Alisa mulai membereskan Cafe, menyapu, mengepel dan membersihkan meja dengan melap setiap meja menggunakan kain basah. Waktu sudah menunjukan pukul jam 8 malam, waktunya dia pulang. Jam kerjanya sudah habis.
Alisa mulai memakai kembali almamaternya, setelah sempat melepasnya dan mamakai sebuah seragam Cafe. Lalu ia memakai jaketnya sebelum berhambur pergi dari sana.
Alisa melewati sebuah gang, melewati tumpukan tangga yang lumayan tinggi, dan akhirnya sampai pada sebuah flat 4 lantai dan kamarnya berada di lantai keempat, sebuah rumah loteng sederhana, ada dua rumah atap divsana dan Hyumi memiliki rumah di sebelah kiri. Nampak usang namun pas untuknya. Kos-kosan yang pas dengan budget keuangan nya.
"Hyumi-Ya, kau baru pulang?"tanya seorang wanita yang baru saja keluar dari rumah tersebut. Rumah yang berada di sebelahnya.
Seorang wanita berumur 30 an dengan dandanan sedikit menor dan baju sedikit terbuka, dia adalah wanita malam, bekerja di sebuah tempat Karaoke. Alisa tak tahu dimana, wanita itu tak pernah memberitahunya secara jelas dan Alisa memilih untuk tidak mencampuri urusannya. Pertanyaannya bisa jadi melukai perasaanya itulah kenapa Alisa tak bertanya lebih jauh.
Sebenarnya, flat ini rata-rata diisi oleh wanita semacam itu, tapi percayalah mereka semua orang-orang baik dan mereka menjaga nya seperti adik mereka sendiri.
"Tante Rina mau pergi bekerja?."
Dia mengangguk lalu berjalan menghampiri Alisa. Pintu untuk turun kebawah hanya ada satu, yaitu yang baru saja dia lalui. Aroma parfum menyeruak masuk kedalam penciumannya, sebuah parfum mahal, tercium dari aroma nya yang begitu kuat.
"Aku titip rumahku, aku pergi dulu, belajarlah yang rajin agar kau tidak sepertiku."ucapnya riang, tangannya melambai pada Alisa senyuman lebar tersungging di wajahnya.
Alisa tersenyum membalas senyumannya yang nampak ramah. Kepalanya mengangguk kecil mengiyakan. Alisa selalu berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi wanita hebat suatu saat nanti.
"Hati-hati dijalan."balasnya.
Wanita itu berlalu dari hadapan Alisa yang masih menatap kepergiannya, nasihat yang sama, semuanya akan mengatakan hal itu padanya.
'Belajarlah yang rajin agar kau tidak sepertiku.'
Orang seperti kami akan mengatakan hal itu, jangan seperti kami dan hiduplah dengan baik melebihi kehidupan kami.
Berbeda dengan mereka si kaya.
'Jadilah seperti ku, memiliki uang banyak dan berkedudukan tinggi, tanpa memberitahu bagaimana caranya'
Itu sebabnya banyak dari mereka merebut kedudukan dengan cara apapun.
***
Alisa membaringkan tubuhnya, di atas sebuah kasur empuk miliknya. Setelah membersihkan diri yang kini ia lakukan adalah berbaring telentang dan mulai memejamkan mata.
Tubuhnya terasa lelah, kelopak matanya terasa berat karena mulai merasa kantuk. Pikirannya melayang pada kejadian tadi sore di Cafe.
"Kau... Siapa namamu, apa aku boleh tahu?."
"Alisa."jawabnya singkat.
"kita satu sekolah, kau ingat aku."Alisa menoleh ke arah Rizal, lalu beralih dari wajahnya dan kembali meracik kopi seraya menganggukan kepalanya dengan gerakan kecil.
"Apa kita bisa berteman?."
"Tsk! Baru pertama kali ada yang mengajakku untuk berteman?."gumamnya dengan senyum dibibirnya. Ingatan itu, ingatan tentang Rizal yang menawarinya tentang pertemanan. Hal itu sangat berarti untuknya.
Alisa sangat senang bukan main, namun di satu sisi di dalam hatinya dia juga takut kalau Rizal hanya bercanda. karena jika benar itu sama sekali tidak lucu. Alisa akan sangat marah besar menurutnya persahabatan, pertemanan adalah sesuatu hal yang sangat penting.
"Tapi aku rasa ini kesalahan, dia pasti bercanda, dia tidak mungkin mau berteman denganku. "gerutu Alisa. pikiran dan hatika berkonfrontasi, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Alisa menarik kalung yang berada di dalam pakaian nya melingkar manis di lehernya, sebuah kalung dengan liontin bintang yang berada di dalam bulan, sebuah liontin pemberian sang ibu di hari ulang tahunnya.
Kado terindah, dan kado pemberian terakhir sebelum mereka berdua di panggil tuhan. Alisa memperhatikan liontin tersebut. Sebuah senyuman terlukis di bibirnya. Bibirnya mengecup singkat sang liontin, lalu kembali menatapnya.
10.00 AM.
Hari ini lapangan di penuhi dengan para pemain basket, pemain dibagi menjadi dua kelompok ,masing -masing mencoba memberikan kemampuan terbaiknya.
Sebentar lagi ada pertandingan, kerja keras adalah salah satu usaha yang mereka lakukan, penyaringan pemain akan terbentuk, dan semuanya mencoba untuk menampilkan yg terbaik.
"ANGGA AWAS."
Sebuah dentuman keras terdengar menyakitkan, Angga terkena hantaman bola yang mengenai wajahnya, darah segar keluar dari hidungnya.
"Kau baik-baik saja..?"teman-teman satu komplotan dengan nya langsung bergegas menghampiri mereka, Angga terdiam, matanya menatap sosok dibalik pelemparan itu dengan tajam, .
"Ya."Balasnya, matanya terus menatap pria itu tajam, Samuel, si pria menyebalkan yang baru saja melempar ke arahnya hingga membuat hidungnya berdarah, musuh bebuyutannya, si pria yang terobsesi untuk menjadi ketua basket, tapi kelihaiannya masih tertinggal jauh di belakang Angga.
Dia malah terlihat begitu cuek, bahkan bibir pria itu terlihat menyeringai, merasa puas dengan apa yg dia lakukan barusan.
Tidak ada rasa bersalah dalam wajahnya, tingkahnya bahkan seperti tidak ada sesuatu yang terjadi di sini.
"Aku akan ke UKS, minggir."
Angga melangkah pergi dari sana.
Bergerak cepat menuju UKS.
Alisa yang tengah menulis catatan pada sebuah buku di dalam lantas terkejut atas kedatangan pria itu. Gebrakan pintu terdengar memekik akibat di dobrak paksa dan membuat gagangnya mengenai dinding.
"Pesuruh obati lukaku, cepat."
Alisa memejamkan mata merasa muak dengan suara tersebut. Ia sangat mengenali suaranya. Tentu saja siapa lagi yang memiliki suara memerintah seperti itu lalau bukan Angga.
Pria itu sudah duduk di pinggir ranjang dan ketika Alisa menoleh padanya ia menunjukan hidungnya yang sedikit mengeluarkan darah.
Tbc