Agha yang sepertinya sama-sama belum bisa move on. Agha juga tampak masih sangat perhatian pada Shiren. Teman-teman Shiren juga sering meminta tolong pada Agha kalau terjadi sesuatu pada Shiren. Jadi itu adalah hal biasa yang akhirnya berhembus kencang ke segala penjuru. Sampai satu fakultas dari segala angkatan pun tahu kalau Shiren adalah satu-satunya mantan Agha. Keduanya putus dalam keadaan masih saling sayang. Agha memilih putus karena tahu hukumnya pacaran. Ia lebih memilih Tuhan. Semua orang di fakultas juga tahu itu. Fans-fans Agha otomatis bertambah tapi tak ada yang berani sampai mendekati karena tahu kalau ada Shiren. Meski Agha justru santai. Ia tak tertarik untuk mencari pendamping hidup saat ini. Sudah jelas kan apa motivasinya sekarang? "Agha!" Retno yang gemas akhirnya memanggil. Agha yang baru saja berbelok hendak ke kelas pun menoleh dan menatap Shiren juga teman-temannya. Hal yang tentu saja langsung menjadi tontontan. Banyak yang gemas dengan keduanya. Bagi mereka, kisah Shiren dan Agha itu romantis dengan cara yang baik dan terpuji. Sebelah alis Agha terangkat. "Kenapa, No?" Retno langsung mendorong-dorong tubuh Shiren yang malah menunduk malu. Agha menatap bingung. Masih tak paham dengan kode-kodean Retnonyang menginginkan keduanya jalan bersama lalu mengobrol ringan menuju kelas begitu. "Ini Shiren katanya mau ngomong sesuatu!" Shiren mendelik ke arahnya. Agha justru tersenyum kecil. Agha sudah biasa bersikap seperti ini. Ia dengan senang hati mau menuruti teman-temannya Shiren yaaa karena menaruh hati pada Shiren. Meski jodoh tak ada yang tahu. Ini lah yang dipegang Agha. Pembelajaran dari Abinya. Katanya.... "Jodoh itu gak ada yang tau, Aak. A'ak boleh aja keep ceweknya sampai nanti, tapi yang iyain itu Allah. Kita boleh jadi pengen sama cewek pertama yang kita sukai. Karena menurut kita, itu terbaik. Tapi Allah itu lebih tahu perempuan seperti apa yang sebenarnya kita butuhkan. Bukan yang kita inginkan. Cinta pertama mungkin kesannya manis. Tapi yang akhirnya bertahan sama kita yaa cinta terakhir, terlama hingga surga-Nya. Iya kan, Ai?" Setelah itu Akib mendapat jeweran dari Umminya. Hal yang selalu membuat Agha terhibur dengan tingkah kekanakan Abinya. Abi-Abi gaul kalau katanya Adrian. Saat serius dan selengekan itu seolah tak ada bedanya. Apalagi perkara jodoh. Baaaah! "Mau ngomong apa?" tanyanya begitu Shiren berjalan di sampingnya. "Enggak, itu biasa lah si Retno," jawabnya gugup. Agha terkekeh lantas geleng-geleng kepala. Masa ia belum hapal dengan kelakuan mereka setelah tiga tahun lebih bersama? @@@ Ia merapikan rambutnya di depan cermin. Kemudian berjalan keluar. Teman-temannya melambaikan tangan ke arahnya. Baru juga hampir sampai di parkiran, Rudi menghadang motornya yang hendak berjalan. "Mau ke mana, Booos?" "MIPA." Rudi langsung memundurkan langkah sambil terkekeh. Kalau sudah disebut nama MIPA ya jelas tahu tujuannya siapa. "O-okeeeh," ia nyengir. "Ada apaan?" tanyanya sembari memakai helm kemudian naik ke atas motor. "Enggak. Tadi mau nanya, calon wakil yang gue ajuin kemarin gimana?" "Nanti baru ketemu. Udah?" Rudi tertawa. Ia memberi hormat kemudian memundurkan langkahnya. Memberi jalan motornya Andros. Lelaki itu mengendarai motornya menuju Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Motor bebeknya masuk ke jalanan kampus. Melewati beberapa fakultas dengan jalanan melingkar mulai dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis lalu Fakultas Teknik. Motornya agak menelan