Deg!
Jantungku berdebar, pikiranku larut pada bayangan Mas Tama. Saat Reyhan menyanyikan lagu Vagetoz yang berjudul Saat kau pergi. Aku merasa lagu itu sangat tepat untuk mewakili perasaanku saat ini.
Reyhan menyanyikannya penuh penghayatan. Seakan dialah yang mengalami itu. Ternyata sebuah lagu pun mampu mewakili perasaan yang dirasa seseorang.
"Han, Hany! Kenapa bengong?" tanya Reyhan.
"Lagunya sangat mewakili perasaanku, Rey," jawabku.
"Iyakah? Memang kamu ditinggal pergi?"tanyanya sambil menyalakan sebatang rokok.
"Iya. Pas lagi sayang-sayangnya. Persis sekali dengan lagu yang kamu bawain tadi." Jawabanku semakin membuatnya kepo.
"Jadi? Jadi? Jadi ….?" Dia manggut-manggut membuatku ingin tertawa.
"Jadi, aku terluka, Reyhan! Suami aku tuh nikah sama sahabatnya, sebulan setelah pisah sama aku. Ninggalin anak-anak. Gimana ya? Susah deh diceritain-nya. Intinya aku sakit. Dan sakitnya itu, di sini." Aku memegang dadaku. Memang iya, rasanya sangat sesak. "Tuh kan aku jadi nangis lagi, Rey," ucapku. Dia mnegusap air mataku dengan tangannya. Tangan Reyhan terasa begitu halus.
"Aku kira kamu masih gadis! Usiamu berapa tahun? Sepertinya tak berbeda jauh denganku.
"25 tahun tepat pada tanggal 20 Desember nanti," ucapku.
"Wah, aku 28 tahun tepatnya pada tanggal 4 Desember nanti. Baru lulus kuliah. Harusnya udah lulus sejak lama. Cuma aku aja yang bandel. Jadi baru bisa lulus," ucapnya.
"Sepantaran sama mantan suamiku."
"Wah, iyakah? Tapi kamu jangan anggap aku suamimu ya?" Dia tertawa.
"Hahahah bisa aja kamu."
"Ya udah kita pulang yuk? Em, gimana tawaran aku? Mau nggak jadi asisten pribadiku besok? Kalau mau kita belanja pakaian. Aku mau kamu rapi kan jadi asisten cowok ganteng," ucapnya dengan PD. 'Elah dalah. Baru kenal udah sok akrab. Tapi kok rasanya aku juga langsung dekat sama dia dan kayak udah kenal lama'
"Tapi kamu bukan orang jahat 'kan?"
"Ya ampun, Hany! Nggak ada tampang jahat aku mah. Baik hati dan tidak sombong. Ganteng lagi! Jarang-jarang kenal cowok begini." Hah? Aku terpana dengan ucapannya. Hehehehe … ternyata masih ada pria langka didunia ini. Beruntung banget kenal dia.
"Ya deh aku mau. Tapi, beneran ya? Jangan jahat," ucapku.
"Nah gitu dong! Ya udah, balik kita. Waktumu menemaniku, kuganti pada atasanmu."
Kami pun melangkah keluar. Aku mengikuti Reyhan dari belakang. Entah apa yang dia bicarakan pada Pak Tomo. Tapi Pak Tomo melirik ke arahku kemudian tersenyum.
"Hany! Kamu pamitan, mulai besok kamu nggak kerja lagi disini," ucap Reyhan.
Aku mendekat dan berpamitan pada Pak Tomo serta teman-teman yang lain. Allhamdullillah akhirnya aku tidak peru lagi bekerja di tempat ini dan bertemu p****************g.
"Danang, aku pulang bareng, Reyhan. Mulai besok aku nggak kerja di sini lagi. Aku jadi asisten, Reyhan," ucapku pada Danang. Sama sepertiku, Danang pun mengucap syukur dan memberiku selamat.
"Hati-hati di jalan. Pak, Reyhan … say titip teman saya," ucapnya. Reyhan tersenyum. Lalu mengeluarkan beberapa lambar uang dan memberikan pada Danang untuk dibagi ke karyawan lain. Seperti mendapat duren runtuh, teman-teman terlihat sangat bahagia. 'Wah baik banget pria ini.'
Saat tiba di parkiran klub, aku kira Reyhan naik mobil, ternyata dia membawa motor ninja besar berwarna merah. Sedikit kesusahan aku naik ke atas motornya. Semilir angin membuat tubuhku merasa dingin. Reyhan melepas jaketnya lalu memakaikanya padaku. 'Duh, jadi teringat Mas Tama dulu.'
"Siap?" tanyanya. Ehem, pasti mau diajak ngebut.
"Siap, Rey," ucapku. Namun, tidak seperti dugaanku, dia membawa motornya dengan kecepatan rendah. Sebuah drama yang langka terjadi di depan mataku. Setiap ada pengemis atau pun pedagang asongan yang berada di jalan dan lampu merah, Reyhan memanggilnya dan memberikan pada mereka uang. Aku semakin merasa kagum padanya. Senyumnya mengembang setelah memberikan uang pada mereka.
Di lampu merah kedua, Seorang bapak tua terlihat sedang menjajakan dagangannya. Ia berjualan minuman seharga lima ribu rupiah. Aku tahu karena biasanya memang segitu harga minuman di jalanan. Menurutku itu sangat mahal. Kulihat tidak ada yang membeli. Reyhan menepikan motornya, lalu memanggil bapak tua tadi.
"Pak! Air kemasannya dua," panggil Reyhan. Dengan wajah sumringah bapak tua tadi menghampiri kami.
"Satu aja, Rey. Aku nggak haus," ucapku.
"Udah, nggak apa-apa."
"Berapa, Pak?"
"10 ribu, Mas." Reyhan mengulurkan uang 200 ribu rupiah. Aku sedikit melotot. Bukan sayang atau bagaimana, tapi sedikit kaget.
"Wah kebanyakan, Mas!" ucap Pak tua.
"Ambil aja buat Bapak, itu rezeki. Terima kasih ya, Pak," ucapnya penuh kesopanan.
"Saya yang terima kasih, Mas. Ini sangat banyak." Terlihat mata bapak tua ber-embun. Dia mendoakan Reyhan dan aku panjang lebar. Hanya saja doa yang tak biasa ia ucapkan membuatku kaget.
"Semoga, Mbak dan Mas-nya. Langgeng terus. Sukses dunia akhirat. Jodoh dunia dan akhirat," ucap si Bapak.
"Aamminn, Pak. Terima kasih," ucap Reyhan lalu kembali memacu motornya. Kali ini dengan kecepatan di atas normal.
"Rey! Kok nggak diminum?" tanyaku.
"Aku nggak haus, Han. Biar aja dulu," jawabnya.
"Kalau nggak haus kenapa dibeli?" Aku penasaran dengan jawabannya.
"Dia masih berjualan selarut ini, dan dagangannya masih banyak. Uang lima ribu bagi kita ada bukan? Maka biasakan membeli dagangannya meski kita tak menginginkan. Di rumah ada keluarga yang menunggu dari hasil jualannya. Kamu tahu? Yang bapak itu dapat hanya 1500/ per kemasan. Dia harus mengumpulkan uang itu agar menjadi selembar uang ratusan. Dan itu tidak mudah baginya. Jualan asongan itu lumayan sulit. Seperti tukang amplop ataupun tukang kanebo di lampu merah. Aku suka beli meskipun nggak butuh. Mereka rela berpanasan, semangatnya tinggi. Menawarkan tanpa malu dan tak peduli meski trik matahari begitu panas. Kalau kita beli, mereka akan lebih semangat," jelasnya panjang lebar. Dia begitu semangat membahas mereka. Membuatku ingin membeli dagangan mereka meski tak butuh. Jiwa sosialnya begitu tinggi.
"Yah, Han … nggak ada toko baju buka. Besok aja ya kita belanja bajunya," ucap Reyhan.
"Nggak apa-apa, Rey. Aku masih ada baju kok. Ya udah, kita pulang sebentar lagi sampai ke rumahku."
"Minimarket kan buka. Kita mampir dukuy, Han." Dia pun memarkirkan motornya. Setelah itu, kami masuk. Reyhan menanyakan usia anakku. Lalu menanyakan merek s**u yang mereka minum. Karena dia terus memaksa, aku pun memberi tahunya. Namun, aku dikagetkan dan dibuat semakin tidak enak.
Beberapa dus s**u formula, dan belanjaan kaum emak-emak. Dari sabun hingga minyak. Tak lupa dia ambil juga cemilan untuk anak-anak. Ini si bisa untuk setok dua bulan.
"Rey, kebanyakan," ucapku.
"Ini cuma sedikit kok." Hah? Cuma? Ya wislah … Rezeki anak Soleh, meski aku merasa tak enak.
Selesai belanja kami pun melanjutkan perjalanan yang tinggal sebentar lagi. Sedikit kerepotan memangku belanjaan ini, karena motor Reyhan tidak ada cantolannya. Hheheeh ….
?????
Akhirnya, sampai juga. Mungkin Ibu belum tidur, karena dia langsung membuka pintu saat mendengar suara motor kami. Ibu menghampiri dan membantuku membawa belanjaan.
"Itu Ibu aku, Rey," ucapku.
Reyhan langsung membuka helmet dan mencium punggung tangan Ibu. Sangat sopan.
"Reyhan, Bu."
"Mari masuk, Nak Reyhan. Tapi maaf kontrakan kami sangat sempit. Kebetulan anak-anak belum tidur," ucap Ibu.
Kami pun masuk bersamaan ke dalam. Aku kaget saat kedua anakku langsung berlari menghampiri Reyhan.
Ibu dan aku saling berpandangan. Tapi juga tak dapat menyembunyikan senyum.
"Kamu belanja banyak banget, Han?" tanya Ibu.
"Reyhan yang beli, Bu," jawabku.
Setelah meletakan belanjaan, Ibu membuatkan Reyhan kopi. Sedangkan aku, langsung bergabung bersama mereka.
"Wah, Reva sama Ravi ikut siapa?" tanyaku. Mereka hanya tersenyum dan semakin erat memeluk Reyhan. Apa iya, mereka juga dapat merasakan ketulusan hati Reyhan?
Kami berbicara layaknya keluarga yang sudah lama saling mengenal.
Tak terasa sangking asyiknya mengobrol, waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 pagi dini hari. Anak-anak sampai tertidur di pangkuan Reyhan.
"Aku pulang dulu. Besok aku jemput ya?" ucap Reyhan. Aku mengangguk. Ibu dan aku mengucapkan banyak terima kasih.
Setelah itu, mengantar Reyhan sampai depan. "Hati-hati," triaku saat motornya sudah melaju.
"Baik banget temanmu itu, Han," ucap Ibu setelah menutup pintu.
"Iya, Bu. Allhamdullillah. Mulai besok Hany kerja sama dia. Nggak di restoran ataupun klub lagi."
Ibu tersenyum sambil mengucap syukur. Kami pun pergi tidur.
Jaket Reyhan masih melekat ditubuhku, karena dingin, jaket itupun kubiarkan tidur bersamaku.