Seharusnya Ana marah pada Kenandra, bukannya malah takut-takut begini saat harus pulang ke apartemen. Bahkan sudah lima menit berlalu Ana masih mondar mandir di depan pintu tempat tinggalnya. Bagaimana jika masih ada Ken di dalam? Apa yang harus dia lakukan nanti?
Ana geleng-gelengkan kepalanya. Tidak mungkin dia hanya berdiam diri di depan pintu lebih lama lagi. Mengembuskan napas panjang seraya menenangkan dirinya.
"Sabar, Ana. Semua akan baik-baik saja," ucapnya menyemangati diri sendiri. Menghadapi Kenandra tidak semudah yang dibayangkan. Jika diluar mereka bisa saja tidak saling mengenal. Tapi saat bertemu, Ken sungguh menakutkan. Bagaimana mungkin semalam dia harus menghadapi keganasan pria itu yang begitu saja membuat pipi Ana memerah hanya karena mengingat semuanya.
Dengan tangan sedikit gemetar, Ana membuka pintu. Kepalanya melongok ke dalam. Sepi dan hening. Lega. Ana yakin jika Ken tidak ada di dalam sana.
Dengan pelan-pelan Ana masuk ke dalam. Kepalanya mengedar ke kiri dan ke kanan. Tidak ada tanda-tanda Ken ada di dalam apartemen.
Lemas sudah tubuh Ana karena sempat berada dalam kondisi menegangkan beberapa waktu yang lalu. Wanita itu menjatuhkan tubuhnya di kursi makan. Menuang air putih dari teko ke dalam gelas. Ia teguk hingga tandas. Barulah saat meletakkan kembali gelas di atas meja, ekor matanya menangkap sebuah sticky note yang tertempel di meja.
Ana menyambarnya dan membaca.
Kamu bisa menggunakan kartu ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Belanja dan masak makan malam. Hari ini aku akan kembali pulang ke apartment.
Glek.
Ana menelan ludah kesusahan. Memperhatikan sebuah kartu debit yang Ana tak tahu ada berapa banyak uangnya di dalam sana. Yang membuat jantung Ana berdetak makin cepat karena memikirkan jika Ken akan kembali ke sini. Lantas apa yang harus dia lakukan sekarang? Apakah harus menghindar atau tetap bertahan di tempat ini dengan konsekuensi bisa saja Ken akan memaksanya kembali seperti malam tadi. Ya, Tuhan. Ana belum siap kembali ditiduri oleh pria itu. Meski Ken suaminya, tapi tetap saja Ana merasa hubungannya tidak sebaik itu ke depannya. Ada Tisa dan Chiko yang masih menjadi misteri bagi Ana.
'Tenang Ana. Kamu pasti bisa menghadapi pria itu.' Sekali lagi Ana men-sugesti dirinya sendiri atar tetap bersikap tenang saat nanti menghadapi Kenandra.
•••
Benar saja, Ana bahkan baru saja selesai memasak ketika ia mendengar pintu apartemen yang terbuka.
Wanita itu menolehkan kepala. Tampak olehnya kehadiran seorang lelaki yang bisa dikatakan begitu tampan. Tubuh atletis dengan kemeja pas badan yang dikenakan. Penampilan Ken yang sedikit berantakan malah menambah kesan maskulin pada diri pria itu.
Ana kembali dilanda kegugupan. Buru-buru ia alihkan pandangan saat Ken mendekat.
"Kamu tidak ingin menyambut kedatangan suamimu?" sindir Ken yang berjalan mendekati Ana sembari melepas dua kancing teratas kemejanya dan juga melipat bagian lengan kemeja. Pria itu sengaja menanyakan hal demikian karena Ana sama sekali tidak merespon kehadirannya. Bahkan sapaan untuknya saja tidak ada. Ken menebak bahwa istrinya sedang marah.
Ana menoleh sekilas sebelum kembali melanjutkan aktifitasnya. Mengaduk nasi yang baru saja matang di dalam rice cooker.
"Apakah perlu sambutan khusus saat Anda datang ke sini," jawab Ana dengan nada sinis.
Ken terkekeh, menarik kursi lalu duduk di sana. Memperhatikan hasil masakan Ana yang menggugah seleranya. Entah kenapa membaui harum masakan Ana, membuatnya rindu rumah. Rindu masakan sang mama. Bagaimana pun juga, bagi Ken mama adalah wanita yang sangat dia cintai. Demi mama pula dia rela menikah dan dijodohkan. Bahkan karena mamanya meminta cucu, dia juga mengusahakannya meski harus dengan cara memaksa Ana.
Ken hendak mencomot tempe goreng yang ada di atas sebuah piring kecil, tapi justru tangannya ditepis oleh Ana.
"Cuci tangan dulu sebelum makan."
Mulut Ken menganga. "Galak juga," celetuknya yang kemudian dia memilih berdiri dan menuju wastafel untuk mencuci tangannya sekaligus membasuh wajahnya agar terlihat lebih segar.
Saat kembali ke ruang makan, rupanya Ana sudah meletakkan sebuah piring dan mengisinya dengan nasi. Ana merasa sebagai istri sesungguhnya yang melayani suami.
Ken duduk di sana. Sekuat tenaga Ana tidak menunjukkan sisi lemahnya di hadapan pria itu agar dia tidak lagi ditindas oleh suaminya sendiri. Jujur, ada sedikit rasa tertarik pada diri suaminya. Siapa yang tidak ingin punya suami tampan seperti Ken. Hanya saja Ana cukup tahu diri untuk tidak terlalu jauh mengedepankan perasaan yang dimiliki. Ingat tujuannya menikah yaitu demi karirnya.
"Mau sayur?" tawar Ana.
"Aku mau semua yang kamu masak hari ini."
"Doyan apa lapar?"
"Entah mengapa masakanmu membuatku rindu masakan mama. Sebagai perantau wajar kan rindu masakan rumahan."
"Semoga rasanya tidak mengecewakan. Karena aku tidak tahu seleramu bagaimana."
Ana ikut duduk dan menjaga jarak dari suaminya. Dia tidak ingin dekat-dekat dengan Ken.
Melirik Ken yang kali ini masih sama seperti semalam. Pria itu makan dengan lahap. Apa seenak itukah masakannya atau memang hanya karena rindu masakan mamanya sampai Ken harus nambah dua kali dan Ana membiarkan saja dengan apa yang suaminya lakukan.
"Untuk berbelanja kebutuhan rumah, kamu bisa pakai kartu yang tadi pagi aku berikan."
"Iya."
Ken belum juga menyelesaikan acara makannya saat ponsel di saku celana berdering.
Ia meraihnya dan melihat sebentar pada layar untuk mengetahui siapa yang sedang meneleponnya.
"Halo, sayang!" sapanya lembut pada kawan bicaranya sembari berdiri menjauh dari Ana menuju balkon.
Ana mendengus kecewa. Dia tahu siapa yang menghubungi suaminya. Telinga Ana juga masih berfungsi dengan baik sehingga mampu mendengar panggilan sayang yang dilontarkan oleh Ken pada Tisa.
"Kamu di mana?"
"Aku masih di apartemen."
"Ngapain lagi kamu di apartemen?" Tisa mulai curiga karena lagi-lagi Ken memilih untuk pulang ke apartment.
"Sayang, bukankah aku sudah katakan padamu. Mungkin dalam waktu dekat aku akan pindah dan kembali tinggal di apartemen. Selain lebih dekat dari kantor, juga karena mama akan datang. Kamu tahu sendiri bagaimana mamaku, kan? Jika datang suka dadakan."
"Baiklah. Tapi kamu tidak lupa akan janjimu malam ini? Kamu harus mengantarku ke ulang tahun pernikahan Celine."
"Oke. Aku pulang sekarang."
"Aku tunggu. Bye, Ken!"
"Bye!"
Ken menutup panggilan teleponnya lalu kembali ke ruang makan. Ana sudah meninggalkan meja makan. Wanita itu berada di dapur sedang mencuci bekas makannya.
Ken menghela napas panjang. Berjalan menuju dapur menghampiri Ana.
"Aku pulang dulu. Terima kasih untuk makan malamnya."
"Hem." Hanya itu jawaban yang terlontar dari mulut Ana karena wanita itu sangat malas sekali berhadapan dengan Ken.
"Aku pergi."
Ana tak merespon. Ken sedikit kesal karena Ana cuek padanya.
Ken mendekat, menyentuh tangan Ana yang langsung ditepis oleh wanita itu karena terkejut atas sentuhan yang tiba-tiba. Namun, Ken tidak hilang akal. Pria itu menarik pinggang Ana hingga mendekat dengan tubuh bagian depan saling menempel. Aroma parfum bercampur keringat yang menguar dari tubuh Ken, mengusik indera penciuman Ana.
Ana mendongak pun halnya dengan Ken yang menatapnya intens seraya berkata, "Ana! Aku hanya ingin kamu tahu. Apa yang telah terjadi di antara kita semalam, aku tidak pernah menyesalinya."
Setelahnya, pria itu melepaskan tangannya dan berlalu pergi meninggalkan Ana begitu saja.
'Dasar pria breng sek!' maki Ana yang hanya mampu disuarakan di dalam hati saja.