Bab 7

1135 Words
"Sayang. Siap-siap ya. Pakai baju bersih dan rapi. Tante mau bawa kamu ke sekolah," kata Rasti mengelus puncak kepala Minah dengan penuh sayang. Entah mengapa Rasti sangat menyayangi gadis yang bahkan belum genap dua hari ia kenal. "Untuk apa kita pergi ke sekolah Tan?" "Kamu harus sekolah, sayang. Jadi kita akan mendaftarkan kamu di sekolah Radit dan Rachel." "Ta-Tapi Tan, menurut Minah ndak usah. Minah lebih baik bantu-bantu di rumah ini saja. Lagi pula kan semua dokumen Minah ndak Minah bawa," tolak Minah dengan halus. Minah sungguh merasa tak enak hati diperlakukan seistimewa itu di rumah Rasti. Karena ia hanya orang asing yang banyak berhutang budi pada keluarga itu. Lagi pula ia tahu arti pandangan Raditya dan Rachel yang sepertinya benar-benar tidak menyukainya. "Sttt ... Kamu nggak boleh membantah perkataan Tante. Karena kamu masih usia sekolah, harus dan wajib mendapatkan pendidikan. Masalah dokumen nanti biar Om atur. Om kan salah donatur di sekolah itu, jadi mereka pasti bisa menoleransi kamu. Tapi kamu harus berusaha untuk mengerjakan tes masuk agar tidak mempermalukam kami. Tapi Tante yakin kamu bisa. Sana! Cepat ganti baju, Tante tunggu," kata Rasti tak mau dibantah. "I-Iya Tan," jawab Minah tak dapat menolak lagi. Kemudian Minah masuk kamar dan mengganti pakaian yang sudah tersedia, sesuai instruksi Rasti. Akhirnya Minah diantar oleh Rasti mendaftar ke sekolah yang sama dengan Rachel. Tentu saja semua biaya Rasti yang menanggungnya menggunakan uang Dimas. Minah terkesima melihat bangunan sekolah yang megah. Terlihat sekali jika itu adalah sekolah untuk orang-orang elit. Minah menjadi semakin minder, ia merasa ia tak akan cocok bersekolah di tempat orang kaya. "Tan, Minah sekolah di sekolah biasa aja. Sepertinya biaya sekolah di sini sangat mahal. Lagi pula Minah rasa tak akan pantas bersekolah di tempat ini." Minah menggenggam tangan Rasti penuh permohonan. "Nggak bisa sayang. Jangan menolak apa yang Tante dan Om berikan. Ini sekolah Radit dan Rachel juga kok. Jadi setidaknya ada yang kamu kenal di sini, jadi jangan takut. Terus kalau berangkat sekolah kan bisa bareng," bujuk Rasti. Minah tak dapat lagi menolak permintaan Rasti. Walau ia ragu jika Rachel dan Radit akan menyukainya jika ia sekolah di situ. Ia hanya tersenyum dan menganggukkan kepala dengan terpaksa. Rasti terlihat bahagia setelah gadis itu mau menurut. "Justru mereka akan marah jika tahu aku sekolah disini Tan," batin Minah. Ketika masuk ke area sekolah, Minah dibuat takjub dengan pemandangan di sana. Area sekolah begitu luas, banyak pepohonan yang menambah asri suasana di sana. Sehingga udara terasa sedikit sejuk dan segar. Siapa pun pasti akan betah dengan suasana yang hijau dan segar. Dengan digandeng Rasti, Minah menuju ruang kepala sekolah. "Silakan duduk Bu. Suatu kehormatan bagi kami, anda mau berkunjung ke sekolah ini. Apa ada yang bisa kami bantu?" tanya kepala sekolah dengan ramah. Minah terkesima, mungkin memang ibu Rasti orang yang disegani. Apalagi Minah menyaksikan sendiri pribadi Rasti yang sangat baik hati. "Pak, saya ingin keponakan saya bersekolah di sini. Tapi masalahnya dokumennya belum bisa kami sediakan, masalah kepandaian saya tak meragukan kemampuan keponakan saya. Anda bisa bantu kan?" kata Rasti. "Tenang saja Bu! Kami akan membantu sebisa kami," jawab kepala sekolah. "Ya sudah, silakan ke bagian administrasi ya Bu. Untuk mengurus segala sesuatunya dan juga untuk mendapatkan seragam," tambah kepala sekolah. "Oke, terimakasih ya Pak atas bantuann anda, "Rasti berjabat tangan dengan kepala sekolah begitu juga dengan Minah. " Sama-sama Bu." Mereka menuju ke ruangan administrasi dengan penuh bahagia. Rasti menggandeng erat lengan Minah seperti dengan putrinya sendiri. "Rachel, Itu bukannya mama kamu ya?" tunjuk Vita, teman satu geng Rachel. "Eh, mana? Mana?" Erina sangat kepo ingin melihat keberadaan mama Rachel. Rachel yang semula asyik memainkan ponselnya menoleh ke arah yang ditunjukkan Vita. Ia begitu marah karena orang tuanya sungguh-sungguh menyekolahkan Minah di sekolah yang sama dengannya. Raut wajahnya berubah menjadi marah hingga memerah sempurna. "Sialan!" Rachel marah dan pergi meninggalkan kedua sahabatnya yang kebingungan. "Kenapa tuh bocah?" tanya Vita menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Entahlah ...." Erina menggedikkan bahu tanda tak tahu. Kedua orang itu segera meninggalkan tempat itu menyusul sang ketua geng. Di perjalanan menuju kelas, Rachel masih marah-marah. Hatinya masih diliputi dengan kemarahan yang memuncak. Rachel heran kenapa mamanya sangat peduli dengan gembel seperti itu. Bruk Karena tak memperhatikan jalan, Rachel menabrak seseorang. "Kalau jalan pake mata dong." Suara seseorang mengalihkan pandangan mata Rachel yang semula memandang lututnya yang sedikit perih terantuk lantai jadi memandang orang itu. Rachel mendongak, ingin ia memaki orang yang tadi berbicara kasar padanya. Namun belum sempat berkata-kata, suaranya tercekat di tenggorokan. Setelah mengetahui siapa gerangan yang telah ia tabrak. Gadis yang berdiri di hadapan Rachel itu terlihat cantik dan anggun. Wajahnya cantik layaknya artis korea, kulit putihnya melengkapi kecantikannya. Ia tinggi bak model, gaya pakaian yang modis. Sungguh wanita yang sempurna. Ia bersidekap memandang rendah Rachel yang masih duduk di lantai. "Maaf Kak. Saya nggak sengaja," ucap Rachel menundukkan kepala dalam-dalam. Gadis yang berdiri di hadapan Rachel adalah Shena. Ketua Osis di sekolah itu. Dia adalah anak salah seorang pejabat negara. Sehingga di usia belia gadis itu sangat dihormati. Rachel termasuk fans berat wanita yang ada di hadapannya itu. Rachel sangat mengagumi kecantikan dan pesona Shena. "Ya sudah, minggir! Kamu menghalangi jalan tau tidak?" Shena berlalu meninggalkan Rachel dengan angkuh. "Sial! Sial! Sial! Memalukan sekali." Rachel mengusak wajahnya dengan kasar. "Rachel, ngapain disitu?" tanya Erina. "Kamu nggak papa?" tanya Vita yang juga ikut mendekat. "Jangan banyak tanya! Tolong aku cepat!" perintah Rachel dengan gaya bossy. Mereka menuju kelas dengan segala kebingungannya akan sikap Rachel. Namun Vita dan Erina tak berani bertanya takut kena semprot lagi. Sementara itu Raditya tak sengaja juga melihat mamanya menggandeng gadis kumal yang sangat ia benci. Raditya mendekati mamanya dan menegurnya. "Untuk apa Mama kesini?" tanya Raditya to the point setelah mendekat ke arah mamanya. "Ini tadi Mama daftarkan Minah untuk sekolah disini," jawab Rasti tersenyum. "Jadi Mama benar-benar menyekolahkan anak nggak jelas ini di sekolah Radit?" ucap Raditya sarkas. "Radit, jaga omongan kamu!" kata Rasti. "Bahkan terhadap Radit dan Rachel saja Mama nggak sepeduli itu," sindir Raditya penuh kemarahan. "Dit, kasihan Minah Nak. Orang tuanya nggak ada di sini. Dia nggak punya siapa-siapa. Kalau bukan Mama yang mengurus lalu siapa lagi?" Rasti mencoba memberi pengertian pada putranya. "Terserah!" Raditya marah dan meninggalkan Rasti dan Minah. Minah hanya diam saja tak mampu berkata apa-apa. Bahkan ketika Raditya menatap tajam dirinya, ia ketakutan hingga gemetar. Rasti hanya mengelus d**a tahu betul perangai anak lelakinya yang seperti itu. "Maafkan sikap Radit ya Nak," ucap Rasti sedih. "N-ndak papa Tan. Mungkin sebaiknya Minah ndak usah sekolah. Minah ndak mau merepotkan Tante Rasti terus," ucap Minah sedih. "Apaan sih Nak, kamu nggak boleh ngomong begitu, Tante nggak pernah merasa direpotin. Ya sudah kita pulang yuk Nak. Senin nanti baru kamu mulai sekolah." Rasti menggandeng tangan Minah kembali dan mengajaknya pulang. Minah memikirkan sikap Raditya dan Rachel yang terlihat sangat tidak menyukainya. Tapi Minah bingung bagaimana ia menyuarakan pendapatnya pada Rasti, agar dirinya tidak perlu sekolah. Agar anak-anak Rasti tidak semakin membencinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD