"Duh, sial. Jangan sampai itu Minah kampung besar kepala karena aku merawatnya. Mama ... Mama membuatku di posisi yang menyebalkan ini." Raditya menuju ke dapur untuk menghangatkan bubur buatan mamanya.
Kruyuukk
Perut Minah yang kelaparan kini berbunyi dengan nyaring. Pantas saja ia kelaparan. Sedari pagi ia hanya makan roti sandwich untuk sarapan pagi tadi. Ingin ia turun dari ranjang, namun langkahnya terhenti ketika Raditya membawa satu nampan berisi bubur dan air putih untuknya.
"Mau kemana? Entar pingsan lagi? Menyusahkan aku lagi?" Ucapan Raditya seperti biasa menusuk telinga.
"Aku ha-haus," ucap Minah lemas.
"Diam di tempat! Aku nggak mau jika kamu pingsan dan membuatku harus menggendongmu lagi," perintah Raditya tidak mau dibantah.
"Huh, kasar sekali. Ndak bisa apa bicara lebih halus," batin Minah.
"I-iya," jawab Minah kesal namun takut.
"Nah, makan. Habiskan! Atau Mama akan mengomeliku." Minah tak lantas menerima nampan dari Raditya. Ia ragu bisa tidak memakan makanan itu.
"Ambil! Kamu berharap seperti di film-film begitu? Kamu pikir aku akan menyuapimu? Jangan harap!"
"Iya Dit. Aku juga tidak mengharapkanmu untuk menyuapiku kok. Hanya saja ... rasanya aku tidak bisa memakannya Dit. Mulutku pahit sekali."
"Hah, makan saja sih. Setelah ini kamu harus minum obat. Jadi makan! Habiskan!" Minah meneguk ludahnya dengan susah payah, melihat makanan saja membuatnya mual. Apalagi harus menghabiskan satu mangkuk penuh.
"Makan!" Raditya yang tak sabar meletakkan nampan di pangkuan Minah.
Raditya berniat keluar dari kamar Minah, namun sebelum keluar dari pintu ia menoleh lagi. "Makan! Nanti aku ke sini lagi. Dan semua harus habis. Awas saja jika kamu tak memakannya."
Setelah berkata begitu, Raditya keluar dan menutup pintu kamar Minah.
"Bisakah aku memakannya?" Minah menyuapkan bubur ke mulutnya. Beruntung, bubur buatan Rasti enak. Hingga tak membuat Minah ingin muntah ketika menyuapkannya. Namun ia serta merta membuat gadis itu bersemangat untuk makan. Karena mulutnya terasa sangat pahit. Dengan air mata, gadis itu memaksakan satu mangkuk bubur memenuhi perutnya.
Selesai makan Minah meneguk air putih yang Raditya bawakan. Mencoba mengusir rasa mual yang mungkin ada. Minah duduk bersandar pada kepala ranjang, mengelus perutnya yang kekenyangan. Sungguh ia ingin menuruti semua perkataan Raditya. Karena dengan melihat tatapan matanya saja Minah merasa sangat terintimidasi.
"Sudah habis?" Raditya kembali ke kamar Minah untuk mengecek apakah Minah sudah menghabiskan makanannya belum.
"Sudah, kamu bisa lihat sendiri."
"Kamu nggak membuangnya ke tong sampah atau ke toilet, kan?" tuduh Raditya.
"Tidak Dit! Kamu bisa lihat sendiri di tong sampah itu." Raditya melirik tong sampah yang berada di dekatnya.
"Baguslah kalau begitu." Raditya mengambil bungkusan obat yang berada di nakas dan mengupaskannya untuk Minah. Kini tiga butir pil berukuran kecil ia sodorkan pada Minah.
"Nah, minum!"
"Perutku masih kenyang sekali Dit. Bisa kamu letakkan di situ saja? Nanti aku minum sendiri."
"Kamu ini ya? Kebanyakan protes. Kalau aku suruh lakukan saja!" omel Raditya.
"Iya, iya deh." Minah mengambil segelas air lalu menelan pil satu per satu.
"Bagus! Sekarang tugasku sudah selesai. Katakan pada mama kalau aku sudah melakukan tugasku dengan baik. Ingat! Katakan yang baik-baik tentangku."
"Iya."
"Oh ya, nanti setelah kamu merasa sudah kuat. Mangkuk dan gelas ini kamu bawa ke dapur dan cuci sendiri. Karena Bi Murni juga sedang cuti. Lagi pula kamu sudah lumayan kuat."
"Iya Dit. Aku akan melakukannya."
"Bagus, aku pergi." Raditya keluar dari kamar Minah dan kembali ke kamarnya sendiri.
"Terima kasih Dit. Terima kasih sudah menolongku dan juga merawatku. Aku tahu di balik kata-katamu yang kasar, kamu itu orang baik," batin Minah tersenyum melepas kepergian Raditya.
***
"Minah! Cepat!" panggil Raditya yang sudah duduk di atas motornya. Lelaki itu sudah memakai seragam dan juga helm-nya.
"I-iya Dit." Gadis itu tergesa-gesa keluar dari rumah sembari menyandang tas ransel miliknya.
"Ayo! Kamu mau kita terlambat?" tanya Raditya kesal.
"Dit, aku bareng Pak Tono sama Rachel saja ya seperti biasanya."
"Hei, hei! Kamu lupa janji kamu?"
"Janji? Aku sepertinya tak pernah berjanji apa pun pada Radit," batin Minah.
"Janji? Janji apa?" Raditya memutar bola matanya dengan kesal.
"Hah, baru kemarin sudah lupa. Karena kamu sudah sehat, mulai hari ini kamu harus menjadi kaki tanganku. Berangkat sekolah bersamaku. Tugas kamu, bawakan tas aku sampai ke kelas. Dan akan ada tugas-tugas lain nanti."
"Kalau hanya menbawa tas, kamu kan bisa melakukannya sendiri, Dit?" protes Minah.
"Hei! Siapa yang berkuasa di sini?" tanya Raditya.
"Iya, iya aku akan melakukannya." Minah tak ingin berdebat lebih lanjut.
"Hei, Minah kampung! Ayo! Kamu pikir kamu itu tuan putri?" panggil Rachel seraya membuka pintu mobil. Pandangan matanya tajam menatap Minah yang tak segera masuk ke dalam mobil. Gadis cantik dan modis itu berani bicara kasar pada Minah karena kedua orang tuanya belum pulang dari desa.
"No! Kamu pergi sendiri sana! Karena mulai hari ini si Minah akan jadi kaki tanganku. Berangkat sekolah juga bareng aku."
"Hahaha, Kak Radit bercanda?" Rachel tertawa mendengar ucapan kakaknya.
"Enggak, serius kok."
"Kakak nggak malu pergi sekolah bareng gadis udik ini? Kalau tersebar gosip yang bukan-bukan bagaimana? Nanti seisi sekolah akan mengira jika Minah pacar Kakak."
"Rachel be-benar Dit! Aku bareng Rachel saja ya?" pinta Minah. Ia mempunyai firasat jika hari-harinya tidak akan mudah dalam menghadapi sikap Raditya.
"Nggak! Biarkan saja. Mereka tidak akan berpikir macam-macam. Karena aku akan bilang kalau kamu hanya pembantuku." Deg. Ucapan Raditya begitu mengena di hati Minah. Membuat hati gadis itu sakit sekali. Padahal memang kenyataan jika ia bukan siapa-siapa Raditya. Tapi ketika ucapan itu keluar dari mulut Raditya, hatinya terasa sangat sakit.
"Hahaha, baiklah. Baiklah! Selamat menjadi mainan Kak Radit, Minah. Selamat datang di hari-harimu yang akan sangat menyenangkan." Rachel tertawa bahagia dan segera masuk ke dalam mobil. Tak berapa lama mobil yang dikendarai Pak Tono melaju meninggalkan rumah yang begitu besar itu.
"Ayo! Kamu mau bengong saja di situ?" ucap Raditya marah.
"Tapi aku tidak punya helm, Dit. Bagaimana aku bisa bareng kamu."
"Nah, pakai! Tidak usah banyak alasan." Raditya menyerahkan sebuah helm yang sudah ia persiapkan khusus untuk Minah.
"Baiklah ...."
Minah segera naik ke atas motor Raditya.
"Hei! Kamu mau jatuh jika duduk seperti itu?"
"Tapi aku kan pakai rok."
"Alah, banyak gadis-gadis lain yang juga memakai rok tapi bisa berboncengan nyaman dengan pacarnya."
"Tapi aku bukan pacar kamu, Dit."
"Sial! Apa yang baru saja aku katakan?" batin Raditya mengutuk dirinya sendiri.
"Terserah kamu saja." Raditya melajukan motornya menuju ke sekolah dengan kecepatan tinggi. Mengabaikan Minah yang sebenarnya ketakutan.