8. Festival Akbar

3770 Words
Rahi heran, semakin hari Willis semakin bertindak posesif. Seperti saat Rahi dekat-dekat dengan Kenzo, Willis langsung murka. Pernah sekali Rahi iseng mengedipkan sebelah matanya kepada Dion karena memang sudah biasa, dan saat itu bertepatan dengan pandangan Willis padanya, Willis melihat keisengan Rahi hingga menilainya genit. Tiba-tiba Willis nyinyir, katanya: Belum aja aku colok. Vokal datar Willis saat itu menjadi mantra bubarnya Rahi dan Dion di koridor yang sebelumnya sedang bercanda. Hingga waktu berlalu, berganti hari dan tiba di durasi H-1 festival akbar. Tinggal satu hari lagi mereka sedang sibuk-sibuknya kegiatan, apalagi Willis. Rahi juga tak mau kalah, dia menyibukkan diri dengan latihan ketat bersama partner nyanyinya. Kenzo Cahyo Kusumo, salah satu turunan dari garis keluarga berdarah biru. Di antara teman-teman Willis, hanya Kenzo yang punya marga ningrat di belakang nama. Sedikit pengetahuan mengenai silsilah turunan dari jajaran orang tampan. Jika Key turunan Belanda campur Asia dan tinggal di Indonesia, maka Leon asli China yang terdampar di Indonesia, hanya saja Leon sering tumpengan sekedar untuk ganti nama. Lain cerita dengan Lei, meskipun sama-sama dari China seperti Leon, tapi ibunya Lei asli orang Jawa Barat. Lalu Willis Wiliam, dia orang Padang rasa USA. Tampangnya bule, kulitnya putih bagai s**u, dan yang paling utama adalah hidung bangir yang membuat iri setiap manusia. Mereka semua hidup dan berkembang dewasa di Indonesia karena beberapa faktor. Rahi mengangguk paham, sejak tadi dia sedang memerhatikan Kenzo yang tengah memainkan vokalnya. Mereka sedang latihan. “Ra, jangan dilihatin terus guenya. Nanti kalau lo naksir, gue yang repot,” kata Kenzo percaya diri. “Gelo!” Kenzo terkekeh. “Giliran lo yang nyanyi.” *** “Cintaku … Tak pernah memandang siapa kamu. Tak pernah menginginkan kamu lebih. Dari apa adanya dirimu, selalu. Cintaku … Terasa—” “Stop! Stop!” seru Key sambil menutup daun telinga. Willis menatap datar ke arahnya. Key lanjutkan, “mending lo dance aja deh, Wil. Gue gak yakin sama suara lo.” Memang dasar laknat sekali. Untungnya Willis sudah kebal, muka tembok dan biasa saja dikatai seperti itu oleh temannya. Leon saja sampai meringis ketika mendengar suara emas Willis. “Gue pengen duet sama Rahi.” “Wakwaw!” pekik Key merasa lucu dengan maunya Willis, “mana ada Ratu vokal kolaborasi sama lo,” imbuhnya menimbulkan suara dengusan kasar dari Willis. Leon terkikik. Lei hanya menyimak, dia sibuk berselancar dengan dunia maya. Terjadi keheningan. Hingga berikutnya Lei menciptakan kehebohan di sana. Dia menunjukkan layar ponselnya ke seluruh kawan seperjuangan seraya menyeletuk, “Rahi kalau lagi nyanyi cantik, ya?” Rajungan sinting! Baik Key maupun Leon menegang, keduanya saling lempar pandangan, lalu serempak melirik Willis yang terlihat jelas mimik kerasnya. Yang Lei tunjukkan adalah potret pemancing peperangan. “It's okay, Wil … cuma foto,” kata Leon mencoba untuk menenangkan, sayangnya tak mau Willis dengarkan. Lelaki itu bangkit mengambil langkah pasti meninggalkan mereka di atap. Leon mendesah. Sepeninggalan Willis, Key berucap, “Gue gak mau tanggung jawab kalau bulan depan si Rahi hamil!” “Cuci otak sana!” cetus Leon. Lagi, hanya Lei yang tidak terpengaruh oleh perginya Willis, dia masih saja sibuk dengan ponselnya. Sampai merasa janggal, Lei bertanya, “Loh … Rahi selingkuh sama Kenzo apa gimana? Kok fotonya ciuman?” Padahal Lei sendiri yang menunjukan foto itu ke mereka. “Eh, ini si Willis ke mana?” Rasanya … ingin sekali Key keluarkan jurus seribu bayangan. “Musnah lo, Kambing!” *** “Jangan diseret … Woi! Itu orang bukan koper!” teriak Kenzo yang berakhir angin lalu. Hingga pintu ruang klub musik tertutup pun suara Kenzo diabaikan. Maka, di sinilah Rahi sekarang. Willis yang datang dan tiba-tiba menariknya hingga sampai di gudang. “Apa-apaan sih, Wil?” Serius, Rahi tak paham dengan tingkah pacarnya yang kelewat tempramen ini. Walaupun raut Willis terlihat santai dan datar, tapi Rahi yakin di balik itu semua pasti ada apa-apanya. “Willis!” Lelaki itu diam saja, yang ada Willis ngambil tali dan mengikatnya di pilar kayu yang terlihat bobrok. Ini di gudang, pastinya gelap. Rahi berontak, “Mau lo apa, sih?!” “Ra, berapa menit kamu ciuman?” intonasi yang bernada: Ra, kamu cantik banget hari ini. Rahi mengeryit. Tangannya yang terikat di belakang pilar pun sedang dia usahakan agar terlepas. Otak cantiknya mencerna pertanyaan itu. Tapi kenapa Willis bertanya demikian? “Nggak tahu,” Rahi bahkan tidak paham dengan pertanyaan Willis. “Aku gak tahu. Kamu kenapa nanya kayak gitu? Ini aku ngapain diiket?” Mencoba untuk bersabar, tapi tindakan Willis semakin kurang ajar. “Mau ke mana?” Tanpa kata Willis mengambil langkah mundur. “Willis!” Sementara Rahi panik, Willis justru berbalik. “EH, WILIAM, JANGAN TINGGALIN GUE!” teriakan Rahi pun tak digubris. “JANGAN PERGI!” Tapi pintu sudah ditutup. Willis pergi, Rahi mencelos. Dia yang takut gelap ditinggalkan dalam sunyi dan senyap. “COWOK EDAN!” Rahi menjerit. Dia terus menyebut nama Willis dan tak lupa untuk mengabsen seluruh isi kebun binatang. Hingga kini Rahi menangis, ditambah keringat dingin yang bermunculan dari pori-pori, Rahi gemetar. Dia menutup rapat kelopak matanya, kegelapan mencekik di mana siluet hitam bermunculan dalam otaknya. Achluophobia, Rahi Dinata menderita phobia kegelapan. Tak ada yang tahu, bahkan Willis sekalipun. *** Hanya membutuhkan waktu singkat, seketika kabar burung menyebar luas. Para komplotan penggibah asyik membicarakan tentang kejadian beberapa menit lalu. Info terkini dan menjadi big news di kampus mereka yaitu, “Si Willis jomblo, Guys!” “Serius, mereka putus?” “Si cewek nyosor kakanda gue, emang dasar kelabang. Kang Cahyo ternodai!” “Tapi tadi gue lihat si Key komen, katanya foto itu editan heters,” ucap perempuan ketiga sambil memakai maskara. Lalu perempuan pertama berucap lagi, “Hilih! Percaya lo sama Bang Key? Tuhan lo ada dua!” Dan terus seperti itu, tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya. Sementara itu, beberapa menit telah berlalu di sebuah gudang. Katakan, siapa lelaki yang paling berengsek di dunia ini? “Ra?” Willis Wiliam yang saat ini sedang speechless dalam ketercekatannya. “Hei—kamu tidur?” vokal Willis berubah serak. “Rahi!” Percuma. Seberapa tinggi nada suara yang Willis keluarkan pun Rahi tetap terpejam. Willis kira Rahi sedang tidur, dan idiotnya baru dia sadari bulir keringat yang Rahi keluarkan sebesar biji jagung. Willis terkesiap, refleksnya langsung bergerak cepat. Membuka ikatan dan membopong tubuh Rahi ala pengantin baru. Harusnya dia tidak menghukum Rahi, aturan dia bertanya dan mengorek penjelasan dari Rahi, bukan malah bertindak tanpa otak. Kebodohan natural itu menyakiti Rahi. Willis mengerang, dia cemas. Dan kenapa … kenapa dia menangis? *** Sebelumnya, Kenzo pernah bertanya. “Ra, kalau gue Willis … lo mau nyanyiin lagu apa buat gue di acara festival nanti?” “Sayangnya, lo bukan dia.” Sambil tertawa Rahi bilang seperti itu. Kenzo senyum, sebuah kurva di bibir yang terkesan miris. Itulah sebagian kisah yang sedang Kenzo ceritakan kepada teman-temannya saat ini. Di ruang klub musik, Key beserta jajarannya mendatangi keberadaan Kenzo. Mereka penasaran tentang foto yang menyebar luas itu, meminta klarifikasi benar atau tidaknya dari sang pelaku dalam potret tersebut. “Terus, sangkut pautnya sama foto itu di mana?” tanya Leon gemas sendiri. “Gue belum beres cerita,” sergah Kenzo. “Klimaksin dulu deh, jangan setengah-setengah,” kata Key. Sementara Lei hanya manggut-manggut saja sambil sesekali memainkan senar gitar. Kenzo tertawa sumbang sambil berkata, “Gue maksa.” Tatapannya berubah serius. Key sampai terkesima. Lei memfokuskan diri dengan kunci E di gitarnya, sementara Leon diam menyimak. Kenzo kembali berkisah, “Sedikit pembujukan, akhirnya Rahi mau nyanyiin lagu buat gue—sebagai Willis.” Lei meringis, Kenzo menarik gitarnya tanpa permisi. Kemudian mulai memetik senar gitar. “Ini lagunya …,” kata Kenzo saat tangga nada yang dia mainkan sejalan dengan yang pernah Rahi nyanyikan sebelumnya. Menunjukkan jenis lagu seperti apa, Kenzo mulai bernyanyi. “..., selama nafasku masih berdesah. Dan jantungku terus memanggil indah namamu. Takkan pernah hati ini mendua. Sampai akhir hidup ini….” Itulah akhir lagunya. Sebuah lagu yang Kenzo nyanyikan saat ini, kemudian pria itu  meletakkan gitarnya di pinggir kursi. “Miris banget,” celetuk Key. “Penolakan sebelum nembak ini mah,” tambah Lei. Leon terkekeh. “Lo cuma mau main-main kan sama Rahi? Ken, dia nggak main-main sama Willis. Secara gak langsung Rahi bilang, dia mau setia sama Willis,” Leon menjeda, “dan cara lo main-main sama milik Willis … itu salah.” “Jadi, foto yang tadi tersebar di internet itu asli?” tanya Lei. Kenzo bungkam. “Njir! Siapa yang nyebarin kalau gitu? Siapa yang fotoin?” Anehnya malah Key yang murka. Leon menggeleng dramatis sambil berkata, “Kita sahabatan gak sebentar, loh….” *** “Kenapa bisa pingsan?” Bukan lagi di gudang, bukan juga di UKS. Willis membawa Rahi langsung ke rumah sakit terdekat. “Efek cemas.” Itu yang dokter tahu, karena itu yang hanya dapat dijangkau oleh sang dokter. Rahi belum bangun, oleh sebab itu prediksi yang didapat pun hanya sedikit, untuk kesehatan fisik Rahi cukup baik. Willis menghela napas pelan. Otaknya bertanya-tanya: cemas kenapa coba? Dokter itu lengser setelah urusannya beres. Willis duduk di sisi ranjang rawat. “Ra, kamu sengaja ya?” Hening memeluk ruangan. “Kamu pengin aku jantungan apa gimana, nih? Kok sampai sekarang gak bangun-bangun?” Willis mengoceh, selain itu tetap sunyi, yang ada hanya suara embusan napas panjang dari Willis sendiri. “Nabila juga pernah pingsan,” dan lagi-lagi katanya, “tapi Nabila nggak sampai berjam-jam kayak kamu.” Selalu Nabila. “Ra, jangan lebay dong.” Untungnya Rahi masih terpejam, dia tidak mendengar. Namun, tatapan Willis berkata sebaliknya. Ada kalanya seorang penerjemah handal dibutuhkan di sini. Karena ucapan dengan suasana hati Willis yang sebenarnya selalu berkebalikan, atau bahkan mengandung makna terpendam. “Aku gak mau jadi duda sebelum nikah.” Coba artikan! Sesungguhnya hanya Willis yang tahu arti dari kalimat-kalimat ucapannya barusan. Punggung tangan Rahi pun Willis kecup berulang-ulang. *** “Gak mau pulang lo?” “Gue nunggu Rahi,” jawab Kenzo. “Ngapain, sih? Dia lagi sama cowoknya,” kata Key lagi. Kenzo menghela napas berat, “Justru itu, gue merasa gak enak aja. Itu salah paham, tapi malah Rahi yang kena imbasnya.” Key menepuk pelan pundak kiri Kenzo. “Makanya, Ken, kalau main-main jangan kelewatan. Lo boleh jadi player, tapi jangan ngincer cewek orang juga. Kalo gue jadi Willis, udah dari dulu gue tebas ginjal lo.” Key langsung pergi setelah mengucapkannya, meninggalkan Kenzo yang mendengkus jengkel karenanya. “Eh, Ken … lihat Willis gak?” Kenzo mendengkus part dua. “Lihat.” “Di mana? Gue cariin di fakultasnya kok gak ada, ya?” Nabila kebingungan sendiri. Kenzo tertawa. “Ya iya lah, gak ada. Coba kalau lo nyarinya di Hotel 69 depan kampus, kamar 0101. Cek aja, Willis ada di sana.” Makin bingung, tambah linglung. Nabila membeo, “Ngapain?” Kenzo mengedikkan kedua bahunya tak acuh, tapi rautnya seperti yang 'iya banget' sambil berkata, “Biasa ... tiap hari jum'at Willis main colok-colokan sama Rahi.” Nabila berkedip. “Eh, Bil, gue duluan ya!” Tidak tahu kenapa, rasa-rasanya Nabila ingin memusnahkan satu biji chili yang terus-terusan nempel bersama Willis-nya. Nabila tidak suka. *** Willis senang sekali. Sumpah, tidak berbohong! “Aku suapin, ya?” Rahi sadar, gadisnya telah siuman beberapa menit yang lalu. Sekarang saja cewek itu sedang duduk bersandar sambil menggelengkan kepala tanda penolakan. “Nggak lapar,” jawab Rahi. “Sesendok aja ... makan, ya?” bujuk Willis. Raut Rahi terlewat datar. “Biar apa, sih? Maksa banget,” ketusnya dalam balas berucap. “Nanti kamu sakit—” “Gue udah sakit!” “Dan aku gak mau itu—” “Bulshit!” “Ra—” “Pulangin gue!” Willis bungkam, menelan gumpalan salivanya bulat-bulat. Rahi marah dan Willis tahu itu. “Gue mau pulang.” Kini suara Rahi melemah, tatapannya pun berubah sayu. Kalau sudah seperti ini, Willis bisa apa? Yang Rahi inginkan akan Willis turuti. Dengan syarat, “Yaudah, aku nginap di rumah kamu, dan nanti aku yang izin sama Mama.” Yang Willis maksud adalah ibunya Rahi. Itu yang Willis katakan sebagai balasan. Sampai akhirnya Willis membawa Rahi pulang setelah mendapat izin dari dokter. *** “Makasih ya, Wil, udah mau repot gendongin anak Mama.” Willis tersenyum. “Repotnya Willis buat Rahi itu kewajiban, Ma, bukan beban.” Di sana Rahi mengerlingkan malas bola matanya, bibirnya pun mencibir untaian kata dari pacarnya. Well, mereka telah tiba di kediaman Rahi. Karena pacaran sudah lebih dari dua tahun, Willis dan orang tua Rahi dapat dikatakan memiliki hubungan dekat seperti mertua kepada menantunya. “Ma, Willis nginap ... boleh?” Woyajelas. Rahi menoleh cepat, dia bahkan hendak melompat dari gendongan Willis menuju kamarnya. “Soalnya Rahi gak mau makan kalau Willis nggak ada,” tambahnya. Dan sekarang Rahi sudah duduk tegak tepat ketika dia telah Willis turunkan di kasur. “Aku gak bilang gitu!” protes Rahi. Willis balas dengan senyum, tangannya pun mengusap sayang kepala Rahi. Mariam hanya bungkam memerhatikan. Mariam Herlambang, sang ibunda dari Rahi Dinata. Willis berucap, “Ra, bohong boleh, tapi munafik jangan.” Mariam tertawa. “Iya, iya. Mama paham, tapi kalau Willis nginap … nanti apa kata tetangga?” “Kan Willis tidurnya di sofa, bukan di kamar. Kalau ada berita yang nggak-nggak, Willis terima.” “Eh, Wil … lo kok ngeselin, sih?” Mariam menggeleng jengah. Anak muda. “Jangan macam-macam, ya! Mama tinggal sebentar. Soal nginap, izinya sama Papa Rahi aja, Wil. Sebentar lagi juga pulang.” Dan di sanalah seringaian Willis terbit. Pintu memang tidak di tutup agar bisa dipantau, tapi bisikan Willis hanya Rahi yang dengar. “Aku gak akan macam-macam, Ra. But, I want to remove the Kenzo trace on your lips.” Rahi bergidik, seringaian Willis mengerikan. “Kamu ngomongnya yang bener dong, Wil. Aku nggak paham. Inget juga, jangan berani macem-macem!” *** Besok itu acara festival, dan Bian sudah siap lahir batin dengan lagu yang akan dia bawa di acara nanti. Niatan ingin duet dengan Ratu vokal, tapi malah jadi nyanyi sendiri. Kan kesannya jadi seperti jomblo beneran. Ngomong-ngomong, Bian juga punya kawan. “Bian, lo suka sama Rahi?” tanya Xian. Bian menggeleng. “Nggak,” seringan kapas Bian lanjutkan, “gue sukanya sama Willis.” “Wahgelaseh!” Kris tersedak oleh minumannya, “keselek es batu, nih! Lo kalau ngomong yang iya-iya dong!” Xian Triyatno menyerahkan air dukun kepada temannya. Mereka sedang berkumpul di rumah Bian. Meskipun mereka para mahasiswa berkacamata, tapi style Kris lah yang paling keren di antaranya. “Serius?” tuding Xian. Bian berdecak, “Gue bukan tipikal jeruk makan jeruk.” “Jantan versus jantan it’s not my style,” celetuk Kris. Mereka tertawa bersama. Sebelum akhirnya Xian kembali bertanya, “Eh, itu soal foto di medsos serius lo yang edit?” Bian mengangguk. Kris mendengkus, “Biar apa coba?” Yang ada Bian malah tertawa. “Boleh aja penampilan gue cupu, tapi otak nggak kayak gitu. Biar ada asap, gue harus munculin api, kan?” *** Sialan. Rasanya Rahi ingin teriak. Willis mencuri kecupan tanpa ampun. Mungkin di mata orang-orang itu terkesan romantis dan manis, tapi sungguh tidak untuk Rahi. Dia justru merasa bahwa rasa yang Willis miliki terhadap dirinya hanyalah sebuah obsesi. Dia baru tahu, jika seorang Willis Wiliam berani melecehkannya, tangan nakal Willis mengambil andil yang tak Rahi sukai. “Berengsek!” pekik Rahi. Kepalanya menggeleng lemah, “Nggak, lo lebih berengsek daripada cowok berengsek!” koreksinya berucap lagi. Willis hanya diam menormalkan embusan napasnya. Dengan kasar Rahi menghapus air mata yang jatuh tanpa diminta, kemudian bangkit terduduk. Rahi menatap nyalang lensa pekat milik kekasihnya. Seseorang yang nyaris tak bisa menjaganya sebagai wanita, Rahi tak suka. Dan—oh tidak—bukan kekasih, karena Rahi benar-benar hilang batas kesabaran. “Selama dua tahun ini gue merasa … gue itu cewek lo. Tapi sekarang, gue paham.” Mata Rahi semakin berkaca, dan bibirnya bergetar tak kuasa menahan emosi dalam jiwa. Hingga Rahi rampungkan bicaranya. “Paham banget. Selain pelampiasan, gue bahkan merasa bahwa gue adalah b***k nafsu lo doang.” Karena Willis hanya diam, Rahi tertawa dalam nyeri di hatinya. “Hina banget!” Dan Willis tetap bungkam. Baik, Rahi menyerah. “Putus aja, yuk?” Rahi sudah tak tahan. Raut wajah Willis pun tak mampu Rahi baca, terlampau datar dan biasa saja. Sakitnya, Willis malah pergi tanpa sepatah kata. Sementara itu, di anak tangga Willis bertemu mamanya Rahi yang membawa nampan berisikan makanan. “Willis numpang ke kamar mandi, ya, Ma?” Mariam terkekeh dibuatnya. “Izin segala, biasanya juga nyelonong aja, Wil.” *** Mungkin, mulai sekarang Rahi akan belajar bermain drama. Dia butuh bakat akting dan harus menumbuhkan dalam dirinya. Karena besok adalah acara festival akbar dimulai, Rahi harus pura-pura bahagia … iya, kan? Berlainan dengan itu, di kamar mandi, Willis membasuh wajahnya dengan air keran. Lalu dia bercermin, ternyata orang ganteng juga bisa diputusin cewek lebih dulu. Sekali lagi, Willis membasuh wajahnya berulang-ulang. Setelah merasa puas mengintrofeksi diri di kamar mandi, Willis keluar dengan tetesan air jatuh dari ujung rambut depannya. “Loh, ada Willis?” Lelaki itu terkesiap, ditegur oleh papanya Rahi membuat jantungnya berdetak maraton. “Iya, Pa. Willis mau nginap di sini kalau boleh.” Memang seperti itu, Willis sudah dekat dengan kedua orang tua Rahi. Mereka pacaran tidak sebentar. Waktu Rahi sakit dulu saja Willis pernah menjaga Rahi di rumah sakit sampai gadis itu sehat lagi. Masalahnya, ini di rumah. Memangnya boleh cowok ngungsi di rumah ceweknya tanpa alasan yang kuat? Gio Hardwinata, nama Papa Rahi, sekarang dia sedang tertawa. “Mau tidur di sofa … atau di karpet aja?” Seketika wajah Willis bersemu. “Boleh nih, Pa? Di mana aja Willis ikhlas.” Meskipun nada suaranya datar sekali. Pak Gio mengangguk. “Nikahin Rahi dulu kalau mau nginap di sini,” diiringi seulas senyum jenakanya. Alhasil Willis memilih pulang, belum siap untuk meminang anak gadis orang walaupun sudah ada niat. “Yaudah, tapi besok pagi Willis ke sini lagi buat jemput Rahi.” *** Hingga keesokan harinya, di kampus seperti biasa. “Icikiwir!” suaranya Key. “Asik-asik, duet maut nih di panggung. Nyanyi lagu apa, Ken?” tanyanya untuk sang kawan. Leon, Lei, Key dan Kenzo berangkat bersama semobil. Willis tidak ada, sudah mereka datangi ke rumahnya juga yang buka pintu malah Nabila. “Sialan banget nggak, sih?” celetuk Kenzo tanpa mengindahkan ucapan Key. Rautnya nampak marah. “Jadi, sebenernya selama ini Willis kumpul kebo sama mantannya?” tambah Lei yang paham dengan isi otak Kenzo. “Gue sih udah berprasangka buruk sejak awal.” Kenzo yang bilang. “Terus, Rahi tahu?” tanya Leon, “semoga jangan,” imbuhnya sambil menggeleng tanpa sadar. Mereka berjalan sejajar, langkah kaki yang kompak antara kiri dan kanan. Hening sejenak, sebelum kemudian Kenzo katakan, “Gue gak mau main-main.” Key menoleh sedikit. Raut Kenzo terbaca tak ada dusta. Sampai pada saatnya mereka tak mampu berkata-kata karena Kenzo yang berucap, “Kali ini gue serius. Dan tolong, jangan halangi usaha gue.” *** Di mobil pun saling diam, Rahi dan Willis yang kaku tak ada pembahasan. Di pikiran Rahi: sebenarnya kita putus belum, sih? Hingga kini mereka tiba di parkiran. Willis turun, Rahi juga. Meskipun pintu mobil penumpang Willis yang buka, mempersilakan gadis itu untuk keluar, tapi raut dan bibirnya masih datar dan rapat sempurna. Padahal saat tadi menjemput Rahi di rumahnya, Rahi merasa Willis masih bisa berbicara. Tapi sekarang kesannya Willis seperti memiliki kepribadian ganda. Kemudian mereka berpencar ke habitatnya masing-masing tanpa mengucapkan sepatah kata, atau bumbu pemanis perpisahan jejak. Rahi mendengkus. “Oh … udah putus,” desahnya menyimpulkan. Jadi, mereka jomblo sekarang. Dan acara festival akbar ini secara tak langsung adalah event perayaan hari putus mereka. Sialan sekali! *** “Udah pada siap semuanya?” Semua pemeran drama bertutur serempak, “Siap!” “Nabila, siap?” “As always,” sambil tersenyum, “Siap!” rampungnya. “Willis, bagian kita sepuluh menit lagi. Cepet ganti kostum!” kata Tio merasa jadi sutradara. Berlainan dengan klub musik. Karena ada gabungan dari klub vokal, ruangan mereka jadi penuh. Tak lupa isi di antaranya ada Bian, Kenzo, dan Rahi. Di kawasan klub itu ada lapangan terbuka yang dikhususkan untuk acara-acara seperti saat ini. “Kok, lesu?” tanya Kenzo sambil memberi sebotol air mineral kepada Rahi. “Nih, minum dulu,” katanya lagi. Pergerakan Rahi tak luput dari perhatian Bian. Mata sipitnya memicing tak suka kepada Kenzo yang sikapnya SKSD sekali. “Jangan lupa liriknya, ya!” Tangan besar Kenzo pun mengacak pelan rambut Rahi. “Ah, rusak nih tatanan rambut gue!” gerutunya, Rahi sedang sensitif. Tapi Kenzo tertawa. “Yaudah sini, gue benerin.” Bayangkan! Posisi mereka hanya berjarak sedikit. Karena Kenzo tinggi, jadi wajah Rahi hanya berhadapan dengan dadanya saja. Dengan telaten dan sengaja dilama-lamakan, Kenzo membenahi rambut Rahi menggunakan jari tangannya. Rahi sih biasa saja. Dia diam sambil melamun, sedang patah hati. “Eh, gila! Dramanya udah dimulai. Alami banget, Ya Tuhan … Nabila panutan gue!” heboh perempuan yang baru saja datang di ruang klub musik. Rahi mematung, Kenzo berbalik, Bian tersenyum. “Udah mulai, ya?” “Cepet, Guys! Kita udah harus ada di balik panggung.” Gadis itu lagi yang bilang tanpa mengindahkan pertanyaan Kenzo. “Soalnya abis ini giliran Rahi yang tampil.” *** “Ada apa kau bertemu dia. Mungkinkah kau ingin bagi cintamu. Jika memang kau bagi cintamu. Masih pantaskah kujaga hatiku….” Willis yang selalu Rahi temukan eksistensinya dengan Nabila. Karena mungkin pria itu belum move on dari sosoknya. Makanya, untuk membagi perasaan dengan mantan itu mudah, kan? Sekalipun dasarnya Willis adalah pacar Rahi yang sekarang sedang menyanyikan lagu Azmi, Pernah. “Ingatkah … semua kata yang kau ucap dulu. Kau berjanji untuk setia. Kini kutanya ke mana janji itu kau buat….” Willis pendusta. Memang Willis jarang berjanji, tapi bukan berarti tidak pernah sama sekali. Willis yang bilang ketika Rahi marah dulu, saat Willis bermain peran dengan Nabila, katanya: “Aku seneng kamu cemburu, tapi jangan kelewatan. Dia cuma mantan. Kamu pacar aku, dan aku setia. Janji.” “Pernah sakit, tapi tak pernah sesakit ini. Karena pernah cinta, tapi tak pernah sedalam ini. Aku ingin semua cintamu hanya untukku. Memang ku tak rela kau bagi untuk hati yang lain….” Semua emosi Rahi keluarkan dalam lantunan lagunya. Mata yang sudah berkaca tanpa sengaja bersirobok dengan sosok Willis di ujung sana. Lelaki itu menyaksikan tampilannya. “Jika memang kau bagi cintamu. Ke mana janji itu kau buat….” Bukan hanya Willis, tapi Bian, Kenzo dan jajarannya pun hanya mampu bungkam mendengarkan. “Kau buatku menangis tanpa air mata. Sampai kuteriak pun sudah tak ada suara….” Penonton yang lain teriak. Heboh, baper semua. Rahi terus bernyanyi, tatapannya tak lepas dari Willis. Seseorang yang mungkin hanya tinggal kenangan. “Pernah sakit tapi tak pernah sesakit ini. Karena pernah cinta tapi tak pernah sedalam ini. Aku ingin semua cintamu hanya untukku. Memang ku tak rela kau bagi untuk hati yang lain….” Rahi bersnenadung dalam pejaman. Lagu Azmi yang dia dendangkan terkesan penuh perasaan di balik vokal merdunya. “Pernah sakit … pernah cinta. Ku tak rela kau bagi untuk hati yang lain….” Dan ketika itu, air mata Rahi meluruh. Emosinya tersalurkan dengan sempurna. Lagu berjudul Pernah milik Azmi yang dia nyanyikan mampu mengguggah teriakan penonton hingga sampai minta lagi. Sementara Willis melangkah meninggalkan tempatnya. “Gila! Gila! Gila! Woi, gue nggak nangis, cuma keluar air mata aja setetes!” Key yang heboh sendiri. Ada perkumpulan orang tampan di balik panggung. Kenzo meneguk sebotol air ber-ion tinggi. “Serius, Ra, dua jempol buat suara lo!” kagum Leon sambil mengacungkan dua jempolnya. Rahi tertawa. Isi otaknya dipenuhi dengan adegan-adegan romantis drama Romeo & Juliet yang sebelumnya Willis mainkan. Sesak. Rahi tidak kuat, untuk itu dia hanya nonton sekilas. Di drama tersebut berkisah tentang: Willis yang rela mati untuk Nabila. Kesannya di mata Rahi itu seperti nyata. “Ra, habis ini kita duet. Jangan lupa liriknya!” kata Kenzo mengingatkan. *** Karena sekarang, bagian Bian lah yang sedang bernyanyi. “Kaulah segalanya untukku. Kaulah curahan hati ini. Tak mungkin kumelupakanmu. Tiada lagi yang kuharap. Hanya kau seorang….” Hanya dia yang Bian inginkan. Hingga lagu berakhir dan dia balik lagi memasuki ruang di balik panggung. Rahi Dinata, sama sekali sosoknya tidak melirik keberadaan Bian di atas panggung. Karena itu, senyuman miris terukir di bibirnya. Bian pesimis, perempuan mana yang benar-benar mau sama pria cupu? Lagu Kaulah segalanya milik Ruth Sahanaya yang Bian bawa tak ada artinya bagi Rahi. Lalu, tampilan berikutnya. Mungkin Willis akan murka. Dia bahkan sudah memancarkan aura tak sukanya. Duduk manis bersedekap d**a di kursi penonton jajaran utama. “Terakhir, kutatap mata indahmu. Di bawah bintang bintang. Terbelah hatiku. Antara cinta dan rahasia.” Rahi yang bernyanyi dan Willis mendengar suara merdunya. “Ku cinta padamu, namun kau milik sahabatku.  Dilema, hatiku … andai kubisa berkata sejujurnya.” Rasanya Willis ingin naik ke atas sana, menarik tangan Rahi dan mengajaknya untuk turun dari panggung. “Jangan kau pilih dia. Pilihlah aku yang mampu mencintamu lebih dari dia. Bukan kuingin merebutmu dari sahabatku. Namun kau tahu, cinta tak bisa … tak bisa kau salahkan.” Willis benar-benar tak suka. Entah kepada mereka berdua yang duet di atas panggung atau kepada lirik lagunya. “Kucinta padamu, namun kau milik sahabatku. Dilema, hatiku… andai kubisa berkata sejujurnya….” Willis berdecih. Itu Kenzo yang bernyanyi. Benar-benar sialan mengesalkan sekali. “Jangan kau pilih dia. Pilihlah aku yang mampu mencintamu lebih dari dia. Bukan kuingin merebutmu dari sahabatku. Namun kau tahu, cinta tak bisa … tak bisa kau salahkan.” Super sialan! Willis mengerti, lagu yang Kenzo nyanyikan isinya tidak main-main. Bahkan sempat-sempatnya Kenzo menyeringai dengan tatapan mata yang tertuju untuk Willis di sini. “Jangan kau pilih dia. Pilihlah aku yang mampu mencintamu lebih dari dia. Bukan kuingin merebutmu dari sahabatku. Namun kau tahu, cinta tak bisa … tak bisa kau salahkan. Tak bisa kau salahkan… Tak bisa kau salahkan.” Fix. Murka. Suara kolaborasi antara Rahi dan Kenzo membuat Willis tak berdaya. Tatapan mata mereka berdua pun sangat menjiwai. Sekali lagi, Willis tidak suka. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD