Kembali Sendiri

1543 Words
        Ingatan saat gadis itu tersenyum lalu menanggapi obrolannya di mobil, membuat Dimas tidak bisa tidur hingga larut malam. Momen di mana detak jantungnya bekerja ekstra dari biasanya hanya dengan menatap mata yang tidak bisa balas menatapnya. Walaupun itu sudah dua hari berlalu, namun efeknya masih terasa.             “Kalau Mas jahat, nggak mungkin nolong aku. Kenapa aku percaya? Karena meskipun aku buta, hati aku tetap bisa merasakan semuanya. Dibalik kekurangan pasti ada kelebihan yang dimiliki seseorang. Semua manusia yang cacat atau tidak sudah mendapatkan porsinya masing-masing untuk menjaga dirinya. ”             Tenggorokan Dimas tiba-tiba terasa kering. Mungkin efek memikirkan Rena. Jam di nakas menunjukkan pukul setengah satu malam. Dimas menggelengkan kepalanya tidak percaya, padahal biasanya jam segini dia sudah tidur.             Suara benda pecah dan pintu yang terbanting keras membuat Dimas buru-buru ke bawah dan mencari sumber suara. Dia yakin suara itu berasal dari bawah karena di lantai atas hanya ada kamarnya. Dimas melihat pintu kamar orangtuanya terbuka, ia menuju ke sana. Namun baru saja Dimas ingin masuk, papanya sudah berdiri di pintu.             “Kenapa jam segini kamu belum tidur? Besok kamu sekolah Dimas. Cepat tidur.”             “Tadi Dimas mendengar suara barang pecah dan pintu dibanting di bawah. Apa Papa bertengkar dengan Mama?” selidik Dimas. Ia tidak percaya begitu saja dengan papanya.             “Kami tidak bertengkar. Mamamu pergi ke dapur dan karena ketakutan dia berlari lalu menutup pintu dengan keras. Cepatlah kembali ke kamarmu.” Hendra langsung menutup pintu kamar tanpa menunggu Dimas berbicara.             Dimas kembali ke dapur untuk mengambil minum. Ia ingat sesuatu dan merogoh ponsel yang ada di saku celananya. Tangan Dimas sibuk mengetikkan sesuatu di sana. Ia mencari nama Rena di media sosial yang ia miliki tetapi tidak satupun hasil pencarian keluar. Dimas menghela napasnya, mungkin dia harus menunggu besok untuk bertemu Rena lagi. Entahlah, Dimas merasa dirinya sebentar lagi bisa gila jika terus memikirkan Rena. Gadis itu memiliki sesuatu tersendiri yang belum pernah Dimas temukan di gadis manapun. *****             “Ren, figuranya ditaruh mana?” Lisa mengangkat figura yang berisikan foto Rena dengan mamanya. Sesaat Lisa menemukan kemipiran antara kedua wanita yang ada di foto itu.             “Biar gue aja Lis. Jun, lo ngapain?”             Seperti pencuri yang ketahuan, Juna menggaruk tengkuknya lalu mendekat ke arah Rena. ia baru saja menempelkan sebuah foto di depan meja rias Rena. Di foto itu ada Rena dan seorang cowok. Gigi Rena yang ompong membuatnya sangat menggemaskan. Mereka terlihat akrab dan saling menyayangi.             “Gue tadi nemu foto jatuh waktu lo ngeluarin kotak kecil itu.” Juna menunjuk kotak yang dibawa Rena. “Terus sekarang fotonya gue tempel di meja rias lo. Kalau boleh tau Ren, cowok itu siapa?”             “Teman masa kecil,” jawab Rena singkat.             Dengan bantuan tongkat jalannya, Rena berusaha mendekat ke arah Juna. Namun ia terjatuh karena menabrak kotak kardus yang belum dibersihkan. Lisa segera menolong Rena dan membantu gadis itu.             “Ren hati-hati. Lo belum mengenal kamar ini. Pokoknya kalau lo butuh sesuatu saat gue dan Juna nggak di sini, minta bantuan Mbak Lastri ya. Jangan keras kepala lagi.” Lisa tidak hentinya mengomel karena ia khawatir dengan Rena.             Berbeda dengan rumah yang lama, rumah baru ini jauh lebih simpel penataannya. Sengaja ditata seperti itu agar memudahkan gerak Rena. Kamar Rena hanya diisi tempat tidur, meja rias, dan lemari belajar. Untuk lemari pakaian, tidak diperlukan karena sudah ada walk in closet. Rumah baru yang ditempati Rena berdekatan dengan taman umum. Jendelanya langsung menghadap ke arah taman yang terletak di samping rumah.             “Iya Lis, iya. Jaga Juna juga ya kalau di sekolah bandel, jewer aja telinganya.”             Juna mendengus karena tidak setuju. “Kalau Lisa jewer, gue jewer balik.”             “Apaan sih lo.” Lisa mengejar Juna karena tidak terima dilempar kardus kosong.             Rena tersenyum mendengar perdebatan itu. Walaupun ia tidak bisa melihat, namun rasanya sudah membahagiakan mendengar tawa sahabatnya. Ia memilih duduk di kursi rias. Lisa dan Juna entah sudah ke mana karena tidak ada lagi suara mereka. Tangan Rena terulur untuk menyentuh foto yang Juna maksud. Rena tau foto itu, ia ingat. Saat itu Rena berumur lima tahun. Ia baru saja merayakan ulang tahun dan diajak ke taman kota. Anak laki-laki yang di sampingnya itu yang mengajak. Dia adalah sahabat pertama yang Rena punya. Namun sayangnya sahabat Rena harus pindah rumah dan mereka belum bertemu lagi sampai sekarang.             “Rena!” teriak Juna. Ia mengagetkan Rena membuat gadis itu hampir saja terjatuh dari kursi.             “Gue ngangetin ya?” tanya Juna seakan tanpa dosa.             “Ren, lo nggak mau keluar jalan-jalan?” Lisa mendekati Rena dan berjongkok di depannya. “Mau ya,” pintanya.             Mungkin tidak ada salahnya mencoba jalan-jalan di lingkungan baru. Yah, setidaknya Rena tidak harus mengurung diri karena keterbatasannya.             Lisa dan Juna mengapit Rena di tengah dan mereka berjalan-jalan di sekitar taman. Udara sejuk menyambut mereka. Memang tidak perlu diragukan lagi jika Bandung merupakan kota yang sejuk walau tidak di semua bagian.             Kebetulan di taman sedang banyak pengunjung. Beberapa di antaranya remaja perempuan. Mereka tampak antusias saat melihat Juna. Ada yang sengaja merapat ke gerombolan Rena, Lisa, dan Juna. Sebenarnya Juna itu tampan, tetapi sikapnya yang kelewat menyebalkan, terkadang membuat orang menilainya berbeda. Hidung mancung, kulit putih, dan rambut yang sedikit ikal membuat Juna tampak seperti orang Timur Tengah.              “Terus aja Jun sampai mata lo copot.” Lisa mencibik kesal dan berjalan mendahului Juna yang kebingungan dengan sikapnya.             Melihat ada bangku taman yang kosong, Lisa segera membawa Rena ke sana. Dari suara Lisa tadi, Rena sudah menduga kalau sahabatnya itu cemburu. Yah, cemburu karena ada cewek yang mendekati Juna.             “Kenapa sih Lis belum jujur ke gue?”             Lisa menoleh ke arah Rena, sebelah alisnya terangkat. “Jujur tentang apa? Perasaan selama ini gue selalu jujur sama lo Ren.”             Rena terpaksa memukul pelan kaki Lisa dengan tongkat jalannya. Cewek itu protes tapi tidak membalas. “Dengerin gue ya. Lo sama Juna itu udah kayak orang pacaran tau nggak. Tinggal jujur aja sama perasaan masing-masing. Atau gini, lo jujur dulu ke gue. Nanti gue bantuin deh buat ngomong ke Juna.”             “Gila kali ngomong gitu ke dia.” Lisa berdiri dan mengusap wajahnya kasar. Ia melihat Juna yang sedang dikerumuni remaja seusianya dan beberapa ibu-ibu. “Nggak ah Ren.”             Rena tersenyum jahil. “Jadi beneran nih suka Juna?”             “Iya eh enggak,” jawab Lisa kebingungan. Rena sudah melepaskan tawanya dan menepuk-nepuk bangku di sebelahnya.             “Ren, kalau gue jujur ke Juna, gue takut semua berubah. Dia lebih perhatian ke gue dan lo terabaikan. Atau mungkin aja kalau kita sampai pacaran, ujung-ujungnya putus juga. Dan gue nggak mau setelah putus kita jadi canggung. Lo ingat kan pertama kali kita kenal. Kita masih pakai seragam putih biru, nggak tahu apapun tentang sekolah kita. Tiba-tiba Juna datang menawarkan diri untuk jadi pemandu arah, dan kita jalan-jalan sampai lupa kalau masih anak baru.” Lisa tersenyum kecut, tetapi ia langsung memeluk Rena. “Biarin semuanya mengalir.”             Pelan-pelan, Rena mengusap punggung Lisa. Gadis itu ada benarnya juga, Rena bahkan tidak berpikir ke sana. Juna yang sudah selesai dengan urusannya, merapat dan duduk di pegangan kursi. Rena melepaskan pelukannya pada Lisa dan menatap Juna tajam seakan ia tahu di mana keberadaan cowok itu.             “Lo kuat banget sih Ren.” Lisa mengelus rambut Rena. Ia menatap Juna tajam. “Pergi sana sana.”             “Lah gue diusir ceritanya?”             “Udah sore, sebaiknya kalian pulang.”             Helaan napas keluar dari mulut Lisa. Ia memandang Juna seakan mau memutilasi cowok itu. Dengan berat hati, Lisa pulang ke Jakarta bersama Juna setelah mengantarkan Rena ke rumah.             Di sinilah Rena sekarang, bersandar di jendela kamarnya. Matanya menatap langit seolah tau keindahan di atas sana. Rena kembali seorang diri. Ketika malam, hanya kesunyian yang menjadi temannya. *****             Awalnya Dimas sangat bersemangat ke rumah Rena. Tetapi setelah mendengar penjelasan dari satpam rumah ini, Dimas mendadak merasa kehilangan sesuatu. Rena telah pindah rumah sehari setelah ia berkunjung. Sayangnya Dimas tidak tahu nomor ponsel Rena, hal itu menyulitkannya untuk mendapatkan alamat Rena yang baru.             “Pak, minta alamat rumah Rena boleh?”             Satpam itu memelintir kumisnya membuat kesan garang. “Kamu siapanya Non Rena?”             Dimas menggaruk kepalanya dan berpikir sebentar. Tidak mungkin ia bilang baru kenal Rena, mungkin saja ia tidak akan mendapatkan alamat itu.             “Saya teman sekelasnya Rena. Yang kemarin ke sini, bapak ingat?”             “Oh, iya saya ingat. Non Rena pindah ke Bandung, Mas. Sebentar saya tuliskan alamatnya.”             Sambil menunggu satpam itu mencatat alamat Rena, Dimas mengambil kotak kue yang ia letakkan di kursi penumpang. Rencananya hari ini Dimas akan mengajak Rena ke taman dan menikmati kue buatan mamanya bersama Rena. Berhubung rencana gagal, Dimas tidak mungkin membawa kue itu kembali ke rumah.             “Ini Mas.” Dimas menerimanya, ia lalu menyodorkan kotak kue kepada satpam.             “Ini ada sedikit makanan dari mama saya. Terima kasih ya Pak.”             “Wah, saya nggak mau disogok.”             “Bukan sogokan Pak, ini ikhlas dari saya.”             Akhirnya satpam itu menerima pemberian Dimas. Sekarang masih ada harapan bagi Dimas untuk bertemu Rena. Secepatnya, Dimas akan menemukan Rena dan mengenalnya lebih dekat.             Baru saja Dimas masuk ke dalam mobil, ponselnya berbunyi tanda ada panggilan masuk. Dia segera mengangkatnya.             [Ada yang mau ketemu sama lo Dim. Dia mau lo jadi fotografernya.]             “Udah berapa kali gue bilang kalau gue nggak mau jadi fotografer kalau objeknya manusia. Suruh dia cari yang lain.”             [Tapi gajinya lumayan.]             Dimas mendengus kesal dan memutuskan telepon sepihak. Sudah kesekian kalinya dia menolak tawaran untuk menjadi fotografer manusia. Dimas hanya menerima tawaran memfoto benda, makanan ataupun pemandangan alam. Dia tidak ingin membidik foto manusia, lebih tepatnya tidak bisa.     
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD