5| Memberi Harapan

1175 Words
“Katanya Cecil datang menemui kamu. Apa itu benar?” Lelaki itu meraih tangan Marisa yang sedang berusaha mempercepat langkahnya menuju mobil. “Dia istrimu. Seharusnya kamu percaya omongannya. Jangan tanya balik sama aku dong.” Marisa berusaha bersikap tak peduli dan membuka pintu mobilnya. Hari sudah menjelang sore dan dia ingin membeli makan sebelum laundry tutup dan dia mengurung diri di lantai 3. Mario menghentikan usaha istrinya membuka pintu mobil. Dia menekan pintu yang sudah terbuka dan terdengar bunyi ‘klik’ pelan tanda pintu sudah menutup lagi. “Apa yang sudah dia omongin sama kamu? Dia ngomong sesuatu soal rumah itu?” Mata Marisa berputar, lelah dengan semua omong kosong ini. “Kenapa kamu masih bertanya sama aku. Tanya dong sama istri kamu itu! Sudahlah, Yo. Aku cape. Aku mau cari makan dulu!” “Aku ikut!” Mario berkata penuh penekanan. Dia memandang istri cantiknya dan bersikap seolah tak akan pergi dari hadapannya sebelum keinginannya dituruti. Tangan Mario masih menekan pintu mobil. “Terserah.” Marisa meninggalkannya dan berjalan memutari mobil. Membuka pintu di sebelah kursi penumpang yang berada di sebelah supir. Mengempaskan tubuhnya di kursi dan melirik ke arah Mario yang duduk di belakang kemudi. Marisa mengacungkan kunci mobil kepada suaminya. Ya, meski hatinya sakit, Mario masih suaminya dan dia akan tetap menyebut status itu sampai urusan mereka diselesaikan di Pengadilan Agama. Sepanjang perjalanan, mereka berdua bungkam. Marisa tidak memberi tahu ke mana dia akan membeli makan. Tapi seolah Mario bisa membaca pikirannya, lelaki itu membawa Marisa ke sebuah resto keluarga yang memiliki sup buntut paling enak menurut Marisa. Setiap kali mood-nya ambyar, dia selalu minta dibelikan sup buntut di tempat itu pada suaminya. Dan suami istri pemilik resto itu pun sudah sangat akrab dengan mereka saking seringnya mereka berdua ke sana. Sekarang, Mario membawa Marisa ke resto itu dengan harapan mood Marisa membaik. Tapi kenyataannya, Marisa sedang dalam perjalanan yang membuat luka di dadaanya ditorehkan lebih dalam. Bagaimana tidak? Di resto itu dia harus bersikap pura-pura baik dan tidak ada apa-apa. Karena pemilik resto tidak tahu bagaimana kacaunya hubungan mereka berdua sekarang. “Ya ampun! Sayangku Marisa yang cantik dan si ganteng Mario! Kalian udah lama lho nggak mampir ke tempat Tante. Kirain sudah nemu resto sup buntut yang lebih enak dari masakan Tante. Ke mana aja, sih, kalian?” Tante Anna pemilik resto rumahan itu menyambut kedatangan Marisa dengan suara riang. Mau tak mau, Marisa mengembangkan senyumnya dan memeluk wanita yang sepantaran ibunya itu. “Sibuk, Tante. Apalagi?” “Sibuk dikerjain Mario? Pasangan muda belum ada anak seperti kalian apa sih kesibukannya?” “Ya, bikin anak, dong Mah. Udah sana bikinin mereka sup paling enak. Mario, ayo ikut Om! Ada yang mau Om kasih tau sama kamu.” Begitulah mereka di resto sederhana ini. Seperti bukan berada di restoran kebanyakan tapi seperti sedang berkunjung ke rumah orang tua saja. Bahkan acara makan mereka biasanya akan sedikit lebih lama karena Om akan mengajak Mario merokok di belakang rumah sambil menunjukkan koleksi burungnya. Mario sebenarnya nggak begitu tertarik sama koleksi burung Om Bayu. Tapi dia suka berada di halaman belakang rumahnya yang asri dan adem banget. Saat ini dia butuh menenangkan diri setelah adu mulut dengan Cecil dan melihat raut muka tak bersahabat Marisa. “Kamu lagi ada masalah sama Marisa?” tanya Om Bayu to the point. Melihat muka kecut Mario, Om Bayu nggak bisa dibohongin kalau ada sesuatu yang nggak beres sama mereka berdua. Dan mereka juga datang nggak kayak biasanya. Kalau biasanya, Mario dan Marisa akan berjalan ke resto Om Bayu dan Tante Anna dengan bergandengan dan tertawa mesra. Sedangkan tadi, mereka saling berjauhan dan sedikit waspada. Seolah-olah keduanya lagi nyiapin amunisi buat saling menghabisi. “Nggak ada kok Om. Kita baik-baik aja.” “Apanya yang baik-baik. Muka Marisa ketahuan banget kalau lagi ada masalah. Kamu ngungkit soal anak lagi di depan dia?” Mario terdiam. Bukan hanya soal anak. Kalau saja Om Bayu tahu Mario sudah menikah lagi, bisa habis ‘burung’ Mario dicincang dan dijadikan makanan burung. Beuh, ngilu! Soalnya selama ini, Marisa selalu dibela sama Om Bayu dan Tante Anna. Mereka bilang, kalau ada kesalahan pasti dari pihak lelaki. Wanita itu cuma kebagian membuka paha dan bersiap menerima saja. Ah, Om Bayu dan Tante Anna tidak tahu saja. Membuka area kewanitaan Marisa butuh perjuangan berat. Sampai sekarang saja, Mario tidak tahu bagaimana rasanya kewanitaan Marisa. Lagi-lagi dia merasa ngilu. “Saya nggak bermaksud ngungkit soal itu, Om. Cuma kan Om tahu gimana mama saya. Kalau sampai saya nggak bisa menghasilkan juga, dia bilang bakalan memakaikan rok sama saya.” Sebenarnya Om Bayu pengen tertawa, tapi muka Mario nggak lagi bercanda. Jadinya dia menahan tawanya dan menepuk punggung lelaki muda di sebelahnya. “Sabar, ya.” Sementara di tempat Marisa dan Tante Anna, Marisa mengalami hal yang hampir sama dengan Mario. “Kamu ribut sama Mario?” tanya Tante Anna sambil memasukkan irisan bawang daun ke dalam panci. “Biasa saja, Tante.” “Dia ngomongin soal anak lagi? Kamu sudah ke dokter belum sih?” Marisa diam saja. Dia sedang tidak mood membahas soal ini. Apalagi masalahnya sangat sensitif sekali. “Enggak kok, Tante. Ini cuma drama rumah tangga biasa.” “Ya udah kalau kamu nggak mau cerita. Tapi kalau kamu butuh tempat sampah buat ngebuang semua uneg-uneg kamu, Tante orang yang siap menampung semua kekesalanmu.” Marisa tersenyum, beruntung sekali dia dikelilingi oleh orang-orang yang bersedia mengulurkan tangan untuknya. Dan sewaktu keduanya menyantap semangkok sup buntut buatan Tante Anna, kekakuan dan amarah yang melanda mereka berdua seolah mencair. Marisa dan Mario saling pandang dan mereka sama-sama sadar, mereka punya banyak kenangan yang tak mungkin bisa dihapus begitu saja dengan mudah. “Jadi kita gimana, Yo?” “Aku nggak mau cerai dari kamu.” “Tapi aku nggak mau dimadu.” “Sa, cobalah untuk mengerti. Kalau soal cinta, kamu yang punya semua cinta aku. Tapi ini nggak melulu soal perasaan.” “Apa kamu sedang berusaha bilang kalau kamu itu nggak cinta sama Cecil? Tapi dia mengandung anak kamu, Yo!” “Itu cuma anak.” Marisa mendengkus tak percaya. “Cuma? Yo! Yang kamu bilang cuma itu makhluk bernyawa yang membawa darah kamu di tubuhnya. Kamu bilang cuma?” Ditatapnya wanita cantik yang sedang menunggu jawaban darinya. Sejak dia ditinggalkan Marisa di kafe itu, perasaannya sangat hampa. Ada perasaan menyesal yang dalam karena sudah mengkhianati istrinya dan Mario takut kalau perbuatannya akan menyebabkan Marisa pergi dari sisinya. Sungguh mati Mario sangat mencintai Marisa dan nggak mau kehilangan istrinya. Tapi dia butuh anak yang dikandung Cecil untuk menyelamatkan harga dirinya. Anaknya saja. “Sa … apa kamu bersedia menjadi ibu dari anak aku dan Cecil? Kita akan membesarkan anak itu bersama-sama dan menganggap dia sebagai anak kita. Seandainya saja … di antara kita cuma ada kamu, aku dan anak itu, apa kamu bersedia menjadi ibu baginya? Aku berjanji akan lebih sabar dengan kondisi kamu.” Marisa menatap suaminya semakin tak percaya. Seperti bukan Mario saja yang berada di hadapannya sekarang. Kalau dia jadi ibu anaknya Mario, lalu Cecil mau dikemanakan?©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD