Cinta itu simpel, because love doesn't need a reason. Tapi seseorang pernah berkata bahwa, cinta itu rumit. Seseorang bisa menjadi gila hanya karena cinta, seseorang akan merasa menjadi yang paling bahagia hanya karena cinta, just because of love. Dan lagi-lagi karena cinta, Rahi Dinata sedang dilema.
“Salahkah bila diriku, terlalu mencintaimu.
Jangan tanyakan mengapa, karena ku tak tahu.”
“Aku pun tak ingin bila kau pergi tinggalkan aku.
Masihkah ada hasratmu tuk mencintaiku lagi…”
Lagu Fatin, Salahkah Aku Terlalu Mecintaimu, ceritanya Hara dan Marine sedang duet di gazebo FH, pas sekali dengan kehadiran Rahi yang duduk di antara mereka dan mendengkus sekeras-kerasnya. Lagu yang mereka nyanyikan pun rampung akibat kedatangan Rahi yang suram.
“Nyanyi sih boleh, tapi nyindir jangan!” tegur Rahi. Datang-datang langsung sewot. Marine mengeryit, Hara juga sama, mereka gagal paham. Rahi mengerang, “Ngeselin banget, sih, si Willis! Kapan coba dia cemburu kalau gue manggil sayang ke cowok lain?”
Rahi menepuk paha Hara cukup keras, seolah itu adalah Willis. Hara mendelik, bukan karena sakit, melaikan terkejut. Amarah Rahi keluar beserta tatapan membaranya yang seakan ingin melahap Willis hidup-hidup. Dia uring-uringan. “Perlu gitu gue menyibukkan diri atau nananina dengan Dion biar Willis cemburu?”
“Anjir, cowok gue jangan dibawa-bawa!” Marine menoyor kepala Rahi dan membuat gadis itu mendelik karenanya, sementara Hara malah tertawa. Wajah Rahi berubah mendung, dia murung.
“Ra, cerita aja. Kita dengerin.” Hara tak tega.
Rahi tampak berpikir, menimbang untuk mencurahkannya atau tidak. Rahi Dinata bukan seorang introvert, mulutnya terlampau sulit untuk menjaga rahasia. Hingga pada detik di mana Rahi mendesah, “Gue … mundur.”
***
“Jangan sekali-kali bilang kayak gitu lagi,” tegas Willis.
Nabila sedang duduk manis di jok penumpang. Pagi ini mereka berangkat ke kampus bersama. Yang ada Nabila tertawa. Setelah mereda, dia berkata, “Wil … sadar gak, sih? Semalem kamu udah bilang, dan tadi itu kalimat yang sama dari sebelumnya.” Karena tak ada yang perlu dijawab, Willis diam. Nabila lagi yang berucap, “Kayaknya kamu cinta banget, ya, sama Rahi?”
Willis mendengkus. “Itu pernyataan.”
Nabila tersenyum getir, “Aku kira kamu salah satu korban gamon. Siapa tahu … nama aku masih ada di hati?”
“You know it's me.”
Nabila mengangguk. “Bener, Wil, kita pacaran nggak sebentar. Walaupun status udah jadi adik-kakak, tapi cinta kita masih punya … iya, kan?”
Di parkiran, Willis memarkirkan mobilnya dan di sinilah Willis tersenyum, senyuman yang mengandung makna patah hati. Turun dari Sedan, dia membukakan pintu penumpang disusul Nabila yang keluar dari dalamnya. Willis belum beranjak hingga jarak mereka tersisa cukup dekat, senyuman Willis yang semula ada kini terbit lagi seraya berucap, “Kalau kamu nerima lamaran aku waktu itu, maybe now we aren't stepbrothers, Nab. But, married couples.”
***
Hanya mundur, sekedar niat memang sudah ada. Rahi benar-benar merasakan arti dari definisi kata lelah yang sesungguhnya. Saran dari Hara yang dia dapatkan saat di gazebo adalah: Kuping lo kan ada dua, coba dipakai semuanya. Jangan cuma dengerin proklamasinya si Nabila aja. Siapa tahu, Willis nggak? Lalu dari Marine yang selalu bilang: Gimana baiknya, Ra. Lo seneng, gue juga.
Dan sekarang, sampai pada jam bubaran kelas pun Rahi masih betah di posisinya.
“Gak mau balik lo?” tanya Marine.
“Gue maunya Willis.” Marine mengerling, di pikirannya kecintaan Rahi kepada Willis sudah naik tingkat ke bucinisasi. Rahi terkikik. Namun, dua detik berikutnya vokal Rahi mengudara, “Lo pasti berpikir kalau gue mau bilang itu, ya?”
Belum juga Marine membalas, Dion menginterupsi mereka. “Rin, buruan!”
“Eh, Ra, gue balik duluan! Calon imam gue lagi gak bisa nunggu lama soalnya. Inget, jangan bunuh diri!” Setelahnya Marine pergi. Rahi mencibir, “Siapa juga yang mau mati? Hellow … nikah aja belum!”
Hanya orang bodoh yang terjun dari atap gedung cuma gara-gara cinta, dan sepertinya tak mungkin juga untuk Rahi menetap terus di dalam kelasnya. Dia bergegas untuk pulang atau mungkin mampir sejenak di klub musik, karena klub vokal belum memiliki ruangan sendiri, jadi digabung. Dan Rahi jadi sering mangkal di sana sekedar untuk bernyanyi.
***
Serius. Kenzo pikir ini jodoh.
“Hai, Ra!” sapanya disertai senyuman menyambut kedatangan Rahi. Gadis itu balas dengan senyum serupa.
“Belum pulang lo?” tanya Rahi. Mereka memang dekat. Kenzo temannya Willis, Willis pacarnya Rahi, maka dari itu Rahi dan Kenzo pun terikat oleh tali pertemanan.
“Festival akbar udah dekat, gue lagi latihan. Jadi, gue belum pulang.”
Rahi menaruh tas selempangannya di kursi. Dia menaiki panggung dan berdiri di dekat pengeras suara. “Coba mainin gitarnya,” pinta Rahi yang langsung Kenzo turuti.
“Mau nyanyi lagu apa?”
“Jaran goyang.”
Begitu saja mereka tertawa. Sampai lirik lagu yang Rahi nyanyikan tuntas pun mereka masih tidak menyadari sosok Willis yang berdiri, bersandar, bersedekap d**a di ambang pintu.
Nyaris satu hari Rahi dan Willis tidak bertemu. Di kala Willis mencari, Rahi justru bersembunyi. Namun, kini telah Willis temukan pacarnya yang kemarin bilang ‘....back off’. Tidak, Willis tak mau. Lagi pula dia pun tidak bilang setuju. Kalau Rahi ingin mundur, maka Willis akan maju.
“Pernah gak Rahi ketawa selepas itu saat bareng lo?” Willis terkesiap, bisikan kelam di telinga kirinya mengacaukan seluruh pemikiran. Key tersenyum. “Cantik, ya?” Matanya melirik Willis dan menunjuk Rahi dengam dagunya. “Kalau udah bosen, gue nampung mantan teman kok.”
Begitu saja Key melenggang, dan ketika itu Willis menendang b****g Key yang bergoyang seolah mengejeknya. Key memekik. Baik Rahi ataupun Kenzo melirik mereka, dan Willis menyadari itu.
“Ra, pulang.” Willis menekan kata terakhirnya.
“Duluan aja, Wil. Gue balik sama Kenzo … ya, kan?” sambil mengedipkan genit sebelah matanya, Rahi berucap demikian kepada Kenzo yang justru salah artikan. Ingat, playboy juga bisa baper. Sementara Key masih mengusap-usap sayang b****g indahnya, tendangan Willis lumayan juga ternyata.
“Aku tunggu di luar.” Willis bukanlah sosok yang gemar penolakan, dia tidak mengindahkan ucapan Rahi apa pun jenisnya. Meskipun Rahi tegaskan, “Gak perlu. Lo pulang aja!”
“Oke, aku nunggunya di parkiran.”
Rahi bilang apa, Willis jawab apa. Jika Rahi adalah perempuan berkepala batu, maka Willis juga bisa untuk lebih batu lagi ketimbang Rahi. Cewek itu mendengkus, Willis sudah lengser, dan Kenzo kembali memainkan gitarnya.
“p****t gue nyut-nyutan,” seloroh Key yang menghidupkan kembali suasana santai mereka. “Eh, Ra … festival akbar nanti lo mau tampil apa?” tanya Key sambil duduk hati-hati di sofa yang ada di dekat pintu.
“Anak vokal gak jauh-jauh dari nyanyi,” jawab Rahi. Key mengangguk. Kenzo ikut bicara, “Ra, gimana kalau kita duet?”
“Siap-siap aja sepatu Willis melayang nyium jidat lo,” cetus Key.
Rahi mengerti, tapi Willis tak mungkin cemburu. Untuk itu Rahi setuju, “Siapa, sih, yang bisa nolak cowok ganteng?” Willis aja gak bisa nolak Nabila … iya, kan?
***
Dua jam Rahi baru sampai di parkiran. Langkah kakinya terhenti begitu dia melihat tubuh jangkung Willis yang bersandar di sisi mobil. Willis serius menunggu. Rahi masih belum bisa percaya kenyataan. Akhirnya dia lanjut melangkah mendekati pacarnya.
“Hebat, ya, kamu gak jamuran.”
Willis tersenyum tipis. Karena panggilan aku-kamu itu berarti perang dingin yang Rahi kibarkan sudah musnah. “Mau mampir di tempat makan, gak? Atau ke toko kue dulu?”
Rahi mengangkat sebelah alisnya. Dia sudah duduk di sebelah Willis yang mulai mengemudikan mobilnya. “Sehat, kan?”
“Aku serius,” timpal Willis. Rahi mendengkus. “Langsung pulang aja. Aku capek.”
Mungkin Willis salah, karena Rahi masih menunjukkan sisi dinginnya. Hening cukup lama menemani perjalanan mereka.
Willis berdeham, “Besok aku jemput.”
Sedikit respons Rahi. “Hm.”
“Jangan berangkat duluan.”
“Hm.”
“Aku gak suka kamu dekat-dekat sama Kenzo atau siapa pun.”
“B aja padahal mah,” ketus Rahi. Willis menghela napas pelan, dia membelokkan setirnya dan mulai memasuki jalanan rumah Rahi.
“Ngomong-ngomong, aku mau duet sama Kenzo di acara festival nanti.”
“Nggak, jangan.” Mobil Willis berhenti, mereka sudah sampai. Rahi berdecak, “Yaelah … duet doang kali, gak sampai ciuman,” sinisnya dalam berucap.
Willis terbungkam, dia berusaha menjaga emosi. Padahal ingin sekali meninju kaca mobil di sebelah Rahi. Hingga pada titik di mana mereka keluar dari mobil, Rahi yang begitu saja meninggalkan Willis di belakangnya.
“Ra—!”
“Gak usah mampir.” Tepat di depan gerbang.
“Rahi!” Willis membentaknya.
Heran, senang sekali membuat orang sakit hati. Padanal hanya dibentak, tapi tetap saja Rahi tak suka. Lalu dia berbalik, hendak menutup pagar rumahnya. “Pulang gih, Wil, gue lagi gak nerim—”
Sayangnya terputus. Rahi berkedip lamban. Sejak kapan Willis mengikis jarak di antara mereka? Serius, ini terlalau cepat, dan Rahi tak bisa mengelak, karena kini jantungnya sedang melompat-lompat.
Percayalah, Willis not a good kisser. Ritme ciumannya berantakan, terkesan tidak ada keahlian dalam segala sentuhan. Tapi hebatnya, kaki Rahi sudah berubah menjadi jelly.
Ciuman pertama yang hilang di depan gerbang.
***
Setelah hari kemarin, Rahi berangkat kuliah dengan raut blank dan semu di wajah yang belum juga hilang. Sekarang Rahi jadi bertanya-tanya: Apa itu ciuman pertama Willis juga? Mana mungkin. Rahi menggeleng memecah gelembung lamunan.
Lantas, maksud Nabila itu apa? Rahi langsung bangkit dari dudukkannya ketika rentetan kata itu terngiang dalam benaknya. Rahi mencoba tak acuh pada pengacau mood-nya, kini langkahnya tertuju memasuki ruang klub dance.
Willis ada di sana. Irama musik yang mengiringi setiap gerakan tubuh Willis, cowok itu menari sampai berpeluh. Rahi terpesona, dia menghentikan pijakannya dan diam di tempat dekat pintu sambil memerhatikan.
Pacaran dengan Willis itu banyak cobaannya, baik dari faktor internal maupun eksternal. Rahi pernah merasa kecil saat berdampingan dengan Willis, karena Willis jenius dan pandai berbahasa, sementara dirinya tidak.
Willis itu gambaran dari sesuatu yang tak pernah bosan untuk dipandang, gambaran dari sesuatu yang terlihat indah dari sudut mana pun, dan Willis itu selalu pantas memakai apa pun, segala sesuatu yang melekat dalam diri Willis tidak ada yang dikata tidak cocok. He is a perfect boy, dan Rahi beruntung mendapatkan pria itu.
Tapi karena Rahi hanyalah rangkaian tulang tanpa seonggok daging, tubuhnya yang terlalu langsing—kurus kering, rata sana-sini. Meskipun cantik, otaknya tak sekeren milik Willis, body-nya tidak seaduhai milik Nabila. Di situlah Rahi merasa bahwa dirinya tidak lebih dari setitik kotoran yang melekat di baju Willis. Harusnya … disingkirkan.
Sebab Willis suka Nabila, karena Nabila adalah mantan Willis, dua-duanya pasangan gagal move on. Dan karena Rahi ada di tengah mereka, hubungan Willis dengan Nabila gagal balikan. Itulah yang Rahi simpulkan selama ini. Jadi, haruskah dia benar-benar mundur?
“Ra, kenapa cuma berdiri di situ?” Rahi terkesiap. Sejak kapan Willis ada di depannya? Tanpa sepatah kata, Willis menarik tangan Rahi dan mendudukkannya di kursi tunggu dalam ruangan. “Miss me?” tanya Willis yang membuat kening Rahi berkerut sekilas.
“Idih … percaya dirinya udah kayak Mimi Fairy,” sinis Rahi dalam berucap.
Bukannya bodoh dan buta bahasa, Rahi mengerti beberapa kata yang sering didengar oleh telinganya. Hanya saja tidak terlalu paham seperti Willis yang sudah mahir berkomunikasi dengan bahasa asing.
“Mimi Fairy? Siapa?”
“Masa sama jodoh sendiri gak kenal?”
Willis mengeryit, “Kamu?”
“Enak aja!”
Well, pembahasan mereka kali ini tentang makhluk Tuhan yang Rahi sebut dengan Mimi Fairy. Mulai dari sejarah kemunculannya, hingga pada julukan Ratu Rapunzel yang singgah di Kahyangan, semua itu Rahi ceritakan. Willis hanya diam mendengarkan.
“Ya ampun! Niat aku ke sini bukan buat ngedongeng,” celetuk Rahi di tengah cerita. Willis menaikkan salah satu alis matanya. “Kok kamu nyebelin sih, Wil?”
“Aku salah apa?”
“Kamu cium aku,” bagi Rahi itu salah, “tapi kamu juga masih suka, kan, sama Nabila?” Sangat salah.
“Aku gak gitu.”
Rahi melirik meremehkan ucapan Willis, “Bohong aja terus sampe gue jenggotan.”
“Ra—”
“Kalau kita putus saja gimana, Wil?”
***
“Apa salah dan dosaku Sayang.
Cinta suciku kau buang-buang.
Lihat jurus yang kan kuberikan….”
“Jarang goyang, jaran goyang….” imbuh Lei memotong lirik yang Leon nyanyikan. Key dan Kenzo terbahak. Pasalnya mereka sedang bermain tebak lagu sambil menunggu Willis yang katanya lima belas menit lagi akan datang.
“Bener, kan, itu lagu Jaran Goyang?” tanya Lei memastikan.
“Gak salah lagi,” jawab Leon.
“Giliran gue yang nyanyi—”
“Mules,” sela Key sebelum Lei memainkan pita suaranya lagi. Sudah biasa, Lei orang yang tabah dan tidak perasa. Mereka tertawa bersama hingga suara timer di ponsel Kenzo berdering.
“Udah lima belas menit nih, Willis masih di mana?” Kenzo yang bertanya.
***
“It's my second kiss, after the one we did in front of the gate.” Rahi diam tanpa kata. Willis lanjutkan, “Believe it, what Nabila said isn’t true.”
Benar-benar diam membisu, Rahi kehilangan kosa katanya. Yang semula dia minta putus, yang didapat justru sentuhan tak terpupus. Masih sambil mengatur napas, Rahi mencoba menerjemahkan ucapan prianya, tapi dia terlalu buta bahasa. Willis menyentil kening Rahi. Rona merah di pipi Rahi merajai.
“If you don't want to kiss like before, don't say the thing that makes me want to have you—just mine,” begitulah katanya.
Willis mengembalikan posisi semula. Dia bangkit dan membiarkan Rahi bernapas dengan benar. Willis berbalik, netranya bersirobok dengan kamera CCTV. s**t! Dia mengumpat. Rahi yang masih linglung hanya mengangguk saja saat Willis mengatakan, “Aku mau mandi dulu.”
Di setiap ruangan klub pasti memiliki kamar mandi. Terutama klub dance yang tiap latihannya menghasilkan air keringat, bagi yang ingin membersihkan diri seperti Willis yang saat ini pergi mandi.
Willis meninggalkan Rahi bersama tanda tanya besar dalam otak cantiknya. Tolong, beritahu Rahi apa yang tadi Willis katakan? Rahi kesal, kebodohan natural mengacaukan segalanya. Tak tahu lagi mau bilang apa pada Willis nanti, dan tak tahu mau menghadapinya seperti apa.
“Sebenernya, Willis setuju nggak sih pas gue bilang putus?”
Rahi mendesah. Tanpa ingin terjerat dalam kepusingan, Rahi memilih pergi. Harusnya tadi dia merekam apa yang dikatakan oleh Willis dan meminta Marine untuk menerjemahkannya.
“Putus, nggak? Putus … nggak?” ocehan Rahi sepanjang jalan yang hanya didengar olehnya saja.
“Woi, Ra!” Rahi tersentak, dia menghentikan langkahnya di ujung lorong. Berbalik, dan menemukan Kenzo yang berlari kecil menghampirinya. “Besok kita udah mulai latihan, ya! Festival akbar udah dekat soalnya.”
“Oh … oke,” jawab Rahi dengan senyuman. Kenzo mengangsurkan ponselnya kepada Rahi. “Catat nomor ponsel lo, gih, supaya gampang ngehubunginya,” saran Kenzo.
Rahi mengangguk, dia melakukannya. “Selesai,” katanya sambil menyerahkan ponsel itu kepada sang pemilik. Kenzo tersenyum.
“Gue duluan, ya?” kata Rahi yang Kenzo angguki. Hingga punggung gadis itu hilang di belokan, barulah Kenzo hengkang. Alasan mengapa Kenzo ada di sini adalah untuk menjemput Willis yang ternyata ada di belakang tubuhnya.
“Anjir! Gue kira setan.”
Entah … sejak kapan.
***