Pagi ini, Rhea memutuskan pergi bekerja, meski Abian sudah memberinya ijin untuk istirahat di rumah sampai rasa mualnya berkurang. Hanya saja, Rhea terlalu jenuh jika harus berdiam diri di dalam apartement Abian. Ia perlu melakukan rutinitasnya untuk mengusir kebosanannya. Kebetulan, calon bayi dalam perutnya juga tidak serewel biasanya.
“Tolong anterin ke jalan Dharmahusada ya, Pak! Pratama Group,” ucap Rhea saat ia baru saja duduk di bangku penumpang taksi online yang sudah ia pesan sebelumnya.
“Baik, Mbak. Rutenya sesuai aplikasi, ya?”
Rhea mengangguk, tanda memberi jawaban iya. Di sepanjang perjalanan, banyak sekali hal yang terus menganggu pikirannya. Termasuk ucapan Abian kemarin yang terus terngiang dalam kepalanya.
“Jadi … kamu percaya kalau ini anak kamu?”
“Em … gimana ya? Sebenarnya aku belum yakin sepenuhnya. Tapi ….”
“Tapi apa?”
“Udahlah, jangan bahas itu dulu. Kamu fokus ke kesehatan kamu aja dulu.”
Jawaban Abian sangat membingungkan bagi Rhea. Pria itu seolah tidak mau mengakui jika janin dalam kandungan Rhea adalah anaknya. Tapi, kenapa sikap Abian begitu perhatian? Abian juga tidak setuju dengan keputusan Rhea untuk menggugurkan kandungannya. Lalu, apa tujuan Abian sebenarnya?
Mau dipikir berapa kalipun, Rhea tetap tidak menemukan jawabannya. Hal itu juga yang membuatnya harus pergi ke kantor dan menemui Abian.
“Aku harus minta kompensasi dari Abian. Dia enggak mau aku gugurin kandungan ini. Jadi, jangan salahkan aku kalau aku minta kompensasi,” ucap Rhea dalam hati menegaskan tujuannya.
Ya, kali ini Rhea tidak mau rugi. Ia sudah lelah dengan kehidupan sebelumnya dimana orang-orang terdekatnya selalu meremehkannya. Kali ini ia tidak mau tertindas. Calon bayi dalam kandungannya memang anak Abian. Maka, Rhea pikir sudah seharusny ia meminta kompensasi.
“Sudah sampai, Mbak.”
Ucapan dari supir taksi baru menyadarkan Rhea jika taksi sudah berhenti tepat di depan gedung Pratama Group. Wanita itu bergegas membayar biaya yang tertera sebelum keluar dari taksi sambil berterima kasih.
Turun dari taksi, Rhea menghirup oksigen sedalam-dalamnya sebelum melangkah menuju masuk ke bangunan tinggi itu. Detak jantungnya tiba-tiba meninggi, sama seperti saat pertama ia melangkahkan kakinya ke sini karena gugup sekaligus senang.
Hanya saja, kali ini bukan itu alasan detak jantungnya meninggi. Entah kenapa, jantungnya jadi berdebar saat memikirkan akan bertemu dengan Abian.
Rhea sempat berhenti di depan lift dan menekan dad*nya karena detak jantungnya semakin tak beraturan. Ia segera menggeleng kuat-kuat. “Mungkin karena aku terlalu gugup. Ya, aku gugup kalau Abian akan menolak kompensasi yang aku minta,” yakinnya.
Berusaha mengabaikan perasaannya, Rhea lantas melangkah kakinya masuk ke dalam lift ketika pintu lift terbuka dan langsung menuju meja kerjanya.
Saat ia baru saja duduk pada bangkunya, Dinda langsung menyambutnya sekaligus menginterogasinya. “Rhea? Lo udah enakan? Kata Bu Nara lo kemarin pingsan lagi. Kenapa gak hubungin gue?”
“Dinda … satu-satu dong tanyanya. Gue jawabnya gimana, coba?” tanggap Rhea sambil menyibukkan diri, menyalakan laptop di mejanya meski jam kerja belum dimulai.
“Ya lo bikin gue khawatir, tau,” cerocos Dinda menepuk pundak Rhea sambil tunjukkan wajah cemberut. “Kata Bu Nara asam lambung lo kambuh. Makanya lo mual-mual mulu. Lo udah ke dokter?”
Rhea sempat terkejut dengan pernyataan Dinda. Dia bahkan belum mengucapkan terima kasih kepada sekertaris Abian itu yang telah menciptakan Alibi untuknya.
“Iya … asam lambung gue lagi kambuh akhir-akhir ini. Gue udah ke dokter, kok,” jawab Rhea ragu.
“Tuh … kan! Ini pasti lo stress karena Pak Abian selalu ngasih lo tugas tambahan. Emang Pak Abian selalu kayak gitu kalau sama karyawan baru. Heran gue.”
Dinda terus mengoceh, sementara Rhea memijat pelipisnya karena pusing harus mendengarkan ocehan Dinda. Dia sempat berpikir bagaimana tentang tanggapan temannya itu jika tahu kalau Rhea mual bukan karena asam lambung, melainkan sedang hamil muda.
“Kalau ada apa-apa lo bilang ke gue, oke! Gue balik ke meja dulu karena kerjaan gue numpuk. Udah waktunya jam kerja juga.”
Rhea langsung mengangguk, mengiyakan Dinda. “Thanks, Din,” ucapnya sebelum temannya itu menjauh.
Meski Dinda adalah seorang yang cerewet, namun, Rhea malah merasa diperhatikan. Hal ini tentu berbeda dengan perlakuan keluarganya yang terkesan saling diam dan tidak peduli dengan apapun yang dilakukan Rhea. Hal itu membuat Rhea tersenyum meski tipis.
Lalu, saat pandangannya tak sengaja tertuju ke arah lurus, Bastian ternyata sudah lebih dulu menunggingkan senyuman kepada Rhea dari tempat duduknya di sana. Rhea mengangguk dan tersenyum tanda membalas sikapnya. Disaat yang bersamaan, ponsel Rhea mendapat pesan masuk. Saat ia membuka, ternyata pesan itu berasal dari Bastian.
“Hai … kamu sudah mendingan? Yakin kamu kuat hari ini? kalau kamu pusing lagi, kamu bisa minta tolong aku, oke?”
Meski heran kenapa Bastian mengiriminya pesan padahal bisa berbicara secara langsung, namun, Rhea tetap harus membalas pesan singkat dari Bastian untuk menghormatinya. Namun, ada pesan masuk lainnya yang langsung menarik perhatian Rhea. Pesan itu ternyata berasal dari Abian. Spontan, Rhea langsung urung membalas pesan Bastian dan ganti membuka pesan dari Abian.
“Jangan lupa sarapan!”
Padat, singkat, dan jelas. Pesan dari Abian sangat berbeda dengan Bastian, meski keduanya sama-sama memberi perhatian.
Rhea jadi merengut setelah membaca pesan dari Abian yang terkesan memerintah baginya. “Dasar tukang perintah!” gumamnya pelan.
Ia semakin tidak sabar untuk mewujudkan permintaannya yang meminta kompensasi kepada Abian. Ia tidak mau diperintah-perintah lagi.
Meski jam kerja baru saja dimulai, Rhea akhrinya beranjak dari tempatnya dan menuju ruangan Abian.
Terlihat Dinda dan Bastian turut perhatikan tingkah Rhea. Dinda bahkan sempat memanggil nama Rhea. Namun, Rhea tidak menghiraukan dan tetap pergi menuju ruangan Abian.
“Dikiranya aku wanita apaan? Peliharaannya yang bisa diperintah-perintah kayak gitu?” Rhea terus mengomel di sepanjang perjalanan menuju ruang Abian.
Dengan kesal, Rhea langsung membuka pintu ruangan Abian dengan kasar. Katanya, “Abian! Aku perlu bicara hal penting sama kamu—“
Rhea langsung berhenti berbicara, saat mengetahui bukan hanya ada Abian saja di dalam sana. Melainkan ada laki-laki tua yang pebuh wibawa turut berada di sana.
Laki-laki tua itu adalah Brahma-ayah dari Abian. Rhea spontan menurut mulutnya rapat-rapat dan langsung menunduk tanda menghormati orang itu.
“Ma-maafkan saya,” ucapnya sambil tertunduk.
Brahma sendiri sangat terkejut dengan sikap Rhea yang dianggap kurang ajar. Ia melihat Rhea sinis tanpa menanggapi permintaan maaf darinya.
Abian juga sempat melototkan matanya melihat sikap Rhea yang terkesan kurang ajar. Jika hanya dia seorang di dalam ruangan, Abian tidak mempermasalahkan. Hanya saja, ada papanya di sana yang turut menyaksikan sikap Rhea.
Namun, bukannya menegur, Abian malah mempertanyakan hal lain. “Rhea, kamu sudah sembuh? Kenapa kamu masuk kerja hari ini?”
Hal ini semakin membuat papanya Abian heran. Alis laki-laki tua semakin menyerngit tajam dan mempertanyakan, “Kenapa kamu sangat perhatian kepada wanita itu?”