15. Berkedok Sandiwara

1103 Words
Satu minggu ditugaskan ke luar kota, seharusnya Ken lebih mementingkan Tisa karena perempuan itulah yang selalu menghubungi dan mengatakan tentang kerinduannya. Namun, di saat dia pulang, bukan malah menjalankan mobil menuju rumah yang selama ini dia tinggali bersama Tisa, melainkan apartemen lah yang ingin dia datangi untuk malam ini. Dengan dalih ingin segera bertemu dengan sang mama, meski hati kecilnya juga menginginkan untuk dia ingin melihat bagaimana kabar Ana setelah dia tinggalkan selama seminggu lamanya. Sampai di apartemennya, bukan sang mama yang dia lihat, tapi justru keberadaan Ana yang sedang memasak di dalam dapur. Pemandangan yang kesekian kalinya memanjakan mata Kenandra. Menurutnya, perempuan yang sedang memasak terlihat seksi di matanya. Dan Ken tidak pernah melihat itu selama bersama Tisa. Kekasihnya itu, jangankan memasak. Bahkan Tisa hampir tidak pernah memasuki dapur. Langkah kaki Ken, menarik perhatian Ana. Wanita itu sempat menolehkan kepalanya, dan tidak menunjukkan ekspresi apa-apa ketika melihat kehadiran suaminya. Bahkan menyapa pun tidak Ana lakukan. Dalam hati Kenandra merasa terusik, apakah setidak perduli itukah Ana padanya. Bahkan setelah mereka melakukan hubungan suami istri. Karena nyatanya, Ana malah kembali melanjutkan aktifitas memasaknya dan tidak menghiraukan keberadaannya. Seolah-olah di sini hanya dia lah yang terlalu menginginkan pertemuan ini. Ken menuju dapur, mendekat dan berdiri tepat di belakang tubuh Ana, dengan satu tangan melingkar di pinggang si wanita dan tangan yang lainnya bertumpu pada meja dapur. "Di mana mama?" tanyanya tanpa basa basi. Tanpa melihat pada lawan bicaranya Ana menjawab, "Ada di kamar." Ken mencondongkan tubuhnya yang memang lebih tinggi dari Ana, agar dapat mensejajarkan wajahnya tepat di samping telinga Ana. Pria itu berbicara lirih, "Mama tidak bertanya banyak hal sama kamu, kan?" "Tidak." "Dan kamu juga tidak mengatakan atau menceritakan apapun pada mama tentang hubungan kita setelah menikah?" "Tidak." "Ingat, Ana! Aku tidak ingin mama tahu apapun tentang pernikahan kita. Cukup beliau tahu bahwa rumah tangga kita baik-baik saja meski pun kita menikah karena perjodohan." "Tanpa Anda mengingatkan pun saya sudah melakukannya. Jadi Anda tidak perlu khawatir yang berlebihan akan itu semua." "Baguslah jika begitu. Dan kuharap kau juga tidak perlu mencari tahu tentang Chiko dan Tisa. Apalagi sampai kamu membicarakan mereka di hadapan mama." Ana membalikkan posisi badannya hingga kini keduanya saling berhadapan. Bahkan Ana juga berani mendongakkan kepalanya lalu kembali melanjut kalimatnya, "Saya juga tidak tertarik dengan hubungan Anda bersama Chiko dan Mommy-nya. Karena itu bukan urusan saya." Wanita itu meyakinkan Kenandra bahwa dia memang tidak sepicik itu membongkar aib Kenandra di depan mama mertuanya. Meski jujur dia ingin sekali melakukan itu semua. Hanya saja, Ana masih cukup tahu diri bahwa dia juga diuntungkan dalam hubungan pernikahan ini. Dan dia pun berpikir jika tidak masalah jika orangtua mereka masing-masing tidak tahu akan apa yang sebenernya terjadi dalam rumah tangga mereka. Ana ingin mengembangkan karirnya dan kelak jika semisal beasiswa S2 yang dia ajukan disetujui, mungkin saat itulah dia akan berhenti bertahan dalam pernikahan tidak sehat yang dijalaninya bersama Kenandra. Kenandra tersenyum. "Bagus jika demikian. Dan selama ada mama di sini, kuharap kau pun tahu harus bersikap seperti apa." Melihat bagaimana Ken yang berusaha memberikan ancaman baginya agar tidak sampai membahas Chiko dan Tisa, Ana semakin yakin jika Ken memang menyimpan masa lalu yang tidak boleh semua orang tahu. Buktinya, mama mertuanya saja juga tidak mau membahasnya dan malah mengatakan agar Ken sendiri yang bercerita tentang masa lalunya. "Anda tidak