Dering telepon yang berbunyi begitu nyaring, memenuhi seisi kamar. Indera pendengaran Ken begitu kuat menangkap bunyi tersebut sehingga membuka matanya seketika. Pria itu melenguh sebentar, mengerjabkan mata seraya membalikkan posisi tidurnya jadi telentang. Memijit pelipis yang sedikit berat. Hanya saja, deringan ponsel yang kembali berbunyi nyaring, memaksa Ken untuk lekas membuka matanya. Tangannya tidak tinggal diam, karena mulai meraba-raba nakas, dan hasilnya kosong. Ia tak mendapati alat komunikasinya itu. Ingatan Ken melayang pada kejadian semalam dan barulah ia tersadar bahwa saat ini dirinya sedang tidur di dalam kamar Ana.
Beringsut bangun dan bersandar pada kepala ranjang, mengumpulkan nyawanya yang belum sepenuhnya kembali. Ia mengedar mencari-cari arah sumber suara yang berasal dari ponselnya. Dan ternyata benda tersebut berada dalam saku celana yang teronggok begitu saja di atas lantai. Ken menurunkan kedua kakinya, menyambar celana dan merogoh sakunya. Dia temukan ponsel dalam keadaaan menyala yang di layarnya muncul nama Tisa.
Berdehem sebentar guna menetralkan suara serak khas bangun tidur. Pria itu merapatkan selimut yang membungkus tubuh bagian bawahnya karena kondisi tubuhnya tak ada sehelai benang pun yang menempel di sana. Jangan sampai Tisa curiga akan apa yang telah dia lakukan bersama Ana.
Panggilan video tersebut Ken jawab hingga memunculkan wajah Tisa yang pagi ini juga terlihat cantik dan segar sehabis mandi.
“Ken! Kenapa lama sekali menjawabnya. Kamu baru bangun?” tanya Tisa seperti biasanya dengan nada bicaranya yang manja.
Ken tersenyum. “Iya.”
“Tapi ini sudah siang. Tumben sekali kamu baru bangun.”
Kening Ken mengernyit. “Masak sih ini sudah siang?” pria itu tak percaya dan ketika mendongak menatap pada dinding kamar Ana, terlihat jika saat ini waktu telah menunjukkan pukul sembilan pagi.
Ken meringis menyadari bahwa dia telah terlambat pergi ke kantor. "Ya, Tuhan sayang. Rupanya sudah jam sembilan. Aku tutup teleponnya ya? Aku harus mandi karena sudah terlambat ke kantor.”
Tisa berdecak. “Bisa-bisanya kamu kesiangan. Untung saja aku meneleponmu tadi.”
“Terima kasih sayang. Aku beneran capek dan mungkin tidurku kemalaman jadi terlambat bangun.”
“Ya sudah kamu buruan mandi dan siap-siap. Daripada papa mengomelimu nanti karena kamu terlambat.”
“Iya."
“Ken, malam ini ni kamu pulang ke rumah, kan?”
Ken berpikir sejenak. Apakah di akan pulang ke rumah Tisa atau ingin menetap untuk sementara di apartemennya?
“Ken, aku merindukanmu. Sehari saja tidak bertemu kamu rasanya hidupku hampa. Chiko juga bertanya terus kenapa kamu enggak pulang semalam.”
“Nanti aku usahakan untuk pulang.”
“Iya. Lagian mama kamu juga belum datang, kan?”
Ken meringis, “Memang belum tapi aku belum selesai merapikan apartemen.”
“Kamu jangan seperti orang susah, sayang. Bukankah kamu terbiasa membayar orang untuk bersih-bersih dan beres-beres apartemen?"
“Iya memang, tapi ada beberapa yang harus aku bersihkan sendiri. Ya, sudah aku harus mandi Love you.”
“Love you too. Ken, nanti malam aku ada undangan ulang tahun pernikahan dari temanku. Dan aku nggak mau tau, kamu harus pulang untuk menemaniku party malam ini."
"Okay."
Senyum cerah Tisa justru membuat Ken merasa bersalah karenanya.
Panggilan video berakhir. Ken menjambak kasar rambutnya. Menolehkan kepala ke samping dan tentu saja sudah tidak ada Ana di sana karena pasti wanita itu sudah pergi bekerja.
Ken kembali berpikir, apakah dia telah menyakiti istrinya itu? Sampai-sampai Ana meninggalkan rumah tanpa membangunkannya lebih dulu. Bahkan perempuan itu juga pergi tanpa pamit padanya.
Menghela napas panjang, lalu menyeret kakinya melangkah menuju kamar mandi dan Ken harus segera membersihkan dirinya.
Keluar dari kamar hanya sepi yang melanda. Ana tidak dia temukan di mana-mana. Ken diam sejenak mencoba meresapi apa yang sebenarnya telah terjadi dan tidak ada sedikit pun penyesalan atas apa yang telah ia lakukan. Karena dalam benaknya telah terdoktrin bahwasannya dia harus memiliki anak dari Ana agar mamanya tidak terus menerus merecoki kehidupan rumah tangganya. Karen jujur, Ken masih belum bisa jika harus meninggalkan Tisa dan Ken juga belum bisa menjalani rumah tangga yang baik dengan Ana. Namun, setelah apa yang terjadi di antara dia dengan Ana semalam, tentu saja ada yang berbeda tengah Ken rasakan. Tapi entahlah dia sendiri juga tak paham apa. Dan yang pasti lebih baik menjalani apa yang ada sekarang. Jika memang dia dan Ana menemukan kecocokan mungkin dia harus mengorbankan Tisa dengan berbagai macam konsekuensi yang ada nantinya.
***
Sampai di kantor, Ken harus merutuki kesialannya lantaran dipertemukan dengan Pramudya. Atasan sekaligus pemilik perusahaan.
Pria tua berkacamata itu menatapnya tajam, menunjukkan raut ketidaksukaan.
"Jam berapa sekarang? Kenapa kamu baru saja datang? Bukankah kamu tidak ada agenda meeting diluar?" rentetan pertanyaan yang dilontarkan oleh Pramudya, membuat Ken gugup seketika. Bagaimana pun, dia hanyalah karyawan meski Pak Pram memberikan jabatan tinggi untuknya dan itu semua berkat Tisa.
"Maaf, Pak. Saya terlambat datang. Itu, sebenarnya tadi saya merasa tidak enak badan. Jadi saya mampir ke dokter sebentar untuk meminta resep dan vitamin." Begitu lancar Ken berbohong.
Pramudya mulai melunakkan raut wajahnya. "Kali ini saya bisa berikan kamu toleransi. Tapi tidak dengan lain kali. Sudah banyak sekali aturan perusahaan yang kamu langgar, Kenandra. Dan Jika bukan karena Tisa, mungkin saya sudah memberikan jabatan kamu pada orang lain."
Ken jelas tidak suka diintimidasi. Ya memang keberadaannya di kantor ini karena Tisa. Tapi bukan berarti Pramudya bisa merendahkan dia. Selama Ken bekerja di kantor ini, Ken selalu mendedikasikan dirinya dengan baik pada perusahaan. Perkembangan pesat perusahaan juga tak lepas dari kerja kerasnya.
"Pak Pram. Saya pribadi juga sebenarnya tidak ada rencana untuk bersikap sesuka hati pada perusahaan karena saya sadar diri bahwa di sini saya hanyalah karyawan. Tapi, saya punya alasan kenapa saya bisa berbuat demikian. Seperti halnya ketika saya terlambat atau mangkir dari pekerjaan. Jika tidak karena putri Anda yang suka memaksakan kehendaknya dan tidak bisa dibantah, mungkin saya juga tidak akan sesuka hati saya dalam bekerja."
"Jadi kamu menyalahkan Tisa? Ingat, Ken! Kamu bisa berada di posisi yang sekarang juga berkat putri saya. Paham kamu!"
Belum sempat Ken membalas perkataan itu, Pramudya berlalu pergi begitu saja dengan wajah memerah.
Ken menggeram marah. Hubungan yang dia jalani dengan Pramudya tidak bisa dikatakan baik selama ini. Bahkan Ken yakin sekali jika Pram bersikap baik padanya hanya karena Tisa dan Chiko. Tanpa mereka berdua, Pram akan menjadi manusia yang selalu sesuka hati dalam memerintah pegawainya.
'Lihat saja. Jika saat itu tiba, aku akan meninggalkan perusahaan ini. Akan aku buktikan bahwa aku mampu berdiri tegak tanpa bantuan Tisa atau pun Anda, Pramudya!'
***
“An, kamu sakit?”
Ana mendongak mendapati kehadiran Risna yang berdiri di sisi mejanya. Ana menggelengkan kepalanya sembari mengulas senyuman. “Tidak. Hanya kurang enak badan saja.”
“Wajah kamu pucat.”
“Masak sih?”
“Iya.”
“Mungin hanya kurang tidur.”
“Kamu begadang semalam?”
Dan terpaksa Ana mengangguk mengiyakan. Risna tertawa. “Ada-ada saja. Aku pikir kamu sakit. Karena selain wajahmu tampak pucat, hari ini kamu jga pakai pakaian tertutup begitu.”
Ana benar-benar tidak menyangka jika Risna sedetail itu memperhatikannya. Hari ini sengaja Ana memakai sweater turtle neck untuk menutupi kulit lehernya yang terdapat bekas merah-merah hasil perbuatan Kenandra. Dipadukan dengan blazer yang merupakan seragam kerja.
“Hanya kurang enak badan aja. Habis ini juga mendingan kok karena aku juga sudah minum vitamin tadi.”
“Oh ya sudah. Kalau begitu segera siap-siap.”
“Siap-siap ke mana?”
“Oh, iya. Dua hari ini kamu enggak ke sekolah. Wajar jika tidak tahu.”
“Memangnya ada apa?”
"Hari ini kita ada rapat. Dan kebetulan anak dari pemegang saham tertinggi di sekolah ini juga akan hadir. Jadi semua tenaga pendidik juga harus ikut meeting. Jangan pulang dulu, okay?”
Ana pun mengangguk. Dia mengikuti instruksi dari Risna untuk bersiap-siap menuju aula tempat diadakannya meeting siang menjelang sore ini.
Lima belas menit kemudian, Ana telah bersama para rekan sesama guru berdiri menyambut kedatangan orang penting yang ditunggu-tunggu.
Namanya Mister Edward, dan Ana melihat sosok lelaki blasteran yang dikawal dengan beberapa asistennya. Orangnya ramah menyapa semua yang ada di aula. Hingga saat berhenti dan berdiri di hadapan Ana, pria itu menatap dengan penuh tanya.
“Kamu guru baru?"
“Iya, Mister. Perkenalkan nama saya Mariana, tapi biasa dipanggil Ana.”
Edward manggut-manggut. “Nama yang indah. Ana. Senang berkenalan denganmu dan semoga kamu betah bekerja di sini.”
“Terima kasih, Mister Ed."
Dia tahu nama panggilan Edward juga dari Risna tentunya karena ini adalah pertemuan Ana dengan Edward untuk yang pertama kalinya.
Setelah Edward berlalu, Risna menyenggol lengan Ana. “Baik kan orangnya?”
“Iya, Mister Ed memang baik. Aku pikir dia bule tulen. Nggak tahunya ngomong bahasa Indonesia fasih banget.”
“Ya karena beliau sudah lama tinggal di Indonesia, Ana.”
"Oh.”
Dan Ana pun mengikuti Risna beserta yang lainnya duduk di tempat yang telah disediakan. Hingga acara meeting sore ini dimulai, bukan Ana sok percaya diri karena menurutnya beberapa kali Edward kedapatan melirik ke arahnya. Sampai Ana harus berpura-pura membuang pandangannya karena berhasil dibuat salting brutal oleh atasannya sendiri.