Part 7

1921 Words
Ten mendengar dengan setia setiap baris cerita Lucia yang mulai membuatnya memahami keputusan sahabatnya itu menikah dengan pria yang tak di cintainya dan tak pernah di kenalinya sebelumnya, memang tak masuk akal jika di pikirkan lagi. Namun, itulah takdir, sebelum lahir Tuhan sudah mencatat apa yang akan kita lalui dan apa yang akan di takdirkan untuk kita, menyesalinya pun tak akan berguna sama sekali. Sekuat bagaimana pun mencoba untuk lari dari semua ini, itu semua tak berguna, hanya ada dua pilihan di saat seperti ini, jalani atau mundur? Ten tidak menyangka dan benar-benar tidak pernah berpikir bahwa Lucia sudah menikah dan pernikahan yang dijalani sahabatnya itu bukan pernikahan bahagia. Ten akan rela melepas Lucia jika Lucia bahagia atas keputusannya. Namun, berbeda jika itu tak membahagiakan Lucia. "Baiklah, Lucia. Hanya setahun, 'kan? Setahun itu singkat, kok, sama denganku pergi setahun dan tak terasa aku sudah kembali," kata Ten, lalu memeluk Lucia menepuk lembut pundak sahabatnya dengan kecewa. Lucia membutuhkan dukungannya bukan rengekannya Jadi, Ten harus berusaha membuat Lucia nyaman senyaman-nyamannya. Lucia menganggukkan kepala. "Aku harus menjalaninya, bukan?" "Semua akan berlalu, Lucia, jangan menyesalinya, keputusanmu adalah hal yang benar, aku sangat tau tentangmu di bandingkan kamu sendiri, kamu pasti kuat dan tidak akan semudah itu menyerah, anggap saja apa yang kamu lakukan ini adalah ladang pahala untuk kamu," kata Ten begitu bijaksana membuat Lucia lebih tenang sekarang, lalu mengangguk mengiyakan. "Kamu masih tinggal di rusun itu? " tanya Ten melepas pelukannya pada Lucia. "Aku dan Wilona pindah ke kontrakkan, Ten, tapi sekarang aku tinggal di mansion pria itu." "Ada apa dengan rusun itu? " "Tidak ada apa-apa cuma menyesakkan saja karena terlalu sempit." "Itu karena ukurannya adalah ukuran studio, baiklah... aku akan berkunjung nanti jika aku sempat, kamu bisa masuk bekerja sekarang," kata Ten, membelai rambut sahabatnya. "Thanks, ya, Ten, kamu sudah menenangkanku sekarang, berkunjung lah ke kontrakkan, pasti Wilona bahagia kamu kembali, kami sudah lama menantikanmu. Tadi dia di cafe tapi kayaknya keluar sebentar." "Aku, kan, sudah bilang, jangan memendam semua masalah sendirian, ceritakan padaku atau pada Wilona, aku yakin kamu pasti akan lebih tenang. Aku akan mendukung apa pun yang kamu putuskan. Jika menurutmu itu baik. Pasti akan baik pada akhirnya," papar Ten. Lucia menganggukkan kepala. "Hem, baiklah.. sampai ketemu nanti, ya, aku akan memberitahu Wilona jika kamu kembali, dia pasti akan histeris," kata Lucia dengan senyum mengambang, lalu beranjak dari duduknya dan berjalan memunggungi Ten yang sedang menatapnya. Ten tersenyum lalu menghela napas. "Syukurlah dia baik-baik saja, meskipun aku harus kecewa." gumam Ten, lalu beranjak meninggalkan taman dekat cafe. Suara ponsel Lucia membuyarkan lamunannya, Lucia mengambil ponselnya di saku celemek dan mengangkatnya. 'Halo?' 'Selamat pagi, Nyonya!' 'Iya, dengan siapa?' tanya Lucia, penasaran. 'Saya Chyntia, Nyonya, guru kelas Micky.' 'Oh, iya, ada apa, Buguru?' '..........' 'Baiklah, saya akan ke sana sekarang juga,' jawab Lucia begitu panik. Lucia berjalan meninggalkan cafe, masih dengan seragam kerjanya, tanpa melepasnya dahulu karena rasa panik sudah menguasainya, Lucia langsung menuju rumah sakit, beberapa taksi yang coba di tahannya. Namun, tak ada yang mau berhenti. Lucia tidak perduli dengan seragam yang ia kenakan. Yang terpenting adalah ... ia harus bertemu Micky. "Ya Tuhan ... Micky, bertahanlah, Nak." gumam Lucia. Ten yang hendak mengemudi melintasi cafe, tiba-tiba menginjak rem mobilnya seketika melihat kepanikan Lucia yang sedang mondar-mandir sesekali ke bahu jalanan untuk menahan taksi, Ten keluar dari mobilnya dan menghampiri Lucia. "Lucia, ada apa? Kenapa kamu kelihatan panik seperti itu?" tanya Ten, menggenggam tangan Lucia. "Ten, aku_ aku harus ke rumah sakit, aku harus ke sana sekarang," rengek Lucia. "Siapa yang sakit? " "Micky." "Putri suamimu?" Lucia menganggukkan kepala beberapa kali, Ten mengangkat sebelah alisnya karena melihat kepanikan yang ada di wajah Lucia untuk pertama kalinya menandakan jika Lucia sangat menyayangi Micky seperti putrinya sendiri. "Aku harus bagaimana, Ten? Aku—" "Ayo, kemari." Ten menarik Lucia dan memasukkannya ke dalam mobil Bugatti miliknya, "Aku akan mengantarmu," sambung Ten, lalu mengemudikan mobilnya meninggalkan pelataran kedai kopi tempatnya bekerja. "Kamu pasti sayang sekali sama anak yang bernama Micky itu," kata Ten menekan pedal gas dan melajukan mobilnya. "Aku tidak tahu mengapa aku sesayang itu padanya. Namun, aku seperti merasakan apa yang anak itu rasakan." Ten menganggukkan kepala. Selama ini, Ten tahu betul jika Lucia adalah wanita yang penyayang dan penuh dengan kasih sayang. *** Sepuluh menit kemudian... RS. Daerin. Lucia dan Ten setengah berlari menghampiri meja resepsionis untuk menanyakan keberadaan Micky. Setelah perawat memberikannya petunjuk, Lucia menuju ruangan untuk melihat putrinya yang sedang di ruangan pemeriksaan intensif. Lucia dan Ten masuk ke dalam ruangan intensif, lalu melihat guru Micky sedang melihat pemeriksaan dokter. "Nyonya, Micky tadi mendadak pingsan di sekolah, jadi saya membawanya kemari," kata Chyntia, guru Kelas Micky. "Iya, Ibu Guru, makasih karena sudah menghubungi saya," jawab Lucia. "Bagaimana kondisi anak saya, Dok?" tanya Lucia. "Anda ibunya?" tanya dokter. "YA! Apa anda tidak mendengar apa yang saya katakan barusan? Saya bertanya bagaimana keadaan putri saya, sudah tentu saya ibunya," kata Lucia penuh penekanan. "Tenang, Lucia!" bisik Ten. "Bagaimana aku bisa tenang? Melihat putriku terbaring lemah seperti ini, Ten?" "Anda harus ikut saya ke ruangan," kata dokter Ville yang menangani Micky. "Ibu guru, tolong, ya, saya titip Micky sebentar saja," pintah Lucia pada Chyntia. "Iya, Nyonya, saya akan menemani Micky di sini, sampai anda kembali," jawab Chyntia. Lucia duduk di hadapan dokter yang barusan ia bentak, membuat Lucia tak enak hati setelah melakukannya. Ia hanya panik dan mendengar pertanyaan bodoh seperti itu. "Begini, Nyonya, saya jelaskan di sini, kanker otak yang di alami pasien sudah stadium dua, jadi kami harus memberikannya pengobatan khusus dari rumah sakit ini, karena pasien sudah melakukan beberapa kali operasi, jadi tak memungkinkan untuk mengoperasinya ulang, yang bisa kami lakukan sekarang hanya meminta persetujuan dari keluarga untuk melakukan kemoterapi awal," papar dokter Ville, menjelaskan. Deg. Jantung Lucia berdetak begitu kencang. "Kanker otak? Ma-maksudnya putri saya mengidap kanker otak? Dokter tidak becanda, 'kan? Ka_ka_nker o_otak?" Lucia menitikkan air mata, karena tak pernah tahu sebelumnya jika Micky sedang sakit keras, Lucia membayangkan ketika Micky memintanya menikahi Rayoen, sempat Micky mengatakan jika dia sekarat. "Lucia, apa kata dokter? " tanya Ten ketika melihat Lucia keluar dari ruangan dokter. Lucia terduduk di lantai, membuat Ten khawatir, Lucia menangis tersenduh-senduh mengingat perkataan dokter barusan, jika Micky harus di kemoterapi, sedangkan selama ini Lucia merasa Micky sehat-sehat saja dan baik-baik saja. Ten menarik Lucia kepelukannya menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu, Lucia menangis di pelukan Ten, di pelukan sahabat yang selalu perduli padanya selama ini, Ten seperti obat bagi Lucia ketika sedang sedih. Namun, perasaan Lucia, Ten hanya lah teman biasa. Ten menepuk-nepuk pundak sahabatnya, Ten baru melihat sisi lain dari Lucia hari ini, ia menyayangi Micky seperti putrinya sendiri, ia tak pernah melihat Lucia menangis dan panik seperti ini selama mereka bersama. Setelah pemeriksaan dan Lucia sudah agak tenang, Ten pamit pulang karena harus mengerjakan sesuatu, jadi hanya ada Lucia dan Micky. Di menit kemudian, Rayoen datang dan mendorong pintu kamar perawatan Micky dan menghampiri putrinya yang sedang di bantu alat pernapasan juga beberapa alat denyut jantung di dadanya. Sudah lama ia tak melihat Micky terbaring di atas ranjang pasien dengan wajah lemas dan pucat, sudah hampir 4 bulan Micky terlihat seperti orang sehat, itu membuatnya senang dan merasa aman. "Ya Tuhan ... sadarlah, Nak, ini Dad, Nak, ini Dad, Dad akan menjagamu dan melindungimu, Nak," kata Rayoen, menggenggam tangan putrinya. Lucia jadi merasa bodoh. Ia tidak pernah berpikir Micky sakit. Rayoen memijat Pelipis matanya lalu keluar dari ruang perawatan, ia tak sanggup melihat putrinya terbaring lemah dengan banyaknya bantuan dari alat medis, rasanya hatinya seketika hancur saat itu juga. Lucia menyusul langkah kaki Rayoen dan mendapati Rayoen sedang merokok. Lucia tahu Rayoen merokok karena ingin menghilangkan stress. Beberapa orang yang ia temui pun sama. Akan menghilangkan stress dengan merokok. "Kenapa kamu tak pernah memberitahuku jika Micky itu sakit? Kenapa?" tanya Lucia tak peduli bagaimana suasana hati Rayoen. "Apa itu penting untuk kamu ketahui? Sejak awal, kamu bukan siapa-siapa, jadi kenapa bertanya padaku? Apa setiap kondisi keluargaku, harus kamu tahu?" tanya Rayoen, membuat Lucia menganga tak percaya. Seperti inikah saja kehadirannya? "Apa kamu pikir, aku tak bersedih melihat kondisi Micky seperti ini? Aku mencintainya dan menyayanginya, tapi teganya kamu—" "Micky sudah hampir sehat! Tapi, kenapa ini harus terjadi lagi? HAAA??!" bentak Rayoen. "Apa maksudmu? Kamu menyalahkanku atas apa yang menimpa Micky? Aku juga tidak tahu kenapa Micky bisa pingsan, aku mendapatkan telpon dari guru kelasnya dan aku langsung kemari dan dokter mengatakan kepadaku tentang penyakit Micky, kenapa tak jujur padaku sejak awal?" tanya Lucia dengan suara yang sedikit keras. "Jujur sama kamu? Apa itu penting?" "Penting lah. Aku ini telah menjadi ibunya." "Ibu pengganti?" Perkataan Rayoen sangatlah menyakitkan. Namun, Lucia mencoba menahannya. "Apa-apaan kalian? Anak sakit bukannya memberi motivasi malah bertengkar di sini." Henry mencoba menghentikan emosi Rayoen yang bisa menyakiti perasaan Lucia. Rayoen memijat pelipis matanya dan menghela napas begitu panjang, Henry menepuk pundak sahabatnya agar mau lebih bersabar. "Kalian harus sabar menghadapi ini. Saling menyalahkan tidak akan membuat Micky membaik. Lebih baik kalian akur. Siapatahu itu yang bisa membuat Micky membaik." *** Sudah hampir jam 10 malam, Micky belum juga sadarkan diri, sedangkan besok adalah jadwal pertama ia melakukan kemoterapi, Lucia tak bergeser sedikit pun, ia tetap setia menemani Micky, menangisi Micky dan membelainya, Rayoen melihat ketulusan Lucia dari luar ruangan. Meski awalnya Rayoen ragu pada Lucia, namun melihat airmata Lucia yang keluar sejak tadi. Membuat Rayoen tahu wanita seperti apa Lucia itu. "Nak, kamu bisa pulang ke rumah, biar Mom yang menemani Micky di sini," kata Ibu Jen. "Tidak apa-apa, Mom. Mommy pulang saja, aku yang akan menjaga Micky di sini," jawab Lucia. "Kamu, kan, besok bekerja." "Untuk sementara saya akan mengambil cuti, agar tetap merasa dekat dengan Micky." jawab Lucia. "Baiklah, Mom pulang dulu, jika terjadi sesuatu cepat mengabari kami, ya, Nak?" sambung Hendricks. Lucia mengangguk lalu menundukkan kepala. Suara ponsel Rayoen terdengar, Rayoen lalu berjalan menuju atap. 'Halo?' 'Ya ampun, Sayang... kenapa susah sekali menghubungi kamu?'tanya Bianca dari seberang telpon. 'Maafkan aku, sejak tadi aku banyak pekerjaan, di tambah Micky masuk rumah sakit lagi,' jawab Rayoen. 'Apa? Micky masuk rumah sakit lagi? Karena apa?' 'Masih dengan penyakitnya.' 'Kok kalian ceroboh sekali, sih?' tanya Bianca 'Jangan menambah beban pikiranku, Bi, aku lagi pusing.' 'Maafkan aku, Sayang, aku panik, apa aku kembali ke London saja untuk menemanimu?' 'Tidak perlu, kamu fokus saja sama bisnis kamu di sana, sayang, kan, kalau kamu tinggalkan.' 'Baiklah, maafkan aku, Sayang.' 'Iya, tidak apa-apa, aku harus menemani Micky di kamar.' 'Kamu tidak lagi sama wanita itu, 'kan?' 'Sudah, ya.' Rayoen mengakhiri telponnya lalu berjalan menghampiri kamar perawatan Micky, Rayoen melihat Lucia tertidur dengan posisi duduk di samping ranjang Micky. Rayoen mencoba membangunkan Lucia. Namun, Lucia tak bergeming sama sekali. Rayoen menggendong Lucia ala bridal style dan menurunkannya di atas ranjang yang di siapkan untuk keluarga pasien. Rayoen menyelimuti Lucia dengan selimut yang sudah di siapkan rumah sakit, kamar vvip memang sudah seperti ini. Rayoen tersenyum kecil dan menghela napas lalu memperbaiki sehelai rambut yang menutupi wajah Lucia. Ia tanpa sadar mengangkat sudut bibirnya hingga membentuk senyuman yang tampan. Suara ponsel Lucia terdengar, Rayoen mengambil ponsel Lucia di atas nakas dan melihat nama Ten di layar ponsel jadul Lucia, Rayoen menonaktifkan ponsel Lucia dan menaruhnya di atas nakas. Rayoen menghampiri putrinya lalu membelainya. "Maafkan Dad, Nak, Dad janji akan membawa Micky kemana pun, yang penting Micky sembuh, Dad rela kehilangan segalanya asalkan Dad tak kehilangan kamu, Nak." gumam Rayoen mencium tangan kecil putrinya. Lucia tersenyum simpul mendengar perkataan Rayoen, ternyata Lucia tak tertidur, dia hanya gugup ketika Rayoen menatapnya dan menggendongnya. Lucia hampir memekik hebat ketika Rayoen menggendongnya. Namun, Lucia sudah menahannya lama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD