"Terima kasih ya, Ma, sudah repot-repot membawa banyak oleh-oleh untuk Ana. Jadi rindu mama."
"Sebenarnya Kartika ingin ikut tapi kan enggak mungkin mamamu meninggalkan ayahmu sendirian di rumah. Mana tega," ucap mama Arum lalu terkekeh.
"Iya, ayah memang enggak bisa ditinggal lama-lama. Ya sudah mama istirahat dulu saja. Aku buatkan minuman dulu untuk mama."
"Nggak usah repot-repot, Ana. Kamu baru pulang kerja pasti capek. Tenang saja. Jika butuh apa-apa, Mama akan buat sendiri nanti. Mama itu sering ke sini. Jadi Ana tidak perlu khawatir dan jangan menganggap mama sebagai tamu."
"Mas Andra juga lagi ke luar kota. Dan aku enggak tahu kapan baliknya."
"Nggak apa. Tadi mama sudah telepon Ken. Mungkin besok dia baru pulang. Jangan kuwatir sama mama, Ana."
Ana mengulas senyuman. Dia pun memilih untuk mengantar sang mama ke kamar dan membawakan tas yang beliau bawa karena sepertinya, sejak datang, mama Arum hanya berada di ruang tamu.
Sekarang Ana kebingungan. Mau membawa mertuanya ke kamar yang mana. Secara, kamar milik Ken juga selalu dikunci selagi si empunya tidak ada di apartemen ini. Tidak ada pilihan lain kecuali membawa sang mertua ke dalam kamarnya. Jika Ana tebak, selama ini juga pasti mama Arum selalu menempati kamarnya ketika ada di apartemen ini.
Pintu terbuka. Ana sudah harap-harap cemas mencari jawaban serta alasan yang tepat agar beliau tidak menaruh curiga nantinya.
Benar saja dugaan Ana. Mama Arum mengernyit saat masuk ke dalam kamar dan dipenuhi beberapa barang miliknya.
"Ana. Kenapa barang-barang kamu ada di sini? Apa selama ini kamu tidur di sini?"
Wanita tua itu tentu saja menaruh curiga akan hubungan anak dan menantunya yang sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Menatap penuh selidik pada Ana. "Kalian pisah kamar?"
Semampunya Ana harus bersandiwara dan jangan sampai mama Arum memberondongnya dengan banyak pertanyaan seputar hubungannya dengan Kenandra. Karena di sini, bukan hanya dia saja yang harus bertanggung jawab menjelaskan, tapi juga harus bersama Kenandra.
Ana tersenyum seraya meraih tangan sang mama. "Ma, sengaja aku taruh barang-barangku di sini karena kamarnya Mas Andra sudah penuh. Dan sengaja aku tidur di sini karena menurutku kamar ini lebih nyaman daripada kamarnya Mas Andra. Kesannya terlalu maskulin. Dan kami masih terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga belum sempat renovasi."
"Jadi ... kalian beneran tidak pisah kamar kan?"
"Enggak, Ma. Lebih seringnya kami tidur di kamar ini. Apalagi jika Mas Andra sedang keluar kota. Aku lebih suka menyendiri di samping jendela. Melihat jalanan kota yang indah di malam hari. Mama pasti juga suka kan lihat-lihat pemandangan dari sini?"
Ana membuka gorden jendela kamar. Di sana terdapat sofa yang memang sering Ana gunakan untuk melamun.
"Syukurlah jika memang seperti itu. Mama sudah jantungan takutnya kalian sengaja tidur terpisah dan menjalani hidup masing-masing. Sungguh, Ana. Mama ingin sekali kalian menjalani kehidupan rumah tangga yang baik meski pernikahan kalian atas dasar perjodohan."
Di sini Ana seolah tertampar kenyataan dan dia sangat bersalah karena sudah membohongi mertuanya. Entah apa jadinya jika sampai mertuanya tahu jika mereka hidup terpisah selama tiga bulan menikah. Dan hanya satu kali dia dan Ken pernah bersama dalam artian tidur bersama juga.
"Mama jangan berpikir yang macam-macam. Insyallah pernikahan kami akan baik-baik saja, Ma. Ya sudah mama istirahat dulu. Aku buatkan teh hangat untuk mama."
"Terima kasih Ana."
Setelah kepergian Ana, Mama Arum duduk di sofa. Perhatiannya tertuju pada luar jendela yang memang terlihat indah suasana sore menjelang malam yang mana lampu jalanan juga mulai dinyalakan. Wanita itu menghela napas panjang. Ingin membereskan bajunya yang ada dalam tas. Hanya saja mata tuanya lagi-lagi menangkap sesuatu yang membuatnya penasaran.
Berjongkok di bawah ranjang. Lalu memungut benda yang membuat senyumnya melebar dengan kepala digeleng-gelengkan.
"Mama! Ini teh hangat madu untuk mama. Semoga bisa sedikit menghilangkan rasa lelah mama setelah menempuh perjalanan jauh tadi," ucap Ana panjang lebar saat masuk ke dalam kamar.
Perempuan itu meletakkan teh di atas meja kecil sembari memperhatikan sang mertua yang berjongkok. "Mama ngapain di situ?"
Mama Arum tak menjawab. Wanita itu berdiri sembari mengacungkan sesuatu. Mata Ana melebar, "Mama!" pekiknya dengan wajah merah padam menahan rasa malu.
Wanita muda itu mendekat, dan mengambil alih benda di tangan sang mertua. "Mama dapat dari mana?" Ana lekas menyembunyikan di balik punggungnya sebuah celana dalam yang bukan miliknya, tapi milik Ken.
Mama Arum senyam senyum menggoda. "Ya ampun, sayang. Apa Ken seberingas itu sampai-sampai celana dalamnya terlempar di bawah ranjang."
"Ma! Kenapa harus mama yang menemukannya. Ya, Tuhan malunya aku."
Mama Arum terkekeh. "Nggak usah malu. Mama juga pernah muda, sayang. Dan justru mama senang karena ketakutan mama tidak terbukti. Mengetahui kalian berdua baik-baik saja, mama sudah sangat bersyukur. Terima kasih sudah mau menjadi istri anak mama."
Ana sampai kehilangan kata-kata. Wanita itu juga tidak menyangka bagaimana mungkin bisa ada celana dalam milik Ken di sana. Dan kenapa juga dia tidak sedetail itu dalam membersihkan kamarnya. Apa iya barang pribadi milik Ken ada di kamarnya sejak beberapa waktu lalu ketika Ken berhasil menidurinya.
Ya sudah lah. Mungkin memang ini sudah menjadi jalannya untuk makin menambah deretan kebohongan pada sang mertua.
Ana buru-buru menyimpan benda tersebut ke dalam keranjang cucian kotor sekaligus dia pamit mandi.
Dan malam ini, Ana menikmati harinya bersama sang mertua. Dia yang terbiasa sendirian di apartemen, tidak ada teman, tentu saja merasa senang karena saat ini ada teman ngobrol. Meski hanya mertua, nyatanya Mama Arum juga sanggup mengimbangi setiap obrolan yang tercipta. Mama Arum juga banyak bercerita tentang Ken.
Dari situ pula lah Ana jadi tahu bahwa sebelumnya, ketika almarhum papanya Ken masih ada, mereka juga tinggal di kota sampai pada akhirnya mama Arum memilih untuk mengontrakkan rumahnya lalu kembali pulang kampung.
"Eum ... Ana. Mama boleh tanya sesuatu sama kamu?"
Kening Ana mengernyit. "Tanya apa, Ma?"
"Tentang Ken."
Ana justru dibuat penasaran melihat ekspresi wajah Arum yang berubah sendu tidak seceria sebelumnya.
"Memangnya kenapa dengan Mas Andra?"
"Apa Ken pernah menceritakan tentang masa lalunya?"
Ana sebenarnya mulai tertarik dengan pembahasan seputar masa lalu Ken yang Ana tebak pasti ada hubungannya dengan Tisa dan Chiko.
Kepala Ana menggeleng. "Tidak pernah, Ma."
Mama Arum menghela napas panjang. "Mama harap jika suatu saat nanti Ken bercerita tentang kehidupan masa lalunya, tolong kamu jangan salah paham apalagi sampai memiliki keinginan untuk meninggalkannya."
"Memangnya masa lalu Mas Andra seperti apa, Ma?"