ketika melaju di depan fakultas itu, pengaruh banyaknya mahasiswa yang hilir-mudik menyeberang dari arah Kukusan Teknik, jalan kecil yang ada di seberangnya dan langsung menyambung ke keramaian kos-kosan. Rata-rata kos-kosan anak teknik ya di sana. Karena memang lebih dekat dengan fakultasnya. Dekat pula dengan Klinik Makara UI. Kemudian berbelok lagi ke kiri, mengikuti rute jalanan melingkar, Andros melewati Stadion UI di sebelah kirinya. Tempat pesta olahraga. Lurus lagi dan Andros akan melewati jalan masuk menuju Pusgiwa atau Pusat Kegiatan Mahasiswa. Markas BEM universitas dan kegiatan mahasiswa lainnya ada di sana. Biasanya suara marching band akan menyapa Andros begitu memasuki jalan itu. Lurus lagi, melintasi danau dan di sebelah kanannya muncul jalan menuju Sekolah Vokasi UI. Namun tujuan Andros tentu saja bukan itu. Melainkan gedung FMIPA. Tak perlu waktu lama untuk sampai di sana. Ia langsung memarkirkan motornya. Kemudian menaruh helmnya dan berjalan masuk. Ia membuka lagi pesan terakhir yang masuk. Kalo mau ketemu, gue di kantin, Dros. Andros tersenyum kecil. Ia sudah sangat hapal seluk-beluk fakultas ini. Tujuannya hanya berjalan lurus menuju kantin. Beberapa bulan lalu, saat ia ke sini, kantin masih direnovasi. Begitu tiba, renovasinya sudah selesai. Jauh lebih besar dan tidak pengap tentunya. Dari kejauhan saja ia sudah melihat gadis berjilbab di pojokan yang sangat fokus dengan laptopnya. "Ngapalin rumus kimia harus banget di pojokan?" "Anak jurusan Kimia itu belajarnya bukan hanya rumus-rumus Kimia tauk," omelnya yang membuat Andros tertawa. Ia mengambil duduk di depannya, menatap cewek yang masih fokus dengan laptopnya dibandingkan dengan cowok manis idaman sskalitas Ilmu Budaya UI. "Ngapain ke sini? Gak untuk belajar Kimia kan?" Andros terkekeh. "Sejak kapan anak Sastra belajar Kimia?" "Ya siapa tahu, lo disuruh menerjemahkan rumus-rumus Kimia ke dalam bahasa Belanda." Andros tertawa. "Je betekent ontzettend veel voor me," tuturnya. Sengaja untuk memancing. Lalu apa katanya? "Berhenti kadalin gue." Andros langsung terbahak. Ia suka sekali dengan cewek blak-blakan yang satu ini. "Emang tahu artinya?" Ia hanya mengendikan bahu. Matanya sama sekali tak menatap Andros karena sibuk dengan tugas di depan. Sebagai aktivis kampus, ia sangat menghargai waktu. Karena terkadang rapat-rapat organisasi itu datangnya mendadak, tak tahu waktu dan sangat menyita waktu. Dan baginya, meladeni raja kadal satu ini sungguh tidak penting. "Eh mau makan?" "Lo gak liat ini ada dua piring di sini?" Andros tertawa lagi. Cewek ini memang hiburan baginya. "Lo makan sendiri atau bertiga?" "Itu tahu jawabannya." Ia mengeluarkan kata-kata ambigu. Andros terkekeh. Tak protes. Ia sudah terbiasa dengan gaya bicaranya. Kalau sudah akrab, Humaira memang agak-agak bengal. Yaaah dulu lebih parah sih. Andros saja kaget saat masuk kuliah dan bertemu lagi, tahu-tahu gadis ini sudah berjilbab. Bahkan penampilannya langsung selurus ini. Ia mengeluarkan Ipad-nya kemudian menunjukan sesuatu. "Gue berencana daftar pencalonan ketua BEM universitas." "Oh ya?" "Liat dulu bentar," tukasnya. Perempuan itu mengalihkan tatapannya pada layar Ipad yang ditunjukan Andros. Andros menjabarkan visi dan misinya untuk menjadi ketua BEM. Ia tahu kalau ada perjuangan untuk meraih gadis ini agar mau menjadi tim suksesnya. Ia membaca visi yang dicanangkan oleh Andros. Apa? Menjadikan BEM sebagai wadah penerima aspirasi mahasiswa, sekaligus penggerak dan pelaksana aspirasi mahasiswa yang relevan bagi mahasiswa dan universitas, juga menciptakan BEM sebagai organisasi yang jujur, adil, disiplin, dan berakhlak mulia dalam lingkup masyarakat maupun kehidupan kampus. Lalu misinya: 1. Membuka diri terhadap masukan yang diberikan mahasiswa maupun universitas demi pengembangan diri BEM yang lebih baik untu kke depannya. 2. Mendukung kemajuan organisasi yang berada di bawah naungan universitas. 3. Menjalin komunikasi yang harmonis dengan organisasi secara internal maupun eksternal guna mewujudkan visi misi BEM dan juga visi dan misi organisasi. 4. Mengadakan kegiatan sosial yang memberi dampak positif terhadap lingkungan sekitar. 5. Menjadi mahasiswa/ mahasiswi yang aktif, kreatif, dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa, tidak hanya secara individu, namun secara menyeluruh. Lalu apa komentarnya? "Bagus." Andros tersenyum lebar. Ia mengamati perempuan yang kembali sibuk dengan laptopnya itu. "Gue sebetulnya kepengen elo gabung di tim gue. Jadi timses terus kalo gue kepilih, gue kepengen elo jadi bendahara BEM, Mai. Lo kan suka berkreasi tuh buat nyari duit. Ada aja caranya, dapeeet lagi. Kapan lagi menyalurkan hobi? Jadi bendum BEM fakultas kan udah kelar tuh. Gue hanya menyambung keinginan terpendam lo buat masuk IPS waktu SMA tapi gak kesampaian." Maira tertawa. Ia merasa lucu kalau ingat itu. Ada orang yang mati-matian ingin masuk IPS? Ada. Mungkin memang tak begitu banyak dan ia salah satunya. Tapi malah dijebloskan ke IPA oleh wali kelasnya saat itu. Alasannya sederhana, gurunya tahu kalau nilai Kimia Maira itu tinggi-tinggi. Dan mungkin tidak salah. Berkat itu, Maira nyasar ke sini. Menjadi salah satu mahasiswi di MIPA UI. "Gimana?" Maira tersenyum kecil. Mencari uang dan berpikir kreatif itu karena ia terasah untuk melakukannya sejak kecil. Disaat anak-anak lain mungkin mendapat uang jajan dengan mudah, ia? Tidak. Kehidupannya tidak sama dengan anak-anak kebanyakan. "Gue minta langsung nih ke elo sebagai temen lama dari SMA." Humaira terkekeh. Ya ia tahu kalau mereka memang teman lama. Tapi Humaira itu punya prinsip jika urusannya menyangkut orang banyak, ia tak mau memilih pemimpin hanya berdasarkan hubungan kedekatan atau kekeluargaan dong. Bahkan itu bisa menjadi salah satu bentuk nepotisme meski terlihat sah-sah saja. Namun bagi Humaira, ada tanggung jawab akhirat yang harus menjadi patokan. Humaira tahu, ia akan mempertanggungjawabkan semuanya suatu saya nanti. Jadi ini sama sekali bukan urusan yang mudah. Lalu gadis itu pun mendongak. Sama seperti pertanyaan yang ia lontarkan pada kandidat lain yang beberapa hari lalu menawarkan posisi yang sama dengannya. "Kenapa lo milih gue?" Masa Andros bilang karena cinta sih? Hahaha. Kan terlihat tidak profesional jadinya. Kemudian ia tersenyum kecil. Ia sudah lama berkenalan dengan Humaira. Cewek kritis yang satu ini sama sekali tak mudah untuk dihadapi. "Karena gue tahu kalo lo punya potensi, Mai. Dari semua kinerja lo yang gue lihat, kebersamaan kita berdua dan yaaah gue udah lama banget kan kenal sama lo. Gue percaya sama lo kalo lo bisa mengemban tugas ini." Tapi sayangnya, bukan jawaban ini yang ia cari. Meski ia tak bisa menampik kalau dilema melandanya. Prinsip memang tetap lah prinsip karena urusannya sama Tuhan. Tapi ia juga tak bisa menampik kalau kedekatannya dengan Andros bisa saja mempengaruhi keputusan akhir yang ingin ia ambil. @@@ Tepat jam dua siang mereka berangkat dengan mobil Agha. Yang ikut perjalanan dadakan ini tentunya Masayu, Lia, dan Indra. Tujuan mereka adalah sebuah rumah belajar yang lokasinya di sekitar Bantargebang. Sampai saat ini, Bantargebang masih menjadi tujuan favorit para sampah. Sampah-sampah yang berasal dari sekitar Jabodetabek dikirim ke sini. Hanya saja, pengelolaannya jauh lebih modern. Namun Indonesia tetap lah Indonesia. Masih tertinggal dengan negara-negara maju seperti Denmark, Belanda dan Jepang dalam urusan lingkungan. "Kalo gue denger nih ya, gue puterin nih," ia memutar salah satu video rumah belajar di mana pendirinya berbicara tentang kenapa ia mendirikan rumah belajar untuk mendidik anak-anak pemulung yang tinggal di sekitar Bantargebang untuk bisa membantu pengolahan sampah yang ada. "Menurut gue, gaya ngomongnya bagus. Mungkin agak gugup kalo di hadapan banyak orang. Termasuk saat dia sedang direkam begini. Kelihatan banget dari bahasa tubuhnya," jelasnya. Video diputar di layar depan. Dekat pemutaran musik juga. Tapi ada layar berbentuk ponsel. Ukurannya juga lumayan besar. Agha jadi ikut bisa melihat video itu diputar. Masayu masih mengobral tentang Amri. Orang yang ia klaim sebagai penemuannya. Hahaha. "Sampah masih menjadi salah satu masalah terbesar yang mencemari lingkungan Indonesia. Hampir semua wilayah di Indonesia mengalami kendala dalam mengelola sampah. Itikad untuk mengurangi sampah dan mengelolanya menjadi sesuatu yang bernilai guna pun kini sudah masif dilakukan di beberapa daerah. Salah satu contohnya adalah yang kami lakukan di sekitar tempat tinggal kami. Berlatar belakang dari minumnya pengelolaan sampah organik, membuat saya berpikir untuk membantu meringankan beban pemerintah melalui ide sederhana yang bahkan bisa dilakukan oleh anak-anak. Tentunya tidak dengan alat-alat yang berbahaya. Mereka bisa ikut mengubah sampah menjadi bahan bakar alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada sumber daya energi tidak terbarukan." "Bagus sih," tutur Indra. "Mungkin orangnya terlalu kaku kali ya?" "Rumornya emang begitu. Bahkan orang-orang kalo dengerin dia ngomong itu bisa sampe tidur." Indra tertawa. Agha juga. "Lo dapat rumor dari mana sih, Yu?" Agha heran. Masayu ini punya informan di mana-mana. Jangan tanya pula orang-orang yang menjadi informannya siapa, ia tak akan memberitahu. Alasannya sih rahasia. "Ck! Itu gak penting," tukasnya seperti biasa. Agha geleng-geleng kepala. "Yang penting, gimana orang pilihan gue? Keren kan?" Agha terkekeh. Ia akui itu. Tadi juga ia semapt mengecek profilnya. Meski banyak tersebar di internet, sosok ini memang tak begitu banyak dibicarakan. Maksudnya, ia hanya populer ketika beritanya muncul. Lalu tenggelam begitu saja. "Dia udah punya privilige tapi gak pernah makek itu. Orangnya juga sederhana. Kurang tahu sih apa prinsip hidupnya. Tapi yang jelas, dia peduli sama masyarakat dan lebih suka memakai caranya sendiri. Bukan kayak kita yang hobi terjun ke dunia aktivis kampus untuk membantu menyalurkan aspirasi banyak orang. Kalau dia? Kuantitas bukan tujuan utama tapi kualitas. Yang penting idenya masuk akal dan bisa diterapin," Masayu menjentikan jari. "Dan satu lagi, dia orangnya gak bisa ditekan sana-sini. Coba bayangkan kalau dia jadi salah satu pejabat di masa depan?" Agha tersenyum mendengarnya. Andai bibit-bibit pejabat pemerintahan saat ini seperti Amri. Indonesia tak akan mundur ke belakang dari segi akhlak pemerintahannya. @@@ Catatan : Je betekent ontzettend veel voor me : kamu sangat berarti bagiku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD