Bab 4

1883 Words
"Kamu nangis, Han? Katanya mau tidur?" Ibu mengelus kepalaku. Sebenarnya sedikit kesa pada Ibu. Tapi aku begitu menyayanginya. Masa gara-gara dicerai sama Mas Tama aku harus menyalahkan Ibu. Seperti yang Dewi bilang. "Eh, engg … enggak kok, Bu." Aku berusaha mengusap air mata. Namun, suara berdengung dan hidung yang menjadi tersumbat tak mampu menyembunyikan kebohongan. "Jangan bohong sama Ibu. Kamu nangisin, Tama? Untuk apa Hany? Untuk apa menangisi suami yang hanya bisa menuntut! Jangan bodoh! Memang belagu si Tama! Dulu nikah sama kamu cuma modal dengkul dan uang dua juta. Sekarang udah sukses malah lupa daratan! Udah biarin aja nggak usah ditangisin! Nanti juga bakal nyesel sendiri kok!" ucap Ibu terdengar gemas. Aku bangun dari posisi tidur dan menghadap pada Ibu. Begitupun dengan Ibu langsung bangun dari tidurnya dan duduk menghadapku. "Mas Tama udah nikah lagi, Bu. Tadi Hany tak segaja bertemu dengannya di restoran. Apa memang kalau laki-laki itu sudah sukses, semena-mena sama istri, Bu? Sakit diceraikan lalu ditinggal nikah, masih belum seberapa. Dibandingkan sakitnya memiliki anak dari benihnya, tapi tak dianggap oleh Ayahnya. Kasihan mereka, Ayahnya sendiri justru tak peduli." Kuelus kepala kedua anakku. Sambil membayangkan Mas Tama yang begitu tega. "Sakit hati aku, Bu. Sakit!" Tangis pun tak bisa kubendung lagi. Hanya Mas Tama yang aku pikirkan disaat senggang seperti ini. Dan disaat aku tidak melakukan aktifitas, wajah Mas Tama terus membayangiku. Melupakan seseorang yang pernah menjadi separuh nyawa memang tak semudah membalikan telapak tangan. Orang lain mungkin akan berkata aku bodoh menangisi Mas Tama. Tapi kenyataannya? Kalau ada yang berada diposisiku tentu takan pernah berkata bodoh. Aku hanyalah manusia biasa yang punya perasaan. Bahkan tak pernah menyangka kalau takdir pernikahan harus kandas seperti ini. Yang kukira baik dan bertanggung jawab, pada kenyataannya harus berlabuh ke lain hati. Tak pernah menyangka kalau ternyata kasih sayang yang dia beri selama ini, meninggalkan kesan menyakitkan yang teramat dalam. Ah, yang lebih menyakitkan, jika teringat setiap ucapan manis yang seakan membuatku ingin terbang ke atas awan. Saat merinci kebahagiaan, kelak jika dirinya sukses. Tapi, kenyataannya setelah sukses dan mendapat godaan seorang wanita, diapun sama seperti p****************g pada umumnya. Hanya saja caranya lebih manis dan rapi sehingga aku tak mengetahuinya. Entah benar atau tidak dugaanku, tapi aku menduga seperti itu. Buktinya dalam kurun waktu singkat dia bisa mencari penggantiku. Kalau bertemu dadakan tidak mungkin langsung menikah. Dan bertemu seseorang butuh waktu kapan dan di mananya. Jika seperti ini, wajar aku berpikir mereka sudah berhubungan saat aku masih menjadi istri Mas Tama. Hanya saja hubungan apa, aku tak tahu. "Doain, Mas. Supaya cepat sukses. Mas akan buat kamu menjadi istri paling bahagia. Pokoknya tugas kamu hanya nemenin aku," ucapnya kala itu. Sebuah dongeng kecil yang ku-aminkan di awal pernikahan sebelum kami pergi tidur. "Aku suka melihat kamu pake daster. Terlihat s*xi," bisiknya kala itu. Iya, dia selalu berucap paling suka melihat perempuan berdaster. Lantas, kenapa tanpa angin dia justru menuntut sesuatu yang tak mungkin mampu kulakukan? Kalau hanya untuk berhias mungkin aku mampu. Tapi kalau untuk menjadi pegawai di kantor meski dia yang akan merekomendasikan, itu tidak mungkin. Aku juga perempuan yang hanya mampu memainkan ponsel android. Itupun sebatas membuka apliaksi hijau dan biru. Untuk aplikasi ungu, aku bahkan tak mengerti bagaimana cara memainkannya. Sungguh cerdas caranya memintaku untuk melakukan sesuatu yang tak mungkin hanya untuk melancarkan niat dan keinginannya. Surat cerai belum kuterima tapi dia sudah menikah lagi. Aku menyerahkan semua pada Mas Tama. Biar dia yang mengurus semua. Aku hanya terima beres saja. Yang terpenting untukku adalah kedua berlian ada bersamaku. Tak peduli soal kekayaannya. Itu Memang miliknya. Biar saja dia nikmati bersama istri barunya. Lagian aku juga tidak mengerti apa-apa yang harus dilakukan. Dan ya, aku tak mau ribet. Yang terpenting kalau dia mau cerai ya sudah urus sendiri aku terima beres. "Selagi susah, kau kudampingi. Selagi jaya, aku kau sakiti." lirihku. Sungguh sangat lucu bukan? Terkadang kecerdasan memang diperlukan seorang perempuan agar jika mendapat suami seperti Mas Tama, bisa digunakan untuk melawan. Bukan seperti aku yang mengemis dan memohon hingga tersungkur akibat tendangannya. 'Ah, perlakuan terakhirmu sungguh manis, Mas.' "Han, dengar Ibu. Tidak semua lelaki seperti itu. Hanya ada beberapa yang demikian. Masih banyak yang baik. Bahkan bukan hanya lelaki, perempuan pun ada yang seperti itu. Tapi masih banyak perempuan yang baik. Jadi bagaimana sikap orang itu, tergantung iman dia. Tahan godaan atau tidak. Kuncinya, pandai bersyukur atau tidak?" Ibu tersenyum ketika mengucapkannya. "Aku harus gimana ya, Bu. Sekarang?" "Jangan memfokuskan diri pada, Tama. Jangan sengaja kamu isi waktu luang untuk memikirkan, dia. Jangan beri celah sedikitpun untuk hati dan otakmu memikirkan-nya. Mulai sekarang, yang perlu kamu ingat adalah Tama suami orang. Dan kamu tidak boleh memikirkan dia. Yang perlu kamu ingat, Tama sudah nyakitin kamu, dan kamu harus lupain dia. Lupain, Tama!" tegas Ibu. Ibu seperti mudah melupakan seseorang yang dia cinta. Mungkin pengalaman saat muda? Entahlah. "Baiklah, Bu. Aku akan berusaha. Semangat!" ucapku sambil tersenyum. Sedikit lega sudah bercerita pada Ibu. 'Ingat, Hany! Tama bukan orang baik!' Hah, masih aja kan kepikiran dia. Susahnya …. Jangan sampai nangis lagi kamu, Hany …. "Aku mandi dulu, Bu. Mau berangkat kerja lagi." Huhuhu … cape … tapi demi perubahan. 'Ya Tuhan ,,, lancarkan rezekiku. Angkatlah drajatku … aammiin.' ??? Tin ...Tin …. "Bu, aku berangkat dulu. Motor Danang udah manggil." Ibu mengangguk. Aku pun keluar setelah mencium punggung tangannya. Iya, aku dan Danang sama-sama kerja di klub. Jadi pulang dan pergi bareng dia. Sehingga, aku merasa aman dengannya. Dia juga yang memasukan aku kerja di sana. Di klub tempat orang kaya berkumpul. Bagaimana tak kaya, kalau mobil yang terparkir saja mobil yang wuuuaahhh …. Terkadang pulang dari restoran aku juga menumpang dengannya. Hanya saja, sedikit tidak enak dengan istrinya. Meski dia tidak mempermasalahkan. Tapi, omongan orang yang tidak enak didengar. Aku pun ada imbal balik dan tidak menumpang cuma-cuma. Setiap gajian kusisihkan untuk Dina-Istri Danang. Dia pun selalu berkata, dari pada naik ojek, lebih baik untuk uang bensin Danang. Ya sudah, toh kami tidak ada hubungan apapun. Hanya rekan kerja tidak lebih. Kami berbicara juga tahu diri. Dan Danang tidak pernah menggoda atau bahkan berbuat kurang ajar. Satu kerjaan, dan kontrakan bersebelahan membuat kami menjadi teman. Seperti sudah disetting yang maha kuasa. Satu kerja di restoran, dan ternyata pas ngobrol-ngobrol tinggal di kontrakan orang yang sama. "Naik! Kebiasaan lo bengong!" celetuk Danang. Dina sendiri sudah berdiri di depan pintu dan melambai ke arahku penuh senyum. Sebelum naik ke motor suaminya, aku pun membalas lambaian-nya dan tersenyum. "Jalan, dulu, Din," ucapku. "Hati-hati!" **** "Mata lo sendul amat!" teriaknya. "Hah! Apaan? Sendul?" tanyaku tak kalah berteriak. "Iya! Sembab! Lo nangisin mantan suami lo lagi? Idih Nejos! Bucint amat lo!" celetuknya. "Enak aja bucint! Bukan bucint! Tapi manusiawi kelles!" kesalku. Ntar juga seiring berjalannya waktu gue bisa lupain Mas Tama. Maklum kan nggak ditanggepin masa masih nungguin," ucapku sambil tertawa. "Nggak usah diharepin, Han! Sakit kalau harapan tak sesuai kenyataan." "Iya, sih. Nggak mungkin juga gue ngarepin dia cerai sama istrinya. Jahat banget gue." "Nah! Itu tahu. Han! Siap ya! Ngebut! Tarikkk jabrik!!!!" Wuuusshhhhhh! Seperti biasa, kalau sudah tarik jabrik aku dibawa ngebut. ***** "Edan lo, Nang! Jantung gue kaya mau copot. Ich, masih mau hidup gue. Gue kan punya anak, Toge!" kesalku sesampainya di parkiran klub. Ini malam Minggu yang pasti akan banyak anak muda nongkrong. Tamu juga akan datang dua kali lipat. Dan pastinya akan sangat melelahkan. "Ayok, jalan," ajak Danang. "Kalian udah datang? Bantuin dong rame banget ini. Han, kamu langsung naik ke atas, antarin minuman ke room no 20." Pak Tomi langsung memerintah. Tumben amat dapat tugas naik ke room. Mudah-mudahan bukan p****************g. "Iya, Pak." Aku pun segera menjalankan titahnya. Tok ...tok …. Ku ketok pintu dan seseorang membukanya. Mata kami saling bertatap sedikit terkejut. Lalu setelah masuk, aku meletakan minuman. Orang ini sendirian saja. Biasanya malam minggu akan banyak yang datang bersama temannya. Dia tak memesan minuman beralkohol hanya minuman soda biasa. Dan selama aku bekerja, baru kali ini melihatnya. "Kamu, yang tadi nabrak saya di depan minimarket kan?" tanyanya. "Iya, Pak," ucapku. "Jangan panggil aku bapak. Panggil nama saja," ucapnya. "Aku Reyhan." Dia menyebut nama dan mengulurkan tangan. Kuraih ukuran tangan itu. "Han … Hany," ucapku gugup. "Saya balik kerja dulu, ya Pak … Eh, Reyhan," pamitku. "Jangan-jangan. Aku butuh teman. Tolong temani aku di sini. Nanti aku beri uang tips," ucapnya. "Tapi saya harus kembali bekerja. Dan saya tidak menerima tamu begitu-begitu." "Begitu-begitu gimana? Aku hanya minta tolong kamu, temani aku disini. Iya tidak macam-macam," ucapnya. Huh, lega kalau begitu. "Hubungi atasanmu! Bilang aku memintamu menemaniku disini. Nanti akan kubayar lebih." "Waduh, saya nggak punya ponsel, Pak." Eh kan salah lagi. Reyhan maksudnya. Dia pun segera meraih ponselnya dan langsung berbicara pada seseorang. Mungkin Pak Tomo. Kalau dia punya nomornya, kenapa meminta padaku. Malam ini pun aku tidak kelelahan. Karena hanya duduk menemaninya bernyanyi. Terkadang dia mengajakku ngobrol dan bertanya sesuatu. Suaranya bagus … cocok menjadi seorang penyanyi. Orangnya juga ramah. "Kamu udah lama kerja disini? Kenapa tidak mencari pekerjaan lain?" tanyanya. Ia meletakan mix dan meraih minuman lalu meneguknya. "Karena nggak ada kerjaan lain," ucapku tersenyum. "Maksudnya?" Raut wajahnya menampakan kebingungan. "Hem … aku ini lusan SMP dan nggak punya ketrampilan. Selain mengurus rumah. Mencari kerja yang bagus itu susah. Alhasil hanya mampu menjadi seorang pelayan ataupun tukang cuci piring. Siang aku kerja di restoran sebagai pelayan. Naik jabatan sebenarnya, awalnya sebagai tukang cuci piring. Hihihihi … nah malam harinya, aku kerja di sini jadi pelayan juga. Untuk masuk klub ini juga karena rekomendasi dari temanku," ucapku lincah sambil tersenyum. Sedikit mampu melupakan bayangkan Mas Tama. Dan sedikit asyik berbicara dengannya. "Kamu nggak cape 24 jam kerja?" "Nggak 24 jam juga, Pak. Eh, Reyhan. Ya gimana lagi. Kalau mau ngeluh capek aku capek. Tapi aku punya dua orang anak. Dan satu Ibu yang harus kuperjuangkan. Tuntutan hidup di ibukota itu lumayan kejam. Harus bekerja supaya bisa makan. Apalagi aku single parent." "Hem … aku salut sama kamu. Boleh aku main ke rumahmu dan bertemu Ibumu?" Ya ampun, mengejutkan. "Tapi kontrakan aku kecil. Kamu nggak akan nyaman," ucapku. Dia tetap bersikeras dengan alasan ingin bertemu kedua anakku. Baiklah kalau begitu. Aku pun mengizinkan. "Oke, nanti kamu kuantar pulang. Dan sebelum itu kita mampir di minimarket terdekat membeli cemilan untuk mereka." Aku seperti tak percaya. Sebenarnya aku pun tak mengharapkan itu semua. Dia bertanya, dan aku menjawab. Tapi, bukan sengaja untuk mendapat belas kasihan. Terutama aku memiliki sifat yang tidak enakan. Tapi aku harus bersyukur bertemu orang baik. "Ehem, aku mau nawarin kamu jadi asisten-ku mau? Kerja kamu nemanin aku aja. Tapi dapat gaji. Tidak perlu bekerja di tempat seperti ini. Ada kalanya kamu sering bertemu pria yang tak baik bukan?" "Kalau kamu mau, besok temani aku ke kantor. Karena besok adalah hari pertamaku diberi tanggung jawab besar. Dan aku akan butuh bantuanmu," ucapnya membuatku berdegup. Dag dig dug tak karuan. Yang bisa kulakukan mendengar ucapannya adalah menelan air liur. Kayak mimpi di siang bolong. Tapi benar tidak ucapan pria ini? Nanti kalau dia orang jahat bagaimana? Ada baiknya aku berhati-hati lebih dulu. "Gimana?" tanyanya lagi. "Nanti akan kupikirkan," jawabku. Masa iya kerjaku cuma nemenin dia dapat gaji. Haduh … gimana ya? Aku jadi bingung sendiri. Saat aku tengah bergulat dengan kebingungan karena memikirkan ucapannya, justru dia malah lebih semangat menyanyinya. Sesekali tersenyum seperti menggoda. Terima enggak? Terima enggak? Au, ah … bingung ….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD