Sekolah Luar Biasa

1902 Words
            Beberapa anak yang sama seperti Rena, dalam artian memiliki kekurangan, sangat antusias saat mendapatkan kabar akan ada teman baru. Setelah pindah ke Bandung, Rena akan bersekolah di salah satu sekolah khusus anak berkebutuhan khusus. Tidak banyak memang siswanya, satu kelas hanya diisi 10 orang. Salah satunya Rena.             Dengan diantar Mbak Lastri, Rena bersiap memasuki kelas. Di dalam sana, teman barunya sudah menunggu. Rena mendengar suara-suara ceria dari dalam sana. Entah kenapa ia tidak sabar bertemu dengan teman barunya. Walaupun mereka memiliki kekurangan, setidaknya di sini Rena tidak akan dikucilkan seperti di sekolahnya dulu.             “Mbak, aku bisa masuk sendiri,” keukeuh Rena.             Mbak Lastri menggeleng, ia tidak bisa membiarkan majikannya terjatuh di hari pertamanya masuk sekolah. “Mbak antar aja ya Non, sekali ini.”             Rena menurunkan bahunya, pura-pura menyerah. “Iya deh Mbak, kali ini aja.”             Perlahan dengan digandeng Mbak Lastri, Rena memasuki kelas. Keadaan langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Sekarang hanya terdengar suara sepatu Rena dan tongkatnya yang beradu dengan lantai. Mbak Lastri tersenyum menanggapi kebingungan Rena.             Bu guru memberi instruksi kepada seluruh muridnya untuk memulai sambutan kepada Rena. Beberapa saat kemudian, barulah Rena mendengar lagi suara ceria yang ia dengar saat di depan kelas.             “Selamat datang Rena.” Sambut mereka kompak dan keras sekali.             Rena tidak bisa tidak tersenyum, ia tidak pernah diperlakukan seperti ini di sekolahnya yang dulu. Di sini berbeda, Rena seperti benar-benar hidup.             Dengan sopan Rena mencoba mengangkat tangannya, dan melambai pada teman-temannya. “Halo semuanya, aku Darena Prisilia. Kalian bisa panggil aku, Rena. Senang bisa berteman dengan kalian.”             Seorang cewek yang tidak bisa melihat seperti Rena, sibuk menggerak-gerakkan tongkat jalannya untuk memukuli cowok di sebelahnya.             “Ish, dia melambai, cepat lakukan hal sama,” ujar cowok itu kesal. Cewek itu kemudian melambai seperti yang Rena lakukan.             “Ruli, Citra,” peringat bu guru. Kedua siswa itu menghentikan kegiatan mereka yang meributkan tentang Rena.             Antusias Citra lebih besar dari teman-teman yang lain. Walau semua juga senang, tetapi Citra jauh lebih senang. Karena akhirnya ia punya teman yang sepadan dengan dirinya. Sedangkan Ruli, cowok yang duduk di kursi roda itu, sedikit terganggu dengan sikap agresif Citra.             “Maaf Bu Meli,” sesal keduanya.             Bu Meli mendekat ke arah Rena, mengambil alih lengan Mbak Lastri dan menuntun gadis itu ke tempat duduk.             “Rena, sini sama aku.” Citra berdiri dan mencoba mengusir Ruli dengan tongkatnya.             Ruli mendesah pasrah sebelum akhirnya mendorong kursi rodanya untuk berpindah tempat. Citra memang begitu, ia ramah dengan semua orang dan tentunya cepat bergaul.             Memastikan sudah di tempat yang tepat, Rena akhirnya duduk. Citra segera memberondongi Rena dengan berbagai pertanyaan yang tentunya sangat mengganggu di telinga Ruli.             “Nanti dia nggak betah duduk sama kamu Citra,” ketus Ruli. Ia tidak mempedulikan mata Citra yang melotot, karena sama saja, Citra tidak benar-benar bisa menatapnya.             “Nggak papa kok.” Rena tersenyum menengahi. “Jadi nama kamu Citra?”             Citra mengangguk antusias. “Iya, kenalin aku Citra. Dan cowok yang ngeselin tadi namanya Ruli.”             Rena menoleh ke kanan dan ke kiri berusaha menebak tempat Ruli. Namun sepertinya ia tidak berhasil menemukannya.             “Aku ada di samping Citra. Namaku Ruli.” Ruli mengulurkan tangannya berniat menjabat tangan Rena, tetapi ia menariknya lagi.             “Maaf ya, gara-gara aku, kamu jadi diusir Citra,” sesal Rena. Sejujurnya ia merasa tidak enak dengan Ruli.             “Santai aja Ren,” sahut Citra.             Perbincangan mereka harus berhenti saat Bu Meli mulai menyuruh mereka belajar. Beliau meminta bantuan Citra agar mau membantu Rena saat gadis itu kesusahan membaca huruf braille. Perlahan-lahan, Rena mulai bisa mengenali huruf-huruf dan angka yang semulanya bisa ia lihat. Sekarang Rena punya semangat lagi untuk menuntut ilmu. Setidaknya dia tidak akan ketinggalan pelajaran karena keterbatasannya.             “Cit, kenapa kamu sekolah di sini?” tanya Rena hati-hati. Ia tahu pasti Citra seperti dirinya yang memiliki kekurangan, tetapi Rena belum tahu apa itu.             “Aku tidak bisa melihat, sama seperti kamu Ren.”             Rena sedikit kaget tetapi ia langsung menutupinya. “Maaf, tapi karena apa sampai kamu tidak bisa melihat?”             Terdengar helaan napas keluar dari mulut Citra. “Dari lahir aku tidak bisa melihat. Kata Mamaku, waktu aku baru lahir ditaruh di inkubator karena lahir prematur. Tapi karena kelalaian pihak rumah sakit, mereka lupa menutup mataku. Akibatnya aku buta seperti ini.”             Rena sungguh terkejut dengan pengakuan Citra. Sama sekali tidak ada nada putus asa dari Citra. Rena bersyukur, setidaknya penglihatannya baru diambil beberapa bulan. Tidak seperti Citra yang dari lahir. Ternyata masih ada yang lebih parah daripada Rena.             “Kalau Ruli kenapa?” tanya Rena lagi.                      “Dia kecelakaan dua tahun yang lalu saat berjalan di trotoar. Dia ditabrak sampai kakinya lumpuh dan jari tengah tangan kanannya diamputasi. Sampai sekarang dia masih belajar menulis dengan tangan kiri.”             Untuk kedua kalinya, Rena dikejutkan oleh kondisi teman-teman barunya. Mungkin selain Citra dan Ruli, ada banyak kisah mengharukan yang siswa kelas ini simpan.             “Tapi dia tampan lho Ren,” bisik Citra di telinganya.             “Kok kamu bisa tahu?”             “Kata teman-teman dan Bu Meli.” Citra terkikik.             Ruli tampan, itu memang benar. Hidungnya mancung dan kalau ia berdiri tegak, tingginya mencapai 175 cm. Tatapan matanya tajam tetapi memberikan kenyamanan. Sebelumnya ia juga bersekolah di sekolah elit. Tetapi karena kecelakaan itu, Ruli dipindah ke sekolah ini dengan alasan keluarganya tidak bisa membiarkan khalayak umum tahu kondisi Ruli.             Entah keberanian dari mana, tiba-tiba Rena mengucapkan sesuatu yang membuat kaget cowok mancung itu. “Ruli, nanti mau temani aku jalan-jalan di sekitar sini?”             Ruli yang tengah membaca buku mendongak. Ia bingung mau menjawab apa karena itu terlalu tiba-tiba. Tongkat Citra yang memukul pelan kakinya akhirnya membuat Ruli menyetujui permintaan Rena.             “Iya, aku mau,” jawabnya singkat. Membuat senyum Rena mengembang. *****             Sesuai janjinya tadi, sekarang Ruli mengajak Rena jalan-jalan di sekitar area sekolah saat kelas berakhir. Sebenarnya bukan tepat disebut jalan-jalan, karena Ruli mengarahkan Rena ke halte bus agar gadis itu segera pulang. Jujur saja, Ruli takut Rena nyasar karena gadis itu baru di sini. Rena berjalan di samping Ruli sedangkan cowok itu yang mengomando menggunakan kursi rodanya. Wajah Rena tampak lebih segar, ini pertama kalinya ia bisa berjalan-jalan di luar tanpa diikuti siapapun.             Ruli mencuri pandang ke arah Rena. Meskipun mata Rena menatap kosong jalanan di depannya, matanya tetap indah. Sampai akhirnya ia tersadar saat Rena mengajaknya bicara.             “Kamu tinggal di sekitar sini?” tanya Rena tiba-tiba, membuat Ruli berdehem.             “Nggak. Rumahku jauh dari sini.”             Rena mengangguk tanda mengerti. Setelahnya tidak ada yang memulai bicara lagi. Gadis itu mencoba untuk konsentrasi mengingat jalan supaya besok dia bisa berangkat sekolah sendiri.             “Berhenti Rena, kita sudah sampai.” Ruli menarik lembut tangan Rena karena gadis itu terus  berjalan. Namun buru-buru Ruli melepaskannya. “Maaf.”             “Jadi kita udah di halte?” tanya Rena antusias.             Ruli mengangguk tetapi kemudian ia merasa bodoh sendiri karena Rena tidak bisa melihatnya. “Iya. Di belakang kamu ada tempat duduk, jadi kamu bisa duduk sambil menunggu bus.”             “Besok aku akan berangkat sendiri ke-“             “Tidak,” sela Ruli cepat. “kamu belum hafal betul jalanan di sini. Lagipula baru satu hari, nggak mungkin kamu langsung hafal.”             Kata-kata Ruli ada benarnya. Rena juga tidak mau kejadian beberapa waktu lalu menimpanya kembali. Saat ia hampir dijambret dan Dimas menolongnya. Dimas, tiba-tiba Rena ingin bertemu lagi dengan cowok itu. Tetapi mungkin itu tidak mungkin, Rena pindah rumah tanpa memberitahu Dimas. Mungkin dua hari lalu adalah pertemuannya terakhirnya dengan Dimas.             “Rena.” Melihat pandangan mata kosong Rena dan tak kunjung mendapat jawaban, Ruli menggerak-gerakkan tongkat Rena.             “Ah, iya Dimas ada apa?”             Alis Ruli mengkerut. Siapa Dimas? Baru ingin protes, bus sudah datang dan mereka masuk ke dalam dibantu dengan kernet yang sudah kenal dengan Ruli. *****             “Terima kasih. Kamu mau mampir ke rumahku dulu atau langsung pulang?” tanya Rena.             Saat ini mereka sudah sampai di rumah Rena dan masih berdiri di teras. Sebenarnya Rena bersikukuh agar Ruli tidak usah mengantarnya karena akan merepotkan cowok itu. Tetapi Ruli jauh lebih keras kepala, ia tidak ingin Rena tersesat. Lagi-lagi alasan itu yang digunakannya.             “Aku langsung pulang,” jawab Ruli singkat. Ia berbalik dan mendorong kursi rodanya sendiri.             “Hati-hati Ruli! Terima kasih karena mau mengantarku.”             Tiba-tiba Ruli menarik sudut bibirnya ke atas. Entah kenapa ada rasa senang saat bersama Rena. Gadis itu sepertinya mempunyai daya tarik tersendiri yang membuat siapapun yang berada di dekatnya merasa nyaman. Ruli memutuskan berhenti saat di depan gerbang rumah.              “Besok berangkat bareng lagi mau?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja tanpa bisa Ruli perkirakan. Ia khawatir Rena merasa terganggu karena sikapnya. “Kalau nggak mau nggak papa.” Ruli merutuk dalam hati, ia tidak tahu bisa seberani itu mengajak Rena berangkat bersama.             Bukannya marah, Rena malah tertawa. Dia membuat Ruli bingung. “Aku mau kok. Jangan tegang gitu, santai aja.”             Ruli menggaruk tengkuknya, padahal tidak gatal sama sekali. Semata-mata menutupi kegugupannya. “Oke, aku tunggu di depan rumah kamu ya, jamnya seperti berangkat sekolah biasa.”             “Siap, Bos.” Rena mengangkat tangannya ke samping seperti orang hormat.             Kali ini Ruli benar-benar pulang. Ia lega Rena menerima tawarannya. Teryata selain ramah, Rena cukup menyenangkan untuk dijadikan teman. Ah, Rena dengan mudahnya bisa meruntuhkan pertahanan Ruli yang selama ini selalu bersikap dingin terhadap orang baru.             “Mbak Lastri, aku pulang.”             Lama tidak ada sahutan dari dalam membuat Rena mengkerutkan keningnya. Mungkin kebiasaan tidur Mbak Lastri kambuh lagi. “Mbak?” panggilnya lagi. Kali ini Rena mendengar derap langkah mendekat. Namun bukan langkah yang biasa Rena dengar, melainkan langkah bersepatu yang ingin menunjukkan kekuasaannya.              “Siapa tadi?” Suara bariton itu sangat dikenal Rena. Gadis itu menatap lurus ke depan menunjukkan rasa tidak nyamannya. Untuk apa dia kemari?             Rena diam membisu, dia enggan mengeluarkan sepatah katapun. Apakah papanya begitu sayang kepadanya sehingga membuangnya kemari tanpa keluarga? Rasanya Rena ingin berteriak. Yang dia inginkan bukan harta yang melimpah, fasilitas yang bagus. Tidak, Rena hanya ingin merasakan kehangatan keluarganya. Apakah ia bisa mendapatkannya lagi?             “Rena!” Suara papanya meninggi.             Rena menolehkan wajahnya ke samping. Ia tersenyum miris. “Bukankah Rena tidak penting? Untuk apa Papa tahu?”             Hendra menggeram, ia marah karena Rena semakin berani melawannya. “Karena saya Papa kamu. Papa berhak tahu.”             Gadis itu tertawa sumbang. “Papa? Orang yang membuang anaknya demi wanita selingkuhannya? Itukan artinya Papa?”             Tanpa diduga, Hendra menampar pipi Rena hingga gadis itu jatuh tersungkur di lantai. Rena memegang pipinya yang merah dan perih. Setiap kali dia mengutarakan suaranya, pasti inilah yang didapat Rena. k*******n mulai menjadi makanan sehari-harinya.             “Kamu bukan Rena yang Papa kenal. Rena yang dulu sudah mati tepat saat kecelakaan itu terjadi.”             “Ya! Rena yang dulu sudah mati!”Napas Rena tersenggal-senggal menahan tangis dan sesak yang menyumbat hatinya. “Begitupun Papa yang Rena kenal udah pergi,” lirihnya.             Rena sudah bersiap jika ia akan mendapat tamparan lagi, namun hal itu tidak terjadi. Hendra memilih pergi dan meninggalkan Rena sendiri. Air mata yang tadi ditahan Rena, kini meluncur bebas. Baru saja ia mendapatkan kebahagiaan, sekarang semuanya lenyap. Semua yang Rena lakukan seolah selalu salah dengan takdirnya.             Mbak lastri yang sedari tadi bersembunyi di dapur, langsung berlari dan memeluk Rena penuh kasih sayang. Ia takut muncul saat ada Hendra karena ia tahu bagaimana sifat tuannya. “Non, maafin Mbak nggak bisa bantu apa-apa.”             “Mbak nggak salah,” lirih Rena. Ia berdiri membuat Mbak Lastri terkejut. “Aku mau ke kamar.”             “Non Rena makan dulu ya,” pinta Mbak Lastri. Namun Rena menggeleng dan melenggang ke kamarnya.             Pintu kamar yang terbuat dari kayu dan diukir tersebut menjadi saksi bagaimana tubuh Rena luruh dibaliknya. Gadis itu membekap mulutnya, takut isakannya terdengar keluar. Meskipun Rena sedang bersedih saat ini, ia tidak mau siapapun ikut merasakan kesedihannya. Rena tidak ingin orang lain memikirkan kondisinya. Untuk kesekian kalinya, Rena terjebak dalam kondisi di mana ia harus menahan sesak di hatinya seorang diri. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD