WARNING!!!
Sudah kuperingatkan, jangan baca bab ini. Isi nggak sama. Kecewa di tanggung sendiri. Skip aja.
Candra menyeringai kala meninggalkan rumah itu. Dia datang dengan amarah dan pergi dengan ketenangan dalam hatinya. 'Sekali kau buat ulah denganku, tak akan pernah aku lepas sampai akhir hidupku.'
Sedangkan mamanya Angga yang melihat Candra pergi, dia hanya menatapnya dengan penuh rasa kesal yang ingin segera ia luapkan.
"Dasar, tak tahu tata krama dan sopan santun. Tapi aku tak bisa diam untuk hal ini. Dengan cepat aku urus semua yang ia minta dan menggugurkan janin itu. Angga tak boleh tahu masalah ini, bisa-bisa dia pulang dan menikah dengan wanita itu. Lebih baik, aku beri yang ia minta sekarang dari pada harus menerima beban hidup seperti dia," gumam mamanya Angga.
*
Angga pergi ke Australia memang dengan persetujuannya sendiri. Dia sore itu, saat berangkat hendak menghubungi Candra, tetapi dengan dalih mamanya terburu-buru membuat dia mengurungkan niatnya.
"Bentar, Ma. Aku hubungi Candra dulu, kasihan dia," pinta Angga.
"Nggak, kita berangkat sekarang. Sudah tau Mama buru-buru setelah ini ada acara, kenapa bebal banget sih jadi orang?" gumam mamanya sembari berjalan menuju mobil. "Kamu yang mengemudikannya."
Mamanya memberikan kunci mobil ke tangannya. Angga hanya nurutu, dia berpikir bisa menghubungi Candra saat sampai di bandara. Dia tahu, kalau mamanya nggak mungkin nunggu sampai keberangkatan pesawat tiba.
Angga segera mengemudikan mobilnya menuju bandara. Dia merasa anak yang mengganjal dalam hatinya, itu apa pun Angga tak mengetahuinya. Sedangkan mamanya yang memilih duduk di belakang, beliau memutuskan membuka tas yang berisikan ponselnya Angga. Mama Angga dengan cepat meraih ponsel milik Angga, lalu dimasukkan ke dalam tas slempang yang digunakannya. Kemudian mamanya memasukkan ponsel baru yang masih lengkap dengan plastik segel dari bawaannya. Di dalam tas kecil yang berisikan ponsel itu sengaja di selipkan nomor ponsel mama dan papanya. Bahkan Angga pun kartu atm semua sudah ditahan kedua orang tuanya sebelum hari H keberangkatannya.
"Angga, nanti Mama antarkan kamu hingga jalanan masuk aja, ya. Mama jamnya mepet ini, soalnya keburu pergi," ujar mamanya.
"Iya, Ma. Nanti kalau aku sudah sampai pasti aku kabarin," jawab Angga.
Tak berselang lama, mereka akhirnya sampai di depan bandara. Angga pun memarkirkan di jalan sebelum masuk area bandara. Dia turun sembari menenteng tas koper yang ia letakkan di kursi samping kemudi. Mamanya pun juga ikut turun dengan membawakan tas Angga yang berada di belakang.
“Angga, Mama hanya bisa mengantarkanmu sampai di sini saja, ya. Mama buru-buru soalnya, uangnya itu bakalan cukup untuk keberangkatanmu dan tiga hari di Australia. Nanti Mama akan berikan uang untuk kamu lewat orang kepercayaan Papa yang ada di sana. Mama tak ingin sekolahmu di sana terganggu karena masalah sepele. Mama pulang dulu, ya,” ujar mamanya sembari melambaikan tangan ke arah Angga. Kemudian beliau segera melajukannya menjauh dari bandara. Beliau tak ingin Angga mengetahui jika ponselnya di tukar saat masih berada di sana.
Angga pun melangkahkan kaki menuju ruang tunggu. Jam keberangkatannya kurang sepuluh menit lagi, dia berharap dengan wakru yang singkat mampu mengabari Candra perihal keberangkatannya yang terkesan mendadak itu.
Dia memilih duduk di tempat yang tergolong sepi. Lalu mencari ponselnya yang ada di dalam tasnya, betapa ia panik kala tak menemukan ponsel itu berada di sana. Candra mengingat betul di mana ia meletakkan ponsel itu sebelum berangkat. Tetapi, karena ia tak menjumpai sengaja mencarinya di kopernya dan tas slempang yang ia gunakan saat ini.
“Ponselku ke mana, ya? Aku ingat banget kalau tadi aku menaruhnya di sini sebelum berangkat.” Angga pun kembali mencarinya. Hingga ia yang terlalu sibuk tak menyadari jika jam keberangkatannya
Dia memutuskan untuk berangkat dan mencarinya saat sudah berada di dalam pesawat dan menghubunginya sesaat sampai di Australia nanti. Dia membawa dua tas kecil dalam pangkuannya, sedangkan koper ia letakan di bagasi pesawat. ‘Sumpah, aku inget banget kalau ponselnya berada di sini.”
Saat pesawat sudah lepas landas, Angga kembali mencarinya ke dalam tas yang pertama ingat bahwa ponselnya berada di sana. Dia bingung kala melihat di dalam tasnya ada tas kecil yang berisikan kotak.
“Apa ini?” gumamnya dengan lirih.
Dia yang merasa penasaran segera meraihnya. Dia terkejut kala menemukan ponsel baru ada di dalam tasnya saat itu. Dia tahu, ini ulah dari siapa.
“Mama.” Angga menggeram dan tanpa ia sadari mengepalkan tangannya. Dia tahu tak mungkin mengatur ponsel barunya saat di dalam pesawat. Dia akan bakal kerepotan nantinya.
Sedangkan mamanya setelah merasa jauh dari bandara, beliau memilih untuk berhenti di salah satu restoran. Beliau duduk di salah satu kursi dan memesan satu gelas minuman. Kemudian meraih ponsel Angga dari tasnya.
Mamanya Angga yang tak menyukai Candra segera memblokir semua sosial media dan bahkan nomor telepon Candra. Sosial media Angga dan emailnya pun semua beliau ganti sandinya. Mamanya Angga menginginkan jika anaknya pergi sebab kemauannya sehingga Candra berpikiran jika Angga tak berpihak lagi dengannya.
-----
Mamanya Angga berhasil setelah kepergian Angga, Candra yang menghubungi Angga dan mencari jejak sosial media mereka berdua tak pernah ia temukan lagi. Candra hanya tahu pasti semua yang dilakukan Angga demi menjahuinya saja. Candra makanya dari sejak itu selalu menganggap Angga tak pernah bertanggung jawab akan dirinya.
***
Tepat hari ini, justru mamanya Angga yang terjebak dengan permainannya sendiri. Candra yang harusnya dijauhkan tetapi malah melekat karena kesalahannya sendiri. Candra yang sedari awal mengetahui jika hamil, tak mau membicarakan ini kepada mamanya Angga, tetapi mamanya Angga yang mengantarkan dirinya sendiri ke Candra.
Sesampainya di rumah, Candra duduk di sofa ruang tamu. Dia yang tak pernah menunjukkan kehamilan seperti mual atau muntah di trimester pertama, membuat dia mudah menutupi kandungannya masih kecil itu. Candra kembali menghubungi mamanya Angga via pesan singkat. Dia memberi tempo waktu seminggu untuk deal mobil dan rumah barunya.
Terntaya mamanya Angga pun mengiyakan permintaan Candra dengan mudahnya demi menjauh dari Candra itu. ‘Bego, seberapa ingin kau menjauhkanku dengan Angga, akan kugunakan itu untuk penghasilanku.’
“Loh, Candra. Bentar, ini ada titipian lagi buat kamu,” ujar Pak Joko sembari memberikan amplop coklat lagi.
Candra segera meraaihnya dengan wajah penasaran. “Dari siapa lagi ini?”
Candra memilih untuk kembali masuk ke dalam kamarnya. Dia membuka amplop coklat itu, ternyata surat panggilan kerja dari salah satu perusahaan besar yang ada dalam kotanya ini. Perusahaan ternama dan Candra saat ini merasa sangat bahagia.
Candra pun spontan berlari mernghampiri ayahnya. “Ayah.”
“Apa, Can?” tanya Pak Joko sembari kelua dari tokonya.
Candra merengkuh tubuh Pak Joko yang sudah mulai menua.
“Yah, panggilan kerja dari perusahaan yang selama ini aku idamkan, Yah.” Candra memberikan amplop coklat itu.
Pak Joko pun segera membacanya. Air mata pun menetes ke pipinya.
“Alhamdulillah.” Pak Joko melepas pelukan Candra dan melakukan sujud dyukur saat itu juga. Perasaan bahagia pun tak bisa ia bendung lagi. Meski Pak Joko tak pernah mengerti standar pekerjaan di perusahaan seperti apa, tetapi dengan kebahagiaan yang dirasakan anaknya, seakan-akan menular ke hatinya.
“Ya, aku nggak nyangka bisa masuk ke sana. Besok aku harus berangkat awal dan menjadi pegawai yang propesional,” ujar Candra.
Pak Joko memilih tetap duduk bersimpuh di lantai.
“Iya, Nak. Alhamdulillah, apa yang menjadi keputusanmu, Ayah hanya bisa mendukung dan mendoakan saja. Semoga selalu dilancarkan apa yang menjadi urusanmu, ya," ujar Pak Joko demi membuat anaknya bersemangat dan bahagia.
***
Keesokan harinya, Candra menggunakan pakaian yang selayaknya orang bekerja kantoran.
"Yah, Candra berangkat dulu, ya. Doakan diberikan teman dan bos yang baik ya, Yah," ujar Candra kala berangkat, sembari menjabat tangan ayahnya.
"Iya, Nak. Ayah selalu mendoakan setiap langkahmu, Nak," ujar Pak Joko yang membalas jabatan tangan anaknya.
Kemudian, Candra segera berangkat menuju kantornya dengan menggunakan sepeda motor kesayangannya.
Sesampainya ke tempat yang di tuju, Candra disuguhkan pemandangan yang luar biasa. Bangunan yang menjulang tinggi, mobil di mana-mana dan orang yang sangat banyak mulai beraktifitas.
Candra melangkahkan kaki, bingung hendak ke mana untuk menemui pimpinan kantor ini. Sehingga ia memutuskan untuk bertanya ke staff kantor yang kebetulan berpapasan dengannya.
"Kak, maaf. Saya mau tanya," ujar Candra menghentikan perempuan itu.
"Iya, ada yang bisa sya bantu?" tanya perempuan yang dihentikan Candra.
"Kalau boleh tahu, ruang pemimpin di sini di mana, ya? Kebetulan hari ini ada panggilan kerja," ujar Candra memberitahukannya.
"Mari saya antar," ajak wanita itu.
Candra pun mengekor di belakang wanita itu. Dia menatap ke arah ruangan yang ia lewati saat ini. Orang-orang yang kebetulan berpapasan pun memandangnya dengan tatapan yang tajam. 'Gini banget, sih? Nggak pernah tahu orang cantik seperti aku, apa?'
"Kak, ini ruangan Ibu Prita. Silakan," ujar wanita itu.
"Makasih ya, Kak. Saya Candra, Kakak siaa?" tanya Candra.
"Saya Desinta. Bisa panggil Desi apa sinta, silakan, Kak. Nanti ditunggu sama Ibu," jawab wanita itu.
"Sekali lagi terima kasih ya, Kak," ujar Candra.
Desinta pun tersenyum, lalu pergi meninggalkan Candra sendirian. Setelah itu, Candra segera mengetuk pintu itu.
Tok! Tok!
"Masuk," jawab suara wanita yang berada di dalam ruangan itu.
Candra segera membuka pintu ruangan itu, tampak wanita yang begitu anggun duduk di kursi yang menghadapa komputernya.
"Pagi, Bu." Candra menyapanya.
Wanita itu sontak menatap Candra yang saat ini masuk ke dalam ruangannya.
"Silahkan duduk." Wanita itu tersenyum sembari mempersilahkan untuk duduk di hadapannya.
"Makasih, Bu. Saya Candra, yang kemarin ada panggilan dari kantor ini," ujar Candra memberitahukan.
"Oh, Candra. Bawa berkas-berkas yang saya minta kemarin?" tanya Ibu Prita.
"Ini, Bu." Candra memberikan berkas-berkas yang diminta oleh Ibu Prita itu.
Ibu Prita segera mengecek berkas-berkas yang di serahkan oleh Candra. Senyum mereka di bibir wanita yang hendak menua tetapi masih anggun itu.
"Untuk ipk kamu tinggi, ya. Jadi, kamu baru lulus tahun ini dan belum mempunyai untuk pengalaman kerja sama sekali?" tanya Ibu Prita.
"Belum, Bu." Candra menjawabnya dengan keyakinan yang ia miliki.
"Oke, jadi apa yang membuatmu yakin untuk diterima di sini?" tanya Ibu Prita.
"Saya yakin dengan diri saya, bahwa memiliki kerja yang bagus dan ide-ide yang menarik jika di perlukan dan saya siap bekerja sama dengan siapapun yang nantinya menjadi partner kerja saya," jawab Candra dengan keyakinan tinggi.
ibu Prita pun bertepuk tangan, dia tak menyangka dengan jawaban yang dilontarkan oleh Candra. Keyakinan, tekad dan kesungguhan yang seolah-olah mendasari ia kerja di sana.
"Saya salut dengan jawabanmu saat ini. Untuk sementara, kamu menjadi staff biasa dulu di sini, sembari saya melihat cara kerja dan kedisiplinanmu. Apa kamu bersedia?" tanya Bu Prita.
"Iya, Bu. Saya akan berusaha dengan maksimal di sini," jawab Candra.
Ibu Prita menyodorkan tangannya guna untuk memberikan selamat kepada Candra. "Candra, dengan jawaban kamu yang seperti itu dan berkas yang mendukung kamu, selamat kamu mulai hari ini menjadi staff kantor di sini."
Candra tersenyum lebar, "Ketrima, Bu? Alhamdulillah."
Candra membalas jabatan tangan Ibu prita dan tanpa ia sadari menciuk tangannya.
"Candra, tunjukan kerja terbaikmu di sini. Untuk sementara saya tidak bisa menjanjikan apapun buat kamu, tapi untuk ke depannya dengan berjalanannya waktu akan aku tempatkan kamu sesuai kinerja kamu yang sesungguhnya," ujar Bu Prita sembari beranjak dari tempat duduknya.
"Ya Allah, terima kasih, Bu. Maaf dengan sikap bahagia saya saat ini, sebab saya tak bisa membendung perasaan ini," ujar Candra.
"Iya, Candra. Nggak apa-apa, kok. Mari, saya antarkan ke ruang kerja kamu," ajak Bu Prita.
Candra beranjak dari tempat duduknya, lalu mengekor Bu Prita menuju ruang kerjanya. Lagi-lagi, tatapan dari beberapa staff karyawan membuat Candra merasa risih.
"Dimohon untuk berdiri sebentar." Bu Prita dengan tegas kala mengucapkan itu.
Semua staff yang berjumlah tujuh orang pun berdiri sesuai perintahnya.
"Perkenalkan, ini Candra. Dia staff baru kita, yang akan menggantikan Maya. Saya mohon dengan sangat ke kalian, bantu Candra untuk tahu tata cara bekerja di sini dan bantu dia untuk menyelesaikan tugasnya," pinta Bu Prita.
"Baik, Bu," jawab pegawai kantor ini hampir bersamaan.
Candra pun segera menyambut mereka dengan senyuman dan memperkenalkan dirinya ke yang lain. Yang awalnya ia kira orang di sini ketus dan aneh, justru yang ia lihat sekarang malah sebelahnya.
Mereka menyambut Candra dengan lembut dan sambutan yang membuat ia seketika merasa nyaman. Tak tahu, mereka baik di saat di hadapan pimpinan mereka saja, atau memang real seperti itu.
"Ya sudah, buat Candra semoga betah, ya. Kalau nggak paham, bisa ditanyakan yang lain atau ke saya jugs boleh," ujar Bu Prita sebelum ia meninggalkan ruangan ini.
"Baik, Bu." Candra sedikit membungkukkan badan tanda untuk berterima kasih kepada beliau.
Kepergian Bu Prita dari ruangan itu, mereka yang menjadi teman baru Candra pun menghampirinya tetap ramah dan memperkenalkan diri mereka satu-persatu.
Hari pertama kerja tak sesulit yang ia bayangkan. Di bayangan Candra yang sebelumnya, ia dapat bos yang ketus dan teman-teman kerja yang julid. Tetapi, tak ada satu pun hal yang seperti ia pikirkan sebelumnya.
"Semoga betah di sini, ya. Jangan anggap kami senior dan kamu junior, ya. Kami sama-sama punya tujuan saat bekerja di sini, kami siap membantu kalau kesulitan. Jadi jangan sungkan-sungkan untuk menanyakan," ujar salah satu teman kerjanya.
"Makasih ya, Kak. Kalian baik terhadapku," ujad Candra.
"Sama-sama, so santai aja. Kamu kerjakan yang menjadi kewajibanmu, kira berusaha bareng untuk tujuan masing-masing. Bikin dirimu senyaman mungkin di sini," sahut yang lain.
Hari itu, Candra melakukan tugasnya dengan baik. Teman-temannya pun membantu Candra di tengah kesibukan mereka sendiri. Tak terlihat keegoisan sama sekali dari mereka. Hanya ramah, care dan tegas kala menentukan segala sesutu.
Pemimpinnya pun begitu. Beliau pemilik perusahaan ini justru sangat ramah dan tak segan-segan membantu staff karyawannya yang kesusahan atau kebingungan.
"Pantas saja, yang kerja di sini banyak yang betah lama dan buat perusahaan ini maju. Mereka tunjukan kinerjanya dengan baik karena dukungan penuh dari pemimpinya yang luar biasa." Candra hari itu isi dalam hatinya hanya kagum. Dia tak mampu menjelaskan seperti apa kekagumannya itu.
"Candra," sapa seseorang yang tak lain adalah Desinta.
"Eh, Kak Desinta. Ada yang perlu saya bantu?" tanta Candra.
Desinta pun tersenyum. "Enggak, kok. Aku ke sini hanya ingin mengucapkan selamat buat kamu. Sekoga betah, ya. Ih, kamu kelihafannya asik loh, anaknya. Jangan sungkan untuk menanyakan apa yang belum kamu mengerti, ya."
"Makasih loh, Kak. Kakak orang pertama yang aku kenal di sini. Sumpah, bisa kerja di sini aja nggak nyangka loh, Kak. Eh, nggak tahunya kita satu ruangan juga di kantor ini. Ditambah yang lain juga sangat baik, termasuk pimpinan di sini." Candra mengungkapkan segala kekagumannya dengan yang lain.
Mereka pun mulai berteman. Dengan kebaikan mereka, membuat Candra bersemangat untuk menunjukan kelebihannya di sini. Walaupun sedang mengandung, tetapi sama sekali tak menghalanginya untuk bekerja.Apalagi, tubuh dia yang ramping, membuat tak ada satu pun yang menyadari itu.
Candra juga berharap, walaupun dia sudah bekerja di sini, tak akan pernah melupakan perjanjian yang sudah ia sepakati dengan mamanya Angga. Justru dengan jalan ini juga, ia akan menghancurkan Angga, keluarganya dan bahkan usahanya.
Sepulangnya Candra dari bekerja, ia bergegas masuk ke dalam kamar untuk beristirahat.
"Candra," panggil ayahnya.
"Iya, Yah," jawab Candra.
"Ayah boleh masuk?" tanya Pak Joko.
"Iya, Pak. Silakan," jawab Candra.
Pak Joko pun membuka pintu kamar Candra sembari membawa satu nampan yang berisikan makanan yang ada di piring dan minuman.
"Makan dulu, yuk." Pak Joko perhatian dengan anaknya itu.