❤❤❤
Pagi menjelang. Sudah berkali-kali Andrea menarik-narik berusaha membuka selimut tebal yang membungkus tubuh istrinya. Sudah berkali-kali pula pria berusia tiga puluh satu tahun itu mendengus kesal, melihat usahanya untuk membangunkan sang istri masih selalu gagal.
"Van, bangun!" panggilnya lagi dengan ogah-ogahan. Namun perempuan itu masih tidak bergerak sama sekali.
Lagi-lagi, Andrea menghela napas kemudian memilih berjalan menghampiri tubuh terlentang istrinya itu.
Bahkan mau duduk saja rasanya tidak bebas, melihat kaki kurus Vania menutupi hampir keseluruhan sisi tempat tidur.
Andrea pun mengangkat salah satu kaki Vania dan menggesernya.
"Aaa..."
Ups!
Andrea lupa!
Kaki Vania pasti masih sakit. Karena semalam Andrea belum sempat memijatnya, sebab ia sudah terlalu lelah setelah menggendong tubuh Vania.
"Ck, udah tahu istri lagi sakit bukannya diobatin, dipijitin, disayang-sayang, malah tambah disiksa," keluh Vania dengan suara serak dan mata masih terpejam.
Andrea tertawa kecil melihat tingkah lucu istrinya. Ia tampak begitu menggemaskan meskipun kini sedang merajuk.
"Bangun, Vania!" panggil Andrea lagi, masih dengan nada lembut.
"Enggak mau. Kamu kasar, kamu jahat. Aku nggak mau nurut sama orang jahat," tolak Vania. Alibi saja. Bukan karena kesalahan Andrea yang mambuat Vania malas bangun. Tapi memang karena ia masih nyaman memejamkan mata saja.
Andrea kembali terkekeh mendengar ucapan setengah sadar Vania.
"Kalau sama suami nggak mau nurut, nanti durhaka loh," ujar Andrea menakut-nakuti.
"Sshh..." Vania meringis, lalu mengubah posisi tidurnya menjadi miring, berusaha menghindari berhadap-hadapan dengan Andrea.
Dengan iseng, Andrea menarik selimut Vania hingga sampai perut. Namun dengan segera, Vania menariknya kembali.
"Ini hari Minggu, aku mau me time seharian," lirih Vania.
"Couple time aja," bisik Andrea tepat di belakang telinga Vania. Dengan nada sedikit menggoda tentunya.
Perlahan, Vania membuka matanya. Ia memegangi dadanya yang berdentum tak karuan. Tampaknya, usaha Andrea untuk menggoda Vania kembali berhasil.
"Ck, digombalin suami aja masak masih se-lemah ini sih?" gumam Vania yang masih dapat tertangkap indera pendengaran Andrea, membuat pria itu kembali tertawa.
"Ayo jogging! Kamu ini kurang olahraga loh akhir-akhir ini," ajak Andrea.
"Ck, katanya aku pecicilan? Orang pecicilan mana ada yang kurang gerak?" sindir Vania yang masih tidak terima dengan ejekan Andrea semalam yang mengatakannya pecicilan.
"Kurang geraknya orang pecicilan itu unfaedah, Vania. Tetap nggak bisa disebut olahraga. Nggak bikin badan sehat semua. Malah bikin yang melihat jadi peninh," balas Andrea.
Vania kembali terlentang dan menatap atap kamarnya. Eskpresinya sudah ia pasang sememelas mungkin.
"Kaki aku kan sakit, Mas lupa?" tanyanya dengan nada memelas, berusaha memancing simpati Andrea.
"Mas jogging sendiri aja, ya! Aku minggu depan aja. Biar kakinya sembuh dulu," imbuh Vania.
Andrea memutar bola matanya malas. Ia tahu jika ucapan itu hanya alasan yang sengaja Vania buat karena wanita itu masih enggan beranjak turun dari kasur.
Andrea mengangkat pelan kaki kiri Vania yang terkilir lalu memangkunya. Membuat sang empu kembali meringis menahan sakit.
"Mau diapain kakinya? Jangan Mas pikir cuma karena aku nggak mau nurutin Mas Andrea buat olahraga, Mas bisa amputasi kaki aku sembarangan, ya!" tanya Vania ketakutan.
"Sakit, kan? Aku amputasi aja, biar sakitnya hilang," ucap Andrea enteng.
Vania mendelik kesal mendengar ucapan ngawur Andrea. Ia pun berniat menarik kembali kakinya, namun dengan segera Andrea menahannya.
"Udah nggak papa, biar aku aja yang ngerasain sakit. Aku kuat kok, Mas," ujar Vania lebay. Andrea tersenyum miring.
"Nggak papa. Dari pada sakit gini doang dijadikan alasan," balas Andrea.
Vania memaksakan dirinya untuk setengah duduk dan bersandar.
"Eh, enggak. Ck, aku nggak sekadar alasan, tapi memang sakit. Kan Mas tahu sendiri bagaimana keadaan kakiku sejak semalam. Mas lupa ya kalau aku terkilir?" oceh Vania yang tidak terima jika ucapannya hanya dianggap sebagai alasan saja. Padahalkan.... yaa.. memang hanya alasan saja sih. Sakitnya sudah jauh berkurang dari semalam.
"Aku tahu, Vania," balas Andrea sembari menatap Vania dengan lembut. Membuat jantung Vania kembali terguncang.
"La.. lalu, masak mau diamputas-"
"Aww..." ucapan Vania terpotong saat merasakan tekanan pada kakinya yang masih terasa sedikit sakit.
Wanita itu kembali meringis saat Andrea semakin serius mengurut kakinya.
"Sshh.. dikasih minyak aww.. aja, jangan diurut!" ujar Vania.
"Kelamaan. Nanti kita nggak bisa jogging," tolak Andrea.
"Hah? Masih ngotot mau jogging juga?" kaget Vania yang hanya Andrea balas dengan anggukan kepala.
Vania menghela napas panjang dan membanting kepalanya ke bantal.
Lama-kelamaan, ia merasa nyaman dengan pijatan Andrea di kakinya. Membuat penglihatannya semakin kabur dan kelopak matanya mulai terasa berat.
Baru saja Vania akan jatuh ke alam mimpi, Andrea dengan cepat memelintir kaki perempuan itu, membuatnya mengeluarkan teriakan keras.
"Aww!! Mas sengaja ya? Astaga, ternyata aku terlalu berpikiran positif sama kamu. Ck, ternyata memang kamu berniat jadi duda muda ya? Kenapa? Jangan bilang-" ucapan Vania kembali terhenti saat Andrea menyerobotnya.
"Jangan ngawur, Vania!" gemas Andrea.
Vania mengerutkan keningnya. Tidak paham dengan kata yang dianggap ngawur oleh Andrea.
"Masalah duda. Aku tidak berencana menjadi duda. Dan aku benar-benar tidak mau menjadi duda," terang Andrea yang seakan paham dengan isi benak Vania.
"Mak.. maksudnya?? Kalau aku meninggal atau kita cerai kamu udah ada gantinya? Langsung mau di sah-in saat itu juga? Tega ya kamu, Mas?" lirih Vania.
"Ada malaikat lewat baru tahu rasa kamu," gemas Andrea.
"Ya habisnya-"
"Enggak, Vania. Udah, jangan bicara yang tidak-tidak lagi! Cukup simpan yang seperti itu di dalam otak, jangan sampaikan ke aku! Kasihan nanti kupingku jadi ladang dosa," ujar Andrea sembari terus memijat kaki Vania.
"Hah?"
"Udah. Udah enakan kan, kakinya? Udah yuk siap-siap!" ajak Andrea.
Vania terpenjat kemudian menggerak-gerakkan pergelangan kakinya. Memutarnya berkali-kali, hingga ia sadar jika kakinya sudah jauh lebih baik dari pada saat ia bangun tidur tadi.
"Wah, iya!" girang Vania. Wanita itu melompat turun dari tempat tidur, kemudian meloncat-loncat sembari memutar tubuhnya berkali-kali.
"Kaki aku udah sembuh,"
Andrea bangkit berdiri sambil bersedekap d**a. Ia memandangi sang istri dengan senyum tipis yang tercetak jelas di bibirnya.
"Udah kan, manja-manjanya? Nangis bombaynya?" goda Andrea.
Vania menghentikan aksi konyolnya lalu menatap sang suami dengan penuh binar.
"Kamu keren banget. Aku jadi makin sayang," ujarnya. Tangan Andrea pun terangkat untuk membelai rambut panjang Vania.
"Ck, udah aku bilang kan, mending buka panti pijat aja deh! Pasti laku. Lumayan kan bisa buat tambahan uang belanja aku. Biar kita bisa cepat-cepat nyaingin kekayaan Kak Rafael," ujar Vania.
Aksi manis mengelus rambut pun terhenti. Selang beberapa detik, Andrea menarik tangannya menjauh dari Vania.
"Baru juga dipuji, mulai deh dinginnya," sindir Vania saat menyaksikan sang suami telah memasang ekspresi datar kembali.
"Apa salahnya sih buka panti pijat? Kamu kan memang jago tuh, nyembuhin kaki aku aja sekali urut sembuh. Apalagi kalau pakai embel-embel gelar dokter kamu itu. Wih... aku daftar bagian admin nanti. Biar hemat nggak bayar pegawai," oceh Vania yang membuat Andrea menggeleng.
"Kamu kan tahu, aku sibuk, Vania. Kamu juga. Lagian gaji dari rumah sakit juga sudah lebih dari cukup, kan?" balas Andrea yang tentu saja menolak ide Vania.
Bekerja di rumah sakit saja Vania sudah banyak mengeluhnya. Setiap pulang kerja juga langsung malas-malasan. Andrea sampai heran, bagaimana bisa otak istrinya itu memunculkan ide gila seperti itu.
"Ck, kan setiap Minggu kita dikasih libur. Belum lagi jatah libur tahunan, hampir setengah bulan, Mas. Sayang kalau nggak dimanfaatkan," desak Vania.
"Minggu dan waktu libur itu buat kita me time, Vania. Seperti sekarang misalnya. Makanya aku ngajakin kamu jogging," ujar Andrea yang masih pada pendiriannya.
Vania jadi kembali teringat dengan ajakan Andrea beberapa waktu lalu. Sungguh, ia sangat tidak suka aktivitas melelahkan itu.
"Udah ayo buruan! Kan udah aku sembuhin kakinya," tambah Andrea ketika menyadari perubahan raut wajah sang istri.
"Aduh, duh, duh...." akting!!!
Vania berpura-pura meringis kesakitan lalu mendudukan dirinya di tepi tempat tidur.
Andrea memutar bola matanya malas. Ia tau jika Vania hanya akting.
Pria itu menghela napas panjang kemudian menyusul Vania, duduk di samping wanita itu.
Andrea mulai mengenakan sepatunya dan berusaha terlihat tak acuh lagi dengan Vania.
"Bi Surti masak belum ya?" gumam Vania.
"Ini kan Minggu. Bi Surti mulai kerja jam 7.30. Dan sekarang baru 5.30." sahut Andrea.
Terdengar helaan napas dari arah punggung Andrea.
Andrea pun tersenyum miring. Ia mendapat sebuah ide untuk membuat Vania menuruti keinginannya.
"Serius ini nggak mau ikut jogging?" tanya Andrea lagi.
"Emang boleh? Kalau boleh, jawaban aku, enggak. Males. Mager. Laper," jawab Vania ogah-ogahan.
"Ck, sayang banget. Padahal joggingnya ke arah taman kota, mau aku ajakin sarapan mie ayam di sana," goda Andrea.
Vania mulai menelan salivanya kasar. Bayangan semangkuk mie ayam panas tergambar jelas di otaknya.
"Mie ayam Mang Didit, langganan aku dari aku SMP, biasa mangkal di taman kota kalau Minggu pagi gini. Niatnya sih tadi mau aku jajanin itu. Tapi-"
"Tungguin dong! Aku pakai sepatu dulu," potong Vania cepat dan bergegas bangkit.
Ketika Vania hendak melangkah, lengannya ditahan oleh Andrea. Membuatnya terpaksa harus kembali menoleh.
"Cuci muka sama gosok gigi dulu!" suruh Andrea.
Vania menggeleng sembari mengerutkan bibirnya, tampak sangat menggemaskan bagi Andrea. Tapi, pria itu tidak boleh luluh begitu saja.
"Kalau nggak gosok gigi sama cuci muka nggak usah ikut! Malu-maluin," ujar Andrea.
"Yah.. tapi kan pengen," rengek Vania.
"Ya makanya, sana cuci muka sama gosok gigi! Aku tunggu di bawah," putus Andrea mutlak yang tak dapat Vania lawan. Sebab, bagaimana pun Vania adalah pengabdi dompet tebal suaminya itu. Apalagi jika mulai disangkutpautkan dengan makanan. Mana bisa Vania melawan?
Akhirnya, Vania menuruti ucapan suaminya. Ia segera beralih ke kamar mandi dan mulai mencuci muka serta gosok gigi dengan penuh semangat.
"Demi tiga mangkuk mie ayam! Semangat Vania!!" ujar wanita itu dengan mulut penuh busa pasta gigi.
❤❤❤
Bersambung .....
Satu dua patah kata untuk Vania di bab ini .... tulis di kolom komentar, ya