perlu mengajari saya. Bagaimana pun, saya juga tidak mungkin tega mengecewakan mama Arum." Ken menarik pinggang Ana makin mendekat seraya mengusap pipi wanitanya. Tanpa Ana duga jika apa yang Ken lakukan setelahnya membuat mata wanita itu melebar sempurna. Iya, Tiba-tiba saja Ken mencium bibirnya. Ana meronta berusaha melepaskan ciuman itu dengan memukul-mukul d**a Ken. Namun, sia-sia saja perjuangannya karena bukannya melepas Ken malah makin memperdalam ciumannya. Tangan Ana yang tadinya memukul berganti dengan cengkeraman di kemeja si pria. Untuk sesaat Ken melepas tautan bibirnya. Berbisik lirih di telinga Ana. "Bersandiwara lah yang baik, karena Mama sedang memperhatikan kita." Belum sempat Ana menjawab, bahkan niat Ana untuk menolehkan kepala melihat akan keberadaan sang mertua pun tak terealisasikan karena Ken kembali menyerang bibirnya. Decakan keduanya memenuhi seisi dapur hingga deheman Arum menghentikan aktifitas menggila keduanya. Arum tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. "Ken, itu masakan Ana bisa gosong. Matikan dulu kompornya dan silahkan kalian lanjutkan melepas rindu di kamar saja." "Mama!" Dengan sangat pandai Ken mengubah ekspresi wajahnya seolah-olah sedang terkejut. Padahal pria itu sudah menyadari kehadiran sang mama ketika tadi mendengar suara pintu yang terbuka dan dia begitu saja mencium Ana hanya untuk menunjukkan pada wanita yang telah melahirkannya itu, bahwa hubungan pernikahannya dengan Ana sangat romantis. Sementara Ana, jangan ditanya lagi betapa malunya wanita itu sampai-sampai tidak muka lagi di hadapan sang mertua. Ana buru-buru melepaskan dirinya dan melanjutkan memaksanya. Dalam hati sudah memakai Kenandra. Bisa-bisanya pria itu mencari kesempatan dalam ketidakberdayaannya Ken mendekat pada sang mama. Lalu memeluk tubuh mamanya dengan penuh kerinduan. "Ma, maaf aku baru bisa pulang sekarang. Rindu sekali aku sama mama." Arum menepuk-nepuk punggung putranya. "Mama juga sangat merindukanmu, Ken. Kamu ini jangan terlalu sibuk. Sempatkan waktumu menjenguk mama di kampung." "Iya, Ma. Maaf. Lain kali aku akan lebih memperhatikan mama." "Jangan hanya mama yang harus kamu perhatikan. Tapi istri kamu juga. Dia juga butuh perhatian kamu." Ken melirik Ana lalu mengulas senyuman. "Iya, Mama." "Kalau kamu sibuk terus, kapan kamu bisa berikan mama cucu, Ken. Mama ini sudah tua. Kamu adalah anak mama satu-satunya. Siapa lagi yang akan memberikan keturunan dalam keluarga kita jika bukan kamu." "Aku janji akan makin giat membuat anak dengan Ana. Mama doakan saja agar Ana cepat hamil." "Mama selalu mendoakan kalian. Ya sudah. Kamu mandi dulu sana. Setelah itu kita makan malam." Ken mengangguk. Sebelum ke kamarnya, dia mengambil kopernya yang tadi dia letakkan di dekat sofa. Mama Arum mendekati Ana. "Biar mama yang lanjutkan. Kamu urus saja suami kamu." "Nggak pa-pa, Ma. Mas Andra itu sudah terbiasa mandiri. Jarang-jarang mama ada di sini. Jadi biarkan menantu mama ini menjamu mama selama mama masih ada di sini." Padahal Ana sedang berusaha untuk mencari cara agar tidak berduaan dengan Kenandra. Ya Tuhan. Ana benar-benar dalam kepanikan. Selagi ada mama mertuanya di sini, maka hidup Ana tidak akan tenang karena perempuan itu harus selalu menyempurnakan sandiwaranya. Lebih-lebih harus berinteraksi dengan Ken yang berat untuk Ana jalani. Namun, Ana tak ada pilihan lagi selain mengikuti alur yang sudah dia dan Ken sepakati. Mama Arum terkekeh. "Ya sudah. Kalau begitu mama bantu kamu siapkan makan malam. Ken sangat beruntung memiliki istri yang perhatian dan pandai memasak. Dengan begini mama jadi tidak khawatir lagi karena mama yakin sekali jika bersamamu maka hidup Ken akan jauh lebih terurus. Terima kasih Ana karena sudah menjadi istri Ken dan jadi menantu mama."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD