❤Namanya juga cinta. Meskipun aku sadar kamu memiliki jutaan kekurangan, pada akhirnya aku luluh juga❤
❤❤❤
Vania masih terus menatap wajah tampan suaminya. Kedua manusia itu kini telah sampai di kediaman mereka.
Dan tanpa suara, Andrea langsung menyalipkan kembali tangannya di antara lutut dan belakang leher wanita itu. Membuat Vania refleks kembali memeluk leher suaminya.
Tanpa sepatah kata pun, Andrea membawa istrinya masuk ke dalam rumah yang tampak sepi. Sepertinya Bi Surti sudah pergi tidur.
Vania masih setia mengagumi wajah suaminya yang sempurna bak sebuah pahatan. Wanita itu pun mulai membayangkan yang iya-iya, sampai tanpa sadar itu tertawa kecil, membuat Andrea menunduk menatapnya.
Tawa Vania seketika terhenti ketika tatapannya bertemu dengan manik coklat tua milik suaminya.
Keduanya saling membisu. Membuat pikiran Vania kembali berkelana. Ia membayangkan Andrea akan meletakkannya secara perlahan lalu mengecup keningnya nanti. Ia bisa membayangkan jika suaminya itu akan berlaku sangat manis padanya setelah ini.
'Lalu dia akan nyopot stiletto ku dan mengobati kakiku. Aaa.. sweet banget!!' batin Vania memulai halusinasinya.
'Jangan lupakan s**u! Pasti dia bakal bikinin aku s**u. Apa dulu ya? Ngobatin kaki atau sus-'
"Aaakkk!!!"
Bayangan manis itu lenyap seketika saat Vania merasakan tubuhnya terbanting. Untung saja ia terjatuh di tempat beralaskan empuk. Jika tidak, mungkin beberapa bagian tulang punggungnya sudah retak saat ini.
"Ssshh..." perempuan itu meringis. Matanya terpejam beberapa saat untuk menenangkan diri dari keterkejutannya.
Lalu, ia menatap garang ke arah orang yang telah membuatnya jatuh.
"Kamu sengaja ya?" kesal Vania. Belum sempat lawan bicaranya menimpali, Vania sudah kembali buka suara, "KDRT ini namanya. Masak istrinya lagi sakit malah dilempar-lempar kayak kerikil yang nutupin jalan,"
"Iya, aku sengaja. Cepat bilang makasih, udah untung aku lemparnya di kasur, bukan pas di tangga tadi," balas Andrea dengan nada dingin.
Vania berdecak kemudian berusaha duduk bersandar.
Dilihatnya Andrea yg mendekati dan berniat untuk duduk di sisi tempat tidur yang lain, namun dengan segera Vania mendorongnya.
"Kok nggak ngobatin kaki aku? Kan kakiku sakit. Oh iya susunya mana?" tanya Vania bertubi-tubi.
Sepertinya wanita itu memang belum siap untuk sadar dari lamunannya tadi. Lamunan indah yang dengan seenaknya Andrea rusak.
"Ck, rasain. Itu hukuman buat perempuan yang sudah bersuami tapi nempel-nempelin cowok lain!"
Vania menyerit tak mengerti dengan ucapan Andrea.
"Geser, aku mau berbaring sebentar!" lanjut Andrea sembari mulai membaringkan tubuhnya di samping Vania, membuat perempuan itu terpaksa bergeser ke arah lain.
"Jangan tidur, obati dulu kaki aku! Katanya suami, katanya dokter, kok istrinya sakit malah mau ditinggal tidur?" ujar Vania kelimpungan.
"Ck, ih.. tega banget sih? Buruan obati dulu!"
Tak ada sahutan. Dengan santainya, Andrea malah menggunakan lengan kanannya untuk menutupi wajahnya sendiri. Pria itu tampak benar-benar kelelahan. Apakah badan Vania seberat itu?
"Buruan, katanya suami sayang istri? Lagian siapa sih yang nempel-nempel? Aku kan nempel ke kamu doang dari tadi, apalagi pas kamu gen-"
"Dengan Pak Haical tadi apa?" potong Andrea cepat sambil menatap Vania dengan tajam.
"Kan nggak nempel. Nempel tuh gini nih, nih," terang Vania sembari menempelkan tangannya ke wajah Andrea, yang membuat pria itu risih sendiri dan berguling menjauh.
"Masalah jatuh? Kan nggak sengaja. Siapa suruh kamu pelit? Aku nggak akan jatuh, apalagi sampai ketangkap Pak Haical kok kalau kamu langsung kasih cake-nya,"
Padahal maksud Andrea adalah ketika istrinya itu ternyata malah bersama dengan Haical saat ia mencarinya di pesta tadi. Belum lagi, Andrea sempat melihat betapa akrabnya kedua insan itu.
"Astaga, Van. Maksudnya nempel itu nggak harus skin to skin juga kali, maksud aku-"
"Apa? Kamu mau mikir aneh-aneh soal aku? Aku nggak akan segila itu, Mas. Aku kecewa ya sama Mas Andrea. Mana mungkin aku sama Pak Haical nempel lip to lip?" ujar Vania ngaco.
Andrea mendelik dan segera bangkit dari tidurnya. Ia semakin geram setelah mendengar ocehan Vania.
"Eh, siapa yang bilang begitu?" tegur Andrea tidak terima. Membayangkan kembali kulit kuning langsat Vania bersentuhan dengan tangan Haical aja rasanya ia seperti mendidih. Apalagi kalau yang bersentuhan itu... ah sudahlah!
"Ya nempel apaan kalau bukan skin to skin atau lip to lip??" bingung Vania. Ia tampak begitu polos dan benar-benae tidak paham dengan apa yang Andrea permasalahkan saat ini.
"Begini ya, Mas. Selama lebih dari dua puluh tujuh tahun aku hidup, sekali pun aku nggak pernah ciuman bibir sama lelaki lain selain kamu. Meski pun selama hampir setengah tahun kita menikah kamu baru mencium aku sebanyak empat kali dan sebenernya aku ngarepnya bisa lebih, tapi aku... eh, keceplosan," cerocos Vania yang langsung terhenti ketika ia sadar jika telah mengucapkan sesuatu yang harusnya ia simpan rapat-rapat.
Vania menutup mulut bodohnya. Ia tampak meruntuki kecerobohannya di depan Andrea.
Sementara lelaki yang awalnya selalu uring-uringan itu mulai tersenyum tipis. Tangannya secara otomatis terangkat untuk mengacak-acak rambut istrinya hingga wanita itu berdecak dan menjauhkan tangannya.
"Sampai dihitung?" goda Andrea. Nyatanya kepolosan Vania yang terkadang membuat ratusan nyawa geram itu bisa juga meluruhkan amarah Andrea.
"Ya memang saking jarangnya aja, empat kan angka yang sangat kecil, jadi sangat mudah dihitung. Lagian kamu-"
"Apa? Maunya tiap hari?" goda Andrea lagi, membuat pipi Vania mulai merona menahan malu. Padahal dalam hati ia menjawab "Ya" sengan sangat mantab.
Andrea semakin gemas melihatnya. Dengan cepat, ia mendekatkan wajahnya ke arah Vania lalu mencium bibir perempuan itu singkat.
Vania pun sempat membeku. Kesadarannya kembali setelah merasakan pergerakan pada kasur yang ada di sampingnya.
"Eh, mau kemana?" tanya Vania setelah sadar jika suaminya mulai beranjak.
"Mau buat green tea sama s**u di dapur. Sebentar, jangan tidur dulu!" ujar Andrea. Kemudian Andrea kembali mendekatkan wajahnya. Kali ini bibirnya ia sentuhkan ke pipi kanan istrinya yang kini sudah merah menyerupai tomat. Sepertinya mood pria itu sudah kembali membaik. Vania menjawabnya dengan anggukan kepala.
"Hmm.. Mas, bisa minta tolong hal lain?" ujar Vania. Andrea menatap Vania seolah menunggu Vania melanjutkan kata-katanya.
"Mau ganti baju," lanjut perempuan itu. Andrea tertawa kecil.
"Mau aku gantiin lagi?" entah mengapa, Andrea sangat suka menggoda Vania malam ini.
Mendengar ucapan Andrea, Vania langsung menyilangkan tangannya di depan d**a dan memasang ekspresi waspada, membuat tawa Andrea semakin pecah.
"Kok jadi m***m? Kok kamu jadi senang godain aku gitu sih? Belajar dari mana? Pasti habis dapat transfer ilmu hitam dari Kak Rafael?" kesal Vania.
"Habis kamu mancing mulu dari tadi. Iya-iya, ini aku ambilkan ya," balas Andrea. Vania hanya diam hingga Andrea menyodorkan sepasang baju tidur untuknya.
"Makasih," ujar Vania. Andrea menjawabnya dengan menganggukkan kepala, lalu melanjutkan niatnya yang sempat tertunda tadi, menuju dapur untuk membuat minuman untuk dirinya dan Vania.
Selang beberapa menit, Andrea kembali. Ia menyodorkan secangkir s**u coklat pada Vania. Setelah Vania menerimanya, ia duduk di ujung tempat tidur dan mulai menyeruput green teanya.
"Kakinya masih sakit?" tanya Andrea lembut di tengah aktivitasnya.
"Hmm.. kalau dibuat diam begini sudah tidak terasa. Tapi kalau bergerak sedikit pun.. Aww!"
Andrea meletakan cangkirnya di atas nakas lalu mendekat ke arah kaki Vania.
Tangan Andrea telah berada di atas kaki Vania. Ia sedikit menekan sendi kaki Vania hingga perempuan itu meringis.
"Ssshh.. sakit," keluh Vania.
"Namanya juga terkilir. Tahan sebentar, biar aku benerin dulu sendinya. Bisa bahaya kalau tidak segera ditangani. Apalagi mengingat tingkah kamu yang pecicilan seperti biasanya. Yang ada nambahin alasan kamu buat bolos kerja lagi," oceh Andrea.
Vania berdecak saat mendengar kalimat olokkan di tengah perlakuan manis suaminya itu.
"Kayak nggak ada kata lain aja selain pecicilan," keluh Vania.
"Memang tidak ada," jawab Andrea santai.
"Aww! Banyak ya, energik, aktif, penuh semangat, dan masih banyak lagi kok. Kamu aja yang niatnya ngeledek," protes Vania.
"Ssshh.. beda, Vania. Kata-kata itu tidak bisa menggambarkan kamu. Itu terlalu positif buat kamu yang memang negatif. Yang paling bisa menggambarkan kamu ya memang pecicilan itu tadi," ralat Andrea yang tidak setuju dengan pendapat Vania. Vania memutar bola matanya malas.
"Jangan lupa, ceroboh dan pemalas juga," imbuh Andrea.
Andai saja kaki Vania sehat, sudah ia pastikan Andrea sudah terlempar ke lantai sekarang.
Melihat tatapan garang Vania, Andrea malah tersenyum. Senyum yang sama sekali tidak Vania acuhkan.
"Dan satu lagi," ucap Andrea menggantungkan kalimatnya.
Vania setengah penasaran setengah jengkel ketika suaminya itu menggantungkan ucapannya. Tapi biasanya sih, nggak jauh-jauh dari hujatan juga. Jadi sebaiknya Vania menyiapkan hati saja deh ....
"Cantik."
Blusshh ...
Rona merah semakin tampak di kedua pipi Vania. Ia menunduk dan menjadi salah tingkah mendengar pujian suaminya yang irit bicara dan perfeksionis itu.
❤❤❤
Bersambung ....
Sudah sampai chapter 10 aja...
Sebenarnya aku sudah merasa melakukan self editung sebelum publish. Tapi kalau ternyata masih ada kesalahan penulisan, silakan sampaikan yaaa. Terima kasih.
Oiya ... kenapa aku tulis author note di bawah gini? Karena ada beberapa yang pernah protes, katanya author noteku kepotong. Jadi aku edit pindahin ke bawah aja