Pak kyai meraih bungkusan kain kafan itu.
"Pak, aku nggak bisa dekat-dekat dengan itu, deh. Sumpah, kepalaku rasanya berat banget," ujar Keyra.
"Bu, tolong bawa Keyra untuk istirahat, ya. Biar Baoak dan yang lain selesaikan masalah ini," pinta Pak Kyai.
Keyra di bantu papanya untuk pindah di sofa yang Berada di ruangan lain. Di sana Keyra di bantu oleh istri Pak kyai untuk ditemani.
"Yang sakit apanya, Dek?" tanya Istri Pak kyai.
"Sebenarnya nggak ada yang sakit, Bu. Hanya saja, tubuh saya nggak bisa jika energi yang lebih dari makhluk tak kasat mata. Entah, tiba-tiba terasa lemas. Kaki pun rasanya seperti nggak punya tulang gitu," jawab Keyra.
Sembari menemani mengobrol, istri Pak kyai memberikan minuman untuk Keyra dan begitu juga untuk yang lain. Saat itu, Pak kyai terlihat serius menatao ke arah bungkusan kain kafan itu.
"Mungkin, dia ada kata-kata yang tak mengenakkan dalam hati yang kalian lontarkan. Makanya dia memiliki pikiran untuk melukai kalian seperti ini," ujar Pak Kyai memberitahu.
"Enggak ada kok, Pak. Saat itu, kami berdua masih menjadi sepasang kekasih. Dia tiba-tiba datang dan menghancurkan hubungan kita dengan cara memfitnah Dandi berselingkuh," jawab Dinar.
"Tapi aneh, jika tak ada angin tak ada badai tiba-tiba datang menghancurkan hubungan kalian. Kalian bertemu di mana?" tanya Pak kyai lagi.
"Nah, makanya itu, Pak. Sampai sekarang kami juga bingung, apa maksud dia. Kita sebelumnya tak pernah ada sangkut pautnya. Misal, dia menggunakan ilmu pelet untuk menarik adik saya, oke saya paham. Banyak terjadi sebab mungkin dia merasa tak pede atau bagaimana. Tapi, apa hubungannya dengan kami. Apa dia sakit hati, sebab kami menggagalkan segala rencananya." Angga hanya bisa menduga-duga tanpa tahu bagaimana kebenarannya.
"Ya sudah, itu dipikirkan nanti saja. Kita buka ini terlebih dahulu, ya." Pak kyai membuka bungkusan kain kafan kecil yang ada di tangannya.
Bungkusan itu, di bentuk pocong layaknya membungkus orang meninggal. Saat semua tali locong itu terbuka, terlihat bunga, foto, kertas yang dilipat kecil, jarum masih ada beberapa lagi.
"Kertas itu apa, ya? Boleh saya buka nggak?" tanya Dinar tampak penasaran.
"Ini biasanya rajah, kamu buka aja nggak apa-apa." Pak kyai memperbolehkan.
"Saya bantu buka kafannya nggak apa-apa kan ya?" tanya Andre.
"Silakan, bantu buka semuanya nggak apa-apa." Pak kyai mengizinkan.
Di saat Andre dan Dandi membuka kain kafan yang tersisa, Dinar membuka lipatan kertas itu. Dinar menatap tulisan itu dengan seksama tetapi sama sekali dia memahaminya. Pak kyai melihat ke arah Dinar yang terlihat kebingungan itu.
"Itu namanya rajah. Kamu baru tahu itu?" tanya Pak kyai.
"Rajah? Rajah itu apa, Pak?" Dinar semakin penasaran kala kata-kata yang tak asing di telingannya.
"Rajah adalah azimat yang terbuat dari tulisan huruf-huruf hijaiyah sebagai bentuk ikhtiar tercapainya sebuah hajat. Rajah hanya bisa dibuat oleh seseorang yang telah memiliki ilmu hikmah mumpuni. Misalnya, seorang spiritualis atau paranormal dimana mereka akan memadukan ilmu hikmah dengan ilmu batinnya." Pak kyai menyempatkan menjawab meski tangannya sibuk membuka satu persatu bungkusan itu.
"Apa ada kemungkinan jika Alva seorang dukun? Kata Pak kyai yang bisa buat hanya paranormal atau ahli spiritual." Dinar masih merasa heran.
"Bisa jadi, dia meminta pertolongan ahli spiritualis atau paranormal untuk melakukan hajadnya itu. Jaman sekarang asal dibayar tinggi untuk mencelakai orang pun mereka lakukan. Mereka mengedepankan rasa nafsuunya dari pada rasa ibanya," jawab Pak kyai.
"Lalu, kegunaan rajah sendiri ktu apa?" sahut Dandi.
"Rajah adalah azimat yang terbuat dari tulisan huruf-huruf hijaiyah sebagai bentuk ikhtiar tercapainya sebuah hajat. Rajah hanya bisa dibuat oleh seseorang yang telah memiliki ilmu hikmah mumpuni. Misalnya, seorang spiritualis atau paranormal dimana mereka akan memadukan ilmu hikmah dengan ilmu batinnya.Terganrung kita memiliki keinginannya untuk apa. Orang terdahulu, memiliki rajah untuk melindungi diri sendiri, nggak tahu kalau pikiran orang jaman sekarang. Keiri dengkian yang meraja lela di bumi ini, membuat kebenaran seola-olah bungkam tentang keadaan." Pak kyai menghela napas sejenak.
"Misal, jika untuk berbuat jahat seperti ini. Lalu cara menghilangkan pengaruh jahatnya itu seperti apa?" tanya Dinar.
Caranya adalah dengan di bakar atau di tenggelamkan ke dalam air.
1. Membakar jimat atau rajah.
Sebelum membakarnya pertama kali yang harus kita lakukan adalah dengan membaca ta’awudz, atau doa perlindungan atau bisa juga dengan membaca mu’awwidzattain (Surat Al Falaq dan An-nas) kemudian membakarnya.
2. Menenggelamkannya ke dalam air.
– Siapkan air di gelas, lalu baca ta’awwudz, doa perlindungan atau mu’awwidzattain. Kemudian lepas bungkusan jimat atau rajah tadi lalu masukkan jimat atau rajah ke dalam air.
– Bisa juga kita siapkan segelas air yang sudah kita bacakan ayat ruqyah (Ayat Kursi dan Muawwidzattain). Kemudian kita buka bungkusannya dan kita masukkan jimat ke dalam air tersebut.
Az-Zumar : 38
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۚ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ ۚ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ ۖ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ
Dan sungguh, jika engkau tanyakan kepada mereka, ”Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Niscaya mereka menjawab, ”Allah." Katakanlah, ”Kalau begitu tahukah kamu tentang apa yang kamu sembah selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan bencana kepadaku, apakah mereka mampu menghilangkan bencana itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat mencegah rahmat-Nya?” Katakanlah, ”Cukuplah Allah bagiku. Kepada-Nyalah orang-orang yang bertawakal berserah diri.”
Rajah tersebut apa boleh dibuang begitu saja ditempat sampah ato sebaiknya dibuka bungkusnya dan dibakar? Apa ada doa yg sebaiknya dibaca saat menghancurkannya?
Jawaban :
وعليكم السلام ورحمة الله وبر كاته
Kita bisa memusnahkan rajah tersebut dengan membaca ta’awwudz terlebih dahulu atau doa perlindungan, bisa juga membaca Al-Mu’awwidzatain (surat Al-Falaq dan surat An-Nas) kemudian membakarnya.
Jika rajah tersebut berkenaan dengan sihir yang dikirim, maka kita membaca tawwudz bisa juga ditambahkan surat Al-Falaq dan surat An-Nas kemudian kita melepaskan ikatan-ikatan yang ada pada rajah tersebut kemudian menenggelamkannya ke dalam air atau membakarnya. Imam Abdul Aziz bin Baz berkata :
ينظر فيما فعله الساحر ، إذا عرف أنه مثلا جعل شيئا من الشَّعر في مكان ، أو جعله في أمشاط ، أو في غير ذلك ، إذا عرف أنه وضعه في المكان الفلاني أزيل هذا الشيء وأحرق وأتلف فيبطل مفعوله ويزول ما أراده الساحر
“Dilihat apa yang dilakukan oleh si penyihir, jika engkau mengetahui bahwa ia misalnya meletakkan rambut di lokasi tertentu atau menaruh jarum, atau benda lain. Jika ia tahu dimana tukang sihir meletakkannya, maka sesuatu ini dimusnahkan dan dibakar atau ditenggelamkan maka akan hilanglah efek buruk yang diinginkan oleh si tukang sihir”. (Majmu’ Fatawa : 8/144).
"Apa kalian paham?" tanya pak kyai setelah menjelaskan oanjang lebar beserta bacaan dan artiannya.
"Lalu lebih baik kita harus apakan rajah ini?" tanya Andre.
"Kita bakar saja semua rajah dan peralatan yang di perkenankan untuk kalian. Semoga dengan cara itu, efek rajah dan sihir yang lain tak lagi menghampiri.
Mereka pun segera membawa barang-barang yang ditujukan untuk mencelakai mereka ke lahan belakang rumah Pak kyai. Pak kyai membaca sesuai yang mereka katakan tadi, lalu membakar satu persatu. Membakarnya pun gak secara bersamaan. Rajah di bakar terlrbih dahulu, sedangkan barang-barang yang lain dibakar setelah itu. Membakarnya pun Pak kyai tak di tempat yang sama, melainkan agak jauh meski sedikit.
Saat sedang serius membakar, tiba-tiba ponsel Dinar berxering. Dia bergegas mengangkat teleponnya sebab di layarnya bertuliskan nama Dewi termpampang jelas.
"Halo, Wi. Ka...." Belum seleswi bicara, terdengar duara Dewi yang panik.
"Din, tolong aku. Kos Tita, Tita." Panggilan itu tiba-tiba terputus. Dinar masoh nggak paham apa yang dikatakan oleh Dewi.
"Kenapa, Din?'' tanya Dandi.
"Nggak jelas, Dan. Dia cuma ngomong tolong aku, kos Tita gitu aja. Kemarinkan aku yang bantu ya Tita, sih? Apa Tita juga sedang berbahya." Dinar menduga-duga.
"Kita langsung ke sana saja, nanti di jalan sambil telepon Dewi kembali," pinta Dandi.
Dinar dan Dandi memutuskan untuk berpamitan terlebih dahulu. Pak kyai dan Andre pun mengizikan. Wajah mereka terlihat sangat panik sebab menghilangnya Dewi sama sekali tak meninggalkan jejak sama sekali.
Saat hendak sampai, dari kejauhan Dandi dan Dinar melihat Tita dari area halaman kos-kosan itu. Hendak ke mana tujuannya nggak begitu tahu, hanya saja membawa tas dan berpakaian rapi memungkinkan untuk pulang lebih lama dari biasanya.
"Loh, itukan Tita," gumam Dinar sembari menatap ke arah Dandi. "Kita hampiri dia aja dulu, yuk," ajak Dinar.
"Nggak usah, kita langsung ke kos Tita aja. Kita cari informasi di sana. Mungkin dia akan keluar lebih lama, makanya memungkinkan ikita untuk mencari informasi lebih detail," saran Dandi.
"Oke, kita segera turun kalau begitu," jawab Dinar.
Mereka dengan cepat segera turun dari mobil, lalu sedikit berlari menuju kamar Dewi dan Tita yang memang bersebelahan.
"Kamarnya yang mana?" tanta Dandi.
"Ini kamar Dewi dan di sebelahnya kamar si Tita. Apa nggak kita coba masuk ke dalam kamar Dewi aja, ya. Ponselnya Dewi kuhubungi sudah nggak aktif." Dinar tampak panik, tetapi ketakutan itu karena apa nggak tahu. Tita yang justru membantu dia untuk mencari Dewi.
"Tadi Dewi bilang kamar Tita, kan? Kita harus ke sana. Mungkin ada petunjuk untuk menghilangnya dia," ujar Dandi.
Dandi segera menarik menuju depan kamar Tita. Dia gak ingin banyak berpikir, sebab takut Tita kembali secara tiba-tiba.
"Kita buka pintunya ini?" tanya Dinar.
"Iya, Din. Cobw, dikunci nggak?" pinta Dandi.
Dinar memegang gagang pintu, lalu membukanya secara perlahan.
Ceklek! Pintu pun terbuka. Tita meninggalkan kamarnya tanpa menguncinya.
"Terbuka," bisik Dinar.
Dandi segera mengajak masuk tanpa memikirkan bahwa itu milik orang lain. Kos milik Dewi dan Tita ini cenderung sepi, sebab tak dikhusus kan untuk rumah tangga. Semisal dari mereka kerja, maka kos-kosan ini pasti sangat sepi seperti tak berpenghuni.
Terlihat Dewi duduk di sofa sembari tangan, kakki yang diikat dan mulut yang di plester.
"Ya Allah, Dewi," ujar Dinar.
Dinar berlari menghampirinya dan segera memeluk Dewi.
"Bagaimana kok bisa seperti ini? Mana motor kamu?" tanya Dinar sembari membuka penutup mulut itu.
"Lebih baik kita bawa pergi dia secepatnya dari sini. Nanti, segala pertanyaan kita katakan kalau sudah berada di tempat yang aman," saran Dandi.
"Gendong dia, Dan." Dinar beranjak dari tempat duduknya terlebih dahulu.
Dandi pun bergegas menggendong Dewi. Sedsngkan Dinar, dia yang berjalan terlebih dahulu untuk memastikan jika keadaan mereka aman. Saat hendak menuruni tangga, di bawah terlihat Tita hendak menaiki anak tangga. Jantung Dinar berdegup kencang.
"Tita hendak naik, kita kembali." Dinar menarik Dandi yang menggendong Dewi.
"Jangan ke kamarku, dia sering masuk ke sana. Kalau tahu aku nggak ada di sana, pasti langung masuk ke kamarku." Dewi menyarankan itu.
Tanpa berpikir panjang, mereka segera beralri dan masuk ke dalam kamar yang tidak di kunci lainnya. Terlihat dua cewek duduk di dalam kamar itu. Mereka bingung dan hendak berteriak kala mereka masuk secara tiba-tiba dan mengagetkannya.
"Hei, kalian siapa?" gertak salah satu dari mereka.
"Kak, aku Dewi kamar depan Kakak izinkan kami bersembunyi di sini. Kami sedang dalam keadaan bahaya. Nanti kita jelaskan, jika sudah dirasa aman. Tolong beri kami tempat bersembunyi." Dewi memohon dengan suara panik.
"Oke, kunci dulu pintunya," pinta salah satu dari mereka.
Dinar yang dekat dengan mereka seketika mengunci pintunya.
"Kalian bersembunyi saja. Terserah kalian di mana yang dianggap aman." Mereka berdua dengan antusias menolong mereka bertiga dengan senang hati.
Tok!Tok! Pintu menag benar terdengar di ketuk. Mereka bertiga panik, sebab belum sempat bersembunyi dengan baik.
Mereka bertiga bersembunyi di berbagai tempat. Dewi dan Dinar masuk ke dalam almari, sedangkan Dandi memilih di kolong tempat tidur mereka yang kebetulan tak terlihat jika untuk bersembunyi.
"Iya, bentar," jawab salah satu dari mereka.
Pintu terbuka dan benar saja, Tita yang berada di depan.
"Maaf, Kak. Boleh numpang ke kamar mandi, nggak? Sepertinya kran kamar mandiku lagi rusak, makanya nggak bisa di putar," ujar Tita yang tak masuk akal. Lagi-lagi jantung Dinar, Dewi dan Dandi pun berdegup kencang.
"Silakan," jawab dari mereka, lalu kembali berpura-pura mengerjakan buku. Mereka berdua adalah salah satu mahasiswa di salah satu universitas terdekat dari lokasi ini. Mereka yang kos di sini kebetulan jarang saling sapa, bahkan mengenal pun tidak karena jam mereka yang saling berbentrok membuat mereka tak ada waktu untuk saling mengenal. Memang benar, Tita celingukkan kala menatap kamar ini, seolah-olah mecari seseorang.
Lalu, dia segera masuk kamar mandi berharap menemukan Dewi yang mungkin berada di sana. Dalam otak Tita, tak pernah terbesit akan ada yang menolong Dewi. Dia hanya berpikir Dewi yang akan melarikan diri. 'Sial, di mana dia?'
Tiba-tiba ponsel Dinar berdering karena mendapatkan telepon dari mamanya. Dinar dengan panik memutuskan panggilannya, saat itu salah satu dari mereka segera berinisiatif untuk menutupinya.
"Halo, iya kenapa?" ujarnya sembari beranjak dan menyenderkan tubuhnya di almari dan ngobrol sendiri.
"Iya, aku ngerjain bukunya ini, loh."
"Dahlah, ku hening saja ponselku kalau nggak gitu ku matikan saja agar saat kau telepon lagi nggak ketahuan." Anak itu berharap Dinar peka dengan ucapannya agar mengheningkan ponselnya atau menonaktifkannya.
Setelah panggilan itu memang Dinar berinisiatif mengalihkan ke mode hening. Dia takut, jika Tita mencarinya laku menghubunginya.
Anak itu kembali dudk, tetapi sorot mata Tita yang tajam menatapnya.
"Kenapa, Kak?" tanya anak yang beroura-pura telepon itu.
"Ehm, eng-enggak apa-apa. Makasih, ya," ujar Tita.
"Iya, Kak. Sama-sama," jawabnya.
"Kalian masih kuliah? Kok nggak pernah lihat kalian," tanya Tita berbasa-basi, dia seakan-akan enggan pergi cepat dari sana.
"Iya, Kak. Kami masih kuliah semester tiga. Kebetulan baru pindah ke sini dua minggu yang lalu," jawab salah satu dari mereka.
"Ya sudah, makasih, ya." Tita berpamitan.
Salah satu dari mereka segera mengunci ointunya kembali dan memberitahukan ke Dinar dan yang lain jika Tita sudah pergi.
"Kak, aman." anak itu memberitahu dengan suara lirih, sebab dia tak ingin suara yang terdengar riuh menbuat Tita kembali lagi.
Sedangkan Tita, dia di setiap kamar di lantai dua dikunjunginya. Dia melakukan hak yang sama. Di saat tak mendapatkan hasil, dia memutuskan untuk pergi mencarinya. Tita berpikir jika Dewi tak akan jauh meninggakjan kos-kosan itu. Tita tahu, kendaraan dan semua uangnya sudah ia sita sebelumnya.
"Dia pergi, Kak. Lihat itu," ujar salah satu dari ank itu melihat dari jendela.
Perasaan lega terasa dalam hati mereka.
"Ya Allah, makasih, ya. Kami nggak tahu harus berterima kasih seperti apa lagi," ujar Dewi.
"Maaf, Kak. Kakau boleh tahu ada masalah apa, ya? Kok sampai-sampai kalian bertiga dan dia yang cuma seorang kalian setakut itu?" tanya salah satu dari mereka lagi.
"Susah jelasinnya, terlalu panjang. Kalau boleh kami minta nomor kalian nggak? Kami lebih baik pergi dari sini, sebab takut Tita kembali ke sini lagi," ujar Dinar.
"Boleh, Kak," jawab mereka sembari memverikan nomornya, lalu mereka beranjak dari sana dan meninggalkan kamar itu. Dewi yang terlihat lemas, kembali digendong oleh Dandi sampai di mobil.
Dandi segera melajukan mobilnya menjauh dari area kos-kosan itu. Tak jauh dari kos itu, terlihat Tita yang sedang mengendarai motornya dan berhenti di pinggir jalan.
"Wi, menunduk aku juga. Tita berhenti di depan," linta Dinar.
Mobik mereka melewati Tita dengan baik. Tak ada kecurigaan yang muncuk di benak Tita kala berpapasan dengan mobil Dandi itu yang mana dia tak begitu hafak dengan mobi itu.
"Din, sudah." Dandi memberitahukan
"Wi, itu bagaimana kok kamu bisa di dalam kos-kosan si Tita? Dia aja kemarin ngajak aku mencari kamu, loh," tanya Dinar.
"Nah, aku sampai sekarang tak tahu maksud dia. Sepulang aku dari kita jalan, saat hendak masuk kamar tiba-tiba Tita keluar dari kamar. Dia meminta tolong untuk membantu dia memindahkan almarinya sekalian. Aku yang belum masuk ke dalam kamar, tentu saja mengiyakan tanpa masuk dulu ke kamarku." Dita memberikan kesaksian.
"Lalu, kok bisa ponselmu masih kamu bawa? Lalu, kenapa kamu bisa memberitahukan bayangan hitam itu?" pertanyaan di benak Dinar pun dikeluarkan.
"Nah, aku beritahukan bayangan hitam memang aku pas itu nggak langsung pulang, kan? Aku masih berhenti di salah satu tempat percetakan souvenir untuk melihat-lihat. Nah, waktu memilih foto aku melihat bayangan itu dan kebetulan ponselku ku taruh saku depan dan ternyata si Tita tak menyadarinya. Nah kembali lagi ke kamar Tita, ya. Nah, saat masuk ke dalam kamar, tiba-tiba pukulan keras dihantamkan di punggungku bagian atas ini. Entah setelah itu, semua terasa gelap dan saat sadar sudah di tali tangan dan kakiku. Entah, dia yang pikirannya cetek nggak pernah menemukan ponselku. Tanganku yang di tali ke depan ya dengan mudah meraihnya di saku. Berhubung nomor teratas nomormu ya aku hanya bisa menghubungimu. Aku nggak sempat scroll ke yang lain." Dewi menjelaskan panjang lebar ke Dandi dan Dinar. Tubuh Dewi pun terlihat sangat lemas, hingga mereka berdua membiarkan Dewi untuk istirahat terlebih dahulu.
■■■
STOP!!
Warning!!
Setelah baca bab ini langsung lompat dua bab. Langsung baca bab 15. 2 bab setelah ini terlanjur up dan ketepatan aku sibuk nggak bisa memperbaiki.. Lebih baik skip 2 bab setelah ini baru baca lanjutannya ya.
Maaf sekali lagi.