9. Putus?

3765 Words
Fix, putus. Karena sudah satu minggu berlalu sejak acara festival akbar di mana saat itu Rahi melihat drama romantis antara Romeo & Juliet, dalam adegan yang Rahi hafal betul ujungnya. Dia sesak ketika menyaksikan bagaimana cara Willis bermain peran di drama itu, sangat menjiwai dan terkesan alami. Ketika Nabila sebagai Juliet terbangun, dia sangat terkejut karena melihat Willis sang Romeo yang mati di sampingnya, melihat sebuah belati yang ada di tangan Romeo, Juliet pun menggunakannya untuk bunuh diri. Kisah yang tragis, meskipun memang terbilang romantis. Rahi sakit hati. Sangat sakit ketika ada adegan yang memerlukan tatapan mata dan sarat akan hasrat ingin memiliki kembali. Seolah dalam drama itu isinya hanya ada mereka saja, antara Willis dan Nabila yang mungkin akan rujuk lagi setelah ini. Perasaannya terluka. Tapi Rahi mampu membendung air mata hingga pada akhir lagu Azmi yang dia bawa, memanipulasi penonton jika yang jatuh dari matanya adalah tangisan akibat terbawa suasana oleh lagu. Walau sebenarnya air mata itu memang jatuh karena Willis dan Nabila. Sekarang Rahi jadi berpikir, mungkin deklarasi putusnya saat itu sudah Willis setujui secara tak langsung. *** “Wil, Rahi ganti nomor ya?” Willis terdiam. Oh, pantes … ditelepon nggak aktif terus. Dewa batinnya berbisik mengonfirmasi. Lalu, vokal Kenzo terdengar lagi, “Wil, kita temen, kan?” “Sahabat,” ralat Key yang sejak tadi diam sambil menikmati semeliwir angin di atap. “Kenapa?” Willis balas bertanya. Leon bersiul dan Lei bersenandung mengacuhkan obrolan teman-temannya. “Gue mau minta nomor Rahi, boleh?” Willis mendengkus. “Buat apa?” Yang ada Kenzo tertawa. “Ya … buat PDKT lah.” Kurang ajar memang. Tapi Willis stay cool, walaupun hati sudah panas terbakar. “Oh.” Hanya itu respon Willis. Key tertawa, diam-diam dia juga mendengarkan. Lebih sialan mana antara Willis dan Kenzo? “Eh, gue serius.” “Gue juga.” Datar, tapi tatapannya setajam elang. Willis tidak main-main. “Sesama sahabat harus saling berbagi, Wil,” goda Kenzo. “Termasuk pacar?” Kenzo mengedikkan kedua bahunya tak acuh. “Maybe.” Yang mendengarnya, Key menggeleng. Benar-benar dua curut itu butuh diseleding. “Gue gak ada pacar.” Willis yang bilang. Semua tercengang. Berita besar langsung dari bibir orangnya. Antara senang atau bahagia tak tahu Kenzo harus pilih yang mana. Jika bicara, nada suara Willis selalu datar, seolah tak berminat dengan apa yang dia bicarakannya. “Lo serius?” Leon mulai memasuki obrolan. Willis mengangguk mantap. Rahi sudah minta putus, berarti memang sudah bukan pacar, kan? Sudah lewat satu minggu juga mereka tak ada komunikasi, karena ternyata Rahi ganti nomor ponselnya, sementara Willis tidak punya. Bahkan saat Willis mendekat, Rahi menghindar. Ketika Willis mampir ke rumahnya pun, Rahi selalu beralasan sedang tidur yang disampaikan oleh Mama Mariam. Willis tahu itu hanya akal-akalan Rahi supaya tidak bertemu dengannya. Childish. Tapi, Willis suka. “Gue udah putus,” tekan Willis lagi. Serius, rasanya Kenzo ingin lompat dari gedung ini dan terjun payung lalu jatuhnya ke dalam pelukan Rahi kalau Tuhan mengizinkan. Tapi tidak lama dari jeda ucapan Willis barusan, dia berucap lagi, tatapan Willis jatuh untuk Kenzo. “Dan rencananya, we will get married.” “What?!” Lei mendadak heboh. Willis mengangguk penuh yakin. “Kita akan menikah.” Maka di sanalah letak seringaian Willis terbit teruntuk kawan sejawatnya. “Laper nih,” celetuk Key memberi kode. Berharap situasi mencekam di antara mereka saat ini musnah. Hingga akhirnya hanya Willis yang bangkit dan peka terhadap rangsang. “Gue mau ke kantin,” begitulah katanya. *** “Makan baksonya biasa aja dong, Ra! Malu noh dilihatin cogan!” tegur Marine. “Bodo amat!” Rahi tidak peduli. Hara meringis. “Jangan ngomong, gigi lo ada cabenya.” Tak acuh dengan itu, Rahi hanya mencibir saja. Kalau ada cabainya terus kenapa? Mau gajah nempel di gigi juga Rahi tidak peduli, ngapain peduli? Orang cantik mah free … iya, kan? Mereka baru bisa kumpul-kumpul lagi sekarang. Karena saat itu Hara ada keperluan di fakultasnya sendiri, mereka pun beda jurusan dengan Hara. “Ya ampun!” Marine memekik, “emang, ya? Yang namanya cowok kalau udah jadi mantan makin ganteng aja.” “Siapa?” Rahi sibuk dengan kuah pedas baksonya, bertanya tanpa melirik ke arah mana pun selain mangkuknya. “Yaelah, emang Willis pernah jelek?” senggol Hara. “Heran deh, kok lo mutusin Bidadara Surga yang satu itu sih, Ra? Cowok kayak Willis cuma ada satu di dunia.” Rahi diam. Dia melirik Marine dan saat itu matanya pun bersirobok dengan pandangan Willis. Mereka dipertemukan. “Gue duduk di sini, ya? Bangku kantin pada penuh.” Itu Willis, beserta Key yang langsung duduk di samping Hara tanpa permisi. “Duduk aja, Wil! Gue udah,” ucap Key bangga. Rahi berdecak jengkel. Willis duduk di depannya, karena mejanya ramping dan panjang hingga jarak mereka terbilang dekat. Di depan Rahi dan di samping Marine, itulah letak Willis berada. “Ngerusak pemandangan lo, Rin!” sindir Rahi. “Kok gue?” Dari tadi Marine sudah duduk di tempat yang paling benar. Tidak menghalangi pemandangan Rahi sama sekali. Namun, terus saja Rahi nyerocos. Hara menggeleng sambil senyum-senyum sendiri. Terkadang, Rahi lupa cermin. “Ra,” tegur Willis. “Lo manggil gue, Rin?” “Kok gue lagi?” lama-lama Marine jadi kesal. Dia selalu jadi tumbal kesinisan Rahi sekarang hanya gara-gara mantan. “Oh, bukan.” Rahi tertawa garing. Namun, tidak lama, karena kini Rahi bungkam seribu bahasa. Tangan besar Willis hinggap di pipi kirinya. “Coba buka bibirnya!” perintah Willis tanpa nada. Rahi jadi panik sendiri. Kepala Willis yang kian mendekat, semakin membuat pikiran Rahi melanglangbuana. Pasti mau dikecup. Rahi sudah yakin seyakin-yakinnya. Willis malah tersenyum, ibu jari lelaki itu membelah bongkahan bibir Rahi yang rapat sempurna. Rahi diam mematung. “Berhasil,” kata Willis. Segaris senyum tipis masih ada di mimiknya yang terlalu datar itu. Sementara Rahi semakin tercengang, merasa bodoh sendirian. “Cabenya merah, ngehalangin pemandangan.” Seorang Willis Wiliam menyingkirkan cabai di gigi Rahi. Marine terkikik. Key bergidik—sedikit jijik. Sementara Hara melongo tak percaya. Lantas, bagaimana dengan Rahi? Dia berharap akan ada bom yang jatuh dari langit sekarang juga. Benar-benar Willis Wiliam dan segudang tingkah ajaibnya yang mampu membuat hati Rahi cenat-cenut kelimpungan sendiri. Tapi Rahi tidak suka, dia jadi merasa hilang rasa. Melihat Willis yang seperti itu, bagian diri Rahi terbelah dua antara terpesona dan ilfeel juga. “Jijik lo.” Hanya itu yang Rahi katakan sebelum kemudian dia bangkit untuk pergi meninggalkan kantin. Willis hanya diam dan melanjutkan santapannya. Dikatakan jijik, tidak apa-apa. Walaupun lisan Rahi sendiri yang bilang seperti itu, Willis it's okay. “Wil, gue ada cabenya juga nih,” kata Key sambil nyengir. Willis mendengkus, dan memilih pergi mengejar Rahi yang sudah cukup jauh meninggalkannya. Yang lain tertawa. “Gila, sih!” cetus Marine. “Yaelah, yang namanya cinta … makan biji mehoni aja berasa nyesap bubuk vanila,” kata Hara. Key tertawa. Berarti … Willis cinta Rahi, kan? *** “Ra, tunggu!” Refleks Rahi berhenti karena tangan Willis berhasil mencegah jalannya. “Kenapa ganti nomor?” “Gak boleh emang?” balas Rahi balik bertanya. “Bukan gitu, aku teleponin … nggak aktif.” “Iyalah, kan gue ganti.” Rasanya malas sekali berhadapan dengan Willis, bayang-bayang drama Romeo & Juliet belum lepas dari otak Rahi. Willis menghela napas samar. “Yaudah, aku minta.” “Nggak.” Rahi menggeleng, dia melepaskan tangan Willis yang berada di pergelangan tangan kirinya. “Itu privasi, orang asing gak boleh tahu.” Rahi pun pergi. Seketika Willis diam dengan napas berembus tajam. Orang asing, katanya. Rahang Willis refleks terkatup rapat hingga gemerlatuk giginya terdengar samar. Willis tidak terima. “Ya ampun! Apa lagi, sih?!” bentak Rahi sambil oleng ke belekang. Gila saja, Willis menarik tangannya keterlaluan sampai hidung Rahi membentur d**a bidang Willis sendiri. Tidak sakit memang dan bukan apa-apa, Rahi hanya takut mimisan. “Siapa yang kamu sebut orang asing?” dengan penekanan di dua kata terakhir. Rahi mundur dua langkah. Dia menatap Willis jengkel, padahal baru saja Rahi merasa ilfeel pada lelaki itu. Namun, kenapa sekarang malah berdebar lagi jantungnya? Sangat tidak konsisten. “Kita udah jadi mantan, Wil.” “Siapa bilang?” “Aku … barusan, nggak dengar? Kita kan udah putus.” Willis terkekeh, mereka tepat berada di taman yang lumayan banyak mahasiswa di dalamnya. “Emang aku setuju?” Dan begitu saja tawa Willis lenyap digantikan dengan raut tegasnya. “You ask for a break, but I don't. Nggak ada yang bilang, I want, Ra.” Rahi memutar malas bola matanya. Willis bicara apa saja Rahi tidak mengerti. Lebih baik dia pergi dari sini daripada harus dengar ocehan Willis dengan jajaran kata English-nya. “Rahi! Bagi aku kata putus itu … not there and will never exist!” Dan karena hal itu mereka jadi pusat perhatian. Pertama kali dalam sejarah dua tahunnya dekat dengan Willis, baru kali ini Rahi dengar lelaki itu teriak. Suara Willis membuat Rahi berdebar dan juga merinding. Yang Willis katakan pasti ancaman atau mungkin sesuatu yang bulshit dan tak perlu Rahi dengarkan. So, she chose to leave. Memang dasar sialan! Di saat gadis-gadis lain memekik karena untaian katanya, Rahi malah kabur begitu saja meninggalkan Willis dengan segudang frustasi. *** Kali ini untuk kabur dari Willis, Rahi memilih toilet wanita sebagai tempat pelariannya, tempat persembunyian yang menurutnya strategis dan aman sekali. Kalau dipikir-pikir, setelah dua harian ini Rahi dikejar-kejar makhluk sejenis Willis yang super awesome, seperti yang tidak ada waktu lain dan selalu punya kesempatan dalam bermain kejar-kejaran dengannya, lalu berakhir menjadi game petak umpet. Ternyata seram juga, ya, dikejar-kejar oleh orang tampan? Rahi meringis. Willis selalu gentayangan di mana pun, bahkan di hatinya sekalipun. Padahal Rahi sedang mencoba untuk move on. Rahi membasuh wajahnya dengan air keran, dan betapa terkejutnya dia saat ini. Ke mana perginya orang-orang dan kenapa lelaki bisa masuk? Willis menyeringai. Rahi merasa diteror, sangat horor ketika dalam hidup ini memiliki seorang stalker. “Ini toilet wanita,” informasi basi yang Rahi katakan dengan was-was sambil berbalik mengahadap Willis. Lelaki itu bersedekap d**a dan tubuhnya menyandar di pintu sambil mengangguk. “Terus kenapa?” Rahi menggeram, “Kamu ngapain di sini?” Dalam tawanya Willis berjalan mendekat dengan perlahan, namun mampu memorak-porandakan denyut jantung Rahi. “Kalau ada orang masuk, nanti kamu digerebek bakal tahu rasa!” Rahi berusaha untuk tetap cool, meskipun hati sudah ketar-ketir menenagkan diri. “Pintunya aku kunci, di sana aku tempelin kertas peringatan … ‘toilet ini rusak’, gimana dong, Ra?” Seketika Rahi tercekat. Gawat. Bukan bahaya lagi namanya, tapi bencana. Rahi tak habis pikir dengan jalan pikiran Willis yang baru Rahi tahu sisi lain dalam diri lelaki itu. Ternyata selama dua tahun pacaran Rahi tidak tahu apa-apa soal Willis. Benar-benar seperti orang asing. “Mau lo apa?” Tangan Willis tergerak, terulur menyentuh permukaan sisi wajah Rahi. “Mine. Please … stay with me.” “Kalau ngomong yang bener!” Willis lupa, nilai bahasa Inggris Rahi pas-pasan dan itupun hasil nyontek. “Aku mau kamu.” Rahi melotot. “Gila lo!” Refleks dia menendang apa pun yang bisa ditendang. Hingga kini Willis mengaum, “Arrghhhhhh!” Sungguh dahsyat yang Willis rasakan kini sakitnya bukan main. Dia luruh terduduk dengan tangan yang memegangi aset berharganya. Sekali lagi Rahi melotot dengan spontanitasnya sendiri. “Ya ampun, Wil, maaf. Aduh, masa depan kamu ... sakit, ya?” Willis meringis, riwayat tidak bisa berjalan. Rahi menendangnya tidak main-main. “Kamu kalau kesel sama aku jangan nendang itunya dong,” sambil berusaha menahan nyeri, “nanti kalau masa depan aku suram, kan kamu juga yang repot,” misuh Willis. Rahi meringis, “Maaf, aku cuma berusaha melindungi diri.” “Sepatu kamu merek apa, sih? Keras banget ujungnya.” “Maaf,” hanya itu. Rahi pun mencoba untuk membantu Willis berdiri. Alhasil hari ini dan untuk beberapa hari ke depan, Willis jalannya terseok-seok seperti orang pincang. Semua mata memandang aneh kepada mereka yang jalannya rangkul-rangkulan. Sialnya tak ada yang mau bantu, karena Willis menolak duluan. Maka UKS adalah tempatnya kedua insan yang saling meringis bersamaan. Rahi merasa bersalah, sementara Willis kesakitan. “Wil, gimana kalau ke rumah sakit aja? Di sini petugasnya lagi gak ada,” usul Rahi. Willis menggeleng. “Sekarang aku harus gimana? Kalau ada yang patah giamana?” desah Rahi merasa frustasi. Dia menatap wajah Willis yang nelangsa, sepertinya itu benar-benar menguras tenaga sampai Willis bisu sejak tadi. Hingga beberapa detik berlalu, barulah Willis mengembuskan napas berat dan menyuarakan vokal merdunya. “Kamu harus tanggung jawab.” Tatapan mata Willis terlewat tajam penuh keseriusan. Rahi jadi merinding karenanya, tanggung jawab jenis apa yang Willis inginkan? “Ra, nikah, yuk!” *** Gila saja. Kenzo menggeleng tak percaya kepada sosok Rahi yang kemarin sore sempat dia temui sekedar untuk meminta nomor ponselnya. Dan kalian tahu bagaimana respon Rahi saat itu? “Boleh.” Kenzo tersenyum, Rahi mengizinkan dia untuk menyimpan nomor ponselnya. Tapi dengan syarat, “Satu hari satu angka. Berarti kamu butuh dua belas hari untuk dapat nomor utuh, dan mulainya besok pagi.” Gila, kan? Kenzo saja baru menemukan perempuan jenis itu. Jadi, salahkah jika dia semakin terpesona kepada mantan pacar sahabat sendiri? “Ken!” Yang di sebut menoleh, ada Key di sana. “Lo udah periksa ke RSJ belum?” Kenzo mengeryit. “Coba lo makan itu!” seru Key menunjuk sebuah gundukan berbau. Refleks Kenzo menoyor kepala Key yang kelewat sialan j*****m. “Itu tai, Anjir!” Key tertawa. “Oke, gue kira lo gila.” Yang lain sedang tidak ada, Key dan Kenzo menunggu kawan-kawannya di atap seperti biasa. “Gue dapat nomor Rahi.” Kenzo bersuara mengawali kali ini. Key merebahkan tubuhnya di bangku kayu yang ada di sana. “Baguslah,” responnya. “Tapi cuma satu angka.” Key menoleh, keningnya mengeryit. “Maksud lo?” Kenzo menunjukkan selembar kertas sambil memamerkan deretan giginya. “Tuh, lihat … baru angka nolnya aja yang dia kasih.” “Dan lo bungah dari pagi sampai siang cuma gara-gara angka nol?” God. Kenzo mengangguk. “Senggaknya ada kemajuan. Gue satu langkah di depan Willis, kan?” Key tercengang. Hanya karena Rahi, Willis gila. Dan lagi-lagi hanya karena gadis itu Kenzo juga ketularan gila. Hingga kini Key bersumpah, dia tak akan pernah sedikitpun terpesona oleh wanita itu jika ujungnya akan jadi gila seperti teman-temannya. Gila dalam artian yang berbeda … dan Key tidak akan pernah. Remember it! *** Keesokan harinya, Willis tidak ke kampus dan mengharuskan Rahi berangkat tanpanya serta Nabila yang memboloskan diri demi menemani sang kakak. Namun, saat Nabila berbaik hati mau mengurus Willis yang tengah sakit dengan cara memberinya makan dan menemani Willis ngobrol sampai ke niat baiknya untuk mengompres Willis, Nabila ditolak. “Itu tugasnya Rahi.” Seperti itu sampai Nabila merasa sakit hati, secara tak langsung pun Willis mengusirnya. Bahkan pria itu langsung menghubungi Rahi ketika Nabila masih ada di sana. “Kenapa?” “Aku di rumah.” Rahi tahu, tapi Willis memberitahunya lagi lewat via telepon. Nabila telah tersingkir. Sementara itu, dalam sudut pandang Rahi yang tengah berjalan di kampus hendak pulang. Dia mendapati ponselnya berbunyi dan tertera nomor Willis di sana. “Tadi ada kuis, jadi belum bisa mampir,” kata Rahi yang sekarang sedang menunggu taxi lewat di jalan, “tapi ini lagi otw,” imbuhnya. Di sana Willis mengangguk meski Rahi tak lihat. “Aku tunggu.” “Oke. Kamu mau pesan apa gitu? Nanti aku beliin sekalian mampir ke market,” ucap Rahi. “Langsung ke sini aja kalau bisa. Aku butuhnya kamu, bukan yang lain.” Rahi mendengkus, sudah kebal dengan omongan Willis yang kelewat manis bak gula jawa. “Ya udah, ya….” pungkasnya dan lalu memutus panggilan. Rahi kembali memasukkan ponselnya ke saku celana. Ngomong-ngomong, Willis tahu nomor ponsel Rahi akibat dari tragedi tendangan di toilet. Menjadikan tanggung jawab sebagai alasan, Willis yang bilang: Kalau aku gak ada nomor ponsel kamu, terus nagih tanggung jawabnya gimana? Di ajak nikah, malah nolak. Dan kemarin itu Willis merajuk. Serius, sangat lucu ketika wajah datar Willis yang bibirnya dimajukan serta ekspresi pria itu yang tak sesuai dengan tubuh besarnya. Rahi terkikik sampai sekarang. Jika dipikir-pikir, hubungan mereka patut dipertanyakan kejelasannya. Masih stay relationship atau … sudah putus? *** Nabila datang lagi, Willis menoleh ketika mendapati adik tiri sekaligus mantan pacarnya itu. Nabila duduk di samping Willis. “Rahi mau ke sini. Kamu main sana, jangan di rumah mulu!” “Kamu ngusir aku?” tuding Nabila. Willis mengangguk. “Nanti Rahi cemburu dan salah paham lagi.” “Ya udah, sih, biarin. Udah mantan, kan?” Nabila rasa baru kali ini Willis tancapkan tatapan tajamnya kepada dia yang jelas dulu tidak pernah seperti ini. “Iya, statusnya ganti jadi calon istri.” “Idih! Ogah banget punya kakak ipar kayak dia,” sewot Nabila. Karena kesal, maka dengan sengaja Nabila mengambil ponsel Willis dan melemparnya. Willis meringis, dia mendumal mengutuk kelakuan adik tirinya. Memang dasar sialan. Lalu Nabila pergi sambil menjulurkan lidahnya. “Masih gue longgarin. Tapi nanti, siap-siap aja gue depak si Rahi sampai ke dasar bumi!” *** “Udah dapat dua angka, gue seneng pakai banget!” ungkap Kenzo penuh semangat. Key yang mendengarnya mengerling malas. Bodoh, mau-maunya nunggu dua belas hari demi mendapatkan nomor ponsel Rahi secara utuh. Memangnya tak ada jalan lain untuk mendapatkan secara instan? Cari modus baru, misalnya? Memang dasar, orang jatuh cinta itu begonya natural, misuh Key dalam batinnya yang suci. “Gimana kalau kita bikin kesepakatan?” usul Leon. Rumah Kenzo yang menjadi tempat persinggahan mereka kali ini. “What do you mean?” Kenzo bertanya dalam hati yang suaranya diwakilkan oleh Lei. “Setelah dua belas hari dan Kenzo dapat nomor Rahi, kita selametan di rumah makan Babeh Iwon … gimana?” “Setuju. Selagi gratis, gue ikut dan jalan paling depan,” kata Key. Lei mengangguk saja. Kenzo yang sedang kasmaran otomatis tidak menolak, toh dia juga posisinya sedang bahagia karena mendapatkan nomor ponsel pujaan hati. “Sip, lah. Jangan cuma wacana,” tekan Leon. “Willis diajak?” tanya Kenzo. “Wajib bin harus itu mah,” jawab Lei menjeda, “Willis bagian dari kita.” Kenzo setuju saja. Tapi jahat tidak, ya? Ngajak sahabat sendiri yang jelas-jelas adalah mantan dari perempuan yang dia taksir untuk merayakan hari kemenangannya tentang dua belas hari itu, bahkan kalau tidak diajak kesannya jahat juga. Kenzo jadi serba salah. Intinya, salahkah jatuh cinta kepada wanita orang atau bekas pacar sahabat sendiri? Dan memangnya salah, jika ada niatan untuk nikung secara sehat? “Eh … Woi! Willis sekarat, masa depannya direnggut sama Rahi!" heboh Key menjeda, melirik ponselnya lalu berkata, “Nabila nih sms gue,” begitulah katanya. *** Byur! Bukan tanpa alasan Kris menyemburkan minuman dalam mulutnya, tapi kalimat yang Bian ucapkan mampu meninju selera humornya secara ganas. “Gue mau nembak Rahi.” Uhuk … Uhuk! Giliran Xian yang tersedak oleh kacang garingnya, ini menyakitkan. Bian berdecak sambil menyerahkan segelas air kepada masing-masing temannya. “Lebay kalian,” decak Bian. Xian melotot setelah batuknya reda, dan Kris berkata, “Serius, kalau jadi ... gue bakal realisasiin drama beauty and the beast di kampus kita.” “Ide bagus!” celetuk Bian menimpali. Xian diam memerhatikan. Sebenarnya Bian itu tidak jelek, tak sampai buruk rupa, penampilannya memang culun macam caplin, tapi coba kalau direhab sedikit. Siapa tahu jadi keren? “Bian, lo beneran suka Rahi?” Bian mengangguk, Xian berucap lagi, “Rahi itu primadona di kampus, dan tandingan lo itu makhluk sejenis Willis. Yakin bisa ngalahin pesona titisan Dewa Yunani dengan penampilan kayak gitu?” “Loh, emang kenapa? Cinta ada bukan dilihat dari segi fisiknya,” tolak Bian tak sepaham. “Tapi kenapa kata pepatah, dari mata turun ke hati … itu nyata?” Bian tertohok. Ucapan Kris oke juga. Mereka jadi diam berjamaah, masing-masing sibuk dengan pikirannya. Hingga pada akhirnya Xian menyumbang suara, “Kenapa gak dipermak aja sih tampilan lo?” “Zaman udah canggih, ada lensa pengganti kacamata,” tambah Kris menyetujui. Bian tergiur, itu tawaran yang menarik. Tapi apakah dengan begitu Rahi bisa suka padanya? Jika sudah seperti ini, sebenarnya definisi cinta itu seperti apa? Please, tell him what is love! *** Masih ingatkah ketika dua patah kata ‘I'm jealous’ yang Willis katakan saat itu? Benar. Willis berani mengatakannya karena itu adalah bahasa Asing yang Willis tahu membutuhkan waktu cukup lama agar Rahi paham artinya. Jadi, Willis Wiliam adalah seorang lelaki dengan segudang gengsi tinggi dalam dirinya. “I never agree we broke up, Ra. So … your still my girlfriend,” tegas Willis sambil menyilangkan tangan di depan d**a. Itulah yang Willis katakan ketika Rahi tiba di kediamannya. Rahi memutar malas bola matanya seraya berucap, “Gue nggak ngerti lo ngomong apa, tapi gue tahu isinya pasti tentang kita.” Keberadaan mereka masih di tempat semula, yaitu kamar Willis yang orangnya sedang pakai sarung. Tadi Willis habis dari WC dan merasa kurang nyaman memakai celana, untuk itu Willis mengambil sarung di lemari lalu memakainya sambil membelakangi Rahi—dengan cara aman tentu saja. Jadi, Rahi tak perlu menutup mata atau sekedar ngintip segala. Toh, burung Willis tidak terbang ke mana-mana. “Kamu anggap aku apa?” Willis yang bertanya. Tiba-tiba Rahi diam. Bingung mau jawab seperti apa, sedangkan hubungan mereka memang sedang berada dalam ketidakjelasan. Pacar? Bukan. Kan belum dapat konfirmasi dari pihak lelaki. Lalu, mantan? Apalagi itu, Rahi saja tidak tahu … dia merasa digantung. “Ra?” sambil berbalik dan berjalan mendekati Rahi yang duduk manis di tepi ranjang. “Aku udah bilang, kita putus,” cicit Rahi dengan kepala menunduk. Willis duduk di samping Rahi. Jari Willis mengangkat dagu gadis itu hingga Rahi mendongak padanya. Mereka saling bersitatap mesra tanpa disadari. “Emangnya aku setuju?” vokal Willis mengalun lembut, sementara dia menjeda, Rahi menelan samar gumpalan saliva yang tiba-tiba memenuhi rongga mulutnya, mau bernapas pun rasanya sulit Rahi lakukan. “Kita pacaran karena kita sama-sama mau, kamu yang ngajak dan ada persetunjuan dari aku. Tapi kalo putus,” benar-benar sejenis bisikan. Jantung Rahi sampai berdetak maraton, sebab kini wajah Willis semakin mendekatinya, tatapan Willis pun tepat jatuh di dua lensa indah milik Rahi. Kemudian, lelaki itu berbisik kembali, “kapan aku pernah bilang oke-nya?” Benturan napas Willis terasa nyata di wajahnya, aroma mint menyeruak di setiap lantunan kata yang Willis lontarkan. Detakan jantung Rahi pun semakin berdentum jauh dari tempo yang seharusnya. Ketika Willis mendekat, Rahi berkedip. Willis bernapas, Rahi tidak. Willis terpejam, Rahi melotot. Hanya satu kecupan, tapi efeknya luar biasa menegangkan. Padahal hanya satu detik bibir Willis mampir di bibir Rahi, tapi rasanya hati gadis itu sukses Willis buat berantakan. Sampai kini Willis katakan, “Ra … napas.” Tepat sekali. Rahi sampai lupa bagaiamana cara meraup oksigen dan mengeluarkan karbondioksidanya dengan benar. Wajah merah Rahi menular kepada Willis yang kini merona karena ulahnya sendiri. Lelaki itu berdeham, sementara Rahi sibuk bernapas sambil mengipas-ngipasi wajahnya dengan tangan. Ya Tuhan! Apa yang telah mereka lakukan sebenarnya? Pikiran Rahi dan Willis berada di pertanyaan yang sama. *** Hingga sore menjelang, perkumpulan pemuda di kediaman keluarga Kusumo berlangsung lama. Bahkan niatnya, Key, Leon, dan Lei akan menginap di sana. Berhubung besok adalah hari libur di kampus mereka. “Gue nggak sabar nunggu sepuluh hari ke depan,” kata Kenzo. Keripik kentang di mulut Key sengaja ditelan cepat-cepat sekedar untuk menjawab, “Cuma buat kontekkan sama Rahi, lo bela-belain nunggu? Ke mana Kenzo yang gue kenal dulu? Waiting it’s not your style!” Lei terkekeh, dia mengambil sebotol air ber-ion tinggi dan meminumnya. Lantas, Kenzo berdecak, “Yang namanya usaha pasti ada pengorbanannya. Gue nunggu karena gue mau, dan yang gue tunggu itu hal yang udah pasti.” Tahu lah bagaimana ekspresi Key yang malas-malasan. Sementara Leon hanya mengiyakannya saja lewat raut wajahnya. “Gigih banget lo pengin dapetin cewek orang.” Lei yang bilang. Kenzo mengerling. “Udah putus kali, Willis aja gak keberatan. Toh, niat gue baik buat bikin Rahi ceria lagi lewat jalan cinta dari gue.” “Ken, menurut lo kalau di masa depan gue nikahin tunangan lo … keberatan nggak?” Terkadang lisan Lei memang tajam. Kenzo mendelik karenanya. “Jawaban gue sama kayak orang terlapang d**a di dunia, siapa sih yang rela?” Jelas, Kenzo keberatan. Dan Leon hanya terkikik dalam konsentrasi menonton drama Korea-nya saja, sementara Kei tertawa tanpa suara. *** Setelah sekian lama Rahi terperangkap di rumah Willis, akhirnya Rahi diperbolehkan pulang oleh lelaki itu. Willis mengantar Rahi hanya sampai di halaman saja, karena gadis itu menolak tawaran Willis untuk mengantarkannya hingga sampai di kediaman Rahi sendiri. “Kamu nggak malu?” tanya Rahi untuk ke sekian kalinya. Langkah mereka terhenti di depan pagar rumah Willis. Rahi berbalik dan Willis menatap Rahi dengan kening berkerut. “Malu kenapa?” Tatapan Rahi jatuh ke bawah baju Willis. Jujur, dia merasa aneh ketika melihat seorang Willis Wiliam memakai sarung, tapi serius … ada sihir di balik seorang lelaki bersarung. Rahi saja sampai betah memandangi sosok pria itu. “Padahal udah dua tahun lebih, ya, kita dekat …” Rahi mendongak, “tapi kenapa baru sekarang aku lihat kamu gak pakai celana?” Willis merinding. Kata-kata Rahi itu banyak maknanya, kalau ada yang dengar selain mereka bagaimana? Bisa dikira habis melakukan hal yang tidak-tidak, berbahaya. Dengan canggung Willis mengusap tengkuknya. “Aneh, ya?” Rahi menggeleng. “Lucu, tapi keren. Aku suka.” Dalam sadar atau tidaknya Rahi berucap, gadis itu langsung berbalik dan pergi begitu saja tanpa pamit. Menyisakan Willis bersama ekspresi tak tahan seolah ingin menerkam Rahi saat itu juga. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD