Mereka duduk berhadapan. Belum ada kata keluar setelah, "Hai, apa kabar?"
Pertemuan ini tidak seperti pertemuan sepasang kekasih yang saling merindukan. Marisa tidak melihat cinta pada tatapan Mario kendati dia ingin memeluk lelakinya erat.
Seminggu sudah dia mencari jawaban dan akhirnya dia temukan. Namun dia butuh Mario untuk sama-sama memperbaiki kesalahan.
Jika memang kondisinya saat ini adalah sebuah kesalahan.
Namun Mama bilang, ini bukan kesalahannya. Juga bukan kesalahan Mario. Kami hanya dua insan bodoh yang baru menyelami pikuknya pernikahan. Kata Mama, ini baru tepian gelombang, belum masuk ke dalam pusaran. Bahtera masih bisa diselamatkan asal dia dan Mario saling menguatkan.
Ada banyak hal yang ingin dikeluarkan dalam kepala Marisa. Namun dia bingung akan mengeluarkan yang mana duluan. Berkali-kali dia mendesah dan memandang lelakinya. Sementara Mario, dia terlihat jengah dan ingin segera kabur dari hadapan Marisa.
"Kenapa?" Akhirnya kata itu yang keluar dari mulut Marisa.
Ketika tadi dia berhasil menghubunginya di telepon, Marisa menuntut banyak jawaban. Mario hanya mengatakan akan dia jelaskan ketika mereka bertemu. Mereka sepakat untuk bertemu di kafe favorit mereka.
"Aku sudah menikah lagi. Dua hari sejak kepergianmu. Jangan tanya alasannya. Kamu lebih paham kenapa."
Seperti tersambar petir di siang bolong, Marisa merasa tubuhnya panas terbakar. Marah. Istri mana yang tak marah dicurangi suaminya seperti ini. Walau menurut Mario yang dilakukannya tidak sepenuhnya salah.
"Apa?! Kok kamu tega, Yo? Sejak kapan kamu selingkuh? Dan kenapa tiba-tiba? Apa kamu sudah tidak memandang aku sebagai istrimu?"
"Dia hamil. Aku nggak sempat meminta izinmu untuk menikahinya. Keluarganya mendesak terus."
"Siapa dia? Aku kenal?"
Mario menggeleng. "Dia SPG rokok baru."
"Bangsatt," desis Marisa sambil berdiri. Dia memandang Mario dengan perasaan kecewa. Rencana yang sudah disusunnya hancur berantakan.
Marisa menahan marah dan mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Air matanya perlahan menetes. Dia butuh tempat untuk meluapkan emosinya. Meski mencoba kuat, tapi dia hanya perempuan dengan repihan perasaan yang tak bisa disatukan lagi.
Sungguh tega Mario bermain di belakangnya selama ini. Apa dia tidak tahu jika Marisa juga menderita karena keadaannya? Perempuan mana yang tidak ingin membahagiakan suami? Namun jika proses kebahagiaan itu terhambat, apa pantas dia ditinggalkan dan dicari penggantinya?
"Semudah itu, Yo? Semudah itu kamu membuang aku?" Air mata meleleh dari kedua bola yang sekelam malam. "Aku minta cerai," kata Marisa ketika lelaki di hadapannya tetap menunduk tak bersuara.
"Ap-apa?" Mario terlihat terkejut dengan permintaan istrinya. Dia menatap perempuan anggun dan cantik yang dulu banyak digilai lelaki di kampus mereka.
"Kamu sudah mendapatkan perempuan yang kamu mau. Aku sudah nggak berguna lagi, kan?"
"Sa ... duduk dulu. Bukan ini yang kumau." Mario menarik lengan istrinya dan memberi tanda agar kembali duduk. Ulah mereka mulai menarik perhatian pengunjung kafe yang lain.
Marisa menepis tangan Mario. Hatinya mengeras. Dia merasa langit runtuh di atas kepalanya. Susah payah dia memercayai kata Mama kalau ini bukan kesalahannya, tapi sekarang dia merasa semua ini terjadi karena dirinya. Ketidakmampuannya melayani suami di ranjang yang membuat Mario berbuat curang di belakangnya.
Mario lelaki normal, dirinyalah yang berbeda.
"Sa ... aku nggak akan cerein kamu. Aku masih sayang sama kamu, Sa."
Sayang? Sayang macam apa yang tega melukai?
Marisa muak. Disiramnya Mario dengan air segelas. Lelaki itu gelagapan dan berdiri dengan wajah dan baju yang basah. Dia memandang Marisa tidak terima.
"Kamu bisa ambil semua barang-barang di rumah aku. Tapi kesinikan mobilnya. Mobil itu aku yang beli. Aku yang cicil pake uang aku. Nggak sudi aku kalau mobil itu kamu pake buat istri barumu."
Dengan berat hati Mario memberikan kunci mobil kepada istrinya. Marisa benar, mobil itu bukan miliknya.
"Kamu mau ke mana, Sa? Maaf kalau aku mengosongkan isi rumah. Cecil yang mengangkut semua perabot tanpa persetujuanku. Aku tidak tahu apa-apa."
Marisa mendengkus. Baru juga menikah, Mario sudah berada di bawah ketiak istri barunya. Siapa namanya? Cecil? Marisa ingin membuat perhitungan dengan perempuan itu.
"Apa aku harus melapor ke mana mau pergi? Kamu masih peduli? Ketika aku datang ingin memperbaiki kesalahan, kamu malah mengacaukannya."
"Sa ... Ini bukan salahku. Seandainya kamu ...."
"Ini juga bukan salahku, Mario! Aku sakit. Bukan mauku tidak bisa melayanimu. Seandainya kamu mau menggunakan seperempat saja kecerdasanmu untuk mencari jawaban, seharusnya kita nggak perlu seperti ini."
Marisa berdiri angkuh dan berusaha mengangkat kepalanya tinggi. Dia tidak mau terlihat lemah di hadapan Mario.
"Aku tunggu surat cerai darimu, Yo. Jangan pernah berpikir untuk menduakanku. Aku nggak pernah suka dimadu."
Marisa meninggalkan Mario yang terpekur. Berusaha mencerna perkataan istrinya barusan.
Marisa sakit? Sakit apa? Tapi dia kelihatan sehat dan baik-baik saja. Kecuali jika diajak berhubungan. Marisa seperti ketakutan. Mario pikir, dulu istrinya itu punya semacam trauma. Namun istrinya bersumpah di bawah kitab suci kalau dia masih perawan dan tidak pernah berhubungan dengan lelaki manapun sebelum Mario. Jadi Mario pikir, kekakuan istrinya mungkin karena dia terlalu tegang dan punya pikiran macam-macam tentang hubungan seksual pertama kali.
Namun setelah setahun pernikahan mereka, rasanya mustahil ketakutan itu masih ada. Sakit macam apa yang membuat istrinya tidak b*******h ketika diajak berhubungan? Karena ketika mereka berciuman dan saling meraba, istrinya terlihat bersemangat.
Arggh! Mario pusing! Dia yakin apa yang dilakukannya sudah benar. Semua ini gara-gara desakan mamanya. Jika saja perempuan itu tidak mendesaknya untuk segera punya anak, tentu dia dan Marisa masih baik-baik saja saja.
=*=
Marisa memandangi lagi ruangan kosong di rumahnya. Dulu ini tempat tinggalnya dengan Mario. Suaminya membeli rumah ini dengan uang tabungannya dan di atas namakan dirinya. Rumah ini akan menjadi tempat mereka membina rumah tangga dan membesarkan anak-anak mereka. Sekarang juga rumah ini masih milik mereka, hanya saja penghuninya memilih untuk menempati rumah baru masing-masing yang lebih menjanjikan masa depan. Mario dengan istri barunya dan dia memilih tinggal di ruko tempatnya membangun usaha laundry.
Lebih baik tidur di antara tumpukan setrikaan yang menggunung atau bed cover yang direntangkan karena belum kering benar dari pada tinggal di rumah kosong, sekosong hatinya. Marisa mengunci pintu yang anak kuncinya sudah diganti oleh tukang. Meskipun Mario nanti kembali kemari, dia tidak bisa masuk. Apa lagi istrinya.
Bagaimanapun rumah ini atas namanya dan Mario harus minta izin dia untuk tinggal di sini.
Dan perempuan itu ... Perempuan yang masuk ke dalam rumah tangganya itu harus merasakan perjuangan bersama Mario dari nol. Jangan hanya mau menikmati harta Mario seenaknya tanpa mau berusaha.©