“Mati saja kau Alfarazan!” desisku tertahan sambil menatap tajam ke arah ruangan yang pintunya sudah tertutup rapat. Aku menggeram kesal. Andai aku punya tanduk, sudah pasti tandukku keluar karena saking jengkelnya.
“Dell, are you oke?”
Reno menatapku dengan tatapan kasihan, begitu juga Bang Gani.
“Dell?” Suara Bang Gani melembut. “Tarik napas, hembuskan pelan-pelan. Yang sabar, ya...”
Aku menghempaskan pantatku di kursi lalu memijit pelipisku beberapa kali. Jadi begini yang dia maksud mau membantuku melupakan mantan? Memberiku setumpuk pekerjaan yang berkali lipat dengan deadline yang singkat?
What the hell!
“Bilang Mas Doni, gih! Suruh dia balik lagi.”
Tidak ada yang menyahut. Ketika aku melirik sekeliling, Reno, Bang Gani, Juni, juga Leni, mereka semua langsung pura-pura sibuk. Bahkan saking amatirnya Juni yang sekedar ikut pura-pura, dia membaca jurnal keuangan dengan posisi terbalik.
“Kebalik keles, Jun! Enggak usah sok ikutan sibuk!” semburku penuh emosi.
“I-iya mbak.” Juni sudah macam kerupuk kecebur kuah soto, melempem.
Aku memejamkan mata sejenak, memijit pangkal hidungku pelan.
“Mas Doni, aku kangen kamu, Mas. Aku mau dijadiin istri keduamu, daripada kerja rodi di sini.”
Bukannya iba, aku justru mendengar Leni dan Reno terbahak. Sialan! Teman macam apa mereka?
Jadi begini, pemirsa, aku mau kasih tahu kalau Mas Doni sudah resmi resign minggu lalu. Alasannya, dia ingin fokus merawat Ibunya sekaligus mengembangkan usaha keluarga. Jadilah posisi Mas Doni sebagai Manajer Divisi Keuangan digantikan oleh Si Kutil Alfarazan. Itu berarti, dia jadi bos langsungku. Heran juga aku, kenapa dia malah memilih turun pangkat jadi manajer keuangan, kalau dia sendiri harusnya bisa lebih dari itu? Ya secara, dia anak angkatnya Pak Romi gitu, loh!
“Ardella, bisa masuk ruangan saya sebentar?” Sebuah kepala menyembul keluar dan matanya langsung menatap lurus ke mejaku.
Apalagi, woy!
“Iya, Pak.” Aku mengangguk pasrah.
“Apa lihat-lihat?” Aku melotot sebal ke arah Reno dan Bang Gani yang sudah mengulum bibir menahan diri untuk tidak tertawa. Salah apa aku, sampai punya teman macam Reno dan Bang Gani. Eh Leni juga, dia malah sudah terkikik menertawakanku. Kalau aku lelang mereka semua, laku enggak, ya?
Aku baru saja membuka ruangan Pak Razan ketika dia sudah bersuara, “Masuk, duduk sini.”
Dulu, ruangan ini sama sekali tidak terkesan menyeramkan waktu Mas Doni yang menempati. Secara, Mas Doni itu orangnya ramah, baik hati, dan jarang marah. Akan tetapi, berbeda jauh dengan sekarang, rasanya aku sangat menghindari ruangan ini. Pemilik ruangan ini yang tadinya bak malaikat di siang bolong, berubah menjadi maung yang siap menerkam kapan saja.
Rawrrr!
“Duduk sini, Dell. Bukan situ.”
Oke, sabar. Aku berjalan menuju mejanya lalu menarik kursi dan duduk tepat di depannya.
“Ada apa ya, Pak?”
“Yang pembangunan gedung di Magelang, laporan pembiayaannya sudah jadi?”
Astaga, orang ini!
“Bapak baru menanyakan hal ini tadi pagi dan sudah saya jawab kalau deadline-nya masih satu minggu lagi. Ini sudah ditentukan sama Mas Doni sejak awal.” Aku mengembuskan napas pelan.
Sabar Dell,
“Kalau begitu, saya minta tiga hari lagi.”
“Pak? Deadline laporan pembiayaan pembangunan gedung yang di Klaten sudah di ajukan, apa yang di Magelang juga perlu?”
“Memangnya tidak perlu? Bukannya semakin cepat semakin baik?” Aku hanya bisa menggeram dalam hati.
“Baik, Pak, saya usahakan,” jawabku akhirnya. Aku sudah lelah berdebat dengan orang ini.
“Kalau begitu kamu boleh keluar.”
Ya ampun, dia memanggilku hanya untuk membicarakan ini? Oke, aku masih punya banyak stok kesabaran.
“Saya permisi, Pak.” Aku berdiri lalu bergegas pergi.
“Oh iya, Dell,”
Apa lagiiii?
“Iya, pak?”
“Hari ini saya belum lihat kamu tersenyum.”
Apa sekarang senyumku penting, hah? Aku tidak bisa tersenyum juga gara-gara siapa! Memintaku mengerjakan ini - itu seenak jidat. Padahal sudah jelas, Reno dan Leni lebih longgar dibandingkan aku yang sedang dikejar deadline laporan pembiayaan dua gedung sekaligus.
Aku memaksakan senyumku untuk terbit. “Cukup?”
“Cukup, selamat bekerja. Jangan lupa sama deadline-nya ya, Dell.”
Sabarrr, aku sabar. Santai, stok kesabaranku masih melimpah ruah.
***
Aku berjalan gontai keluar kantor. Badanku terasa sangat lelah. Rasanya habis ini mau langsung mandi terus tidur sampai besok. Namun sayang, sepertinya hal itu tinggallah angan kosong karena nanti malam aku harus bangun untuk mengerjakan laporanku yang di kejar deadline.
“Hai, Della.”
Tanpa menoleh pun aku tahu milik siapa suara itu. Siapa lagi kalau bukan Pak Razan? Suara beratnya benar-benar sangat khas. Mengenyampingkan rasa jengkelku padanya karena sudah membuatku kerja rodi hari ini, aku mengakui kalau suara beratnya terdengar- errr apa ya bahasanya? Mungkin... sexy? Ya pokoknya kaya gitu, lah!
“Sudah mau pulang?”
“Apa ada alasan buat saya harus tetap di sini?” Aku menoleh dan mengembuskan napas pasrah melihat laki-laki yang kini berdiri menjulang di sampingku.
Harusnya pemandangan Pak Razan yang sudah melepas jas dan menggulung lengan kemejanya sampai siku, bisa saja merontokkan hati banyak wanita, termasuk aku. Tapi setelah apa yang dia lakukan padaku hari ini, sorry ya, meliriknya saja aku malas!
“Tidak ada.”
“Ya sudah!” Aku tidak bisa menyembunyikan nada ketus di suaraku.
“Kamu pulang-“
“Mbak Della!” Seseorang memanggilku. Aku menoleh dan tersenyum lebar begitu melihat Dimas sudah menungguku dengan motornya. Hari ini berangkat dan pulang kerja aku dijemput Dimas karena motorku sedang dipinjam Bulek buat kondangan ke Wonogiri.
“Siapa?” tanya Pak Razan dengan alis terangkat sebelah.
“Pacar Saya, dong.”
“Oh, ya? Sejak kapan kamu suka berondong? Dia jelas terlihat jauh lebih muda dari kamu.”
“Perlu banget gitu, Pak, saya kasih tahu siapa dia?”
“Mbak Della, buruan!” Dimas berteriak ketika melihatku tak kunjung menghampirinya. Itu bocah kenapa enggak sabaran banget, sih?
“Iya, iya, berisik!” Aku melotot ke arah Dimas. “Saya duluan ya, Pak...”
“Eh sebentar...”
Mataku mengerjap bingung ketika Pak Razan justru lebih dulu menghampiri Dimas.
“Adiknya Della, ya?” tanya Pak Razan begitu dia sudah berdiri tepat di samping motor Dimas yang masih menyala. Dimas hanya mengerutkan alis bingung. Dia melirikku sejenak lalu menatap Pak Razan lekat-lekat?
“Ini siapa, Mbak Dell? Pacar baru? Gantinya Mas Radit?”
Aku mendelik mendengar kalimat Dimas.
“Ya bukan, lah!” Aku melirik Pak Razan dan dia justru tampak biasa-biasa saja. Maksudku, dia tidak terlihat terganggu dengan kata-kata Dimas.
“Nanya doang kali, Mbak. Enggak usah ngegas!” Dimas mencebik.
“Kuliah semester berapa?” tanya Pak Razan kemudian.
“Kok anda kepo sih, Bapak? Naksir adik saya, ya?” tanpa sadar aku terkekeh sendiri, sementara Dimas sudah menatapku horor.
“Enggak lucu, Mbak Dell!” Ekspresi Dimas kini mendadak serius. “Saya semester lima.”
“Jurusan?”
“Teknik Informatika.”
“Oh, kalau begitu sedang ambil mata kuliah APR ya?”
“Iya, kok tau mata kuliah APR?” Mata Dimas mulai menyipit dan alisnya bertaut bingung.
“Saya Alumni Teknik Informatika.”
“Wah, berarti punya buku APR, dong?” Pak Razan mengangguk. APR apaan sih? Aku anak Ekonomi mana tahu apa itu APR?
Aku mundur satu langkah begitu Dimas justru mematikan mesin motor lalu turun.
“Boleh pinjem bukunya enggak, Mas?”
Aku melongo. Ini adikku enggak tau malu banget pinjam buku sama orang yang belum dia kenal.
“Oh iya, belum kenalan. Saya Adimas, biasa dipanggil Dimas. Saya adiknya Mbak Della.” Dimas mengulurkan tangan dan tersenyum lebar. Wah, ini bocah malah ngajak kenalan.
“Saya Razan.” Pak Razan menyambut uluran tangan Dimas dan mereka berjabat tangan.
“Masnya ini temen kantornya Mbak Della? Atau pac-“
“Dim!” Mataku melotot tanda kalau aku melarangnya untuk bertanya macam-macam.
“Aku ada buku APR. Kalau kamu mau, bukunya bisa diambil malam ini juga.” Pak Razan melirikku sekilas lalu kembali menatap Dimas.
“Mau banget, Mas. Kebetulan aku lagi nyari buku itu tapi belum nemu.”
“Ya udah, ikut aku aja habis ini.”
Eh sebentar, mereka sudah pakai aku-kamu? Dimas sontoloyo!
“Dim, kamu ini baru kenal kok SKSD banget sih?”
“Memangnya kenapa kalau adik kamu SKSD sama saya?”
Kali ini mulutku nyaris menganga karena sebelah tangan Pak Razan merangkul bahu Dimas. Dimas Gebleg malah mencibir ke arahku.
“Jangan samakan cowok sama cewek kali, Mbak.” Dimas berkelakar santai.
“Dim-“
“Apa?”
“Dia ini bos-“
“Eh Dim, gimana kalau kamu ikut mobilku aja, biar motormu dibawa kakakmu pulang? Nanti pulangnya aku anter.”
“Wah, boleh tuh, Mas.” Senyum Dimas semakin lebar. Asli, pengen kurobek mulut curut satu ini.
“Eh tapi apa nggak ngrepotin ya?”
“Santai.”
Wah wah, ini mereka baru kenalan belum ada sepuluh menit, tapi lagaknya seperti sudah kenal lama. Dan please ya, umur Pak Razan sama Dimas itu beda jauh. Secara, dari yang aku tahu dari Leni, Pak Razan itu lebih tua dariku kurang lebih empat tahun, dan Dimas lebih muda dariku tiga atau empat tahunan. Berarti mereka ini beda tujuh tahun lebih, dong!
“Dim, kan kamu disuruh Ibu jemput aku, ya? Kok malah aku disuruh pulang sendiri, sih?” Aku menatap garang ke arah Dimas.
“Enggak usah manja deh, Mbak, biasanya juga motoran sendiri. Santai, enggak akan ada yang mau nyulik Mbak Della. Enggak ada faedahnya.”
Kalau jual adik kaya Dimas ada yang mau enggak, ya? Kok aku kesel lama-lama punya adik macam Dimas begini!
“Oh gitu, ya? Awas aja kalau uang jajan kamu kurang enggak usah minta aku lagi!” Sewotku sambil berjalan menuju motor lalu menyalakan mesin.
Aku semakin kesal waktu lihat Dimas justru tidak menghiraukan kalimatku.
“Ya udah Dim, ayo ke parkiran dulu ambil mobil.” Ini juga bos satu enggak ada bedanya.
“Siap, Mas!”
Oke, sepanjang yang aku tahu tentang Dimas, Dimas ini memang anaknya mudah bergaul. Tapi ya enggak gini juga!
“Mbak, hati-hati ya. Enggak usah ngebut!” ucap Dimas setengah berteriak.
“Diem!”
“Eh bentar, Dim, tunggu sini.” Alisku bertaut bingung ketika Pak Razan kembali menghampiriku sementara Dimas tetap diam di tempatnya.
“Apa lagi?” ketusku begitu Pak Razan berdiri tepat di samping motor.
“Adik kamu anaknya seru juga ya?” katanya pelan.
“Ya terus?” Aku memutar bola mata malas.
“Cocok kalau saya jadiin adik ipar.”
Sumpah, rahangku hampir jatuh begitu mendengarnya. Apa katanya?
A-adik ipar?!
***