Sebenarnya Ana sangat lelah, hanya saja perutnya terasa lapar dan keroncongan sehingga usai mandi, tak lekas tidur melainkan ke dapur untuk membuat makanan. Untung saja dia masih punya stock ayam ungkep di dalam kulkas yang dia buat kemarin sehingga dia tinggal menggorengnya saja dan ditambah dengan tumis jamur brokoli sebagai pelengkap makan malamnya.
Saat berbalik badan hendak membawa makanan ke meja makan, Ana harus dibuat terkejut dengan penampakan Kenandra yang berdiri menjulang jarak beberapa meter di belakangnya. Ana sampai memundurkan langkah dengan jantung hampir melompat keluar dari tempatnya.
"Astaghfirullah, Pak Ken. Kenapa Anda masih di sini?"
Ken sampai mengernyitkan kening mendengar pertanyaan Ana. "Kau tanya kenapa aku masih di sini?"
Kepala Ana lekas menggeleng. "Tidak ... tidak. Maksud saya itu ... ah, saya pikir Anda sudah pergi. Tidak tahunya masih di sini. Mengagetkan saya saja." Ana kembali melangkah dan meletakkan dua piring berisi sayur dan lauk hasil masakannya.
Ken berjalan mendekat, melongok pada makanan di atas meja, lalu menarik kursi agar dapat dia duduki. "Terserah saya mau di sini sampai kapan saja. Lagian, jangan terus menerus menyebutku dengan Anda atau Pak Ken. Ingat, Ana! Saya suami kamu."
Ana mencebikkan bibirnya, lalu ikut duduk di kursi yang lainnya, tepat di depan Ken. Ruang makan ini tidaklah besar karena hanya sebuah meja dengan empat kursi yang mengelilingi.
"Tapi hubungan kita hanya status semata. Tidak lebih." Ana pun membantah.
"Meski pun hanya status, di mata keluarga, kita tetaplah suami istri. Oleh karena itulah kamu harus jaga sikap. Jangan dekat-dekat dengan pria lain selagi kamu masih menjadi istri saya."
Karena Ana tidak mau terlalu jauh berdebat, dia pun memilih menjawab, "Oke."
Ana sendiri juga merasa tidak sedang dekat dengan siapa-siapa. Jika Ken menuduhnya dekat dengan Arkan, itu salah besar. Mungkin lelaki itu salah paham karena sempat beberapa kali menemukan dia sedang bersama Arkan dan Zeva. Seperti halnya saat makan siang beberapa hari yang lalu. Zeva dan Arkan yang berniat mengantarnya pulang, malah mengajak singgah untuk makan siang terlebih dahulu.
Ana geleng-gelengkan kepalanya. Tertawa sinis sembari berpikir bahwa seharusnya dialah yang patut menuntut jawaban dari Ken akan sebenarnya ada hubungan apa di antara pria itu, Tisa dan Chiko. Namun, Ana cukup enggan mengetahui jika pada akhirnya hanya kecewa dan berujung sakit hati. Tidak saling cinta bukan berarti dia baik-baik saja ketika mengetahui Ken telah membohonginya.
Tapi sebentar, jika Ken memperingati agar dia tidak bercerita macam-macam mengenai Tisa dan Chiko pada mama mertuanya ... apakah itu artinya Mama Arum tidak tahu menahu seputar mereka.
Ana tidak ingin ambil pusing akan itu semua. Wanita itu memilih untuk makan saja karena perutnya sudah lapar.
"Saya hanya memasak ini. Jika Anda ingin ikut makan ... silahkan," ucap Ana yang tidak mungkin juga dia akan makan sendiri dan membiarkan Ken sebagai penonton.
Ana melirik Ken yang juga ikut mengisi piring dengan makanan sederhana yang terhidang di atas meja. Yang artinya bahwa Ken juga tidak keberatan memakan hasil masakannya.
"Aku lupa belum memberikan kamu uang nafkah sebagai bentuk kewajiban karena telah menikahi kamu. Nanti akan aku berikan."
"Oh, tidak perlu. Saya bekerja dan saya punya uang sendiri. Anda sudah memberikan tempat tinggal saja saya sangat berterima kasih. Setidaknya saya bisa numpang berteduh dengan nyaman secara cuma-cuma. Tapi jika semisal Anda akan tinggal kembali di apartment ini, mungkin saya akan mencari tempat lain diluar."
"Saya tidak pernah mengusir kamu dari sini, Ana!"
"Saya tahu. Tapi saya juga tidak mungkin tetap tinggal di sini bersama Anda, Pak Ken."
"Kenapa tidak mungkin?"
"Ya, karena di antara kita memiliki privasi masing-masing. Dan saya kurang nyaman jika harus tinggal dengan orang asing."
"Saya suami kamu. Bukan orang asing. Lagipula dalam waktu dekat mama kan datang. Apa kata mama jika tahu kita tinggal terpisah."
"Apa! Mama Arum mau ke sini?"
"Ya. Seperti itu yang tadi mama katakan di telepon."
Ana diam. Jika mama mertuanya datang, bagaimana dengan nasibnya. Tidak mungkin kan dia akan menjalani kehidupan yang sama yaitu hidup berpisah dengan Kenandra. Tapi, jika harus hidup bersama di dalam apartemen yang sama juga tidak mungkin.
Keduanya sama-sama diam hingga makanan di dalam piring masing-masing tandas tak bersisa. Ana diam-diam tersenyum karena melihat Ken yang lahap memakan masakannya.
Sementara Ken sendiri, pria itu merasa jika makanan yang dimasak oleh Ana, dapat mengobati rasa rindunya pada makanan rumahan yang biasa mamanya buat untuknya. Tanpa sadar Ken telah menghabiskan porsi besar yang langsung membuat perutnya kenyang.
Ana beranjak berdiri, berniat mengambil piring di hadapan Ken. Akan tetapi Ken melarangnya. "Biar aku saja yang mencucinya. Kamu sudah memasak untukku jadi giliranku untuk membersihkannya." Ken tahu diri untuk tidak hanya numpang makan pada seorang perempuan. Setidaknya dia juga ada effort untuk membantu Ana. Karena selama tinggal bersama Tisa, perempuannya itu tidak pernah memasak untuknya. Seringnya justru dia lah yang kadang memasak untuk Tisa, selebihnya semua dikerjakan oleh pembantu di rumah mereka.
"Tidak usah. Sekalian saya mencuci piring bekas makanku." Ana tetap mengambil piring kotor tersebut lalu membawanya ke wastafel dan mencucinya. Diam-diam Ken tak lepas memperhatikan wanita itu. Menghela napas panjang. Jika dipikir-pikir lagi, Ana adalah sosok wanita yang cocok sebagai istri. Tidak hanya cantik tapi juga rajin. Buktinya wanita itu juga menjaga apartemennya ini dengan sangat baik. Rapi dan bersih saat tadi dia datang ke sini.
Usai dengan aktifitasnya, Ana bersiap kembali ke kamar. Bahkan wanita itu tidak ada niat bertanya pada Ken apakah pria itu akan menginap atau tidak. Mengingat ini adalah apartment milik Ken sendiri, jadi suka-suka hati Ken ingin tinggal di sini. Begitu pikir Ana.
"Ana!"
Panggilan itu menolehkan kepala Ana. Wanita itu mengurungkan niat untuk membuka pintu kamarnya.
"Mama ingin cucu," ucap Ken kemudian, yang tentunya mengejutkan Ana.
Perempuan itu membuka mulutnya tak percaya. Dengan mata mengerjab-ngerjab, Ana mencoba menelaah apa yang Ken maksudkan. Cucu. Itu artinya dia dan Ken harus melalui proses pembuatan anak dan itu tidak mungkin mereka lakukan.
"Lalu?" Justru tanya itulah yang terlontar dari mulut Ana.
"Kita harus punya anak agar Mama tidak lagi merecoki kita berdua."
Tiba-tiba Ana teringat sesuatu. Dengan berani wanita itu menjawab, "Bukankah Pak Ken sudah punya anak? Itu artinya mama Arum sudah punya cucu. Lantas, untuk apa juga kita harus punya anak lagi?"
Wajah Ken mengeras. Entahlah kenapa dia tidak suka mendengar jawaban Ana.
"Apa maksudmu, Ana?!"
"Chiko anak Pak Ken, kan?"