Bab 8

1000 Words
"Sayang, kita jalan-jalan dulu ya? Kamu temani Tante belanja ya?" kata Rasti memakai sabuk pengaman. "I-iya Tan," jawab Minah. "Sayang, pakai dong sabuk pengaman kamu!" perintah Rasti disertai senyuman. "Ma-af Tan, Minah ndak bisa pakainya," ucap Minah malu, wajahnya memerah menyadari betapa memalukannya ia. "Ya ampun. Sini Tante ajari. Ini tarik dan masukkan ke sini sampai berbunyi 'klik'. Kalau mau lepas tinggal pencet yang ini. Bisa kan sayang?" Rasti mengajari Minah dengan lemah lembut. "Iya Tan. Terima kasih. Maaf Minah memalukan ya Tan." kata Minah benar-benar malu. "Eh, nggak papa. Wajar kalau kamu belum pernah melakukannya. Nanti semua yang kamu nggak tahu akan Tante ajarkan. Jangan sedih, okay? Apa pun yang Minah tak tahu boleh tanya sama Tante," hibur Rasti. "Baik Tan, terima kasih ya Tan," ucap Minah sangat terharu dengan kebaikan hati Rasti. Akhirnya mereka segera menuju ke pusat perbelanjaan terbesar di kota itu. Minah begitu takjub, di kampungnya Indomare dan Alpamare saja sudah sangat mengagumkan. "Wah ...." Minah sangat takjub ketika melangkahkan kakinya memasuki area sejuk yang merupakan surga belanja bagi wanita itu. "Kenapa sayang?" tanya Rasti. "Eh eh ... ndak papa Tan. Bagus banget. Di kampung Minah ndak ada Tan," kata Minah menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia menyadari jika sikapnya terlihat kampungan. "Ya sudah, nanti Tante akan sering-sering ajak kamu ke sini," kata Rasti. "Eh, ndak usah Tan. Minah ndak mau merepotkan Tante." "Enggak sayang. Tante senang jadi ada teman belanja," kata Rasti bahagia. "Yuk kita naik ke lantai atas!" ajak Rasti. Namun Minah diam di tempat tak bergerak. "Lho kenapa lagi sayang?" tanya Rasti bingung melihat sikap Minah. "Minah takut naik itu Tan," kata Minah menunjuk tangga eskalator. Sontak saja membuat Rasti tertawa karena kepolosan Minah. "Ya ampun, nggak papa sayang. Kan ada Tante. Yuk Tante gandeng tangan kamu. Kalau kamu takut tutup mata saja. Oke?" "Kamu langkahkan kaki pada hitungan ketiga ya?" Minah mengangguk gugup. "Satu, dua, tiga." Minah memejamkan mata dan melangkah sesuai instruksi Rasti. Jantung Minah berdegup kencang. "Sudah tidak apa-apa sayang. Buka mata kamu," kata Rasti tersenyum. Kini mereka tengah berdiri di atas eskalator yang berjalan. "Eh, iya Tan." "Kamu harus membiasakan diri. Siapa tahu suatu hari nanti kamu akan berjalan-jalan dengan Rachel." "Iya Tan." Minah hanya mengiyakan, dalam hati ia berkata jika tidak mungkin dirinya dan Rachel akan akrab. "Sebentar lagi kita turun dan hitungan ketiga kita melangkah lagi." Hap Dada Minah berdebar, takut sekaligus malu. Tapi benar, ia harus membiasakan diri. Kini ia hidup di kota. Ia harus terbiasa dengan semua yang ada di kota, bukan tidak mungkin ia akan mengunjungi tempat umum yang mengharuskannya memakai eskalator. "Maaf ya Tan, Minah bikin malu." "Nggak papa sayang, santai saja. Kamu begini karena belum pernah. Kalau sudah terbiasa nanti pasti nggak akan takut lagi." Rasti tersenyum dan mengelus rambut Minah yang dikepang. "Sudah yuk ... kita pergi jalan-jalan." Akhirnya siang itu Minah dan Rasti menghabiskan waktu di surga belanja wanita itu dengan bahagia. Rasti membelikan semua keperluan sekolah Minah. Tak lupa beberapa setel pakaian ganti untuk Minah juga ia belikan. Rasti sangat baik terhadap gadis piatu itu. Wanita cantik itu benar-benar menyayangi Minah seperti anak kandungnya sendiri. *** "Mama ... Mama!" teriak gadis manis itu masih dengan menyandang ransel sekolahnya. "Rachel, kenapa teriak-teriak Nak? Kamu kan bisa mengucap salam, sayang?" tanya Rasti mengelus d**a karena tingkah putrinya. "Mama benar-benar menyekolahkan cewek udik itu di sekolah Rachel?" tanya Rachel penuh amarah. Ia tak menggubris perkataan ibunya. "Kenapa sih anak Mama ini? Lagi PMS ya? Pulang sekolah bukannya peluk Mama malah marah-marah." "Sudah deh Ma. Nggak usah mengalihkan pembicaraan." Rasti menghela nafas panjang. Mencoba untuk tetap bersabar menghadapi putrinya. "Iya sayang, apa masalahnya?" "Masalahnya ... Rachel nggak suka sama cewek udik itu. Memalukan!" "Jaga bicara kamu Rachel. Mama nggak pernah mengajari kamu untuk merendahkan orang lain. Kamu tidak kasihan dengan Minah, yang tak punya siapa-siapa di kota ini?" tanya Rasti. "Tapi itu bukan berarti harus bersekolah di sekolah Rachel kan Ma? Rachel malu kalau sampai teman-teman tahu Minah tinggal di rumah kita. Sudahlah, Rachel capek." Rachel segera berlari ke kamarnya. Merasa mamanya tak menghiraukan dirinya. "Astagfirullah ...." Rasti mengelus d**a melihat tingkah putrinya yang semakin menjadi jadi. Sementara itu dari balik pintu ada Minah yang mendengarkan perbincangan mereka dengan diam-diam. "Ternyata benar, Rachel membenciku," batin gadis itu sedih. *** "Sayang, penampilan kamu sudah bagus. Bagaimana kalau rambut kamu digerai saja?" "Minah lebih nyaman dikepang seperti ini Tan." "Ya sudahlah, terserah kamu saja asal nyaman." Hari itu adalah hari pertama Minah masuk sekolah. Dan Rasti sangat memperhatikan segala keperluan Minah. "Nah, sudah siap. Ingat sayang! Kamu harus percaya diri." "Iya Tan, terima kasih." "Yuk kita makan!" Di meja makan Dimas dan kedua anaknya sudah makan terlebih dahulu. "Eh, Minah. Hari ini hari pertama kamu bersekolah ya?" "Iya Om. Selamat pagi Om." Minah mencium tangan Dimas. "Yang semangat ya Nak." "Baik Om." "Dasar penjilat, tukang cari perhatian!" batin Rachel kesal. Radit pun sama tak sukanya seperti Rachel, ia memilih untuk fokus pada makanannya. Enggan berdebat dengan kedua orang tuanya. "Nanti kamu berangkat bareng Rachel ya Nak," ucap Dimas. "I-iya Om." "Tapi Pa ...." Rachel tak rela jika Minah harus berangkat sekolah dengannya. "Rachel, jangan membantah Papa!" Protes Rachel langsung mendapat penolakan dari Dimas. Gadis itu sangat kesal, merasa orang tuanya hanya menyayangi Minah. Dengan bersungut-sungut ia melanjutkan makannya. Selesai sarapan, Raditya sudah pergi ke sekolah terlebih dulu dengan motornya. Dan kini Rachel dan Minah duduk satu mobil. Rachel terpaksa menuruti perkataan orang tuanya, tak mau jika sikap buruknya terhadap Minah akan mempengaruhi uang jajannya. Minah hanya duduk dengan canggung, tak berani berkata apa pun. Apalagi ketika melihat sorot mata Rachel yang seakan ingin memangsanya. "Hei anak kampung!" panggil Rachel tiba-tiba. "Iya Rachel." "Kamu jangan sok dekat denganku! Apalagi di sekolah nanti. Jangan sok akrab dan pura-pura saja tidak mengenalku. Dan jangan pernah bilang kalau kamu tinggal serumah denganku!" "Tapi kita semobil. Bagaimana cara agar mereka tidak tahu kalau kita serumah?" "Ya itu urusan kamu. Apa aku juga yang harus memikirkannya?" tanya Rachel ketus. "Tapi Minah juga bingung." "Begini saja ...." "Stop Pak! Berhenti!" "Ada apa ya Non?" tanya Pak Tono setelah mobil berhenti. Rachel tak menjawab pertanyaan sopirnya. "Turun!" "Tapi sekolah masih jauh Chel." "Aku tidak peduli! Mulai hari ini kamu jalan kaki dari sini sampai sekolah." "Tapi Chel ...." "Keluar aku bilang!" bentak Rachel marah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD