Pegawai laundry yang datang paling pagi terkejut melihat mobil majikannya terparkir di depan ruko dan pintu ruko sudah terbuka. Dia tahu majikannya pergi ke luar kota dan mungkin baru kembali. Tapi biasanya majikannya tidak datang sepagi ini apa lagi tidak ada yang bisa dikerjakan di laundry olehnya.
“Bu, tumben sudah datang?” tanyanya sedikit khawatir, dia takut keberadaan Marisa di laundry pada jam segini membawa kabar buruk.
“Iya, saya tinggal di atas mulai semalam,” jawabnya sambil tersenyum cepat lalu kembali melihat nota-nota kemarin.
Nisa, pegawai yang bertugas menjaga counter, menerima cucian, memilah dan memasukkannya ke mesin terlihat terkejut. Langsung dia meletakkan barang bawaannya, plastik berisi bekal makan siang, dompet serta ponsel jadul yang fungsinya cuma buat SMS dan telepon saja.
“Ibu tidur di mana? Di atas cuma ada cucian yang belum kering sama tumpukan bed cover dan selimut.”
“Itu!” tunjuk Marisa pada seonggok bed cover yang berada di depan mesin cuci. “Saya pakai itu semalam. Maaf, ya, harus dicuci ulang kayaknya.”
Nisa mengangguk paham sekaligus penasaran, kenapa majikannya harus tidur di ruko tiga lantai miliknya ini? Bukannya lebih enak tidur di kasur di rumahnya yang bagus itu?
“Nis, jam berapa toko furniture di sebelah buka?” tanya Marisa.
“Jam sepuluh biasanya, Bu. Kenapa?”
“Saya mau beli perabot. Lantai tiga nanti mau saya tinggali. Nanti minta bantu sama yang lain buat mindahin semua pakaian ke lantai dua saja, ya. Tumpuk saja semua di sana. Kalau perlu jemur sebagian di depan ruko biar cepat kering.”
Nisa mengangguk. Pekerjaannya hari ini akan bertambah. Ada empat orang karyawan laundry termasuk dirinya. Dua yang lainnya di bagian setrika. Satu orang lagi kebagian mengantar dan mengambil cucian.
“Saya cari sarapan dulu. Dari kemarin perut saya kosong.”
Nisa mengangguk dan memandangi kepergian bosnya dengan pandangan bertanya. Sayang rekan kerjanya belum ada yang datang jadi dia belum bisa bergosip dengan mereka.
Marisa melangkahkan kaki keluar ruko menuju mobilnya. Dia belum punya tujuan mau ke mana untuk isi perut. Tapi kepalanya sudah mulai pusing karena semalam dia banyak menangis dan tidak diisi air setetes pun atau makanan. Sekarang juga dia harus belanja keperluannya pribadi. Selain pakaian, dia nggak punya apa-apa.
“Mario sialan! Bisa-bisanya dia setega ini sama aku? Aku harus minta cerai secepatnya. Nggak bisa seenaknya saja dia giniin aku.” Marisa menyalakan mesin mobilnya dan meninggalkan pelataran ruko.
Pikirannya berkelana. Sekarang apa yang harus dia lakukan? Marisa bukan tipe wanita karir yang harus ke kantor tiap hari. Pekerjaannya bisa dilakukan dari rumah. Sehari-hari dia mengurusi rumah dan Mario saja. Kalau sekarang suaminya sudah meninggalkan dirinya, apalagi yang mau dia kerjakan untuk mengisi kekosongan waktunya?
Lalu dia teringat kata mamanya. Ah, Mama, apa dia harus memberi tahu wanita terkasihnya? Mama pasti bakalan sedih dan menyalahkan diri sendiri karena gagal mendampingi Marisa. Enggak, Marisa nggak mau Mama sedih. Sudah cukup dia membuatnya khawatir dengan cerita pernikahannya dengan Mario dan juga kondisi dirinya sendiri.
Dan Marisa teringat pada kondisinya saat ini. Penyebab Mario meninggalkannya dan memilih selingkuh hingga selingkuhannya hamil. Kalau saja dia senormal selingkuhan Mario, pasti pernikahannya nggak akan kandas seperti ini.
“Aku harus ke Bandung, ketemu sama dokter yang dimaksud. Aku harus mastiin dugaanku ini. Seharusnya aku bisa didampingi Mario, tapi ….” Marisa memukul setir mobilnya dan pikirannya kembali terganggu karena lelaki itu.
=*=
Entah bagaimana caranya wanita ini bisa tahu dia sedang ada di mana saat ini. Tapi melihat dia berdiri di depan counter dan menatap pongah pada Marisa, membuatnya merasa tidak mau menaruh iba pada wanita yang katanya hamil ini.
Wanita ini mengatakan siapa namanya dan juga hubungannya dengan suaminya, Mario.
Diam-diam Marisa melirik pada perut wanita itu yang masih rata.
“Tujuh minggu,” katanya ketika menyadari arah pandangan Marisa.
“Apa aku harus memberimu selamat?” tanya Marisa dingin.
“Kedatanganku kemari bukan untuk menerima ucapan selamat,” katanya tanpa memedulikan tatapan ingin tahu karyawan Marisa yang diam-diam menguping.
“Kalau gitu katakan cepat, karena aku juga bukan orang ramah yang mau menerima kunjunganmu begitu saja.” Marisa membuka laci dan mulai memeriksa rekapan laundry pada sebuah buku besar.
“Aku minta kunci rumah. Tadi aku ke sana dan kuncinya nggak bisa dibuka.”
Wanita cantik itu mengangkat kepalanya dari buku besar. Memandang tajam pada wanita nggak tahu diri yang menatapnya setengah tak peduli. Pandangan wanita yang bernama Cecil ini menatap ke segala arah, tidak fokus pada satu titik apalagi menatap Marisa. Kelihatan sekali kalau dia berusaha tegar, kuat, atau apalah namanya, tapi sebenarnya dia gugup.
“Dan kenapa aku harus memberikannya padamu?” tanya Marisa lelah.
“Karena itu masih rumah suamiku, bukan cuma milikmu saja. Aku mau sewakan rumah itu supaya dapat uang tambahan. Karena aku mau melahirkan dan perlu banyak biaya.”
Marisa berdiri dan melipat kedua tangannya di depan dadaa. Kalau tidak ingat wanita ini sedang hamil, sudah pasti akan ditamparnya mulut tak beradab itu. Lancang sekali dia meminta sesuatu yang bukan haknya.
“Mario masih suamiku juga. Kami belum bercerai. Aku juga punya hak atas rumah itu.”
“Dia akan menceraikanmu nggak lama lagi.”
“Oh, ya? Sepertinya kamu dibohongi sama dia, karena kemarin dia memohon sama aku supaya aku nggak mengajukan cerai. Kamu tahu dia bilang apa? Dia bilang masih mencintai aku dan nggak pernah punya niat menceraikan aku.”
“Bohong,” desisnya tak percaya.
“Tanyakan saja padanya kalau nggak percaya. Asal kamu tahu, Mario hanya membantu membayar cicilan bulanan rumah itu. Uang muka dan uang akad kreditnya aku yang menyediakan. Kalau kamu merasa punya hak atas rumah itu, suruh Mario kembalikan uang DP dan uang akad kreditnya.”
Cecil terdiam, tidak mengira akan mendapatkan perlawanan seperti ini dari Marisa. Suaminya nggak pernah cerita kalau rumah itu dibeli patungan sama Marisa. Dia cuma bilang kalau rumah itu dia beli untuk Marisa.
“Kenapa? Kaget? Seharusnya kamu selidiki dulu siapa Mario sebelum kamu memutuskan hamil anak dia. Mario nggak sekaya dalam pikiranmu. Tanpa Mario aku masih bisa hidup, tapi tanpa aku, coba kamu tanya sama suamimu itu, berapa uang bulanan yang akan dia beri padamu. Asal kamu tahu, kalau dia memutuskan beristri dua, aku mau uang belanja yang lebih besar dari kamu. Kenapa? Nggak suka? Aku yang hidup susah dari nol sama dia. Wajar, kan kalau minta lebih?”
“Kamu ….”
Jari Cecil menunjuk pada Marisa. Wanita yang lebih muda darinya ini bertubuh lebih jangkung dari dia dengan tubuh yang body goal. Cocok jadi SPG untuk memikat laki-laki. Tapi kalau riasan di wajahnya itu dihapus, Marisa yakin wajahnya biasa saja. Wanita ini cuma menang body saja.
“Kita lihat saja nanti. Kuharap kamu nggak menangis kalau Mario mengirim surat cerai sama kamu,” katanya mengancam.
“Kuharap kamu juga nggak menangis kalau kuminta kembalikan barang-barang yang sudah kamu ambil. Apa kamu nggak tahu kalau mengambil barang milik orang lain tanpa izin pemiliknya itu dinamakan mencuri?”©