7. Menjelang Festival Akbar

2213 Words
Besoknya, Minggu pagi di rumah Rahi. Buruk. Mood Rahi sedang buruk, sangat buruk. Ketika seseorang membanding-bandingkannya dengan yang lain, atau bahkan menyamakan dirinya dengan orang lain. Karena Rahi merasa dirinya lain dengan yang lain. Di dunia ini tak ada hal serupa yang benar-benar sama. Anak kembar saja pasti ada bedanya, apalagi Rahi dengan Nabila. Seperti sekarang, Rahi membalas pesan singkat dari kekasihnya. Perlu diketahui isi percakapan singkat mereka sebelumnya. SMS yang Willis kirimkan benar-benar mampu membangkitkan setan kecil dalam hati Rahi. Willis: Aku kan udah bilang, jangan dekat-dekat sama Kenzo atau siapa pun. Kenapa nggak nurut? Rahi: Harus banget, ya? Willis: Iya. Rahi: Beda, ini lain urus-urusnya. Aku gak bisa kalau gak dekat, sementara Kenzo itu temen duet aku buat nanti acara festival. Dan rasanya Rahi ingin mencabik-cabik otot Willis karena balasan berikutnya seperti ini: Batalin. Gak perlu duet, ini acara sunnah. Gak ikut partisipasi juga nggak masalah. Maka, Rahi balas dengan jengkel maksimal. Enak saja, apa-apaan Willis itu! Yang Rahi kirimkan: Gak bisa. Lo aja gak bisa batalin kolab bareng Nabila, kan? Hanya selang beberapa detik balasan Willis sampai, isinya: Kamu kayak batu. Keras. Rahi tak mau kalah, dia balas dengan: Terus, lo apa? Beton? (¬_¬) Kata Willis: Ra, kapan sih kamu mau dewasa? Coba deh tengok Nabila, dulu waktu pacaran sama aku, dia nggak kayak gini. Kalau aku bilang A, dia nurut. Sedangkan kamu nggak. Jangan kayak anak kecil, bisa? Rahi mencelos, membaca itu seketika emosinya naik pitam. Dia balas dengan kalimat keramatnya: dibilang, suka-suka gue! Begitulah cuplikan singkatnya. Dan setelah itu, Rahi lemparkan ponselnya ke atas ranjang, dia mendengkus. Harusnya isi pesan singkat Willis itu ‘Morning’ pakai titik dua bintang, bukannya malah kalimat ajakan perang. Coba pikirkan, siapa sih yang mau dibanding-bandingkan dengan orang lain? Siapa juga yang suka saat dibilang sama seperti batu? Tidak ada. Tak akan pernah ada. Rahi juga tidak mau, tidak suka, dan nggak banget. Minggu pagi yang cerah ini justru minggu pagi yang suram bagi Rahi. Hingga pada ponselnya berdering menandakan ada sebuah panggilan masuk. Rahi sewot, “Apa lagi?! Belum puas ngata-ngatain gue?! Gak sekalian aja gitu nyamain gue kayak baby snake?” Napas Rahi memburu karena emosi. Dia menerima panggilan itu tanpa tahu siapa gerangan yang menguhubunginya, pasti Willis. “Ra, lo kenapa? Ini gue Kenzo.” Rahi salah. Dan sekarang dia speechless. *** “Wil, dramanya nanggung banget, ya?” kata Nabila. Willis hanya diam sambil memandangi ponselnya. “Kenapa gak sekalian fifty shades aja yang kita mainin?” kata dia lagi. Willis tetap bungkam. Minggu pagi ini Willis sedang latihan drama di kampus. Sebelum dimulai kegiatannya, mereka menyaksikan rangkaian movie-nya terlebih dahulu untuk nanti dimainkan. Rupanya judul film yang ditentukan untuk drama mereka adalah Romeo & Juliet. Film romantis yang berupa kisah tragis, bagi Nabila itu nanggung. Tapi bagi Willis, itu sudah lebih dari cukup untuk membuat gadisnya ngamuk seperti dulu. Rahi pasti akan kibarkan bendera perang di hubungan mereka, Willis yakin. Tapi kenapa Willis tidak menolak dan malah memilih untuk tetap lanjutkan menjadi peran utama dalam drama? Oke, simpel. Jawabannya hanya satu, semua itu karena Willis belum bisa rela jika yang menjadi Romeo adalah pria lain, sementara Julietnya itu Nabila. “Wil, yang ngomong itu aku, bukan ponsel. Kenapa benda itu terus yang dipandangin?” komentar Nabila yang Willis tanggapi dengan dehamannya. “Siap-siap, ya, kita mulai latihannya!” suara Danil menginterupsi. Lalu semua yang ada di sana bergerak mematuhi. Seketika semangat Willis runtuh, karena sampai saat ini pesan singkatnya tak ada balasan dari Rahi. *** “Yuk, naik!” Rahi turuti. Dia duduk di jok belakang Ninja Kenzo yang sukses membuat Rahi nungging. Body sialan yang sungguh hakiki, Kenzo menang banyak. “Pegangan ya, Ra! Aku mau ngebut.” “Siap!” kata Rahi dan mencengkram pinggiran jaket yang Kenzo kenakan. Lelaki itu tersenyum kecut, tidak puas. Kecepatan yang semula di atas rata-rata pun Kenzo turunkan, kini sebatas 40 km/jam. Hanya awalnya saja yang ngebut, ujung-ujungnya Kenzo longgarkan. Rahi masih dalam posisi yang sama, hingga kini mereka tiba di parkiran. Mereka turun dari motor, lalu disusul oleh motor yang lain. “GAS TERUS!” heboh Key. “MENTOK, LIN!” balas Leon teruntuk Key Berlyn. Kenzo dan Rahi tertawa. “Kalian kenapa?” tanya Rahi melihat tingkah aneh mereka. “Eh, ada Rahi?” goda Key. “Willis mana?” jahilnya Leon malah bertanya demikian. Para lelaki itu saling pandang-memandang. Kemudian Rahi terkikik. “Ada nih di hati.” *** Mungkin Willis memang tidak rela ketika Nabila berpasangan dengan orang lain dalam drama, mungkin juga Willis hanya belum bisa menerima jikalau yang jadi Romeo itu bukan dirinya. Tapi serius Willis tak rela, sama sekali tidak rela ketika mendengar dengan jelas bahwa Rahi Dinata ada di klub musik yang katanya sedang melaksanakan latihan nyanyi untuk festival nanti. Willis tidak rela dengan Rahi yang mau duet bersama lelaki sekalipun itu Kenzo. Benar-benar tidak rela. Willis bersedekap. “Udah latihannya?” vokal datar Willis mengudara, tatapannya terlewat tajam. Rahi terciduk, dia yang tadinya sedang asyik tertawa dengan Kenzo jadi tiba-tiba berhenti. “Santai, Wil. Rahi mainnya sama gue, bukan yang lain,” jawab Kenzo. Willis mengendurkan urat wajahnya yang semula mengeras kini berubah lembut. “Kalau gitu, gue duluan … Wil, jangan lupa besok kumpul di atap!” pamit Kenzo setelah cukup lama terjadi keheningan. Akhirnya Rahi pulang bersama Willis, kemudian saat ini mereka sedang berada di dalam mobil lelaki itu. “Wil.” Yang disebut membisukan diri, tapi Willis menoleh sebagai responsnya. Lalu kembali fokus dengan kemudinya. “Kamu suka banget, ya, sama Nabila?” Willis tetap bungkam. “Udah dua tahun, loh … masih belum move on juga?” Rahi mengembuskan napas pelan. Dia menatap lekat wajah Willis yang fokus mengemudi, perkataannya pun tidak digubris. “Dua tahun kamu putus sama Nabila, dua tahun itu juga kamu pacaran sama aku. Dan selama dua tahun itu, apa aja yang kamu lakuin dalam hubungan kita?” “Aku cium kamu.” Rahi tersentak. Dia tersenyum, namun lengkungan bibirnya tersirat rasa pilu—sebuah senyuman miris. “Aku ada buat kamu,” kata Willis lagi yang mampu membuat hati Rahi semakin sakit. Dari semua jawaban itu, satu pun tak ada yang Rahi anggap tepat sekalipun itu benar. Harusnya Willis bilang ‘Aku cinta kamu’. Karena Rahi memang tidak tahu apa arti dari Je t'aime saat itu. “Terus kenapa kamu larang-larang aku buat duet sama Kenzo?” “I'm jealous.” Rahi diam dengan kening berkerut, mengerti. “Padahal Kenzo itu temen kamu.” “Gak ngaruh. Aku gak suka,” ucap Willis. Lagi-lagi Rahi mengembuskan napas pelan, meski pada akhirnya dia tahu Willis cemburu. “Aku juga gak suka kamu main drama sama Nabila.” Willis yang bungkam. Cemburu itu artinya apa, sih? “Kamu masih suka sama dia, kan?” “Nggak.” Rahi tertawa, jawaban Willis dianggap lucu olehnya. “Bohong banget,” lirih Rahi setelahnya. Dia menutup mata, tapi lisannya terus berucap. “Kalau kayak gini terus, kapan kamu bisa suka sama akunya?” Willis membelokkan setirnya dengan mulut terkatup rapat. Lagi-lagi Rahi berucap, “Hati kamunya penuh sama Nabila.” “Ra, udah.” Willis mencoba untuk menghentikan ocehan Rahi. Sekalinya Rahi diam, dia malah meringis. Rahi memegangi perutnya, lalu membenarkan posisi duduknya. Membuat Willis menghentikan mobilnya di sisi kiri jalan, dia menepi. Suara isak tangis Rahi yang mengusik ketenangan mengemudi. “Kenapa?” Atensi Willis beralih sepenuhnya untuk Rahi. Gadis itu menunduk dalam tangisan yang tidak Willis mengerti apa sebabnya. “Ra?” Willis menyentuh bahu Rahi. “Kenapa?” Willis bertanya hal yang sama. Tidak tahan. Rahi menjawab terisak, “Sakit—sakit banget.” Willis tidak mengerti. Dia panik. Willis mencoba merengkuh Rahi dan mengusap punggungnnya dengan sayang. Mungkin kata-katanya banyak yang membuat hati Rahi sakit, ucapannya tak selaras dengan yang Rahi inginkan. Kekasihnya memang sedikit baperan. Willis hanya mampu bertutur, “Aku harus gimana?” “Cari toilet!” seruan Rahi dibalas oleh tindakan cepat Willis. Tanpa banyak bicara, Willis menuruti apa maunya gadis itu. “Ra, kamu sakit … tapi kenapa yang kamu cari malah toilet?” Tepat saat mereka tiba di pom bensin. Willis penasaran setengah mampus, dan sialnya Rahi langsung melesat begitu cepat meninggalkannya di dalam mobil. Karena cemas, Willis pun mengikuti ke mana perginya Rahi. Selang beberapa menit, Willis berdiri di depan toilet wanita. Lalu di sana Rahi membuka pintu dan hanya kepalanya saja yang keluar. Willis berbalik, wajahnya kentara khawatir sekali. “Wil, sini deh!” “Jangan m***m di sini,” kata Willis tak enak hati. Rahi mencibir. Lalu, Willis mendekat dan Rahi berbisik, “Aku datang bulan.” Anehnya, wajah Willis yang merona. Dan ajaibnya, justru Willis yang kelimpungan sendiri. Melesat pergi untuk sesuatu yang membuat Rahi terkikik dalam toilet seorang diri. *** Maka di sinilah Willis berada. Dia mematung, wajahnya bersemu meskipun ekspresinya terbilang datar. Dimulai dari Rahi yang sempat berkata: Wil, jangan asal ambil aja, ya. Bisa-bisanya Willis merona. Dia alihkan fokusnya pada setiap kotak yang ada dalam rak. Matanya menelisik jeli mencari warna, ukuran, serta ketentuan yang dimaksud. Tapi serius, Willis tidak mengerti. Ingin bertanya, tapi gengsi. Yang akhirnya Willis dapat bernapas lega. Paling ujung, paling pojok, di sanalah letak pesanan Rahi ada. Willis ambil satu bungkus, dia langsung menyerahkannya di meja kasir. Dengan wajah super datarnya Willis berlagak biasa saja, padahal hatinya bertentum menggelikan. Pertama kali dalam hidupnya, Willis membeli keperluan pribadi wanita. Dan sungguh sialan jahil sekali, Mbak kasirnya malah bertanya, “Untuk pacarnya, Mas?” Willis menggeleng. “Buat istri saya.” *** Rahi terdiam. Layar ponselnya berkedip dengan nada dering panggilan yang membuatnya mau tak mau harus mengangkat sambungan telepon itu. Di dalam bilik WC dia kumandangkan suara, “Halo?” untuk sang pemanggil. “Aku ada lagu, dengerin!” Rupanya Kenzo. Rahi iyakan. Kemudian Kenzo bernyanyi, Rahi diam mendengarkan. “Terakhir, kutatap mata indahmu di bawah bintang-bintang. Terbelah hatiku, antara cinta dan rahasia.” Serius. Suara Kenzo itu bagus sekali, Rahi saja sampai ikut hanyut ke dalam lantunan vokalnya. “Kucinta … padamu. Namun kau milik sahabatku. Dilema hatiku. Andai kubisa berkata sejujurnya….” Kenzo terus bernyanyi, tanpa iringan musik dan hanya dengan suara telanjangnya yang murni akan kelembutan serta kejernihan. Rahi suka, maka dari itu Rahi terus diam dan menyimak liriknya. “Jangan kau pilih dia. Pilihlah aku yang mampu mencintamu lebih dari dia. Bukan kuingin merebutmu dari sahabatku. Namun kau tahu, cinta tak bisa … tak bisa kau salahkan.” Seperti itu dendangan yang Kenzo bawakan. Pendengaran Rahi terlampau fokus dengan nyanyian Kenzo hingga suara ketukan pintu dari luar pun Rahi tak dengar. “Gimana, Ra?” Bertepatan dengan, “Ra, buka pintunya!” Tok … tok … tok! Rahi tersentak, dia melirik daun pintu dan refleks mematikan sambungan telepon tanpa mengindahkan pertanyaan Kenzo sebelumnya. Rahi mungkin sadar dengan perasaan Kenzo, tapi Rahi lebih sadar lagi dengan perasaannya sendiri, terlebih statusnya. “Kamu tidur?” tanya Willis saat pintunya dibuka. Rahi nyengir. “Mana pesanannya?” Tanpa banyak kata Willis memberikan bingkisan dalam genggaman. Rahi tersenyum, dia menerima dengan wajah gembira. “Makasih, Wil,” begitulah kata terakhirnya sebelum masuk lagi ke dalam bilik, menyisakan Willis yang lagi-lagi harus sabar menunggu di depan pintu toilet. *** “Ken, mendung belum tentu hujan. Deket belum tentu jadian,” celetuk Key. Salah satu dari koleksi pantunnya dia ucapkan teruntuk Kenzo yang sedang duduk meratapi sambungan teleponnya yang diputus sepihak oleh Rahi. “Mundur aja, gak ngotak lo deketin cewek orang.” Lei pun tak kalah sadis. Sementara es jeruk purut Leon habis tinggal setengah, dari tadi kegiatan Leon hanya minum sambil mendengarkan adu mulut para kawan sejawatnya. Dan selalu saja, yang jarang kumpul itu Willis. “Yaelah … iseng doang,” balas Kenzo setengah hati. Lei menyadari. “Tapi galaunya beneran,” kata dia. Disusul tawa Key, Kenzo berdecak, sementara Leon tersedak. “Lo serius suka sama Rahi?” tanya Leon setelah batuknya reda. Karena yang mereka pikir, pernyataan Kenzo adalah candaan. Sesuatu yang tak patut untuk dijadikan alasan sebagai simbol keseriusan. Bahkan Kenzo sendiri yang bilang, katanya: iseng doang. *** Sampai pada titik di mana mobil Willis berhenti di depan rumah Rahi. “Gak mau turun,” kata Rahi. Willis membuka sabuk pengamannya. “Udah nyampe, Ra.” Tetap saja Rahi tak mau. Rasa-rasanya p****t itu sudah melekat nyaman di jok penumpang mobil Willis. “Mau sampai kapan di sini terus?” tanya Willis. “Sampai kamu batalin kolab drama sama Nabila,” jawab Rahi. Willis menghela napas sejenak. “Aku lagi gak mau berantem.” “Yaudah, batalin dong! Biar hubungan kita lancar jaya, tentram, dan nyaman sejahtera.” “Gak segampang itu, Ra. Acara festival udah dekat, nyari pengganti buat tokoh utama itu susah.” Tahu kan bagaimana sensinya wanita datang bulan? Seperti Rahi sekarang, langsung turun dan membanting pintu mobil. Padahal sebelumnya Rahi betah di sana, tapi seketika Rahi merasa ingin jauh-jauh dari Willis. “Ra!” Brak! Gerbangnya pun Rahi banting, terus kunci. Berbalik dan melangkah menuju pintu rumahnya tanpa sudi untuk menatap wajah Willis. *** Jarum hidup terus berputar. Karena bumi pun sama, hingga pada akhirnya yang semula siang berubah petang, yang tadinya malam jadi pagi, hari kemarin pun sudah berganti, sampai tiba di mana matahari berada di atas kepala. Saat itulah latihan untuk acara festival dilaksanakan. Baik Rahi dengan Kenzo, maupun Willis dengan Nabila, ataupun yang lainnya. Mereka semua nampak tak semangat di siang ini. “Mau ngantin bareng gak, Ra?” “Nggak deh, gue langsung pulang aja,” jawab Rahi sambil membenahkan barang-barangnya ke dalam tas. Kenzo mengangguk. “Yaudah … kapan-kapan, ya?” “Oke,” balas Rahi sambil mengedipkan sebelah matanya. Kenzo tertawa, dia pun pamit meninggalkan Rahi di ruang klub musik. Sejak kemarin, saat kejadian di mobil Willis, sampai saat ini Rahi masih mogok komunikasi. Ponselnya pun Rahi matikan. Hanya gara-gara Nabila pikiran Rahi jadi terbelah dua. “Ra?” “Eh, iya?” Rahi tersentak. Bian tersenyum, Rahi pun tertular oleh senyumannya. Entah sejak kapan lelaki bernama Bian Banyumas itu ada di ruang klub musik. “Tiga hari lagi festival akbar di mulai,” kata Bian. Rahi mengangguk, dia sudah tahu. “Mau nyanyi lagu Ari Laso feat Ariel Tatum, tapi baru sendiri.” “Iya, terus?” Gigi Bian kelihatan nyaris sepenuhnya. Berharap … “Gimana kalau kamu yang jadi Ariel Tatumnya?” “Nggak.” Bian menoleh, Rahi juga. Yang jawab itu bukan Rahi, melainkan Willis yang datang sambil bersedekap d**a. “Rahi remains Rahi, and Rahi cann’t be Ariel Tatum. Because Rahi is Rahi, my girlfriend.” Bian mengerti. Kata-kata itu Willis lontarkan sebagai sindiran bahwa ajakan duetnya untuk Rahi tidak Willis izinkan. Maka dari itu, Bian membenarkan kacamata bulatnya dan menunduk sambil berlalu setelah sebelumnya berucap, “Sorry, it's just a call for participation.” Yang ada Rahi bengong. Selepas kepergian Bian, Willis menarik tangan Rahi hingga mereka bertubrukan. Gadis itu sempat memekik. “Jangan ganjen,” tekan Willis. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD