Happy Reading!
Udah ku revisi ya. Maaf jika tidak sempurna.
Salam cintaku.
Salam sehat.
.
.
LUCIA POV.
Aku terbangun dan melihat jam yang melilit di pergelangan tanganku, hari baru menuniukkan pukul 4 subuh, aku beranjak dan melihat Rayoen sedang terlelap di atas sofa.
Aku tersenyum, ada desir kehangatan yang membuatku merasakan betapa damainya wajah itu, wajah yang selalu terlihat disiplin, wajah otoriter. Namun, dengan pejaman mata itu membuatku merasakan kelembutan, bahwa Rayoen adalah pria yang lembut dan memiliki sisi baik. Dia pria yang baik hanya dengan melihat wajahnya. Meskipun aku tidak pernah melihat sisi baiknya selama aku mengenalnya.
Aku menghampiri ranjang di mana Micky tertidur lemas, Micky belum sadarkan diri sejak pagi, membuatku sangat mengkhawatirkannya, aku duduk di samping ranjangnya dan membelai wajahnya, kasihan anakku, itu yang aku tanamkan dalam hatiku. Micky adalah anakku. Dia sudah ku anggap seperti anak sendiri. Kasih sayangku pada Micky membesar sebesar gunung setiap harinya. Aku hanya ingin Micky bahagia hingga mengorbankan kebahagiaan sendiri.
Setelah beberapa saat, Micky menggenggam erat tanganku, aku melihat dia sedang berusaha membuka pejaman matanya, pagi ini jadwal pertamanya di kemoterapi, aku harus ada di sampingnya dan menemaninya.
Aku tersenyum menatap wajahnya. "Sayang, kamu sudah sadar, Nak?" tanyaku, lalu berdiri dan membelai wajah kecilnya.
"Mom?"
"Iya, Sayang."
"Micky di mana? "
"Micky di rumah sakit, Nak."
"Apa penyakit Micky kambuh lagi?" Micky menekan kepalanya dengan kedua tangannya, rasanya sakit sekali jika ku lihat.
Rayoen pun merasakan bahwa Micky sudah sadarkan diri. Rayoen membuka pejaman matanya dan beranjak dari duduknya lalu menghampiri putrinya yang sedang menekan kuat kepalanya.
"Sayang, kamu sudah sadar? Syukurlah, Nak," kata Rayoen, mensyukurinya lalu membelai lembut rambut hitam Micky yang sampai sebahu itu. "Apa masih sakit?" tanya Rayoen.
Micky menggelengkan kepala.
"Dad, Mom, Micky tak suka di sini, Micky ingin pulang," pintah micky.
"Sayang, di sini kamu bisa sembuh," jawab Rayoen yang lebih berhak atas Micky.
"Micky tak suka di sini, Dad, bawa saja Micky pulang," rengek Micky.
"Sayang, pagi ini kita bisa pulang, jika Micky mau melakukan satu pengobatan lagi, ya?" kataku mencoba menenangkan Micky yang sedang merengek ke papanya untuk membawanya pulang.
"Pengobatan apa, Mom? Tidak sakit, 'kan?" tanya Micky.
"Tidak sakit, kok, Sayang." Aku benar-benar sedih mendengar pertanyaan Micky.
"Benarkah? "
Aku menganggukkan kepala mencoba menenangkan Micky yang ternyata punya banyak kenangan pahit di rumah sakit, Micky memelukku dan aku membelainya, aku merasakan desir kesakitan ketika melihat Micky sedang berjuang melawan sakitnya, apalagi penyakit mematikan, penyakit yang bisa saja merenggut nyawa, kasihan anak sekecil dia sudah merasakan penyakit seperti ini, penyakit yang bisa saja merenggut kebahagiaan dan harapan hidupnya.
Rayoen terlihat frustasi, lalu melangkah keluar dari kamar perawatan Micky, aku melihat Rayoen sedang memijat pelipis matanya. Dia pasti sedih.
Rayoen sudah kehilangan istrinya. Tentu saja ia takut jika kehilangan anaknya juga. Aku paham atas keinginan Rayoen menikahiku, itu semu sudah tentu demi anaknya.
Siapa orangtua yang tidak menyayangi anaknya? Aku saja yang tidak melahirkan Micky ikut sedih dan terluka. Apalagi orangtua kandungnya.
***
Pagi sudah menunjukkan pukul 7, aku masih terjaga dari jam 4 subuh tadi, aku masih menggenggam erat tangan Micky yang terasa dingin sekali.
Suara ponselku terdengar dan aku melihat nama Wilona di layar ponselku, aku bergeser sedikit agar aku bisa mengangkat telfon Wilona, agar Micky tak terganggu dengan suaraku.
'Hallo, Lon?'
'Apa kamu masih di rumah sakit, Lucia?" tanya Wilona.
'Iya, Lon, aku masih di rumah sakit, aku sedang menjaga Micky, oh iya, Lon, aku tidak ke cafe hari ini, aku tak bisa meninggalkan Micky."
'Iya, tidak apa-apa, aku akan memberitahu Juan jika kamu tak bekerja hari ini.' kata Wilona.
'Makasih, ya, Lon?'
'Santai saja kali, Lucia, aku akan berkunjung ke rumah sakit setelah bekerja sore nanti,' ujar Wilona.
Aku mengakhiri telpon, aku menghela napas setelahnya, sesekali melirik ke arah Micky yang masih terlelap, di menit kemudian dokter Ville masuk ke dalam ruang perawatan bersama beberapa perawatnya.
"Selamat pagi, Nyonya Leonidas," sapa dokter Ville dan beberapa perawat menundukkan kepala, karena mereka tahu bahwa aku dan Micky dari keluarga Leonidas dan mereka menghargaiku.
"Jam 4 subuh tadi Micky sudah sadar, Dok, tapi terlelap lagi sampai sekarang," kataku.
"Reaksi obatnya cukup bekerja dengan baik, setelah Micky bangun nanti, proses kemoterapi akan kami mulai, sebelum itu saya akan memproses persiapannya dahulu."
Aku mengangguk. .
"Tapi, Dok, ada yang ingin saya bicarakan."
"Ada apa, Nyonya?"
"Setelah kemoterapi nanti, saya akan membawa Micky pulang, perawatannya bisa di lanjutkan di rumah, 'kan?"
"Bisa, tapi—"
"Tapi, apa, Dok? Tidak memungkinkan, ya?"
"Setelah kemoterapi akan ada reaksi yang bertolak belakang, jadi akan membutuhkan sehari untuk pulih seperti biasa," jawab dokter Ville.
"Saya harap perawatannya bisa di lanjutkan di rumah saja, Dok."
"Baiklah, perawat saya akan ke rumah anda dan mulai perawatannya hari ini juga."
"Terima kasih, Dok."
Sepeninggalan dokter Ville, aku duduk di samping Micky dan membelainya, rasa sayangku pada Micky begitu besar sampai aku pun merasakan betapa sakitnya sakit itu. Jika saja penyakit itu bisa di bagi, aku akan mengambilnya sebagian agar Micky tak terlalu merasakannya.
Di menit kemudian, Rayoen masuk ke ruang perawatan, Rayoen berjalan menghampiri ranjang Micky dan menatap putrinya.
"Dokter Ville akan melakukan kemoterapi setelah Micky bangun." kataku.
"Baiklah."
"Saya juga sudah meminta Dokter Ville untuk memindahkan perawatan ke rumah."
"Kenapa kamu melakukannya? Dan, untuk apa?"
"Apa kamu tidak mendengar Micky subuh tadi? Dia tak ingin di sini, dia ingin pulang. Keinginannya adalah hal yang penting sekarang."
"Terserah kamu saja."
"Apa kamu tak bisa peka sedikit dengan keinginan Micky?"
"Jangan mengajariku, aku tau apa yang akan aku lakukan sebagai sosok Ayah buat anakku."
Aku menghela nafas panjang, tidak akan ada gunanya berbicara sama Rayoen, hanya akan membuang energi saja, karena Rayoen tak akan mendengarkanku.
Aku berjalan meninggalkan Rayoen dan Micky yang belum sadarkan diri, aku berjalan menjauh untuk membeli sesuatu yang bisa aku makan dan minum untuk mengisi perutku sebentar, aku benar-benar lapar, sejak kemarin aku tak sempat menyentuh makanan.
Suara terdengar di belakangku membuatku menoleh karena kaget.
"Ten?"
"Selamat pagi, Lucia Millendy?" sapa Ten.
"Selamat pagi juga, Tenly Nicolas?" Aku dan Ten bersamaan tersenyum kecil sesekali saling melihat.
"Apa yang kamu lalukan sepagi ini di rumah sakit?" tanyaku.
"Aku mengunjungimu, bagaimana kabar Micky? Apa dia sudah sadar?"
"Iya, Ten, subuh tadi dia sudah tidur tapi sekarang dia tidur lagi, jadwal Kemoterapinya jam 10 nanti."
"Jadi, setelah kemoterapi, dia harus menginap di rumah sakit ini?"
"Aku sudah meminta kepada dokter Ville untuk memindahkan perawatan rumah sakit ke rumah."
"Suamimu setuju?"
"Apa lagi yang bisa dia lakukan selain setuju? Ini pun demi Micky, sekarang bagiku apa pun yang di inginkan Micky adalah hal yang harus di penuhi karena satu permintaannya adalah harapan hidupnya, bukan?"
"Aku tak menyangka, Luc, ternyata sahabatku masih sebaik ini sejak dulu." Ten tersenyum, membelai rambut rambutku, penuh hangat. Aku sudah terbiasa dengan sikap perhatian Ten.
"Ahh... kamu bisa saja, aku memang tak pernah merasa berubah, Ten."
Ten tersenyum melihatku, sahabat yang selalu mendukungku, jika aku sedang patah hati, Ten dengan cepat memberi sandaran untukku, dia berharga, dia selalu ada di sisiku, walaupun dia jauh, dia selalu menyempatkan diri menanyakan kabarku.
Aku, Ten dan Wilona bersahabat sejak kami sekolah Menengah pertama, mereka yang selalu ada di sisiku, mereka adalah belahan jiwaku, mereka melebihi saudara kandung, selalu menempatkan diri jika mereka melihatku tak ingin di ganggu. Namun, bagiku Ten bukan seorang pria.
"Kenapa diam saja, Luc?" tanya Ten membuat lamunanku buyar
"Hem? Oh... aku hanya—"
"Aku membawakanmu sarapan, kamu sarapan dulu, ya." kata Ten, menyodorkan sekotak makanan yang ia beli di restoran.
"Ya Tuhan, Ten... kamu tahu, ya, kalau aku lagi lapar," sindirku, membuat senyum Ten berbentuk menyamankan.
"Masuklah, aku harus langsung pergi bertemu penerbit, aku akan menghubungimu nanti dan jangan lupa untuk makan semua ini." kata Ten, perhatiannya itu yang selalu membuatku rindu ketika ia jauh.
"Baiklah, sekali lagi terima kasih, ya?"
"Santai saja kali, Luc, kamu seperti orang asing saja." kekeh Ten membuatku tersenyum simpul.
Sepeninggalan Ten, aku langsung menuju kantin rumah sakit, aku sengaja pergi karena ingin memberikan waktu kepada Rayoen dan Micky untuk berdua. Mereka adalah Ayah dan anak. Namun, mereka jarang sekali untuk bertemu meski hanya sekedar bermain.
Aku duduk di kantin dan memesan kopi hangat juga beberapa roti bakar dan tak lupa memesan air mineral, aku membuka kotak makanan yang di berikan Ten kepadaku, aku melihat makanan di dalamnya, hampir semua menunya adalah makanan kesukaanku, aku tersenyum mengingat Ten mengetahui makanan apa saja yang aku suka.
Aku menikmatinya, suap demi suap sesekali melihat taman yang sedang ramai, karena ini masih sangat pagi, banyak pasien yang menikmati pagi mereka di taman bersama keluarga.
"Hai." suara seorang pria membuyarkan lamunanku, aku berbalik dan melihat Henry.
"Pak Henry? Bapak—" aku berdiri hendak menyambutnya. Namun, sahabat Rayoen ini menghentikanku.
"Kamu duduk saja, apa kamu sedang sarapan?" tanyanya, meski aku tahu itu hanya basa-basi.
"Iya, Pak, saya merasa sangat lapar." jawabku.
"Eii, jangan memanggilku dengan sebutan itu, panggil saja aku Henry, berbicara lebih informal saja seperti teman, kamu, kan, istrinya sahabatku, tentu aku juga temanmu."
"Saya tidak mungkin bisa melakukan itu, Pak." aku tersenyum.
"Aku juga tidak ingin, kamu terlalu formal padaku."
"Haha... baiklah." aku terkekeh, dia pria yang humoris.
"Aku bisa gabung di sini, 'kan? Aku juga harus sarapan sebelum menemui Rayoen."
"Iya, silahkan, saya juga tidak ada temannya. Tapi, kenapa Rayoen tidak ke kantor saja?"
"Dia tidak ingin meninggalkan anaknya, jadi aku harus di sini menemuinya."
"Apa pekerjaannya selalu sangat penting, ya?" tanyaku, keinginan tahuku, mulai merasukiku.
"Tentu saja penting, Luc, dia adalah seorang pemilik dan pemimpin perusahaan, kehadirannya itu sangat penting." jawab Henry.
Aku menganggukkan kepala.
Beberapa saat kemudian, aku dan Henry berjalan meninggalkan kantin rumah sakit dan menuju kamar perawatan Micky.
"Hen, apa kamu pun sudah mengetahui jika Micky mengidap penyakit itu?" tanyaku, mulai merasa nyaman dengan obrolanku.
"Hem, Micky mengidap penyakit itu dari setahun yang lalu, awalnya kami semua tidak percaya jika Micky, anak gadis sekecil itu mengalaminya. Namun, beberapa kali tes di berbagai negara dan rumah sakit, tetap menunjukkan hasil yang sama."
"Aku sungguh tidak percaya apa yang aku dengar, pantas saja Micky memaksaku menerima ayahnya dan sempat mengatakan jika dia sedang sekarat, jika saja aku tahu itu permintaannya di saat sakit seperti ini, aku tidak akan pernah menolaknya beberapa kali meskipun pada akhirnya aku menikahi ayahnya."
"Satu permintaannya adalah satu harapan hidupnya." kata Henry.
Aku menghela nafas, kenapa semuanya harus terjadi pada Micky? Di vonis dokter beberapa kali jika umurnya hanya sampai setahun, sungguh aku tak kuasa menahan tangis ini, aku menyayangi Micky seperti anakku sendiri, rasanya aku pun sakit melihatnya sakit.
Aku melihat Ibu dan Ayah mertuaku sedang duduk terpaku di kursi tunggu, aku menghampiri mereka, ini belum jam 10. Namun, kenapa mereka sudah menunggu di luar?
"Mom? Micky—"
"Lucia? Micky sudah di dalam."
"Tapi, jadwal Micky kemo, kan, jam 10." kataku.
"Dokter Ville mempercepat proses kemonya, karena Micky sudah sadar setelah kamu pergi." jawab Ayah mertuaku.
"Saya sedang sarapan, sejak kemarin saya tidak makan, jadi—"
"Tidak apa-apa, Nak, Micky tadi menanyakanmu, kamu bisa bertemu dengannya setelah dia keluar." jawab Ibu Jen.
Aku menganggukkan kepala, kenapa Rayoen tak mengatakan padaku jika jadwal Micky di kemo di majukan, rasanya aku tak di hargai saja walaupun aku bukan istri dan Ibu yang sesungguhnya buat mereka. Aku menghela nafas panjang lalu duduk di samping kedua mertuaku, Henry menepuk pundakku lalu tersenyum, senyuman itu mengatakan jika semua akan baik-baik saja. Aku tersenyum dan mencoba tegar, semoga saja proses kemo nya berjalan dengan lancar.