Bab 3

1354 Words
"Udah nggak ada harapan lagi buat aku balik sama, Mas Tama." Aku terus mengusap air mata yang terus berjatuhan membasahi pipi. Sakit, benci dan marah bercampur jadi satu. Secepat itu dia melupakan aku yang pernah menemaninya dari titik terendah. Apa iya, dia memang tak ada cinta lagi untukku? Aku memiliki buah hati kenangan bersamanya. Sebegitu mudah melupakan jika sudah dapat seorang pengganti. Sedangkan aku? Aku disini menyembunyikan rasa sakit yang teramat. Hanya mampu memandangi foto pernikahan dan mengingat setiap perlakuan manisnya. Ah, sakit kalau mengingatnya. Harus bagaimana aku sekarang? Melupakan tidak semudah membalikan telapak tangan. Tapi aku juga harus bangkit. Anak-anak butuh aku, dan Ibu …. Sekarang aku harus terbiasa bekerja keras menghidupi keluargaku. Ayah sudah tiada, di desa pun tak ada keluarga. Terpaksa aku harus bertahan di kota Jakarta. Jika di desa aku kerja apa? Aku tak bisa bercocok tanam. Ibu hanya mengajariku untuk urusan dapur saja jadi pengalaman di luar rumah aku tak tahu. Saat itu, berbekal ponsel yang dibelikan Mas Tama aku menjualnya. Lumayan masih laku tiga juta. Bisa untuk bertahan hidup, menyewa kontrakan dan mencari pekerjaan. Tuhan tidak pernah menguji di luar batas kemampuan hambanya. Itu yang kurasa saat itu. Ketika aku tengah berpanasan mencari pekerjaan, tertera sebuah pengumuman lowongan pekerjaan sebagai pelayan dan tukang cuci piring di restoran. Berbekal tekad dan keberanian serta ijasah SMP yang aku punya, aku pun memberanikan diri untuk masuk dan bertanya. Ternyata posisi itu tidak membutuhkan persyaratan yang rumit-rumit. Sehingga aku pun diterima untuk bekerja di tempat ini. Rasa syukur ku-ucapkan berkali-kali. Setelah melihat Mas Tama dengan Istri barunya tadi, rasanya aku tidak bersemangat untuk melanjutkan kerja. Yang kuinginkan saat ini adalah duduk di pojokan, menyendiri dan meratapi nasib lalu menangis sejadinya. Seperti yang kulakukan saat ini. Duduk sendiri dipojokkan. Hik ...Hik … ya Tuhan, aku seperti nggak ada harganya di mata suamiku." Ku-usap air mata yang terus terjun bebas di pipi. "Han! Hany! Kamu kenapa?" sapa Dinda menghampiri. "Aku sedih, Dind. Nggak ada semangat," lirihku. "Itu tadi siapa?" tanya Dinda. "Suamiku. Mantan suami." "Perempuan tadi?" "Istri barunya! Udah ah, biarin aja! Nanti juga mereka kuwalat. Aku doain nggak akan pernah bahagia. Dan semoga dia nyesel udah ninggalin aku dan anak-anak cuma demi perempuan tadi," kesalku. Tapi air mata ini tak mau berhenti. "Iya, bener. Jangan ditangisin, Han. Lo masih muda! Semangat! Gue yakin lo bisa dapatin orang yang lebih baik. Dan gue doain semoga setelah ini hidup lo akan selalu bahagia. Jangan larut dalam kesedihan dong! Buktiin sama mantan suami lo, lo bisa hidup tanpa dia. Jangan mengemis cinta sebagai perempuan yang udah dicampakkan. Lo harus kuat dan buktikan pada mereka yang udah nyakitin lo, kalau lo bisa bangkit! Please Hany, lupakan mantan suami lo yang nggak baik itu," ucap Dinda menggebu. "Nggak gampang ngelupain orang yang kita cinta dan sayang, Dind. Nggak segampang itu. Butuh waktu lama untuk mengobati luka yang perih bagai tersayat pisau ini! Ngilu banget …." "Nyatanya aku masih cinta dan ingin kembali sama, Tama," lirihku. "Please, Hany! Jangan bodoh! Ayollah bangkit, lo harus bisa lupain, Tama itu! Titik!" "Bantu aku." Kuulurkan kelingkingku. "Pasti, Hany! Ya udah sekarang kita kerja lagi. Semangat." Dinda pun mengulurkan kelingkingnya. Demi Ibu, Reva dan Ravi aku harus semangat. Demi tukang asuh Reva dan Ravi juga. Sebab, aku tidak mungkin menitipkan pada Ibu yang sedang sakit. Beruntung aku mendapat sift pagi sampai sore. Gaji di restoran kudengar awal tiga juta. Dari jam sepuluh pagi hingga jam 18.00. Pulang, lalu tidur sebentar. Pukul 22.00 aku harus bekerja di sebuah Klub malam hingga pukul 05.00 pagi. Hah, lelahnya aku … tapi tidak boleh mengeluh. Demi memenuhi kebutuhan gizi anak-anak. "Suamiku kaya kepincut sahabatnya!" Kasian amat si gue!" "Idih ngomong sendiri!" celetuk Danang. "Hahhaha … kesel gue!" **** Waktu sudah menandakan jam pulang kerja. Dan semua kerjaanku sudah beres. Waktunya untuk pulang. Kuambil tas dan bersiap melangkahkan kaki. "Han, mau kemana?" tanya Danang. "Mau pulang, istirahat dan malam kerja lagi," jawabku. "Nggak nunggu gajian? Sebentar lagi gajian dibagi lo," ucap Danang. "Owh iya, udah sebulan ternyata gue kerja di sini." "Bisa gituh! Lupa sama gaji. Hahahaha," sambung Dinda. Tak lama, pak Manajer datang dan menyerahkan amplop kami masing-masing. Aku pun langsung pulang membawa gajiku. Iya, ini adalah gaji pertama yang kudapatkan dari hasil jerih payah sendiri. Dan rasanya itu sangat berbeda dengan uang yang dikasih oleh Mas Tama. Kemana uang itu habis tidak lagi dipertanyakan. Huhuhuhu senangnya hatiku dan langsung melipir ke minimarket. Membeli s**u juga diapers untuk anak-anak. Saat keluar dengan beberapa teng-teng belanjaan, aku asyik memeriksanya. Sehingga tak melihat seseorang dengan sengaja memanjangkan kakinya supaya aku terjatuh. Semua belanjaanku berceceran. Dan saat kulihat ternyata Tama dan Istrinya. Apes banget kenapa harus kembali bertemu dengan mereka. "Widih belanja!" celetuk Mas Tama. "Iya, belanja kebutuhan anak-anak karena Ayahnya sudah mati," jawabku sambil tersenyum. "Tak berotak kamu, Mas! Lupa sama aku juga lupa sama anak-anak. Kuwalat kamu nanti!" ucapku sambil berlalu. Kesal aku melihat mereka. Apes banget hari ini harus ketemu sama orang nyebelin lagi. 'Emang dasar nggak punya otak!' Bruk! Aku menabrak seseorang saat aku berjalan sambil menggerundel. "Aw!" pekiknya. "Aduh, maaf, Mas! Saya sedang terburu-buru." Langsung saja aku minta maaf karena merasa tak enak. Memang aku bersalah di sini telah menabrakny karena tak memperhatikan jalan. "Iya, nggak apa-apa. Lain kali, jalan pake mata ya? Jangan pake dengkul. Dan kalau jalan baiknya fokus melihat ke depan. Bukan ke arah lain. Untung kamu nabrak saya, bukan ditabrak mobil. Jangan dibiasakan seperti ini, bahaya," ucapnya panjang kali lebar. 'Sok banget, orang udah minta maaf juga. Eh, tapi ada benarnya juga sih.' "Iya, Maaf. Saya nggak sengaja." Aku pun segera berlalu dan langsung naik angkutan umum seperti biasa. Pria yang barusan kutabrak masih memandang ke arahku. Namun, aku tak dapat melihatnya lagi setelah angkot sudah berjalan beberapa meter. ***** "Asalamualaikum." Aku mengucap salam sesampainya di rumah. "Walaikumsalam. Baru pulang?" Ibu bertanya. Kulihat anak-anak sudah tidur. Tidur menggunakan kasur lantai. Anak yang pintar dan tidak rewel. Padahal dulu waktu tinggal bersama Ayahnya, mereka sering menangis. 'Mas, apa iya kamu tak ingat anakmu sama sekali? Sekalipun tak pernah mencari kami. Dan saat bertemu, kamu pun tak bertanya bagaimana kabar mereka.' Ternyata sakit yang mendalam bukanlah saat kamu menceraikanku, tetapi saat kamu tidak mengingat anak-anakmu. Apa kamu tidak menyayangi mereka? Apa yang dia kasih sama kamu, Mas?' Menetes air mata ketika aku terus teringat tentangmu. Iya, kamu di sana hidup enak bergelimang harta. Sedangkan anakmu hanya tidur beralasan kasur lantai yang tipis. Mereka biasa bermain di rumah yang besar. Berlarian kesana ke sini. Sedang di sini, mereka tidak bisa bermain sesuka hati. Dapatkah kamu merasakan ketika mereka memanggil namamu? Apa kamu tak merasakannya? "Papa …" Saat nama itu keluar dari bibir mungilnya, hatiku seperti tertusuk belati yang tajam. Sakit … sekali. "Han, Hany! Kamu nggak apa-apa?" tanya Ibu membuatku kaget. "Asih mau pulang. Sekarang waktunya gajian," ucap Ibu. "Eh iya, maaf, Mbak Asih. Hany lupa. Ini." Kuserahkan sepuluh lembar uang ratusan. Dan setelah itu, aku memberikannya pada Ibu. Satu juta kuambil untuk menebus obat Ibu. Itulah sebabnya aku harus bekerja lagi di malam hari. Untuk memenuhi kebutuhan perut kami. "Saya, Pamit. Mbak. Besok pagi saya balik lagi seperti biasa," pamit Mbak Asih. "Iya, Mbak. Terima kasih." "Bu, nanti tolong bangunkan Hany, jam sembilan ya. Takut kebablasan. "Iya, Han," ucap Ibu. Kubaringkan tubuh di samping anak-anak. Aku sengaja memiringkan posisi tidur membelakangi mereka. Agar terutama Ibu tidak bisa melihat air mataku. Sampai di rumah aku masih terbayang Mas Tama. Aku mencintainya dan masih berharap untuk bisa bersama dengannya. Namun, itu hanyalah harapan karena aku tak mungkin merebut dia dari istrinya. Menangis? Hanya itu yang mampu kulakukan. Larut dalam kesedihan yang mendalam. Kalau memang alasan dia menceraikanku karena penampilan ataupun karena aku lebih mengutamakan Ibu, aku menyesali itu. Aku mengaku salah. Seharian suamiku menjadi prioritas utamaku. Ibu juga salah saat memperkeruh suasana. Ah, tapi aku tidak mungkin menyalahkan Ibu. Itu akan melukai hatinya. Atau mungkin ini memang sudah takdir? Semakin aku memikirkannya, perasaan itu semakin dalam. Semakin aku mencoba melupakannya, semakin membuatku sakit. Hidupku seperti tidak ada artinya. Aku ingin dia menyesali perbuatannya. Aku ingin selalu berada didekatnya. Aku ingin dia melihat kebahagiaanku lepas darinya. Tapi, bagaimana caranya. Mungkin itu hanya akan menjadi sebuah angan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD