Burung mulai berkicau dan berpindah dari satu ranting-ke ranting berikutnya, membuat Rena terbangun karena suara mereka yang merdu tertangkap pendengaran gadis itu. Namun Rena masih enggan beranjak dari tempat tidurnya dan memilih menatap lurus ke depan walau ia tahu tidak bisa melihat benda apa di depannya. Rena menguap dan merentangkan tangan serta tubuhnya yang pegal karena posisi tidurnya semalam. Ia tidak menggunakan bantal dan hanya memeluk guling.
Kening Rena sedikit mengkerut mendengar ketukan di kaca jendela kamarnya. Karena penasaran, ia memutuskan melangkah mendekat dengan bantuan tongkat jalannya. Terdengar lagi ketukan namun lebih pelan. Hingga Rena menyibak jendela kamarnya dan membuka daun pintu jendela.
“Aduh!” ringis seseorang.
Rena kaget dan hampir saja menutup jendela lagi kalau tidak ada tangan yang menahannya. Dia menoleh ke kanan dan kiri mencoba mencari siapa yang memegang tangannya.
“Gue di depan lo,” koreksi suara cowok yang tidak asing bagi Rena. Alis Rena yang hampir menyatu membuat cowok itu menghela napasnya. “Gue yang kemarin nolong lo. Ingat?”
Seakan mendapatkan bohlam lampu di kepalanya, Rena mengangguk dan sedetik kemudian memasang wajah curiga. “Mas ngapain di sini? Kenapa bisa masuk rumah aku? Apa Mas mau maling?“
Dimas menepuk keningnya, merasa bodoh. Jelas saja Rena waspada seperti itu. Mereka baru bertemu kemarin dan rasanya melihat cowok yang baru ditemui tiba-tiba berada di depan jendela kamar bukan hal bagus. “Tadi gue udah izin satpam buat masuk rumah. Lagipula kalau gue maling nggak perlu izin kan untuk masuk?”
Membenarkan ucapan Dimas, Rena mengangguk. Walau ia sebenarnya juga tidak tau apa maksud Dimas berdiri di sini saat ini. Rena menguncir rambutnya yang masih dibiarkan tergerai. Sesaat Dimas memandang Rena tanpa berkedip hingga ia menampar pipinya sendiri.
“Mas kenapa nampar pipinya sendiri?” tanya Rena bingung mendegar suara tangan yang beradu pada pipi.
“Lo bisa lihat apa yang gue lakuin?”
Rena menggeleng. “Aku nggak bisa lihat, tapi bisa mendengarnya.”
Dimas sedikit lega karena setidaknya Rena tidak perlu melihat ekspresi wajahnya tadi saat menatap Rena intens. Tiba-tiba ia merasa gugup dan sulit mengatakan niatnya ke rumah Rena.
“Ada sesuatu yang mau Mas sampaikan?”
Lagi-lagi Dimas terheran-heran kenapa Rena seakan bisa melihatnya padahal jelas gadis itu buta. Untuk meyakinkan dirinya sendiri, Dimas mengibaskan satu tangannya di depan wajah Rena. Mata gadis itu menatap depan lurus tidak mengikuti gerakan tangan Dimas. Hal itu cukup membuktikan kalau Rena memang tidak bisa melihat.
“Ada yang mau gue kembaliin.” Dimas merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan benda pipih dan canggih itu. “Ponsel lo jatuh di jok mobil waktu kemarin lo turun. Gue baru tahu pas sampai di rumah. Gak papa kan gue ngembaliin sekarang?”
Alis yang mengkerut itu kini kembali normal digantikan wajah yang penuh kelegaan. “Syukurlah, aku kira ponselnya diambil orang jahat itu.”
Dimas meraih tangan Rena sebelah kanan yang kosong dan menaruh ponsel itu di tangannya. Tangan gadis itu sangat hangat bahkan akan terasa pas jika Dimas menggenggamnya. Dimas menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir bayangan-bayangan bodoh yang muncul secara mendadak saat menyentuh tangan Rena.
“Terima kasih, Mas. Mas masuk dulu aja ke rumah lewat pintu depan, biar aku yang buka.”
Sesuai arahan Rena, Dimas meninggalkan gadis itu yang sempat memeluk ponselnya. Memang sepenting itukah ponselnya? Dimas tidak tahu.
Dengan tongkat jalannya, Rena menuju ruang tamu untuk membukakan pintu utama. Dia hampir terpentok pintu kamarnya sendiri karena salah langkah. Saat sudah dirasa sampai di depan pintu utama, Rena meraih gagang pintu dan membukanya.
“Selamat pagi Rena,” sapa Dimas. Dia tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang putih.
“Selamat pagi juga... emh...”
“Dimas. Nama gue Dimas,” sela Dimas. Ia lupa memberitahu namanya kepada Rena.
“Silakan masuk, nanti aku kasih hadiah minum deh karena kamu menemukan ponselku,” ucap Rena dengan gaya bercandanya.
“Minum doang?” goda Dimas. “Makannya enggak?”
Rena terkekeh dan berjalan dengan hati-hati ke dapur agar tidak terpentok atau jatuh lagi. “Oke, makan plus minumnya diterima.”
Mbak Lastri terkejut saat majikannya tiba-tiba masuk ke dapur dan beridiri di sebelahnya. Segera ia menjauhkan pisau dan benda yang mudah pecah dari jangkauan Rena dengan hati-hati. Mbak Lastri tidak mau Rena tersinggung karena perilakunya itu. Semata-mata Mbak Lastri melakukannya agar Rena tidak terluka.
“Non Rena kenapa ada di dapur? Kalau mau sesuatu, bilang aja sama Mbak. Nanti Mbak siapin.”
Rena menggeleng tanda kemauannya tidak bisa dibantah. “Aku cuma mau manasin nasi goreng, Mbak. Jangan-jangan Mbak nggak masak nasi goreng ya?”
Mbak Lastri buru-buru menggeleng walaupun Rena tidak bisa melihatnya. “Ada di meja makan Non. Non Rena mau makan sekarang?”
“Bukan aku Mbak.” Rena menunjuk ruang tamu di depannya yang hanya terbatasi meja pantry. “Buat orang yang kemarin nolongin aku. Dia tadi ngembaliin ponsel aku yang jatuh di mobilnya.”
Tangan Rena yang hendak menyalakan kompor terhenti saat Mbak Lastri lebih dulu melakukannya. “Lebih baik Non Rena menemani orang itu. Biar Mbak saja yang memanaskan nasi gorengnya.”
Rena tau maksud Mbak Lastri sebenarnya baik agar ia tidak terluka karena keterbatasannya itu. Dengan berat hati, Rena mengangguk dan meninggalkan dapur. Namun saat sampai di pintu, ia kembali menoleh. “Mbak sama minumnya juga ya. s**u sama es sirop jeruk.”
“Siap Non.” Mbak Lastri segera menyiapkan semuanya.
Dimas berdiri hendak membantu Rena, namun gadis itu seolah tau apa yang dilakukannya.
“Ayo kita makan di meja makan. Nanti kalau di sini kasihan Mbak Lastri yang bersihin semuanya. Gak papa kan?”
“Jadi beneran gue dikasih makan juga?” Dimas terkekeh.
Dari kemarin hingga detik ini, Dimas terlalu banyak mengeluarkan senyum dan tawa dibanding hari biasanya yang irit bicara dan dingin. Entah kenapa jika dengan Rena, ia mudah mengeluarkan tawa itu. Padahal mereka belum genap sehari kenal.
Makanan sudah tersaji di meja makan berserta minuman yang Rena pesan. Harumnya nasi goreng membuat nafsu makan Rena kembali naik dan membuat perut Dimas berbunyi dengan keras. Rena dan Mbak Lastri terkikik geli karena suara perut Dimas. Rupanya cowok itu benar-benar lapar.
“Kamu beneran nggak makan semalaman?” tanya Rena dengan bercanda.
Dimas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. Baru ditawari makan perutnya langsung merespon dengan ganas. “Nggak tahan, baunya enak banget. Yang masak lo?”
“Mbak Lastri yang masak. Aku nggak bisa masak. Nanti yang ada dapur berantakan semua.”
“Maaf,” ucap Dimas tulus. Ia melihat Mbak Lastri yang seolah mengatakan supaya Dimas tidak membuat Rena sedih dengan perkatannya.
Mbak Lastri pamitan karena tidak mau mengganggu mereka. Sepertinya majikannya akan punya teman baru yang mampu menghidupkan raga yang jiwanya terasa mati itu. Pertama kalinya setelah 6 bulan dari kecelakaan itu, baru sekarang Rena menampilkan senyum setulus dan sehangat itu. Dimas membawa perubahan baik bagi kondisi psikis Rena.