Bab 2

1073 Words
POV Tama Sebelum menuntut Hany. Bruk! Seseorang menabraku. Perempuan cantik yang wajahnya tak asing lagi untukku. " Tama!" ucapnya. "De … Dewi!" ucapku senang tak menyangka. "Iya, aku Dewi," ucapnya. Dewi adalah temanku semasa kuliah dulu. Sudah beberapa tahun aku tidak bertemu dengannya. Mungkin semenjak aku lulus kuliah. Tidak menyangka kami bertemu di sini. Karena terburu-buru, aku pun meninggalkan sebuah kertas nama. "Jangan lupa hubungi aku. Aku lagi buru-buru ada miting," ucapku sembari berlalu setelah memberikan kertas namaku. Dia sangat berbeda dari Hany. Dia terlihat cantik dan cerdas. Ah, mikir apa aku ini. Segeralah kutepis pikiran itu. Keesokan harinya, Dewi mulai menghubungi dan mengajaku bertemu. Dan kami pun bertemu di sebuah restoran. Banyak yang dia pertanyakan kenapa aku bisa menjabat sebagai direktur di perusahaan sedangkan aku masih terbilang baru bekerja di sana. Cerita inilah yang tidak pernah diketahui oleh orang lain bahkan istriku sekalipun. Dengan detail akupun menceritakan semua padanya. Yang sebenarnya, aku adalah seorang karyawan biasa yang memiliki keahlian manajemen. Untuk hal ini aku terikat perjanjian kerja dengan perusahaan dan diangkat oleh Direksi dan Dewan Komisaris perusahaan. Dengan kata lain, aku tidak perlu diangkat melalui organ RUPS. Direktur dengan mekanisme pengangkatan seperti ini juga tidak tercantum namanya dalam perubahan data perseroan pada Anggaran Dasar perusahaan. Jadi, aku ini direktur yang tidak lain adalah seorang karyawan. Nilai tambah juga karena aku sangat dekat dengan Pak Jaya Utomo sebagai pemilik perusahaan di sana. Tanpa berpikir panjang, bahkan beliau juga yang merekomendasikan. Prestasi yang dihasilkan dan keahlian yang kumiliki, menjadi pertimbangan tersendiri. Pemegang saham dan direksi pun mengakui kalau aku mampu menjadi manajer profesional dalam menjalankan perusahaan. Dan aku dapat membuktikannya sehingga mereka pun tak menyesal telah mengangkatku. Bersyukur tidak perlu bersusah payah menjelaskan padanya karena dia sudah mengerti. Tidak seperti Hany yang sedikit lola. Menceritakan apapun padanya hanya ditelan mentah-mentah. Karena yang dia tahu hanyalah seputaran urusan rumah tangga. Setelah hari itu, kami pun menjadi akrab dan sering bertemu tanpa sepengetahuan Hany. Kedekatan dengan Dewi membuatku menjadi risih pada Hany. Perasaan risih itu semakin menjadi ketika Dewi rajin datang ke kantor untuk mengantar makan siang. Sehingga, membuat hubungan persahabatan ini pun berlangsung lama. Namun, tidak ada perasaan lebih untuk Dewi. Hanya saja, semenjak ada dia aku seperti tidak membutuhkan Hany. Jadi aku tidak mengerti perasaan apa yang kumiliki untuknya. Yang kutahu, aku merasa nyaman saat bersama ataupun saat sedang berkomunikasi dengannya. Secara langsung, atau hanya melalui sebuah ponsel. Aku selalu meminta pada Hany agar dia bisa berpenampilan menarik. Entah kenapa aku mau dia seperti Dewi atau seperti istri kawanku yang lain. Ditambah, Hany mulai sibuk pada Ibunya sehingga melupakan tanggung jawab untuk mengurusku, seketika perasaan muak padanya pun semakin bertambah. Tapi rasa ini timbul setelah kehadiran Dewi. Padahal sebelum ini aku tidak pernah mengeluh pada Hany. Tidak pernah menuntut ini dan itu. Aku bahkan lihat sendiri ketika dia sibuk dengan anak-anak. Saat mau mandi pun Hany harus terburu-buru karena suara tangis Reva dan Ravi yang bertengkar. Terkadang aku yang sibuk dengan laptop membiarkan mereka menangis dan memilih melanjutkan kerjaku di pinggir kolam renang. "Tama! Bengong aja!" Suara Dewi membuyarkan lamunan tentang Hany. Iya, aku terus memikirkan dia yang selalu sibuk mengurus Ibunya. Kesal dan gemas yang kurasa. "Makan dulu, Nih! Aku bawain makanan," ucap Dewi seraya menyerahkan rantang makanan. "Kebetulan banget aku belum sarapan dari pagi, Wi," ucapku pada Dewi dan meraih makanan yang ia bawa. "Loh kok bisa? Istrimu kemana? Apa dia nggak mau masakin kamu? Biar aku aja yang masakin kamu tiap hari," ucapnya membuatku terharu. "Dia sibuk dengan Ibunya yang penyakitan, tapi nggak tahu diri. Sehingga dengan entengnya dia melupakan tanggung jawab pada suaminya." Mendengar ucapanku, Dewi menghampiri dan menyentuh pundakku seakan memberi kekuatan. "Yang sabar ya. Aku kalau jadi istri kamu pasti akan selalu mendahulukan kamu," ucap Dewi membuatku tak menyangka. "Kalau kamu yang jadi istriku, mungkin hidupku akan jauh lebih bahagia." "Aku mau kok, jadi istri kamu." Tiba-tiba saja Dewi langsung memelukku. Aku kaget, tapi kubalas juga pelukan itu. "Tapi aku sudah menikah, Wi." "Bahkan aku mau menjadi istri keduamu. Aku sangat mencintai kamu, Tama," ucap Dewi. Mungkin karena itu aku dengan mudah meluapkan amarah pada Hany. Dan tibalah puncak kemarahanku padanya. Saat aku pulang kantor, kulihat Hany sudah tertidur. Raut wajahnya terlihat lusuh dan sangat lelah. Tidak seperti biasanya. Paginya, dia membuat masalah yang menjadi jalan untuk aku menceraikan-nya. Tanpa pikir panjang langsung saja aku menalak pagi itu juga dan mengusirnya dari rumah. Masa bodo dengan kedua anakku yang terus menangis di gendongan Mamanya. Entah, saat itu aku memang sangat marah dan menginginkan Hany serta mertua tak tahu diri tukang ikut campur itu pergi dari rumah. Aku tidak menyesal sama sekali karena merasa memiliki Dewi. Kalau saja dia lebih memilih aku, mungkin tidak akan kuceraikan dan akan tetap menjadikannya istri. Sayang sekali dia tidak bisa memilih. Sehingga harus aku yang memilihkannya. ***** Aku mulai bercerita pada Dewi kalau telah bercerai dengan Hany. Dia pun siap siaga menemaniku. Dia terus mendekat dan rajin berkunjung ke rumah untuk mengantar sarapan. Siangnya dia datang ke kantor untuk mengantar makan siang. Dengan Dewi aku merasa begitu diperhatikan. Akhirnya, akupun memutuskan untuk melamarnya dan menjadikannya istri. Sebulan berlalu setelah Hany keluar dari rumah, aku memutuskan untuk menikahi Dewi. Dan sekarang kami pun telah resmi menjadi sepasang suami istri. Dewi menjadi istri seperti yang kuinginkan. Dalam sekejap, aku tidak ingat lagi dengan Hany. Seperti kebetulan, hari ini aku melihatnya tengah bekerja sebagai pelayan di restoran tempat aku dan Dewi biasa makan. "Jadi Hany tidak pulang kampung?" pikirku. "Mas Tama? Apa kabar?" sapanya. "Allhamdullillah anak kita sehat dan sangat aktif," ucapnya penuh senyum kebahagiaan. "Dia mantan istri kamu?" tanya Dewi. "Iya," jawabku. "Kenalin! Aku istri, Mas Tama," ucap Dewi menyodorkan tangan. Hany seperti tak percaya karena terlihat dari wajahnya dia nampak terkejut. "Kamu udah nikah lagi, Mas? Secepat itu mendapat pengganti aku? Atau memang kalian sudah berselingkuh bahkan sebelum bercerai dariku, Mas?" tanya Hany membuatku geram. "Heh, perempuan kampung! Jaga ucapan kamu, ya! Sebelum menikah sama kamu, aku ini udah kenal lama sama Mas Tama! Makanya kalau punya suami itu diurus jangan malah sibuk ngurusin Ibumu!" hardik Dewi. "Diam kamu!" Tak kusangka Hany berani menampar Dewi. "Kamu duri dalam rumah tanggaku dan, Mas Tama! Kamulah penggoda yang membuat suamiku menceraikanku! Aku yakin kamu pun tak akan mampu menjadi istri yang diinginkan olehnya!" "Ayok, Wi. Kita pergi dari sini. Dan kamu, Hany! Jangan pernah berani menyakiti istriku!" ucapku lalu meninggalkan Hany yang masih diam di tempatnya. Memang dasar perempuan kampung itu selalu berulah dan membuat malu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD