“Rhea, kamu dipanggil sama Pak Bos,” ucap Nara yang menghampiri Rhea di meja kerjanya. “Katanya kamu disuruh ke sana sekarang juga,” imbuh Nara.
“Sekarang?” Meski merasa keberatan, tetap saja Rhea harus mematuhi perintah atasannya. Ia sempat mendengkus kesal sebelum menjawab, “Iya, Bu.”
Ternyata, bekerja di Pratama Group tidak seperti yang Rhea bayangkan. Meski sudah dua minggu ia bekerja di sini, Rhea masih kesulitan menyesuaikan diri. Ditambah lagi tugas tambahan yang sering Abian berikan kepadanya membuatnya tidak henti mengeluh di sepanjang hari.
Rhea berjalan menuju ruangan Abian sambil terus menggerutu. “Dasar! Seenaknya aja nyuruh-nyuruh aku ke ruangannya. Padahal dia tahu kalau kerjaanku banyak. Dia sengaja mau buat aku gak betah atau gimana, sih? Awas aja kalau gajiku entar gak 15 juta!”
Masalahnya, bukan hanya hari ini saja Abian terus memanggilnya seenaknya seperti ini. Bahkan dari awal Rhea bekerja, Abian sudah sering menyuruh Rhea datang ke ruangannya hanya untuk hal remeh. Abian seolah memang sengaja mengerjai Rhea.
“Selamat siang, Pak? Bapak perlu apa?” tanya Rhea tanpa basa-basi ketika ia baru saja membuka pintu Abian.
Abian berusaha sembunyikan senyumnya saat menyadari raut Rhea yang terlihat sangat kesal. Mengerjai Rhea ternyata benar-benar menghiburnya disaat banyak tekanan seperti ini.
Abian berdehem untuk menormalkan rautnya. Lalu, mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya dan di letakkan asal di atas mejanya. “Belikan aku kopi kesukaanku! Kembaliannya buat kamu.”
“Hah? Kan ada OB, Pak?” Rhea semakin merengut saat berusaha menolak perintah Abian.
“Tapi aku inginnya kamu yang belikan. OB kerjaannya banyak, ya!”
“Tapi, kan--”
“Gak ada tapi-tapi. Cepat belikan!”
Jika saja Abian bukan atasannya, Rhea pasti sudah mengumpatinya secara terang-terangan. Namun, apa daya, Rhea hanya bisa mengumpatinya dalam hati. “Sialan! Dasar tukang perintah!”
Meski kesal, Rhea tidak bisa menolak. Ia berjalan mendekati meja Abian dengan raut kesal yang mendominasi.
Namun, saat ia hendak mengambil uang di atas meja Abian, tiba-tiba indra penciumannya terasa mencium bau aneh yang langsung membuat perutnya merasa mual.
Rhea tak bisa menahannya hingga spontan ia bereaksi. “Huwek! Bau apaan ini?” Rhea spontan menutup hidungnya.
Abian sendiri bingung dengan pernyataan Rhea. Sementara tatapan Rhea seolah menuju ke Abian seperti melihat seorang tersangka. “Bau apa memangnya?” Abian spontan mengendus-endus tapi tetap tidak menemukan bau aneh.
“Pak Abian habis makan ikan asin, ya?” tuduh Rhea sambil menjauhi Abian karena yakin jika sumber bau berasal dari Abian.
“Heh enggak, ya! Sembarangan kamu ngomong!”
Meski begitu, Abian spontan menciumi ketiaknya untuk memastikan ada bau di sana atau tidak. “Kamu bohong, kan—“
Belum juga Abian menyelesaikan kalimatnya, Rhea sudah lebih dulu keluar dari ruangan Abian sambil berlari menutup mulutnya.
“Hei, Rhea! Mau ke mana kamu?” panggilan Abian sama sekali tak digubris Rhea. Wanita itu tetap pergi begitu saja tanpa sepatah katapun.
“Dasar! Dia berusaha menolak perintahku lagi?” gumam Abian sambil menggeleng-gelengkan kepala saat Rhea sudah benar-benar menghilang dari pandangan.
***
Di dalam kamar mandi, Rhea terus-terusan memuntahkan isi dalam perutnya setelah mencium aroma tidak sedap dari ruangan Abian. Isi dalam perutnya seolah terkuras habis hingga ia lemas tak bertenaga.
“Lo sakit, Rhe?” tanya Dinda, sosok wanita muda yang seumuran dengan Rhea yang kini menjadi temannya.
Rhea menggeleng lemah sambil terus memegangi perutnya. “Enggak tau, nih. Rasanya mual banget.”
“Gue anterin ke klinik ya? Duh, untung aja gue ke toilet Rhe,” ucap Dinda lagi yang langsung menggiring Rhea mengikuti langkahnya. “Kalau sakit itu istirahat. Lo sih nekat kerja mulu.”
Dinda terus mengomel di sepanjang perjalanan layaknya emak-emak yang sedang kesal karena anaknya tidak menuruti perintahnya. Rhea sendiri tidak terlalu mendengarkan karena rasa mual yang mengganggu, membuatnya tidak bisa fokus dengan omelan Dinda.
“Berbaring dulu sini,” ucap Dinda menunjuk ranjang pasien begitu mereka sampai di klinik yang ada di lantai bawah perusahaan.
“Kenapa ini, Non?” sambut perawat yang bertugas. Wanita berhijab itu langsung mendekat ke ranjang dan turut membenarkan posisi berbaring Rhea.
“Pusing, Mbak,” jawab Dinda. “Kayaknya masuk angin,” imbuhnnya lagi yang langsung diangguki si perawat.
“Pusingnya gimana? Kayak muter-muter gitu?” tanya perawat pada Rhea sambil mengecek denyut nadi Rhea.
Rhea mengangguk lemas. “Iya, Mbak. Kayak muter gitu rasanya.”
Sementara Dinda yang menyadari wajah Rhea yang terlihat sangat pucat, segera menawarkan, “Gue buatin teh panas ya, Rhe?”
“Nah … boleh itu. Biar anget,” sahut si perawat sambil mengecek detak jantung Rhea menggunakan stetoskop.
Dinda langsung beranjak dan pergi ke pantry. Menyisakan perawat dan Rhea saja dalam klinik, si perawat langsung bertanya, “Selain pusing, apa yang dirasain, Non?”
“Lemes, Mbak. Tadi habis muntah. Tiba-tiba mual banget perutku habis nyium bau ikan asin,” jawab Rhea lemas.
Si perawat terlihat tersenyum sejenak saat menanggapi. “Di mana ada ikan asin, Non? Orang Bos kita orangnya bersihan.”
Rhea sendiri tidak mengerti. Aroma menyebalkan itu justru berasal dari ruangan Abian yang katanya sangat memperhatikan masalah kebersihan.
“Jangan-jangan hamil, Non?” celetuk si perawat sambil tersenyum menunjukkan sedang bergurau.
“Hamil sama siapa, Mbak? Pasangan aja gak punya,” jawab Rhea spontan.
“Oalah … saya kira sudah menikah, Non. Banyak kan sekarang yang nikah muda?”
“Si Mbaknya ada-ada aja,” jawab Rhea lagi.
Meski terlihat menyangkal, nyatanya, Rhea langsung teringat saat dirinya dan Abian menghabiskan malam panas di hotel waktu itu.
Ia juga berusaha mengingat tanggal waktu itu dan baru menyadari jika saat mereka melakukan hal itu, ketika Rhea berada dalam masa subur.
“Ah, enggak mungkin aku hamil!” batin Rhea yang berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Sejujurnya, Rhea sangat takut. Celetukan si perawat benar-benar membuat pikirannya sangat kacau.
Lalu, Dinda datang membawa teh panas yang langsung membuat pikiran Rhea buyar.
“Minum dulu, Rhe!” perintah Dinda sambil menyodorkan cangkir yang masih mengepulkan asap itu.
“Terima kasih, Din.” Rhea meniup sebentar asap itu dan menyesap sedikit cairan yang berada di dalamnya. “Din, gue boleh minta tolong?”
“Apaan?”
“Tolong ijinin ke HRD. Gue minta pulang sekarang.”
“Separah itu rasa pusingnya?” tanya Dinda memastikan. Wanita itu ganti bertanya ke perawat. “Rhea sakit apa, Mbak?”
“Masuk angin kayaknya, Non. Tapi istirahat di rumah jauh lebih baik.”
Dinda mengangguk-angguk. “Yaudah gue ijinin dulu kalau begitu. Gue naik ke atas ambilin tas lo sekalian ijinin ke HRD, ya?”
“Makasih ya, Din.”
***
Setelah mendapat ijin, akhirnya Rhea pulang ke rumahnya. Sepeti biasa, ia tidak mendapat sambutan dari mamanya melainkan hanya mendapat pertanyaan menyebalkan.
“Kok sudah pulang? Kamu bolos kerja?”
Tak ingin berdebat, Rhea hanya menjawab singkat. “Rhea ijin, Ma. Rhea sakit.”
“Sakit gimana? Tadi pagi baik-baik aja, kan?”
Rhea terus berjalan tanpa hiraukan mamanya yang masih berdiri di sana. Terdengar mamanya terus mengomel tapi Rhea tidak menghiraukan.
Sejujurnya, Rhea terus memikirkan satu hal semenjak ucapan si perawat di klinik. Ia bahkan sudah membeli alat tes kehamilan dalam perjalanan pulang untuk membuktikan dugaannya.
Rhea juga merasakan adanya perubahan suasana hati yang gampag naik-turun beberapa hari terakhir. Hal itu juga yang membuat Rhea cukup khawatir dengan dugaan kehamilannya.
Rhea langsung masuk ke kamar mandi dan menggunakan alat tes kehamilan sesuai petunjuk karena ia belum pernah menggunakan sebelumnya.
“Oke. Sekarang tinggal tunggu 1 sampai 3 menit,” ucapnya setelah membaca petunjuk di test pack tersebut.
Rhea terus berdoa di sela-sela waktu menunggunya. Hingga satu menit berlalu, Rhea akhirnya melihat alat tes itu dengan dipenuhi rasa khawatir.
Dan betapa terkejutnya dia saat melihat adanya dua garis merah di sana. “Gak mungkin!” pekik Rhea sambil melotot.