“Enggak mungkin!” pekik Rhea sambil melotot, menatap alat tes kehamilan yang berada di tangannya sambil bergetar.
Dunianya seolah runtuh tak bersisa. Tak ada harapan kebahagiaan sama sekali untuknya.
“Enggak, enggak. Ini pasti salah. Aku enggak mungkin hamil!” Rhea terus menggeleng, mencoba menolak semua kenyataan yang terjadi.
“Enggak mungkin! Ini pasti salah!” yakinnya lagi.
Namun, pada akhirnya, Rhea hanya bisa menangis sambil memukuli kepalanya sendiri. “Bodoh! Kenapa kamu bodoh banget sih, Rhe!”
Ingin sekali Rhea berteriak, melampiaskan kemarahannya. Hanya saja, ia sadar jika teriakannya akan mengundang pertanyaan untuk mamanya.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Rhea terus memukuli dirinya. “Kenapa harus dengan pria brengs*k itu? Kenapa harus dia?”
Dia tidak tahu harus protes ke siapa? Mengapa Tuhan begitu kejam kepadanya? Apa salahnya selama ini?
Pertanyaan itu terus muncul pada otaknya. Dia tidak tahu harus memilih jalan yang mana untuk menyelesaikan masalahnya. Akhirnya, dia hanya bisa mengurung diri di kamar sambil terus menyalahkan diri sendiri.
Lalu, hingga malam tiba, pintu kamarnya terdengar dibuka dari luar tanpa ketukan terlebih dahulu.
“Sakit apa kamu? Tadi pagi juga kamu baik-baik aja, kan?” tembak Ratu, ketika wanita itu baru saja membuka pintu kamar Rhea.
Ratu bahkan tak berniat sama sekali untuk melihat kondisi Rhea. Ia hanya berdiri di ambang pintu tanpa mau mendekat.
Rhea semakin mengeratkan selimut untuk menutupi kepalanya. Dia tidak mau mata sembabnya terlihat oleh Ratu.
“Rhe! Jawab kek kalau kakak tanya! Jangan sembunyi di balik di selimut kayak gitu!”
Ratu menghela napas karena tidak ada jawaban dari Rhea. Katanya, “Kalau aja Mas Abian gak nanyain kondisi kamu. Aku juga males interogasi kamu kayak gini,” imbuh Ratu.
Rhea sempat terkejut mendengarnya. “Ngapain juga si Abian nanyain kondisi aku ke kak Ratu?”
Akhirnya Rhea menjawab tanpa membuka selimutnya. “Aku udah enggak apa-apa. Besok juga kerja, kok.”
Terdengar decakan kesal dari Ratu sebelum wanita itu kembali berkata, “Ya udah kalau gitu. Kalau mau makan ambil sendiri di bawah. Jangan manja!”
Pintu terdengar tertutup setelah ucapan Ratu terakhir. Rhea baru berani membuka selimut dan menghela napas berkali-kali.
Dia sendiri sama sekali tidak merasa lapar meski perutnya belum terisi apapun dari tadi. Rhea benar-benar tidak tahu harus berbuat apa ke depannya.
“Apa aku gugurin aja, ya?” ucapnya pelan. Saat ini hanya itu solusi yang terpikir oleh Rhea. “Tapi uang dari mana? Tabunganku sudah habis.”
Rhea kembali memutar otak untuk mencari sosulinya. Lalu, disaat yang bersamaan, ponselnya berbunyi. Ia membuka ponselnya dengan malas.
Namun, saat menemui nama Abian di sana, Rhea jadi terpikirkan satu hal untuk mengatasi masalahnya.
“Awas kalau besok kamu bolos kerja. Aku akan potong gaji kamu!”
Ancaman dari Abian sama sekali tak mengusik Rhea. Cuma satu hal yang terpikir oleh Rhea. “Aku harus memberi tahu Abian perihal kehamilanku. Dia pasti juga menentang kehamilanku. Aku harus meminta uang darinya untuk menggugurkan kandungan ini.”
***
Sesampainya di kantor, Rhea langsung menuju mejanya. Pekerjaannya jadi menumpuk akibat kepergiannya kemarin.
“Sudah enakan, Rhe?” tanya Dinda menyambut Rhea saat menyadari kehadiran Rhea.
Rhea mengangguk, meskipun sebenarnya rasa mual itu masih muncul. Sebelum berangkat kerja saja, ia sudah dua kali bolak-balik ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya.
“Syukurlah,” jawab Dinda sambil tersenyum. Wanita itu mendekat ke Rhea lalu dagunya mengedik ke sosok pria di ujung, “Tuh! Dari kemarin di cariin sama dia.”
Rhea spontan mengikuti arah pandang Dinda. Sementara sosok yang sedang dibicarakan terlihat tersenyum ke arah Rhea.
Rhea membalas senyuman sosok pria itu sambil mengangguk sekedar menghormati. Dia ganti berbisik ke Dinda. “Kenapa Bastian nyariin gue?”
Dinda mengangkat kedua tangan beserta bahunya. “Mana gue tahu? kangen lo kali,” jawabnya sambil terkikik yang langsung mendapat sikutan dari Rhea.
“Sudah sembuh, Rhe?” tanya Bastian yang tiba-tiba berada di hadapan Rhea dan Dinda.
“He’em. Cuma masuk angin biasa kok,” jawab Rhea santai.
“Lain kali kamu bisa minta aku buat anterin pulang.”
Rhea mengangguk canggung mendengar ucapan Bastian yang mendadak baik kepadanya. Padahal sepengetahuannya selama bekerja di sini, rekan satu timnya terkesan individu dan cuek sesama tim.
“Cie … pake aku dan kamu segala. Kayak udah pacaran aja.” Dinda kembali terkikik namun langsung mendapat pelototan tajam dari Rhea.
Sedangkan Bastian yang masih berdiri di sana turut tersenyum menanggapi guyonan Dinda.
“Ya udah aku balik ke mejaku dulu ya, Rhe. Kalau ada masalah atau hal yang perlu ditanyakan, kamu bisa tanya ke aku.”
“Iya,” jawan Rhea sambil kembali tersenyum.
Namun, selepas kepergian Bastian dari hadapannya. Mata Rhea malah menangkap sosok menakutkan yang berdiri di ambang pintu sambil berkacak pinggang menatapnya.
“Selamat pagi Pak Abian?” sapa salah seorang teman satu tim Rhea di sana.
“Selamat pagi,” jawab Abian ketus. Pandangannya kembali mengarah ke Rhea saat memerintahkan, “Naik ke ruanganku sekarang!”
Abian langsung pergi setelah memerintah Rhea.
Hal itu tentu mengundang tanya dari rekan-rekan Rhea yang berada di sana. Terutama Dinda yang langsung menjadi sosok kepo yang pertama. “Pak Abian kenapa marah? Masak gara-gara lo ijin pulang kemarin, sih?”
“Mana gue tahu?” Pertanyaan Dinda ganti dijawab dengan pertanyaan juga oleh Rhea. Dia berdecak kesal karena tahu akan mendapat omelan dari sang CEO.
Hanya saja, ia juga harus bertemu Abian karena ingin membicarakan masalah kehamilannya. Akhirnya, ia mengambil test pack dari dalam tasnya untuk dibawa sebelum menuju ruangan Abian.
Begitu Rhea masuk ruangan Abian, hal pertama yang ditemui adalah aura menakutkan dari Abian. Pria itu rupanya sudah menunggunya sambil bersedekap menatapnya.
“Selamat pagi, Pak,” ucap Rhea yang berusaha bersikap formal layaknya karyawan dan atasan.
Namun, Abian seolah semakin menegaskan jika ia sedang marah. Alisnya menukik tajam saat berkata. “Sudah puas tebar pesonanya?”
“Hah?” tanggap Rhea tidak mengerti dengan yang dimaksud Abian.
“Kapan hari aku melihatmu tebar pesona sama manager keuangan. Hari ini kamu tebar pesona sama rekan satu tim kamu. Besok mau tebar pesona ke siapa lagi, hah?”
“Maksudnya aku yang tebar pesona?” Rhea sudah kehilangan kendali untuk berbicara formal. Tuduhan Abian benar-benar mengesalkan.
“Ya iya lah. Siapa lagi? Di sini itu fokus kerja. Bukan malah tebar pesona ke sana ke sini!” p***s Abian dengan raut kesal.
Rhea berdecih. “Dasar aneh!” Dia tidak menyangka jika Abian marah gara-gara hal tidak penting sperti itu. Apalagi tuduhannya sangat tidak berdasar dan ngawur.
“Awas aja kalau aku lihat kamu tebar pesona lagi. Aku akan ….” Abian tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Dia sendiri tidak mengerti kenapa harus semarah ini saat melihat Rhea berbincang dengan pria lain.
“Akan apa?” tanya Rhea. “Aduin ke kak Ratu? Silahkan! Paling-paling juga dia enggak peduli.”
Abian langsung terdiam. Ada rasa iba ketika Rhea berbicara tentang keluarganya yang tidak pernah peduli padanya. Mungkin hal itu yang membuat Abian menginginkan Rhea tetap di dekatnya.
“Sudahlah lupakan. Aku ke sini mau membicarakan hal penting denganmu.” Rhea memberanikan diri bicara langsung ke inti.
“Apa?” tanya Abian yang terlihat cukup penasaran.
Rhea terlihat menghirup udara dalam-dalam sebelum mengambil sesuatu dari saku celananya. Ia meletakkan benda menyerupai thermometer itu di atas meja Abian.
Abian segera mengambil benda itu dan mengamatinya. “Apa ini?” tanyanya.
“Aku hamil,” ucap Rhea dengan raut sedih.
“Maksudnya?” Abian jelas mempertanyakan maksud dan tujuan Rhea memberitahunya seperti itu.
“Aku hamil anak kamu, Abian,” tegas Rhea dengan mata yang telah berkaca-kaca.
“Apa? Apa katamu?”