Lucia POV.
Aku mengantarkan Micky sampai di depan kelasnya, membuatku merasa menjadi Ibu yang sebenarnya jika seperti ini, bersikap layaknya seorang Ibu dan melupakan kesepakatan yang aku sepakati dengan Rayoen, suamiku. Ya dia sudah sah jika aku menyebutnya dengan sebutan ... suamiku. Karena dia sudah meminangku dan menikahi didepan orang banyak termaksud didepan Tuhan kami.
Aku berlutut agar sejajar dengan Micky, aku memeluknya dan tersenyum menatapnya, apakah Micky di titipkan Tuhan untuk membuatku mendapatkan jodohku? Untuk membalaskan sakit hatiku kepada Will? Apakah benar begitu? Konyol sekali.
"Sayang, Mom kerja dulu, ya, Mom akan menjemput Micky pulang sekolah nanti, Rana akan menemani Micky di sekolah seperti biasa," kataku lembut sekali. Aku memang harus bersikap seperti ini. Karena aku mencintai Micky dan menyayanginya semenjak kami bertemu pertama kali.
Micky menganggukkan kepala penuh semangat. "Tapi, Mom, janji, ya, jemput Micky pulang sekolah nanti."
"Iya, Sayang, Mom janji," jawabku, dengan kecupan di kening Micky. Aku benar-benar merasa bahwa takdirku memang seperti ini.
"Baiklah, Mom, Micky masuk dulu, ya," seru Micky.
"Iya, Sayang," jawabku
Aku tersenyum melihat Micky memunggungiku, aku menghela napas lalu berdiri, sesaat menoleh meliaht sekitaran dan sekolah ini memang sangat aman.
"Anda ... Nyonya Leonidas, ya?" tanya seorang Ibu yang sepertinya sedang mengantar anaknya ke sekolah. Sama sepertiku.
Deg... kenapa aku degdegan ketika Ibu ini memanggilku dengan sebutan Nyonya Leonidas? Apa maksudnya? Ya, aku tahu maksudnya, dia memanggilku Nyonya Leonidas, karena aku istrinya Rayoen, apa yang salah dengan itu? Ya Tuhan... jangan katro. Aku tertawa didalam hati. Aku memang tidak biasa berada dilingkup orang kaya, sudah terbiasa lapar seharian karena uang jajan habis dan belum gajian, namun sekarang aku telah disebut Nyonya. Benar-benar konyol sekali. Secepat ini kah perubahan dalam hidupku berlangsung?
"Nyonya?" Ibu itu membuyarkan lamunanku.
"Iya?"
"Nyonya sedang mengantar Micky, ya?" tanya Ibu itu lagi.
"Iya, Nyonya," jawabku.
"Ngomong-ngomong suami saya bekerja di Hotel milik suami anda."
"Oh iya," jawabku karena tidak ingin terlibat obrolan yang panjang dengan Ibu itu.
"Perkenalkan nama saya Lily, saya juga sedang mengantar anak saya yang sekelas dengan Micky," kata Ibu itu.
Aku mengangguk tak ingin terlibat obrolan lebih jauh.
"Apa Nyonya tak menunggu Micky sampai pulang sekolah? Di sekolah ini di sediakan ruang tunggu loh untuk orang tua murid."
"Benarkah?"
"Nyonya tidak tahu, ya? Apa Micky tidak pernah cerita?" tanya Ibu itu.
"Kebetulan ada babysiter yang menjaga dan menunggu Micky, Nyonya, saya juga harus berangkat kerja," kataku.
"Oh gitu, ya? Salam kenal, ya, Nyonya."
"Iya, kalau begitu saya permisi dulu," kataku.
Aku berjalan meninggalkan pelataran halaman sekolah, ketika hendak melewati pagar, seseorang menyapaku.
"Lucia?"
Aku berbalik dan mendapati Keith teman sekelasku sedang berdiri heran, hariku memang benar-benar tidak menyenangkan, kenapa harus bertemu Keith di sini? Aku malas menanggapinya jika dia banyak tanya. Keith adalah wanita yang tidak menyukaiku dan selalu mencari ksempatan untuk membuatku malu.
"Iya, Keith?"
"Kamu sedang di sini?" tanyanya.
"Oh, aku mengantar anakku," jawabku.
"Anak suamimu maksudnya, ya?"
Aku mengangguk, mulai, kan, dia? Mulai menyebalkan.
"Kebetulan anakku sekolah di sini juga, aku baru pindahin hari ini, soalnya sekolahnya yang lalu terlalu murah, jadi pelajarannya tidak ada yang becus." Penyakit sombong Keith mulai membakar telingaku.
"Ohh..." jawabku singkat berharap dia tak bertanya lagi dan aku bisa pergi dari sini.
"Terus kamu mau kemana? Kamu tidak menunggu anak suamimu di sini?" tanya Keith.
"Micky bukan hanya anak suamiku, Keith, tapi sudah menjadi anakku juga, jadi jangan mengatakan hal yang membuat kupingku panas," kataku tak perduli dan mulai kesal.
"Iya, iya...maaf. Aku, kan, hanya becanda, kamu mau kemana? Kamu tidak menunggu anakmu?"
"Aku mau kerja, kebetulan anakku ada babysiternya," kataku tak mau kalah.
"Oh, kamu pakai babysiter? Anak kamu kan udah besar pasti ya, kamu ngapain pake babysiter segala?"
"Udahlah Keith, aku mau kerja," jawabku.
"Baiklah, kamu masih kerja di Cafe?" tanyanya lagi.
"Masih."
"Buat apa lagi coba kamu masih kerja di cafe? Kamu, kan, sudah jadi istri pengusaha, kamu nikmatin lah hidup ini, Lucia. Buat apa kerja? Suami kamu, kan, pengusaha kaya raya, kamu bisa shopping atau apa lah untuk menikmati hidup."
"Sorry, Keith, tapi aku bukan tipekal istri yang morotin suami," jawabku sembari berjalan meninggalkan Keith. Bodoh amat! Jika Keith kesinggung, ya, syukur. Aku memang sengaja.
***
Sampailah aku di cafe, cafe tempatku bekerja selama kurang lebih dua tahun belakangan ini dan pelanggan pertama yang aku layani pagi ini adalah Will dan pacarnya.
Wahh ... pagi ini benar-benar menakjubkan, ketemu Keith, sekarang ketemu Will pria b******k itu.
Kedai kopi di London banyak di kota ini, kenapa harus kedai tempatku bekerja datangnya. Aku merasa Will mau memamerkan kemesraannya padaku. Itu sudah pasti, apalagi dia sudah mendengar bahwa aku sudah menikah dengan pengusaha kaya raya, meski aku sudah menikah, namun tidak ada apa pun yang berubah dalam hidupku, masih sama-sama ... miskin, dan serba kekurangan. Bedanya aku tinggal di rumah bak istana, hanya itu.
Aku tidak pernah mengharapkan akan menjadi kaya karena pernikahan perjanjian ini. Semua ini ... demi Micky, jika aku dibayar atas tugas yang sedang aku jalankan, semua itu adalah bonus.
Aku membawa dua gelas kopi hangat lengkap dengan dua piring roti bakar selei kacang dan menatanya di depan Will juga pacarnya. Will menatapku. Namun, aku pura-pura saja tak melihatnya. Aku harus bersikap profesional dalam pekerjaan ini.
"Apa kabar, Lucia? Lama tidak bertemu." tanya Will sangat lembut, membuatku ingin membuangnya di laut saja. Dasar pria b******k.
"Dia siapa, Honey?" tanya Kekasih Will.
"Dia mantan kekasihku, namanya Lucia," jawab Will, membuatku ingin membenturkan kepalaku sekarang juga.
"Oh mantan, ya?" Juniorku itu sepertinya tertawa didalam hati, meski terlihat jelas bahwa wajahnya sedang mengejekku.
Aku berdiri tegap mencoba tegar, agar aku tak terlihat lemah di depan Will, pria yang sudah mengkhianati kepercayaanku. Aku tetap berusaha tak menghancurkan hubungannya dengan kekasihnya ini. Namun, aku tak tahan lagi. Will dan kekasihnya itu sudah keterlaluan, selalu saja memamerkan kemesraan mereka didepanku dan membuatku merasa lebih malang lagi.
"Mantan? Kamu bilang mantan? Apa maksudnya coba? Kamu menggaet cewek ini di saat kamu masih status pacaran sama aku, sekarang kamu bilang mantan? Kan, kamu juga yang sudah mengkhianati aku." celetukku kesal.
Wah ...aku tak bisa menahan amarahku. Mereka keterlaluan.
"Apaan sih, Luc, itu, kan, masa lalu," kata Will sepertinya berubah drastis ketika aku mengatakan hal itu.
"Benar kata dia, Honey?" tanya kekasih Will itu.
"Bukan begitu, Honey, dengar dulu," rengek Will, membuatku tersenyum puas.
"Selamat tinggal, mantan, kalau bisa kamu jangan nongkrong di sini deh, kedai kopi di London kan banyak, kamu bisa tuh ke cafe lain," kataku lalu meninggalkan pasangan s****n di depanku.
Aishh.... pagiku benar-benar rusak, aku berharap akan ada pagi yang indah setelah semalaman aku harus perang batin sendirian, cukup malamku saja yang rusak, apa harus pagiku juga? Malang sekali nasibku. Di putuskan dan kini terjebak pernikahan dengan pria yang hanya beberapa menit aku temui.
"Apa pria b******k itu gangguin kamu? Kamu kelihatannya marah sekali, kayak masih mendam perasaan aja," tanya Wilona.
"Apaan sih, Lon, kamu jangan merusak pagiku juga donk."
"Jadi pagimu rusak nih?"
"Ya, iyalah... di sekolah Micky, aku harus ketemu sama ratu kesombongan penghuni pohon tua di kampus dulu, si Keith dan di sini aku harus lihat tampang Will b******k itu, gimana tidak merusak pagiku coba. Aku sepertinya ingin pergi saja dari kota ini."
"Kalau pagimu sudah rusak di perbaiki saja, Bebs, sama halnya dengan barang kalau rusak berarti musti di service, begitu pun keseharian kamu, jadi perbaiki hati dan jiwamu dan anggap saja mereka tidak ada, pasti deh pagi kamu jadi manis. Kamu tidak perlu bersusah payah seperti itu."
Aku menghela napas panjang. Perkataan Wilona ada benarnya juga, aku harus memperbaiki pagi ini tanpa melihat mereka.
"Baiklah."
"Ya sudah ... Kamu meracik saja, tidak usah perdulikan mereka."
Aku mengangguk.
***
Aku dan Micky sampai di mansion, siang tadi aku menjemput Micky di sekolah, aku menghela napas karena setiap aku pulang ke rumah ini, aku terus saja tidak nyaman, tak ada yang nyaman buatku. Hanya Micky yang membuatku nyaman di sini, setiap aku bermain dengannya aku lupa jika ternyata aku sudah menikah dengan papanya.
Nasibku memang terlalu mengekangku selama ini, tidak ada yang berjalan mulus sesuai keinginanku.
Aku menghentikan langkah kakiku ketika melihat Bianca sedang mengobrol dengan Ibu mertuaku.
"Kalian sudah pulang, Nak?" tanya Ibu mertuaku.
"Iya, Grandma," jawab Micky.
"Baiklah. Grandma akan membantu Micky berganti pakaian, ya, terus makan," kata Ibu mertua.
"Iya, Grandma," seru Micky mengangguk penuh semangat.
Sepeninggalan Ibu mertuaku dan Micky, aku hendak melintasi Bianca, Bianca kemari bukan menemuiku itu sudah pasti, Bianca pasti ingin menemui Rayoen. Jadi, aku tak berhak menghampirinya.
Namun langkahku terhentik ketika mendengar suara deheman yang sepertinya mengarah kepadaku. Aku menoleh dan dia menyeringai menatapku.
"Bagaimana rasanya jadi Nyonya Leonidas? Bagaimana rasanya menjadi menantu di rumah ini? Menyenangkan?" Pertanyaan yang konyol. Apanya yang menyenangkan, tidak ada yang menyenangkan sama sekali. Hanya ada peran batin setiap hari.
"Pasti menyenangkan, bukan? Seharusnya, aku yang ada di posisimu sekarang, jika saja kamu tak datang, aku yang sudah pasti akan menjadi Nyonya Leonidas. Entah bagaimana caranya kamu tiba-tiba datang merebut segalanya dariku. Aku sudah membuatmu senang dengan mengalah, bukan? Aku seperti ini? Sebenernya kamu itu siapa? Teman dan keluarga bukan, tapi dengan seenaknya kamu masuk ke dalam rumah ini!" tunjuk Bianca memutariku seraya melihatku dari ujung rambut sampai ujung kakiku. Aku memang terlihat kampungan, namun setidaknya aku modis dan terlihat lebih muda dibandingkan Bianca. Pikiran konyol, bukan? Aku benar-benar menyakiti diri sendiri seperti ini.
"Aku di rumah ini bukan merebut posisimu, Bianca," kataku. "Rayoen mencintaimu kok dan aku di sini hanya menjadi Ibu buat Micky, bukan menjadi istri buat Rayoen, jadi kamu tidak perlu khawatir," tambahku.
"Walaupun begitu ... kamu sudah menjadi istri dari tunangan dan calon suamiku, karena itu aku tidak suka kamu sampai menyentuh Rayoen, aku sudah menahan semua ini, awalnya aku tidak sanggup kalau posisiku di ambil sama kamu. Namun, aku senang lihat kamu jadi pembantu di sini, hm bukan pembantu, lebih jelasnya penjaga atau babysiter, jadi tidak perlu mengharap banyak dari Rayoen, cukup saja kamu jadi pesuruh Micky....Hahaha," sindir Bianca, sindiran itu mengenai hatiku yang paling dalam. Namun, aku harus menahannya. Aku bukan siapa-siapa di sini, memang benar.
"Bianca!" panggil Rayoen, membuatku berbalik sekilas, lalu berjalan meninggalkan Bianca dan Rayoen agar mereka bisa berbicara berdua. Di antara mereka aku bukan siapa-siapa.
"Kamu sudah pulang, Sayang?" tanya Bianca terdengar sangat mesra dan mengecup pipi kanan Rayoen.
"Hem, kamu sudah lama?" tanya Rayoen balik, pasangan yang benar-benar serasi, menurutku.
"Aku kemari karena mau pamit, selain itu aku juga sangat merindukanmu."
"Pamit? Kamu mau kemana?"
"Aku akan ke New York"
"Buat apa ke New York?" tanya Rayoen.
"Kebetulan bisnisku sedang maju disana."
"Tapi, kapan?"
"Minggu depan aku akan berangkat, aku akan menunggumu dengan caraku, semoga saja setahun bisa berlalu dengan cepat, Sayang. Aku akan kembali setelah 5 Bulan di sana," kata Bianca.
"Kenapa memberitahuku mendadak?" tanya Rayoen, seakan tak menerima kepergian Bianca.
"Aku akan kembali, kok. Tenang saja."
"Hem ... baiklah, aku akan menunggumu," ujar Rayoen.
Mendengar percakapan Rayoen dan Bianca membuatku merasa kecil, sekecil ujung kuku, aku tidak akan pernah mampu menjadi seperti Bianca, menjadi wanita sukses di umurnya, aku hanya akan terus menjadi waitress, karena aku terlahir tak berasal dari keluarga kaya. Aku melihat banyak cinta di mata Rayoen untuk Bianca. Mampu kah, aku menjalani semua ini? Ketika seorang wanita bersedih dan menderita atas kehadiranku?
Suara ponselku terdengar, aku melihat grup obrolan di ponselku, aku selalu saja malas membuka pesan-pesan teks dari grup sekolahku. Namun, tidak ada pilihan lain. Aku harus membukanya.
Obrolan Grup
[Kalian harus datang, ya, di acara ulang tahunku besok, suamiku mengadakan party di hotel Bulgari, jadi kalian semua harus datang dan bawa suami kalian masing-masing, ya] Pesan dari Vivian.
[Woah ... suamimu baik sekali, sih, Vin, aku jadi iri, aku jadi ingin sekali kayak kamu, aku pasti dateng kok bareng suamiku] Balas Leans.
[Kalian tahu, 'kan? Aku pasti datang lah, secara suamiku nurut orangnya, tenang saja, Vin, aku pasti datang, aku juga lagi butuh party nih] Balas Keith.
[Kalian datang saja, aku sama Lucia tidak bisa datang karena kami ada rencana lain] Balas Wilona.
[Aku tidak mau tahu, Wilona, kalian harus datang, tidak boleh tidak loh] balas Vivian.
[Bukannya hotel Bulgari itu hotel milik suaminya Lucia, ya? Pasti lah suami Lucia datang] sambung Razia.
.
.
Masih banyak pesan baru yang aku lewatkan, aku sangat malas kalau harus berurusan dengan mereka, gaduh sekali kayak lagi jualan di pasar, aku tidak akan datang, aku akan mencari alasan agar tidak datang, aku pasti akan sangat malu jika datang sendiri.
Wilona saja ada pacar, sedangkan aku yang ada suami tidak bisa menunjukkannya ke semua orang. Ya sudah lah ... suamiku bukan bahan pertunjukkan juga harus di bawa kesana kemari hanya untuk menunjukkan bahwa dia suamiku.