“Kamu nggak lagi nge-prank aku kan, Yo? Masalah kita ini serius, lho. Nggak bisa kamu main-main kalau soal anak atau nikah lagi.” Marisa menyudahi makannya. Diletakkannya sendok dan garpunya lalu dia mengelap mulutnya dengan tisu.
Setelah meneguk air putih untuk membersihkan mulut dan tenggorokannya dari sisa sup, Marisa melanjutkan obrolannya dengan Mario. Suaminya itu masih asyik menikmati kuah terakhir sup di mangkoknya.
“Di kafe, aku bilang kalau aku ini sakit. Apa kamu nggak mau tahu aku sakit apa?” tanyanya penuh penekanan. Dan itu berhasil. Dia melihat Mario menyudahi makannya dan memandang istrinya.
“Aku mau menanyakan itu juga. Kamu sakit apa? Secara fisik kamu nggak kurang apa-apa, kecuali … ketakutanmu berhubungan intim. Itu bikin aku senewen sampai sekarang.” Mario mengatakan kalimat terakhir dengan nada kesal. Membayangkan usahanya yang selalu sia-sia, dia memang kesal.
“Itulah salahnya hubungan kita. Nggak pernah mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi sama aku.”
“Aku sudah menyarankan kamu ke psikiater, ya. Tapi kamu menolak!” Suara Mario mulai mengeras.
“Karena aku memang nggak butuh psikiater. Aku nggak trauma. Kejiwaanku baik-baik saja!”
“Kalau bukan trauma lalu apa? Kamu ketakutan. Kayak menolak kalau mau aku sentuh lebih dalam. Tapi kamu sampai bersumpah segala atas nama Tuhan kita kalau kamu nggak pernah mengalami pelecehan atau sejenisnya. Lalu apa lagi kondisi yang bisa menjelaskan masalah kamu itu?”
“Vaginismus,” jawab Marisa pendek.
“Vagi—apa?”
“Kamu bisa googling buat cari penjelasannya. Masalah aku ini bisa dijelaskan secara medis dan kalau kamu mau sabar, aku juga bisa hamil sebenarnya.” Marisa merasa lelah dan sedikit kesal dengan keadaan ini. Dia sangat menyesali keputusan Mario yang terburu-buru mencari wanita lain untuk menggantikan dirinya memproduksi keturunan.
Rahimnya sehat dan indung telurnya juga subur. Tidak ada masalah pada organ reproduksinya. Hanya saja, jalan untuk menuju ke sana sedikit terhambat.
Mario menuruti perkataan istrinya dan mengambil ponselnya cepat. Dia mengetikkan kata-kata yang tadi diucapkan Marisa. Sesaat wajahnya terlihat serius membaca informasi baru yang dia dapatkan dari mesin pencari paling populer itu. Mario mendesah, ada rasa bersalah dan penyesalan yang mengiris dadaanya perlahan. Kalau masalah Marisa benar seperti yang sedang dia baca, nggak perlulah dia sampai mengencani Cecil hingga hamil.
Mario menggaruk rambutnya dengan kesal. Kepalanya nggak gatal tapi dia berandai-andai kalau saja dengan menggaruk, kerak-kerak yang merusak pikirannya bisa ikutan rontok. Kesal. Mario kesal dengan keputusan dan perbuatannya. Dia menyesal tapi percuma. Semua sudah terjadi.
“Trus sekarang gimana?” tanyanya pada Marisa yang masih memandangnya dingin.
“Kok, tanya sama aku? Kamu yang gimana? Kapan kamu mau ceraikan aku?” tanya Marisa menuntut.
“Beneran kamu mau cerai dari aku?” Kali ini Mario bertanya dengan perasaannya yang kalut. “Aku nggak mau cerai dari kamu. Aku menyesal dengan apa yang terjadi.”
“Terlambat.”
“Aku tahu. Tapi—Sa, nggak bisa kalau kita jalan bertiga saja? Aku, kamu, dan Cecil?”
Marisa memandang suaminya heran. “Baru beberapa menit yang lalu kamu bilang, gimana seandainya cuma ada kamu, aku, dan anakmu. Sekarang kamu minta kita jalan bertiga. Kamu pikir hati aku terbuat dari apa? Kamu pikir … aku nggak sakit hati? Pulang dari rumah Mama dan bermaksud memberitahukan kondisi aku yang sebenarnya sama kamu, mau ngajak kamu buat menemani aku berobat tapi yang aku dapatkan apa? Pengkhianatan! Kamu pikir hati aku terbuat dari apa?” Marisa memandangi suaminya yang menunduk.
Sungguh menyedihkan melihat Mario saat ini. Rasanya, cinta yang pernah singgah di hati Marisa menguap tiba-tiba. Kalau tadi dia sempat merasa ingin memaafkan Mario, tapi saat ini dia ingin cepat-cepat membuang lelaki di hadapannya ini. Begitu cepat dan mudah hatinya berubah haluan.
“Aku sudah selesai. Aku mau pulang.” Marisa bangkit ketika dilihatnya suaminya geming. Entah sampai kapan dia akan menunduk seperti itu. Di matanya kini, Mario seperti lelaki yang baru saja kehilangan kecerdasannya separuh. Bukan Mario bintang kampus yang selalu menempati posisi teratas karena nilainya selalu sempurna.
Marisa menemui Tante Anna di kasir dan pamitan. Tante tidak ingin bertanya lebih banyak karena sejak tadi diam-diam dia memperhatikan pasangan muda itu bersitegang. Tante Anna hanya memberikan pandangan penuh pengertian dan bilang kalau dia selalu siap untuk Marisa seandainya wanita itu butuh tempat untuk berbagi. Marisa bilang terima kasih dan meninggalkan resto setelah menitip salam untuk Om Bayu. Meninggalkan Mario yang masih membatu di tempat duduknya.
“Sa, tunggu!” Mario berlari ke arah mobil Marisa yang sudah siap meninggalkan halaman resto. Lelaki itu mengetuk kaca jendela di samping Marisa.
“Apa? Kita berpisah di sini saja. Tadi kamu datang ke laundry juga naik kendaraan umum, kan?” Marisa tahu kalau Mario belum punya kendaraan. Selama ini mereka berbagi mobil yang dikendarai Marisa.
“Aku ikut sampai laundry.”
“Nggak kejauhan?” tanya Marisa. Dia tahu di daerah mana rumah Cecil. Wanita itu memberitahunya ketika datang ke laundry tadi. Daerah rumah Cecil berlawanan arah dengan laundry Marisa.
“Buka saja pintunya.”
Marisa malas berdebat. Dia membuka pintu penumpang dan membiarkan suaminya masuk. Kali ini dia yang menyetir.
“Kamu tinggal di laundry sekarang? Kenapa nggak tinggal di rumah kita?” tanya Mario memecah keheningan dalam mobil.
“Mana bisa aku tinggal di sana. Nggak akan tenang karena istri mudamu itu pasti bakalan datang seperti tadi. Memangnya kamu nggak cerita gimana prosesnya rumah itu?”
Mario diam. Harga dirinya sedang diuji saat ini. Sebagai manager sebuah MLM produk kecantikan, Marisa mendapatkan gaji bulanan yang besarnya dua kali lipat gaji Mario. Sebelum Mario mendapatkan pekerjaannya yang sekarang, Marisa sudah lebih dulu bergaji. Dia yang mengangsur DP rumah dan menyediakan biaya akad kredit. Ketika Mario sudah bekerja, ganti Mario yang membayar angsuran bulanan sedangkan Marisa mengangsur mobil yang sekarang dia kendarai.
“Aku minta maaf karena Cecil mengosongkan rumah kita. Dia bilang mau mengambil pakaianku ketika meminta kunci rumah. Nggak kepikiran sama sekali kalau dia mau memindahkan isi rumah kita ke rumah orang tuanya.”
“Sisi baiknya kamu merasa berada di rumah karena barang-barang kita berpindah semua ke sana. Tapi nggak seharusnya Cecil mengusik barang pribadiku juga.” Marisa teringat koleksi tas dan sepatunya. “Aku berterima kasih karena dia nggak menyentuh laptopku. Semua data pekerjaanku ada di sana. Kalau sampai dia melakukan sesuatu pada laptop itu, aku pasti sudah menyeretnya secara hukum,” ujar Marisa dingin.
“Aku beneran nggak tahu kalau dia bakal bertindak seperti itu.”
“Dan kamu juga nggak ada inisiatif buat meminta dia mengembalikannya?”
Mario diam. Sungguh dia merasa bodoh kali ini. Sama sekali dia nggak bisa melindungi hak-hak Marisa sebagai istrinya. Dalam kepalanya saat itu yang ada hanya senyuman mamanya dan ucapan terima kasih bertubi-tubi karena akhirnya dia punya cucu dari Mario. Mamanya bahkan menyarankan supaya secepatnya dia menceraikan Marisa. Buat apa memelihara istri yang nggak bisa berfungsi dengan baik. Punya wajah cantik nggak akan ada gunanya bagi perempuan kalau dia nggak bisa hamil. Begitu kata mamanya.
Tapi tinggal seatap dengan keluarga Cecil nggak seindah bayangan Mario. Cecil dan keluarganya sangat berbeda dengan Marisa dan dirinya. Marisa yang mandiri, bukan saja tidak manja dan bisa menjadi teman bicara yang baik, tapi dia juga tidak pernah mengeluh soal kebiasaan-kebiasaan Mario.
Berbeda dengan Cecil dan keluarganya. Baru sehari saja dia jadi menantu di rumah itu, semua urusan keuangan di rumah itu seolah menjadi tanggung jawab Mario. Bahkan Cecil mulai berani menanyakan slip gaji dan meminta ATM miliknya.
“Kita sudah sampai. Kamu punya ongkos buat pulang?” tanya Marisa ketika mereka sudah berada di depan laundry yang sudah tutup. Nggak ada maksud menghina dari pertanyaannya. Marisa sungguhan bertanya karena dia yakin, kehidupan Mario saat ini sedikit berat karena harus menanggung tiga keluarga.
Keluarga Cecil, mamanya, dan juga dia. Oh, ya, meski Marisa nggak butuh uang Mario, tapi dia berhak atas bagiannya selama statusnya masih menjadi istri pertama Mario.
“Aku nggak mau pulang.”
“Apa? Terus kamu mau ke mana?”
“Aku mau nginep di sini. Sama kamu,” katanya lirih.
Marisa menarik napas pelan. Perasaannya nggak karuan. Ketertarikannya pada Mario masih besar, tapi sakit hatinya juga tak kalah besar.
“Aku tahu aku salah. Tapi karena salah makanya aku mau tinggal sama kamu malam ini, Sa. Please … aku masih suami kamu sekarang. Jangan menolak aku, Sa. Kita nggak akan melakukan apa-apa. Aku cuma lagi pengen sama kamu.”
Marisa juga pengen bersama Mario. Dia bosan menangis sendirian. Setidaknya kalau ada Mario, dia bisa menghabiskan tangisnya malam ini di d**a lelaki ini. Biar suaminya ini tahu, kalau dia nggak setegar yang terlihat.
“Terus kamu mau bilang apa sama Cecil?”
“Aku nggak lagi tidur di rumah cewek lain. Aku tidur di rumah istri aku. Kenapa dia harus protes?”
“Aku cuma nggak mau dia muncul lagi di depan laundryku besok,” ujar Marisa ketus sambil membuka pintu mobil. Dia melangkah keluar dan berjalan ke arah ruko.
Mario mengikutinya dan meraih bahunya untuk dirangkul. “Maafkan aku,” katanya lirih sembari mendekatkan tubuh Marisa ke dadaanya. Dikecupnya lembut kepala Marisa.
Seketika ketegaran yang dia pertahankan sedari tadi runtuh. Marisa terisak pelan dengan kepala menyandar di dadaa suaminya. Mereka berdua berjalan pelan ke ruko dan menikmati setiap langkahnya. Jarak dari mobil ke ruko tidak begitu jauh, tapi malam ini rasanya jarak itu melebar dengan tiba-tiba.©