Kesialan Ira

1519 Words
Pagi harinya Amira datang tanpa Sean yang membuntutinya, wajahnya selalu berseri sangat cantik, bahkan senyuman tak lepas dari wajah cantiknya. Sungguh teduh, mungkin ini yang membuat mas Sean begitu mencintai Mbak Amira. "Sudah beres Ra." Tanya Amira pada adiknya. "Sudah mbak." "Bu, saya pamit dulu ya." Pamit Amira pada ibu Ira. Semua acara pernikahan suaminya dia yang mengurus, bahkan untuk semua biayanya. Sean hanya memberikan kartu Atmnya dan membiarkan Amira mengatur semuanya. Ira duduk disamping Amira. Mobil pun melaju meninggalkan halaman rumah Ira. Sepanjang perjalanan hanya suara ceramah diradio mobil yang menjadi pengisi suara. Hingga tiba-tiba terbesit sebuah pertanyaan dibenak Ira. "Mbak, ko mbak mau mas Sean menikah lagi, saat wanita diluar sana begitu menjaga suaminya agar tak diambil wanita lain, tapi mbak malah mencarikan istri baru, dan kenapa mbak memilih saya sebagai istri kedua Mas Sean dan adik madu mbak." Amira tidak menjawabnya, dia malah tersenyum begitu manis dan membuat pikiran ini jadi menerka-nerka yang tidak-tidak.. "Sudah sampai, dan suatu saat kamu akan paham apa maksud saya." Ucapnya sambil keluar dari mobil meninggalkan Ira yang mencerna ucapan dari kaka madunya. Ira mengekori Amira yang memasuki butik. "Selamat pagi, Mbak Mira." Sapa karyawan butik. Ira melihat setiap inci butik yang dimasukinya, sangat besar dan mewah, dan pasti harganya tidak murah. "Selamat pagi nona." sapanya pada Ira, membuat Ira sedikit kikuk karna ketahuan katronya. "Sarah tolong ukur badan Ira ya." Ujar Amira pada salah satu karyawan membuat Ira bertanya-tanya. "Siap mbak." "Ra, kamu sama mereka dulu ya, saya kerja dulu kalau sudah selesai kamu langsung keruangan saya aja. Itu dilantai 2." Ujar Amira sambil menunjuk lantai tempat dirinya bekerja. Sekarang Ira tau, kalau Amira adalah pemilik butik ini, pantas saja sangat mewah. "Mari Mbak ikut kita." Tutur salah satu karyawan yang bernama Sarah menuntun jalan menuju ruangan. Di sana Ira di ukur dari segalanya, dari lingkar tangan, pinggang bahkan dadanya. "Wah ini pasti cantik banget kalau pakai rancangan butik ini, mbak gak salah butik. Rancangan tangan mbak Mira itu sudah mendunia." Coleteh Sarah yang sedang mengukur tubuh Ira pun membuat siempu terdiam. Dia begitu malu masuk didalam antara Pak Sean dan Mbak Amira, apa dia batalkan saja ya. "Sudah selesai mbak." Ucap Sarah menyadarkan Ira dari lamunannya. "Ah iya makasih." "Mari saya antar keruangan mbak Mira." Tok tok "Masuk" Sarah mendorong pintu transparan itu. "Sarah tolong buatkan teh ya, sama belikan cemilan." Ujar Amira sambil menyodorkan beberapa lembar uang. "Siap mbak." Sarah pun pergi meninggalkan Ruangan, dia membuatkan dua teh sebelum pergi ke mini market. "Duduk Ra, maaf ya saya kerja dulu." Ucapnya lembut. "Oh iya Ra, kebetulan di rumah ada keluarga Mas Sean nanti kamu ikut ke rumah dulu ya." ujarnya. "Emangnya gapapa Mbak?" Amira pun tersenyum ke arah Ira. "Ya gapapa, mereka juga kan nanti jadi keluargamu." Ira pun terdiam, dia sebenarnya tak siap tapi mau tak mau karena cepat atau lambat dia juga akan bertemu dengan keluarga calon suaminya. Karna sedikit bosan, dia pun mengambil majalah yang ada dibawah meja. Di bagian cover sudah terlihat foto-foto model dengan pakaian yang sangat cantik dan pasti mahal harganya. Ira membuka majalah itu, dia begitu kagum dengan berbagai jenis pakaian yang ada didalam majalah, semuanya sangat indah. "Itu koleksi gaun saya 1tahun lalu, tapi masih banyak yang nanyain. Makannya saya keluarin lagi majalah." Tutur Amira sambil membaca selembaran kertas. "Ini cantik-cantik banget mbak, meskipun sudah 1tahun tapi masih tren." Amira hanya tersenyum dengan pujian Ira. "Iya betul, sama seperti cinta ya" Ucapnya terkekeh. "Oh iya, kamu lihat. Kamu suka yang mana." Amira pun menyodorkan hasil kerjanya. "Apaan ini mbak?" "Itu gaun untuk nikahan kamu nanti, dulu saya pengen banget merancang baju pengantin untuk adik saya. Alhamdulilah sekarang terkabul." "Memang mbak Mira gak punya ade?" Tanya Ira. "Saya anak satu-satunya, ibu saya meninggal pas melahirkan saya, ayah saya menyusul saat saya baru di bangku kelas 2 SMA." Ira yang tak enak hati karna sudah menanyakan hal itu pun langsung meminta maaf. "Maaf mbak." "Tidak apa-apa, makannya saya senang sekarang saya punya adik." Ucapnya sambil tersenyum. "Aku gak bisa milih mbak, soalnya buatan mbak semua bagus. Aku jadi bingung." "Ah kamu bisa saja." "Mbak yang pilihkan saja bagaimana?" "Memangnya kamu mau aku pilihkan?" Tanya balik Amira. "Iya Mbak." Amira pun tersenyum dia memilihkan model gaun yang cocok untuk tubuh Ira. Wajahnya sendu, bahkan butiran bening tertahan di sudut matanya. "Mbak kenapa?" tanyanya. "Saya gapapa, Saya hanya terharu Ra." sahutnya. "Mbak yakin Mbak Ikhlas?" tanya Ira serius. "Bahkan mungkin Aku saja gak Ikhlas Mbak kalau suamiku menikah lagi, bagaimana Mbak bisa Ikhlas." lirih Ira. Amira langsung mengusap sudut matanya yang basah lalu tersenyum. "Kamu betul Ra, Saya hanya manusia biasa yang memiliki ego yang tinggi tapi Saya yakin kamu orang yang tepat bersanding dengan Mas Sean setelah Saya pergi. Itu kenapa Saya memilih Kamu." "Maksudnya Mbak?" "Udah Siang, kita keluar saja yu sekalian makan." ajak Amira yang masih meninggalkan tanda tanya di otak Ira. "Mau kemana Mbak, ini cemilannya." ujar Sarah yang berpapasan dengan Amira dan Ira. "Kamu bagiin aja ke yang lain, Saya mau makan siang dulu sama Ira." "Titip butik ya." "Iya Mbak." *** Ira pulang ke rumahnya pada malam hari setelah berkunjung terlebih dahulu ke rumah Sean untuk bertemu keluarganya. Mata Ira begitu berat karena habis makan malam, wajah Sean yang sedang mengemudi begitu masam bahkan wajah ramahnya kini hilang berganti dengan wajah yang sangat dingin. "Turun!." titah Sean. "Hah." Ira pun melihat sekeliling, "CEPAT TURUN." ucap Sean membentak. "Tapi ini di mana Pak, inikan belum sampai rumah Saya." sahut Ira. "Saya gak perduli, sekarang kamu turun dari mobil Saya." "Tapi.. " Belum selesai Ira bicara Sean sudah keluar dari mobilnya membukakan pintu untuk Ira dan menyeretnya keluar dari mobil. brukk.. "Pak ini kan belum sampai rumah Saya." ucap Ira tapi tak di hiraukan oleh Sean yang sudah kembali masuk ke dalam mobilnya. Mobil itu melesat pergi meninggalkan Ira yang mamatung sendirian di tengah jalan yang cukup sepi karena sudah malam. Butiran bening kini keluar dari sudut mata Ira, bagaimana bisa laki-laki itu memperlakukan dirinya seperti jalang yang di turunkan di tengah jalan. Ira berjalan menyeret kakinya menelusuri jalanan yang sudah sepi karena sudah jam 9 malam. Beberapa kali di mengusap lengannya yang kedinginan karena udara malam. "Laki-laki b******k," umpat Ira kesal, bahkan dia beberapa kali mengusap air matanya karena kesal. "Mau kemana Neng." ucap Seseorang membuat Ira mengerjap kaget. "Permisi Saya mau pulang." Ira pun mempercepat jalannya menghindari segerombolan preman yang tak sengaja Ira lewati. Jantung Ira berdegup dengan kencang saat orang-orang itu mengikutinya. brukk brakkk Ira langsung menoleh saat terdengar orang yang Berkelahi di belakangnya, matanya membulat melihat Sean yang menghajar preman tadi. Brukk bughh bughhh bughhh Preman-preman itu pun pergi dengan wajah babak belur. Sean langsung menarik tangan Ira kembali masuk kedalam mobilnya, dia memang meninggalkan Ira tapi saat tau jalan itu sepi oleh kendaraan dia pun putar balik, benar saja preman yang dia lewati berusaha mengikuti Ira. "Ikut Saya cepat." Ira yang di tarik Sean pun langsung di dorong masuk kedalam mobil. "Jadi perempuan tuh harus bisa jaga diri, jangan suka bergantung terus sama laki-laki untuk melindungi." cetus Sean membuat mata Ira membulat sempurna, bahkan butiran bening tadi kembali keluar dari sudut matanya. "Saya juga gak tau bakalan ada preman." "Ckk!! cengeng. Untung saja kamu baru di ikuti tidak di perkosa. " Ira hanya diam tak mau merespon ucapan Sean yang menurutnya sangat melukai hatinya. Mobil Sean pun kini berhenti tepat di rumah Ira. "Turun." Tanpa banyak bicara pun Ira turun dari mobil Sean. Sean pun langsung pulang tanpa mampir terlebih dahulu. "Baru pulang Ra? Sama siapa?" tanya Tuti sambil melihat kebelakang Ira tapi tidak ada siapa-siapa. "Di antar Mas Sean, katanya Maaf gak bisa mampir dulu." sahut Ira. "Oh ya sudah sana kamu mandi," "Iya Bu." Tubuh Ira masih sedikit gemetaran, bukan karena dingin tapi karena ketakutan di ikuti preman tadi. Meskipun ada Sean tapi rasa takutnya masih saja terasa. "Aku pikir baik, tapi ternyata hanya covernya saja. Mulutnya sangat menyakitkan. Siapa juga yang mau kena musibah, kan dia sendiri yang nurunin aku tengah jalan." "Ya Allah," *** Keesokan harinya Amira mengajak Ira untuk mencari desain undangan yang di inginkan Ira. Amira begitu totalitas untuk pernikahan suaminya ini. "Kita mau kemana lagi Mbak?" tanya Ira. "Cari Undangan, kamu mau ngundang teman-teman kamu kan?" "Bukannya acaranya sederhana aja ya Mbak?" "Iya emang tapi kan harus ada undangan juga biar kamu gak di sangka pelakor." kekeh Amira. "Yasudah deh terserah Mbak saja." ucap Ira pasrah. sungguh sial karena setelah mencari undangan Amira tak bisa mengantarkannya. Lagi-lagi Ira harus di antar manusia kulkas lagi, siapa lagi kalau bukan Sean. Laki-laki itu kembali menurunkan Ira di tengah jalan dengan cuaca yang sangat panas seperti matahari tepat di atas kepalanya. "Inikan masih jauh." "Saya ada meeting, kamu naik taksi saja." ucapnya santai. "kenapa gak dari tadi nuruh naik taksi aja," "Amira bisa ngomel, jadi sekarang kamu turun dari mobil saja." Dengan kesal Ira turun dari mobil Sean, rasanya dia ingin menonjok laki-laki yang akan jadi suaminya itu. brukk Ira membanting pintu mobil dengan sangat kesal. Lagi-lagi mobil Sean melesat pergi begitu saja tanpa menghiraukan Ira. "Ehh tas gue." teriak Ira tapi mobil Sean sudah tak terlihat. "Sial banget hidup gue."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD