Part 1
Seorang wanita sedang duduk terpaku di bawah pohon sembari menunggu bus yang akan melintasi halte bus di depannya.
Wanita itu bernama Lucia Millendy usianya cukup matang 27 tahun, di usia yang sudah terbilang mapan, tak seorang pun pria yang bisa bertahan dengannya, apalagi sampai menikah dengannya. Lucia pun tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Mengapa semua lelaki tidak tertarik kepadanya.
Beberapa menit yang lalu, Lucia menghadiri acara reunian teman sekelasnya yang terbilang teman-temannnya yang mampu, yang kaya raya, yang sudah menikah dengan pengusaha, reunian yang bisa di katakan ... tempat ajang pamer, apa yang bisa di pamerkan Lucia? Tidak ada sama sekali. Ia hanya beban keluarga.
Kekasihnya yang bernama Will bekerja di salah satu Bank Swasta yang bisa ia pamerkan didepan teman-temannya, malah membawa gadis lain di acara reuni. Bukannya membawa Lucia yang sudah menjalin hubungan sampai setahun dengannya. Saat itu membuat Will mampu menunjukkan bahwa dia sudah tak menginginkan Lucia lagi.
Saat itu juga Lucia merasa malu, susah untuk mendongakkan wajahnya menatap semua teman-temannya. Sudah miskin, di tambah kekasih yang di harapkan bisa menikahinya malah memutuskannya di depan teman-temannya. Lucia mengacak-ngacak rambutnya frustasi, putus cinta apa selalu menyakitkan seperti ini?
"Wah. Kamu sudah di depak oleh Will."
"Kamu adalah wanita yang tidak bisa di cintai, Lucia."
"Kamu benar-benar wanita yang tidak pernah bisa mendapatkan kasih sayang seorang pria."
"Kamu di putuskan oleh Will? Apa menurut Will ... kamu sudah tua?"
"Will suka wanita yang muda, jadi tidak mungkin bertahan dengan wanita sepertimu."
Semua kata-kata itu seakan berbisik mengganggunya, memenuhi telinganya, membuat Lucia tidak bisa bangkit dari duduknya, malu sekali rasanya. Kata-kata itu mampu membuat kepercayaan dirinya menghilang seketika.
Seketika lamunan Lucia buyar, ketika mendengar suara klakson mobil yang gemuru meramaikan malamnya kota di London. Klakson itu saling bersahut-sahutan membuat Lucia menutup telinganya.
Pandangan Lucia mengarah ke tengah jalan, ia menarik tangannya dari kedua telinganya dan memerhatikan apa yang terjadi didepannya. Lucia membulatkan matanya penuh ketika melihat seorang anak kecil yang usianya sekitar 5 tahun berjalan di tengah jalanan, membuat jalanan begitu macet, apalagi orang-orang yang sedang berdiri tak ada yang bisa menolongnya. Seakan mereka takut akan bahaya didepan sana.
Lucia bangkit dari duduknya dan duduk dibahu jalan.
"Hei, Nak, sini, jangan berjalan di situ!" teriak Lucia. Namun, anak kecil itu tak mendengarnya dan masih terus berjalan dengan pandangan dan pikiran yang kosong.
Lucia langsung berlari ke tengah jalanan dan menggendong anak itu, lalu membawanya ke bahu jalan, Lucia langsung memeluknya dan menepuk-nepuk punggungnya, seakan tahu jika anak itu sedang ada masalah. Lucia melepas pelukannya, menatap anak yang baru saja ia tolong, anak kecil itu sedang menitikkan air mata yang menunjukkan bahwa hanya ada kesedihan diwajahnya.
"Kenapa menangis, Nak? Ada apa? Kenapa kamu begini?" tanya Lucia ibah pada anak kecil yang kini sedang menangis. "Nama kamu siapa?"
Lucia tahu betul apa yang dirasakan anak kecil itu. Gadi kecil itu sudah cukup besar dan ia pasti sudah tahu tentang apa yang terjadi disekitarannya.
Ada jeda beberapa saat hingga gadis kecil itu berkata, "Micky."
"Nama yang bagus, Nak. Kamu mau kemana? Kenapa berjalan di tengah jalan seperti itu? Kalau tertabrak bagaimana? Apa Micky gak takut?"
"Aunty siapa?" tanya Micky.
"Aunt yang menolongmu," jawab Lucia berbangga diri, bahwa ia menyelamatkan gadis kecil itu yang hampir saja tertabrak.
"Nama Aunt adalah Lucia," jawab Lucia yang sudah merasa tua, karena di panggil aunty oleh gadis kecil saat ini. Ya usianya memang sudah menua.
"Aunt, kenapa menyelamatkan Micky?" tanya Micky dengan kedua netra yang berbinar.
"Karena memang harus di selamatkan," jawab Lucia lagi.
"Aunt percaya pada Micky?"
"Harusnya Aunt yang tanya, kamu percaya kan pada Aunt?"
Micky menganggukkan kepala dan berkata, "Micky percaya. Karena itu ... bawa Micky pergi."
"Bawa kemana, Sayang? Rumahmu mana? Biar Aunty Antar kamu pulang ya?"
"Jangan membawa Micky pulang, Aunt. Micky tidak mau pulang," ujar Micky menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tapi, kasihan, Nak, sama orang tuamu, mereka pasti mengkhawatirkanmu," kata Lucia, mencoba merayu Micky.
Micky menggeleng-gelengkan kepala lalu memeluk Lucia, memeluknya begitu dalam dan terisak.
"Tidak ada yang perduli, Aunt," jawab Micky terus mengeratkan pelukannya.
***
Lucia akhirnya dengan berkali-kali berpikir, ia terpaksa membawa Micky pulang ke rumahnya, ke rumah kontrakannya bersama sahabatnya, rumah kecil yang benar-benar menyesakkan, ia dan sahabatnya saja sudah merasa sesak di rumah ini, apalagi harus ditambah dengan kehadiran Micky.
Micky masih menumpu dagunya di kedua lututnya. Terlihat kesepian dan tidak mendapatkan kasih sayang, melihat Micky ... Lucia jadi ingat dirinya sewaktu kecil.
Wilona menatap anak itu dari dapur, sesekali melihat ke arah Lucia yang sedang membuatkan minum untuk Micky. Wilona heran sekali.
"Jangan menatapku seperti itu, Lon!" ujar Lucia.
"Siapa anak itu? kamu jangan-jangan menculik dia, ya? Apa kamu putus asa dengan hidup kita yang miskin ini?" tanya Wilona, membuat Lucia terkekeh dan menggelengkan kepala.
"Apaan sih kamu, apa aku serendah itu sampai menculik anak orang? Nanti saja aku ceritakan, aku harus merayu Micky untuk pulang ke rumahnya, kalau kamu mau bantuin, sih, tidak apa-apa," papar Lucia.
"Jangan libatkan aku!"
"Ya sudah. " Lucia berjalan menghampiri Micky yang tengah menekuk kedua lututnya.
"Minum yang hangat dulu, Micky" ujar Lucia menyodorkan segelas teh hangat untuk anak gadis yang sedang bersedih itu.
"Makasih, Aunt." Micky tersenyum.
"Apa kamu tidak mau pulang? Kasihan orang tuamu, mereka pasti sangat khawatir," bujuk Lucia.
"Micky hanya punya Daddy, Aunt. Micky tak punya Mommy."
"Micky, meskipun hanya punya Daddy. Namun, Daddy Micky pasti sangat khawatir sekarang, Micky harus pulang, ya? Akan Aunt antar, kok. "
"Aunt, malam ini Micky boleh nginap di sini, ya? Malam ini aja, Aunt, besok Micky janji akan pulang." pinta Micky dengan mata yang berbinar. Lucia menoleh dan melihat ke arah Wilona yang sedang menatapnya dari kejauhan.
"Jangan, Sayang! Kasihan Daddy Micky, pasti khawatir."
"Daddy tak akan khawatir, Aunt," sergah Micky dengan nada yang benar-benar tegas.
Lucia menggaruk rambut belakangnya yang tidak gatal. Sesekali melihat ke arah Wilona yang sedang memberikannya kode.
"Tapi, setidaknya telpon Daddy Micky, beritahukan jika Micky di sini," kata Lucia.
Micky menggeleng.
"Kalau kamu tidak mau menghubunginya, Aunt tidak akan izinkan kamu menginap di sini."
"Tapi, Aunt—"
"Tak ada tapi-tapi, Nak." tegas Lucia.
"Baiklah." Micky mengalah dan menganggukkan kepala.
Lucia tersenyum lalu memberikan ponselnya kepada Micky yang sedang dengan wajah penuh kebingungan. Hari ini adalah hari terburuknya, namun ia sudah di repotkan oleh gadis kecil yang kini ada di rumahnya yang sempit ini. Hidupnya saja sudah menjadi beban negara, bagaimana bisa ia mengurus anak kecil.
Micky lalu mengetik pesan teks kepada ayahnya dan mengirimnya lalu mengembalikan ponsel Lucia setelahnya.
"Sudah, Aunt," kata Micky.
"Ya sudah, sekarang Micky ganti baju, ya, lalu tidur. Ini sudah malam, besok kan Micky sekolah."
"Tapi, Aunt, Micky, kan, tidak punya baju ganti."
"Tidak apa-apa, pakai baju Aunt saja dulu, ya,"
"Memangnya pas buat Micky?"
"Paskan saja, Nak, kan mau di pake tidur saja."
Micky mengangguk.
Keakraban terjalin antara Lucia dan Micky, akhirnya Micky jujur pada Lucia sebenarnya ada apa dengannya, mengapa dia harus kabur dari rumah, Lucia akhirnya memahami Micky dan memahami kesedihan anak kecil itu.
Micky pun mulai merasa sangat nyaman di samping Lucia dan merasa Lucia adalah orang yang tulus, apalagi rumah Lucia dan rumah Micky sangatlah dekat, jadi, setidaknya Micky akan sering ke kontrakkan Lucia. Micky merasakan desir kehangatan menyeruak hebat di hatinya ketika Lucia menepuk-nepuknya dan membuatnya akhirnya terlelap.
Lucia memang tidak pernah mengurus anak kecil, bebannya saja sudah banyak, jadi ia tidak pernah memikirkan apa pun selain ingin menikahi pria kaya yang dapat memberikannya apa pun dan segalanya. yang bisa mengangkatnya dari tempat s****h. Hari ini adalah hari tersedihnya karena harus menanggung malu termaksud menanggung kesedihan melihat Will yang mengkhianatinya terang-terangan.
***
Pagi hari yang cerah dan kicauan burung menandakan bahwa hari sudah pagi. Di sebuah rumah kontrakkan yang terlihat menyesakkan dan sempit, bahkan kamar mandinya saja hanya pas dibadan mereka. Memperlihatkan gadis kecil yang sudah mandi dan sudah berpakaian untuk kembali ke rumahnya, harinya begitu membahagiakan, ia begitu menyayangi Lucia yang bersikap seperti ibunya sendiri.
Lucia tersenyum menatap Micky dari kejauhan, Lucia merasa mendadak punya anak.
Lucia berjalan meraih ponselnya di atas nakas, melihat 12 Panggilan tak terjawab dan 16 pesan baru. Lucia membuka ponselnya dan melihat di layar ponselnya "Rayoen Dad Micky".
Lucia tersenyum simpul lalu menoleh melihat Micky, ketika anak kecil itu mensave nomor papanya di ponsel Lucia dengan nama papanya
"Kamu sudah siap, Micky?" tanya Lucia.
"Sudah, Aunt," angguk Micky.
"Ayo kita berangkat, Daddy Micky sudah menelpon sejak tadi," kata Lucia.
"Oke berangkat." Micky begitu senang.
Tak butuh waktu lama mereka sampai di mansion, Lucia takjub melihat rumah sebesar ini, ini bukan rumah, melainkan istana, membuat Lucia tak bergeming dan tak berkedip sama sekali, ternyata Micky adalah anak orang kaya.
"Aunt!" Micky menarik dress yang di kenakan Lucia.
Lucia menundukka kepala. "Iya, Sayang?"
"Ayo masuk," ajak Micky, dengan perasaan agak takut.
"Sampai di sini saja, ya, Mick. Aunt harus bekerja," kata Lucia.
"Aunt tidak boleh kerja, kalau tidak masuk dulu," rengek Micky membuat Lucia menganggukkan kepala.
"Baiklah." Lucia mengikuti langkah kaki Micky, gadis kecil yang sudah peka dengan kehidupan pribadi ayahnya, membuat Lucia sesekali tersenyum jika mengingat cerita Micky tentang semua hal yang berkaitan tentang ayahnya dan kekasih ayahnya.
Di dalam rumah, Rayoen yang merupakan Ayah Micky, neneknya Micky, kakeknya Micky dan seorang wanita yang terlihat seperti Mama Micky berdiri menunggu Micky pulang, terlihat kilatan amarah di wajah Rayoen. Lucia berdiri di dekat pintu, Micky menggenggam tangan Lucia dan tak ingin melepaskannya, Lucia menatap Micky yang benar-benar terlihat ketakutan.
Rayoen benar-benar tampan, jika seseorang melihatnya tak akan ada yang percaya jika dia sudah menikah dan memiliki satu anak, benar-benar tampan dan menggoda. Bahkan brewok halus yang ada di sekitaran dagunya terlihat sangat menarik dan menggoda. Bahkan wanita akan berbondong-bondong datang menyerahkan tubuh mereka. Bahkan Lucia bergidik ketika melihat wajah tampan itu. Sesuai tipenya.
"Dari mana kamu?" tanya Rayoen, terdengar kasar dengan volume suara yang sedikit keras.
"Nak, Jangan kasar," kata Nenek Micky.
"Daddy tanya. Dari mana kamu?" tanya Rayoen mengulang pertanyaannya.
"Micky menginap di rumah Aunt Lucia." Micky menundukkan kepala, lalu bersembunyi di balik tubuh Lucia.
"Kamu masih kecil, sudah berani kabur-kaburan dari rumah? Bagaimana besarnya nanti? Apalagi kabur di rumah orang asing, Dad sudah sering mengajarkannya sama kamu, jangan mempercayai orang asing, tapi lihat kamu. Micky lebih mempercayai orang asing di bandingkan keluarganya sendiri," ujar Rayoen menghela napas kasar.
'Dasar orang kaya, dia mengataiku orang asing, walaupun kenyataan. Namun, aku mau apa juga pada Micky? Kenapa jadi terdengar menyalahkanku?' batin Lucia.
"Bagi Micky, Aunt Lucia baik, tidak seperti yang Dad bilang," lawan Micky.
"Dan, sekarang kamu sudah mulai melawan kata-kata Dad?" Rayoen benar-benar bingung dan marah.
"Dad yang jahat," ujar Micky, lalu memeluk betis Lucia, Lucia sebenarnya sudah sangat heran ketika Micky menyayanginya, Lucia juga jadi harus terlibat dalam masalah keluarga Micky, jadi sesuatu yang tak di harapkannya terjadi.
"Nama kamu siapa, Nak?" tanya Ibu Jen.
"Saya Lucia, Nyonya," jawab Lucia dengan anggukan kepalanya. mencoba santun dan berkelas. Wkwk berkelas.
"Kamu bisa menolong kami sebentar?" tanya Ibu Jen.
"Apa itu, Nyonya?"
"Bawalah Micky ke kamarnya."
"Tapi, Nyonya, saya harus bekerja," tolak Lucia.
"Kami minta tolong sama kamu, ya, Nak, kasihan Micky," kata Ibu Jen.
Lagi dan lagi Lucia mengalah.
"Baiklah." Lucia berjalan mengikuti langkah maid yang sedang berjalan duluan di depannya, Micky tak mau turun dari gendongan Lucia, membuat Lucia merasa sedikit berat.
"Aunt kok menyuruh wanita asing itu mengurus Micky? Kan, ada aku yang bisa mengurusnya." kesal Bianca.
"Apa kalian tidak melihat Micky? Dia lebih suka dan nyaman dengan Lucia di bandingkan kalian berdua, seharusnya kalian berpikir, kenapa Micky bisa tidak suka pada kalian berdua terkhusus daddynya? Jangan selalu memikirkan diri sendiri, pikirkan lah Micky juga, apa yang dia suka dan tidak suka, dia sedang sakit tak seperti kalian sehat-sehat saja," racau Ibu Jen dengan helaan napas kasar.
"Benar kata ibumu, Nak, Kita harus mengutamakan Micky dulu di bandingkan perasaan kalian berdua. Dia itu berbeda, dia sakit dan dia bisa saja terluka," sambung Hendricks, ayahnya Rayoen.
"Apa kita harus langsung percaya begitu saja kepada wanita itu? Bagaimana jika dia berniat jahat pada Micky?" sambung Bianca. "Aku tidak pernah percaya kepada orang asing apalagi wanita. Siapatahu saja dia memanfaatkan yang terjadi dan mencoba menghasut Micky."
"Diamlah, Bi, aku lelah mendengarnya," sambung Rayoen, lalu berjalan meninggalkan kedua orang tuanya dan tunangannya.
Bianca menyusul langkah kaki Rayoen dengan helaan napas kasar.
Di kamar Micky.
Lucia memakaikan seragam sekolah pada Micky, sejak tadi Micky tersenyum, membuat Lucia jadi merasa seperti Ibu sebenarnya. Mengapa takdir malah membawanya kemari? Ada apa sebenarnya?
"Jangan seperti itu pada ayahmu, Nak, kasihan dia," kata Lucia.
"Dad lebih memilih Aunt Bianca di bandingkan Micky, Dad lebih sayang sama Aunt Bianca di bandingkan Micky, Aunt. Micky tidak pernah merasakan kasih sayang Daddy semenjak Aunt Bianca ada," keluh Micky membuat Lucia menganggukkan kepala.
"Tapi, Sayang, sebagai anak kita harus sopan pada orang tua kita, kita tidak boleh menyakiti hati kedua orang tua kita. Karena, kita lahir ke dunia berkat orang tua kita loh, jadi jangan sekali-kali mengecewakan hati mereka," kata Lucia.
Micky mengangguk dan memeluk Lucia. Ia seperti menemukan sosok Ibu yang sudah lama ia dambakan, Ibu kandungnya harus meninggalkan dunia begitu cepat dan membuat perasaan Micky terkoyak-koyakkan oleh orang-orang dewasa yang tidak ia inginkan, termaksud Bianca.