7. Pulang Kerja

2390 Words
Untuk kesekian kalinya, aku mengerjapkan mata sambil menepuk pipi agar rasa kantukku segera hilang. Padahal belum ada jam sembilan malam, tapi mata sudah sulit diajak kompromi. Kruyuk! Nah, perut juga ikut-ikutan menyuarakan protesnya karena aku memang belum memberi jatah makan malam. Tadi sehabis pulang kerja, aku segera mandi lalu membuka laptop lagi. Aku pikir aku bisa bertahan setidaknya sampai jam sepuluh, tapi ternyata ini bahkan belum jam sembilan dan mataku sudah pengen merem. Kruyuk! Sekali lagi perutku berbunyi. Oke, aku menyerah. Aku harus segera turun ke dapur mencari makanan. “Sepinyaaa...” aku menggumam sambil menuruni tangga. Aku baru tahu beberapa menit yang lalu kalau malam ini Ayah sama Ibu tidak pulang. Mereka memutuskan untuk menginap di rumah bulek di Condongcatur. Sedangkan Dimas, anak itu masih belum pulang karena di culik bos k*****t. Aku tertawa sumbang mengingat kalimat terakhirnya sebelum tadi aku beranjak pulang. Jadiin Dimas adik ipar? Mimpi kali, ah! Aku berjalan menuju lemari dapur dan mencari apakah ada mie instan yang tersisa. Ibukku jarang sekali membeli mie instan, tapi bukan berarti beliau tidak pernah membelinya. Beliau bilang, kami –maksudku entah itu aku, Ayah, atau Dimas— boleh makan mie instan dengan syarat kalau keadaan lagi darurat saja. Dan sekarang, kondisiku bukan darurat lagi, tetapi hampir sekarat. Oh oke, aku mulai lebay. “Entah aaapaaa, yang merasukimuuu. Hingga kau tega mengkhianatiku—“ Aku mulai bersenandung tidak jelas sambil menyalakan kompor dan meracik bumbu mie instan. Rasa-rasanya lagu itu sangat cocok dengan kondisiku saat ini. Apa jangan-jangan lagu ini viral karena penyanyinya tahu kalau aku habis dikhianati? Haha, ngaco banget! Sekitar sembilan menit lebih lima puluh sembilan detik berikutnya, aku tersenyum puas karena mie instan-ku sudah matang. Aku menghirup aroma surgawi itu dengan perasaan bahagia. Jujur deh kalian, kalau lagi lapar-laparnya, terus nyium bau indomie goreng, pasti rasanya perut langsung bergejolak minta dipuaskan. Iya kan, iya kan? “Mbak Della, Ibu sama Ayah mana?” Eh? Aku tersadar dari mabuk gara-gara indomie goreng di tanganku. Dimas sudah berdiri beberapa meter di depanku sabil menatapku tanpa ekspresi. “Ibu sama ayah mana, Mbak?” “Enggak pulang. Nginep di rumah Bulek.” “Oh, pantesan sepi.” Aku mengedikkan bahu tak peduli lalu berjalan melewati Dimas untuk membawa indomie goreng naik ke kamarku. Aku tak mengkhawatirkan air minum karena di nakas tempat tidurku selalu tersedia teko kecil berisi air putih. Aku emang kalau minum macam onta, banyak banget. “Jadi begini penampilan kamu di rumah?” Eh ada suara mahluk halus. “Siapa?” Mataku mendelik kaget ketika aku benar melihat mahluk halus sedang duduk di sofa ruang tamuku. Eh tapi sejak kapan mahluk halus bisa seganteng itu? Yang ada bukannya kabur, malah menghampiri dengan suka rela. Gini, nih! Kalau lagi lapar, otak seorang Ardella memang suka mendadak konslet. “Bapak sejak kapan di situ?” tanyaku sambil menatapnya horor. “Sejak kamu menghirup mie goreng seperti menghirup parfum harga jutaan.” Aku mencibir. Bahkan bau mie goreng lebih menggoda daripada parfum harga jutaan. Setidaknya untuk saat ini. “Mas, mau minum apa?” Dimas berteriak dari arah dapur. “Apa aja, Dim.” Detik berikutnya, Dimas datang dengan dua botol cola berukuran kecil. Dia melempar botol itu, dan Pak Razan menangkapnya. Aku melongo tak percaya melihat pemandangan seperti itu. “Mingkem, Mbak, kemasukan laler sukurin.” Bibirku reflek terkatup. Sialan emang si Dimas. “Itu seriusan kakak kamu, Dim, bukan adik kamu?” Pak Razan melihatku dari atas sampai bawah. Ada yang salah denganku? Pakaianku sopan, kok. Saat ini aku pakai piyama lengan panjang dengan celana yang panjang juga. “Mbak Della itu meski udah tua, masih suka Doraemon. Percaya deh, Mas.” “Heh, tuyul! Emang kenapa kalau suka Doraemon? Dia lucu, kok.” “Iya, serah Mbak Dell aja.” Aku memutar bola mata malas lalu beranjak naik meninggalkan mereka. “Mbak, koke nggak sopan sih, sama bos sendiri?” Oh, sepertinya Pak Razan sudah mengaku sama Dimas kalau dia itu bosku. Aku menoleh sejenak lalu tersenyum. “Kan sekarang dia tamu kamu, bukan tamuku. Aku enggak pernah tuh, ngenalin kamu ke dia, ‘kan kamu yang kenalan sendiri.” “Mbak—“ “Udah diem. Aku mau naik, keburu indomie-nya dingin!” potongku cepat lalu kabur ke lantai dua tempat kamarku berada. Bodo lah, males aku ngurusin mereka berdua. Tapi jujur deh, aku masih super heran sama mereka kenapa bisa cepat akrab begitu. *** “Uwaaah! Akhirnya...” Aku merenggangkan otot-ototku setelah beberapa jam terakhir hanya duduk diam menatap layar laptop. Akhirnya, laporanku selesai. Mataku mengerjap sambil menatap sekeliling ruangan yang sudah sepi tinggal aku seorang. Leni dan yang lain sudah pulang sekitar dua jam yang lalu. Aku sendiri memutuskan tinggal lebih lama untuk menyelesaikan laporanku di kantor. Tujuannya cuma satu, nanti begitu sampai rumah, aku bisa langsung mandi terus istirahat. Aku menatap pintu ruangan Pak Razan yang masih tertutup rapat. Aku yakin orangnya masih di dalam, soalnya aku belum lihat dia keluar sejak makan siang tadi. Entah apa yang dia kerjakan di dalam sampai betah tidak keluar berjam-jam. Bahkan aku juga tidak melihat dia mengunjungi pantry sekedar untuk membuat minum. Aku merapikan mejaku dengan hati-hati, tak ingin menimbulkan suara. Aku melirik lagi ruangan Pak Razan yang masih tampak gelap. Apa dia tidak ada niat menyalakan lampu? Memang bisa, ya, kerja sambil gelap-gelapan begitu? “Pak... Pak Razan?” Aku memutuskan untuk mengetuk pintu. Tidak tahu kenapa, aku punya firasat kurang bagus. Ya bukannya gimana-gimana, selain karena aku tak melihatnya keluar sama sekali, dia juga tak menyalakan lampu ruangannya padahal ini sudah hampir jam tujuh malam. “Pak Razan?” Aku membuka ruangannya perlahan. Gelap. Aku meraba-raba dinding untuk mencari saklar lampu. “Pak Razan?” Aku tak menemukan dia di mejanya. Ke mana, dong? Apa aku saja yang tidak lihat dia keluar? Ah tapi masa iya? Meski aku sibuk dengan laptopku, tapi aku tidak fokus-fokus amat sampai tak sadar kalau ada orang melewatiku. “Loh? Pak Razan!” Aku segera menghampiri mejanya. Ternyata orangnya menelungkupkan kepala di sana. Barusan waktu aku masuk, kepalanya tertutup tumpukan berkas. “Pak,“ “Hm...“ Dia hanya menggumam tak jelas. “Pak, nggak pulang emang?” “Gimana?” Kali ini kepala Pak Razan terangkat menatapku. Aku cukup terkejut karena melihat wajah Pak Razan sangat pucat. “Bapak sakit, ya?” “Enggak.” Dia menggeleng, lalu berdiri. Aku melihat dia mengurut tengkuknya beberapa detik. “Kenapa masih berdiri di situ?” tanyanya sambil meraih jas yang dia taruh di sandaran kursi. “Ini juga mau pulang, kok.” “Kenapa masuk sini?” “Penasaran aja, soalnya udah malem tapi lampunya enggak dinyalain. Siapa tahu Pak Raza ternyata pingsan di dalam sampai besok pagi.” Aku bergidik. Pak Razan memicingkan matanya. “Jadi kamu sedang mengkhawatirkan saya, hm?” “Idiiih, kaya enggak ada kerjaan lain aja. Bedakan antara khawatir sama peduli. Saya kan berperikemanusiaan, makanya saya masih punya rasa peduli sama sesama manusia. Kecuali kalau Bapak bukan manusia, itu beda cerita.” “Terserah kamu sajalah.” Aku diam tak menanggapi. Pak Razan memejamkan matanya sejenak lalu memijit pangkal hidungnya. “Mau tetap berdiri di situ? Saya mau pulang,” ucapnya ketika aku diam tak beranjak kemana pun. “Eh ini juga mau pulang, kok.” Aku bergegas keluar dan Pak Razan mengikutiku di belakang. “Bapak duluan saja, saya mau ke kamar mandi sebentar,” ucapku ketika Pak Razan mengunci ruangannya. Lagi-lagi aku melihat Pak Razan memijit pangkal hidungnya. “Tidak ada yang menunggu kamu,” sahutnya datar. “Yaaa...” Dasar manusia tak tahu terimakasih. Coba saja kalau aku tidak masuk ke ruangannya, bisa-bisa dia tidur semalaman di kantor dengan posisi kepala telungkup di atas meja. Bayangkan betapa pegalnya dia besok pagi? Setelah selesai buang air kecil, aku segera merapikan bajuku di depan kaca wastafel. Namun, ketika aku hendak berjalan keluar, aku terpleset dan jatuh. “Arrghhh!” Aku menjerit begitu pantatku sukses mendarat di lantai basah. “Ada apa Dell?” Aku mendengar gedoran dari luar. “Ardella? Hei! Kamu kenapa?” Itu suara Pak Razan. Dia belum pulang rupanya? “Enggak papa, Pak!” balasku sambil berteriak. Aku mencoba bangun, tetapi gagal. Pantatku sakit bukan main. “Della?” “Saya enggak papa, Pak. Pak Razan pulang aja sana...” Aku mencoba bangun sekali lagi, tetapi lagi-lagi gagal. Sebentar, biasanya kalau habis jatuh memang jangan berdiri dulu kan, ya? “Saya masuk, ya, Dell?” “Jangan!” Telat. Detik berikutnya Pak Razan sudah berdiri di depanku karena nekat menerobos toilet wanita. “Kaya gini yang kamu bilang enggak papa?” badanku langsung menegang ketika Pak Razan menutupi rokku dengan jasnya lalu mengangkatku keluar. Sumpah rasanya malu banget. Tapi bentar, suhu badan Pak Razan panas banget woy! “Makanya hati-hati sama lantai basah!” omelnya setelah mendudukkanku di kursi. “Bapak demam, ya?” tanganku reflek terulur menyentuh keningnya. Namun, secepat kilat Pak Razan menepis tanganku. “Saya baik-baik saja.” Tidak, aku yakin Pak Razan tidak baik-baik saja. Waktu Pak Razan mengangkatku, aku dapat merasakan badannya panas sekali. Bukan panas yang aneh-aneh ya, ini panas beneran. Macam panasnya orang lagi demam. Pokoknya seperti itu! “Pak, jasnya ikutan basah.” Aku menatap jas mahalnya yang malang. “Enggak papa.” “Yang waktu itu aja belum saya kembalikan.” “Enggak dikembalikan juga enggak papa.” “Bapak jijik ya, karena jasnya kena ‘itu’?” Aku meringis. “Sama sekali enggak. Saya juga berasal dari sel telur Ibu saya yang berhasil dibuahi. Andai enggak dibuahi, akan berakhir seperti itu juga. Kenapa harus jijik?” Mau tidak mau aku tersenyum. “Maaf ya, Pak?” “Ya.” Hening. “Pak—“ “Apa saya sudah setua itu sampai kamu manggil saya Pak Pek Pak Pek kaya gitu?” potongnya sambil menatapku tak suka. “Ya terus manggil apa dong?” “Dulu perasaan kamu manggil Doni enggak pakai sebutan Pak, kan? Doni kan seumuran dengan saya.” “Mas Doni mah beda. Dia sendiri yang minta dipanggil dengan sebutan Mas. Dia juga sudah menganggap kami ini adik-adiknya. Kecuali Bang Gani tentu saja, karena Bang Gani bahkan lebih tua dari Mas Doni.” “Kalau saya minta dipanggil kaya Doni, kamu mau?” Kamu? Harusnya dia pakai ‘kalian’ bukan ‘kamu’. “Jadiin kami-kami ini adik? Wah mau-mau aja. Dan biasanya kakak laki-laki itu perhatian sama adik perempuannya. Misalnya sering traktir gitu.” Membayangkan saja sudah membuatku senyum-senyum sendiri. “Kalau sering jajanin kami, ntar— Aw!” Aku mengaduh ketika dahiku tiba-tiba disentil. “Apasih yang ada di dalam otak kecilmu ini?” Deg! Dadaku tiba-tiba berdesir ketika usapan tangan besar itu mengenai kepalaku. “Eee— saya mau pulang.” Aku langsung berdiri dan itu membuat jas di pangkuanku otomatis terjatuh. Pak Razan memungutnya lalu mengalungkannya di pinggangku persis seperti waktu itu. Asli, ini dejavu banget! “Rok kamu basah, pakai itu dulu buat nutupin.” “Ini pasti jas mahal.” “Exactly! Harganya sekitar dua bulan gaji kamu.” “Pamer!” Senyum Pak Razan justru terbit ketika melihatku mendengus. Ini laki-laki benar-benar susah sekali ditebak. “Bisa jalan?” “Bisa, lah. Aslinya saya cuma kepleset, bukan keseleo. Tapi bapak keburu masuk main ngangkat aja. Padahal saya berat.” “Betu sekali, kamu perempuan terberat yang pernah saya angkat.” Aku menggeram, lalu meraih tas selempangku, baru kemudian berjalan meninggalkan Pak Razan yang justru sedang terkekeh. Dia memangnya tidak tahu kalau perempuan itu paling sensitif dengan berat badan? Apalagi yang ngomong laki-laki! “Tunggu saya, Dell.” Pak Razan berlari dan berhasil masuk lift yang sama denganku. Namun tepat ketika lift mulai berjalan turun, Pak Razan tertunduk memegangi kepalanya. “Kenapa, Pak?” “Dell,” Pak Razan melirih pelan. Sebelah tangannya mencengkram lengan kiriku. “Pak, Pak Razan kenapa, hei? Pak—” Aku memegangi bahunya semampuku. “Pak,” “Della...” suaranya terdengar semakin pelan. “Pak Razan!!!” Aku berteriak cukup kencang ketika Pak Razan tiba-tiba ambruk di pundakku. “Jangan teriak,” bisiknya lemah. Oh, dia belum pingsan? “Bapak sakit apa?” Kali ini Pak Razan menegakkan badannya dan wajahnya semakin terlihat pucat. Kan, apa aku bilang? Pak Razan memang sedang tidak baik-baik saja. Kali ini ketika tanganku terulur menyentuh dahinya, dia diam tak menepis seperti tadi. “Ya ampun, ini panas banget!” “Sssst. Jangan teriak.” Aku membekap mulutku lalu mengangguk. Begitu lift terbuka, kami melihat masih ada beberapa orang di lobi. Aku langsung menjaga jarak dengan berjalan di belakang agar tidak ada yang salah paham. Aku terus mengekor dibelakangnya bahkan ketika kami sudah sampai di parkiran. Aku diam melihat Pak Razan dari jarak beberapa meter. Dia yakin mau pulang sambil nyetir mobil dengan kondisi seperti itu? “Pak, tunggu!” Akhirnya, kuputuskan untuk menghampiri mobilnya. “Ada apa?” “Yakin mau nyetir mobil sendiri? Dengan kondisi kaya gini?” “Mau bagaimana lagi?” “Sebentar, saya telfon Dimas dulu. Biar Dimas yang nyetir.” “Jangan, kasihan adik kamu.” “Ini malam sabtu, anak itu pasti di rumah temannya main game. Dan rumah temennya dekat sini, lima menitan udah sampai. Atau bisa jadi kurang dari itu.” Pak Razan diam. Aku langsung menelfon Dimas, dan benar saja, anak itu memang sedang ada di rumah temannya yang letaknya dekat sini. “Dimas langsung otw,” ucapku begitu menutup telfon. “Tunggu saja sebentar lagi. Saya pulang dulu ya, Pak...” Aku berjalan menuju motorku sementara Pak Razan diam di samping pintu mobilnya. Aku menolehnya dan memaksakan senyumku untuk terbit. Maksudku, supaya dia tidak usah merasa tidak enak begitu. Walau bagaimanapun, aku tetap tidak akan membiarkan siapa pun yang sedang sakit menyetir mobil sendiri. Tidak peduli itu Pak Razan atau bukan. “Della,” Keningku bertaut bingung ketika Pak Razan berjalan mendekat. Aku yang sudah naik motor, akhirnya kembali turun. “Ada apa, Pak?” “Terimakasih...” Mataku membulat sempurna ketika Pak Razan tiba-tiba memelukku erat. Ralat, sangat erat sampai rasanya tulangku bisa saja remuk. “P-pak?” Pak Razan tidak menyahut. Tanganku rasanya kaku, tak mungkin aku balas memeluknya. “Mbak Della, Mas Razan!” Begitu mendengar suara Dimas, aku reflek mendorong Pak Razan kuat dan langsung berhasil. “DIMAS?” “Ini aku datengnya kecepetan, gitu ya?” Dimas meringis sambil menggaruk tengkuknya. Tak lupa, ada teman Dimas di belakang yang sedang mengulum senyum. What the— ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD