5. Tawaran Razan

2606 Words
Tarik napas, keluarkan. Tarik napas lagi, keluarkan lagi. Tarik napas lagi, tahan satu jam. Oke, aku mati. Apasihhh! Sudah sekitar lima menitan aku berada di kamar mandi hanya berdiri di depan kaca wastafel. Aku melirik arlojiku, masih jam delapan kurang sepuluh menit. Aku melongok ke arah lobi, berharap Pak Razan sudah pergi ke ruangannya. Aku tersenyum lega begitu tidak mendapati Pak Razan di sana. Pasalnya, sekitar lima menit yang lalu, baru saja aku masuk lobi, aku melihat Pak Razan sedang berdiri di dekat jendela dengan ponsel di telinganya. Begitu melihat dia ada di sana, aku langsung menutup wajahku dengan tas lalu ngacir ke kamar mandi. “Udah pergi, kan?” aku menggumam sambil mengelus d**a pelan. Lega rasanya. Asli, rasanya aku sudah tidak punya muka lagi di depan Pak Razan gara-gara kejadian kemarin sore. Aku tahu, tindakannya itu menandakan kalau dia gentle, tetapi tetap saja aku malu bukan main. Ketahuan tembus sama teman sendiri saja, kalau itu laki-laki, aku sudah malu setengah mati. Lha ini kok sama Pak Bos, sudah begitu dia masih merelakan jasnya untuk menutupi rokku, bahkan sekaligus merelakannya untuk aku duduki sampai rumah. Aku tahu jas itu pasti mahal. Terasa dari bahannya yang halus ketika semalam aku cuci dengan tangan. Ting! Begitu lift terbuka, aku segera masuk dan menekan tombol menuju lantai tempat ruanganku berada. Sepanjang lift naik menuju ruanganku, aku terus merapalkan doa supaya hari ini aku dihindarkan dari Pak Razan. Kalau boleh, aku malah ingin menggantikan Juni survey lokasi ke Gunungkidul agar hari ini aku tidak ada di kantor. Jadi dengan kata lain, aku bisa aman. Please, setidaknya hari ini aku jangan bertemu dulu dengannya. “Pagi, semuanya!” sapaku begitu masuk ke ruangan. “Hm,” “Pagi,” “Juga.” “Loh, Juni mana?” Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. “Kan Juni ke Gunungkidul.” Itu suara Bang Gani. “Lah emang langsungan, Bang?” “Habis finger print, anak itu langsung cus sama anak divisi sebelah.” Yah, aku kecewa pemirsa! “Kemarin jadi ke Magelang, Dell? Gantiin Mas Doni?” tanya Reno sambil berjalan ke arahku. Dia menyerahkan laporan mingguan yang kemarin sempat aku tagih karena Mas Doni yang memintanya. “Iyap.” Aku menerima map yang dibawa Reno terus menyatukan dengan laporan mingguanku. “Hari ini berarti kamu juga yang nemenin Pak Razan ke Klaten buat ngecek gedung satunya?” “Hah? Emang Mas Doni enggak masuk?” “Mas Doni izin cuti tiga hari, Dell. Lusa dia baru berangkat.” Matilah, aku! Aku lupa kalau perusahaan lagi bangun dua gedung sekaligus. Satunya di Magelang, satunya lagi di Klaten. “Kecelakaan yang menimpa ibuknya cukup parah soalnya. Dan kamu juga tahu kalau Mas Doni itu anak tunggal,” lanjut Reno setelah kembali ke mejanya. “Eh, Ren, gimana kalau kamu aja yang gantiin Mas Doni?” Aku menoleh ke arahnya sambil menunjukkan ekspresi memelas. “Ogah! Kan yang itu emang tanggungjawab kamu sama Mas Doni. Kalau Mas Doninya enggak bisa, ya kamu berarti yang gantiin dia.” “Iya, Dell, kan proyek gedung di Magelang sama Klaten emang tugasnya kamu.” Bang Gani ikut menimpali. “Lagian kalau aku jadi kamu malah seneng lah, bisa berduaan sama Pak Bos ganteng!” sahut Leni dengan mata tetap fokus pada layar laptop di depannya. “Gimana kalau kamu aja yang gantiin aku, Len?” Ah iya! Kan ada Leni! “Aku mau-mau aja sih, kalau berduaan sama Pak Bos ganteng, tapi aku ogah kena marah karena enggak tahu menahu tentang gedung di Klaten. Jadi, daripada aku kena semprot karena enggak tahu apa-apa, aku mending merelakan ayangku berduaan sama kamu.” “Ayang-ayang pala lo peyang!” Reno melempar bulpoin ke arah Leni. “Apasih, Ren, kok malah lu yang sewooot!” Leni mendelik marah, sementara Reno hanya menjulurkan lidah tak peduli. “Sssst udah kalian ini, kalau berantem terus ntar jodoh loh.” “What? Aku, jodoh sama Leni? Mending enggak nikah seumur hidup ajalah!” “Heh kutu! Yang mau sama situ siapa? Mit amit!” Aku dan Bang Gani hanya geleng-geleng melihat Leni dan Reno yang mendadak perang saudara. “Udah, ah! Malah berantem.” Aku mengehentikan aksi Leni yang sudah bersiap melempar Reno dengan bolpoin di tangannya. “Eh Len, gimana kalau aku kasih tahu detail tentang gedung di Klaten? Jadi kamu bisa tetep berduaan sama Pak Razan tanpa takut kena semprot? Ya, ya? Mau ya, Len?” lanjutku kemudian. “Beneran? Eh tapi kerjaanku di sini gimana, Dell? Aku masih harus kerjain laporan pengeluaran biaya untuk pembelian tanah di Kulon Progo.” “Ah gampang kalau itu. Biar aku yang gantiin kamu bikin—“ Tok tok tok! Kalimatku berhenti ketika pintu ruangan kami diketuk. “Ardella sudah datang?” Mataku mendelik melihat siapa yang saat ini berdiri di ambang pintu sambil mengedarkan pandangan. Aku langsung menundukkan kepala dan menyenggol lengan Leni kuat-kuat. “Dell! Kok malah ngumpet sih?” Demi apa pun aku ingin mencekik leher Reno saat ini juga! “Ardella?” Aku menegakkan badan lalu meringis. “Iya, Pak?” “Doni bilang yang gantiin dia menemani saya ke Klaten juga kamu.” “I.. iya, Pak.” Pak Razan langsung pergi begitu aku mengiyakan. Aku menggeram dalam hati. Sumpah ya, ini kenapa jadi begini, sih? Please, jangan ada hal memalukan lagi! *** “Della, kamu mendengarkan saya?” “Hah? Iya pak?” Aku gelagapan ketika tiba-tiba wajah Pak Razan sudah berada sangat dekat dengan wajahku. “Kamu melamun, ya?” Pak Razan menatapku tajam. “E-enggak kok, Pak.” Aku mengetuk kepalaku berkali-kali berharap kesadaranku segera kembali. Sejak tadi berangkat, aku banyak diam dan otakku sudah melayang entah kemana. Tak lupa sesekali aku juga mengecek rokku, takut hal kemarin terulang kembali. Karena bagaimanapun juga, hari keduaku tak beda jauh dengan hari pertama. Sama-sama mbanjir. “Kalau begitu saya tanya apa barusan?” “Eee, eee... Bapak tanya kapan target gedung ini selesai kan?” Aku menebak asal, lalu meringis. “Lucu?” Aku bungkam. Bahkan untuk menatap balik Pak Razan saja aku tak memiliki cukup keberanian. Otakku benar-benar sedang kacau. “Maaf, Pak.” Aku menunduk dalam-dalam. “Kamu kira perusahaan menggaji kamu untuk melamun kaya gitu?” Suara itu terdengar menakutkan di telingaku. Aku tahu, aku salah. Makanya aku hanya diam dan minta maaf. “Saya minta maaf, Pak.” Aku semakin merasa bersalah ketika melihat Pak Razan menghampiri pengawas pembangunan gedung untuk berbincang beberapa saat. Aku berlari mengekorinya begitu dia berjalan menuju mobil. “Pak, saya minta maaf. Saya-“ “Kamu kenapa dari tadi menghindari tatapan saya?” “Heee?” Aku mendongak dan tatapan mata kami bertemu. Mata beningnya masih terlihat sama seperti pertama kali aku melihatnya malam itu. Kepalaku reflek mundur ketika wajahnya mendekat. Alisnya terangkat lalu menyatu. “Kita makan siang dulu.” Mataku mendelik ketika Pak Razan tiba-tiba meraih pergelangan tanganku dan menarikku menuju rumah makan padang yang terletak sekitar lima puluh meter dari area pembangunan gedung. Langkahku sedikit terseok karena susah mengimbangi langkahnya yang lebar. “Pilih yang kamu suka,” ucapnya begitu kami masuk rumah makan. Nadanya terdengar seperti perintah, alih-alih seperti membebaskanku memilih makanan yang mana saja. “Saya enggak lapar,” jawabku bohong. Jelas aku lapar, mengingat ini sudah hampir jam dua siang. Tapi kalau boleh jujur, aku tidak begitu suka masakan padang. Tolong jangan ada yang tersinggung. Masakan padang bukannya tidak enak, hanya saja lidahku kurang cocok dengan cita rasanya. “Enggak lapar kamu bilang?” Pak Razan melirik arlojinya dan menatapku heran. “Ya sudah, nasi sama ayam saja. Enggak usah pakai kuah.” “Kamu yakin? Yang khas dari masakan Padang ya kuahnya.” Aku berjinjit lalu berbisik tepat di telinganya, takut si pemilik rumah makan mendengarku. “Lidah saya kurang cocok sama masakan Padang, Pak.” Entah hanya perasaanku saja atau bukan, aku melihat kulit leher bawah telinga Pak Razan seperti meremang. “Ya sudah, kita cari tempat makan yang lain.” Seketika, aku dibuat bergidik begitu melihat Ibu-ibu pemilik rumah makan melirik tak suka ke arahku. “Kalau enggak jadi ya jangan membuat saya berdiri menunggu terlalu lama,” ucap Ibu itu garang. Dilihat dali ukiran alisnya yang mirip sinchan, aku yakin ibu ini orangnya galak. Lagipula yang beliau maksud menunggu terlalu lama itu apanya, sih? Aku sama Pak Razan bahkan belum ada lima menit masuk rumah makan ini. “Kebanyakan mikir. Jadi beli atau enggak, nih?” Ini ibu satu tidak tahu kah, kalau pembeli adalah raja? Belum-belum sudah marah-marah tidak jelas. “Maaf bu, istri saya lagi ngidam jadi sukanya aneh-aneh. Ibu jangan marah, ya?” “Uhug-uhug!” Aku langsung tersedak ludah begitu mendengar kalimat Pak Razan yang keluar lancar tanpa hambatan. “Oooh, lagi ngidam, toh?” Kali ini aku justru dibuat heran karena mendadak Ibu yang tadi sudah terlihat ingin menelanku, tiba-tiba menatapku dengan tatapan lembut. “Ibu juga kaya gitu dulu, suka plin-plan. Tiba-tiba pengen makan ini, eh udah dibeliin, malah berubah pengen makan yang lain. Hamil muda, ya? Perutnya masih rata begitu.” “Uhug! I-ya bu.” Aku meringis sambil menunjukkan senyum terpakasaku. Okelah, daripada kena semprot. Aku melirik Pak Razan tajam dan dia justru memalingkan wajah. “Ya sudah, Bu, kami pamit dulu. Kami minta maaf,” “Iya, enggak papa, Mas. Semoga istrinya sehat terus sampai lahiran.” “Amin, Bu. Terimakasih.” Totalitas sekali orang ini. Masih sempat mengamini! Begitu keluar rumah makan, Pak Razan berjalan mendahuluiku. “Mau makan apa, Dell?” Aku menggeram kesal karena menabrak punggungnya. Ini orang hobi sekali berhenti tiba-tiba. “Mau makan apa, Della?” tanyanya lagi. “Saya pengen makan Bapak!” ketusku sambil mundur satu langkah. “Oh boleh, mau bagian mana?” Wah, malah nantangin. Aku meraih sebelah tangannya lalu menggigitnya kuat. “Ardella!!!” Pak Razan mendelik dan menatapku tajam. Dia menarik tangannya lalu mengusap bekas gigitanku. “Katanya boleh?” balasku santai lalu membuka pintu mobil bagian belakang. “Saya bukan supir, kalau kamu lupa.” Aku menutup kembali pintu belakang kemudian membuka pintu depan. Katakan aku adalah bawahan kurang ajar, tapi kalau atasannya model begini, mana betah aku diam saja? “Loh, Pak Razan? Della?” Aku menoleh tak jadi masuk mobil ketika mendengar suara perempuan menyapa kami. “Siapa, ya?” tanya Pak Razan bingung. “Loh, Rere? Ngapain di sini? Enggak kerja?” Keningku berkerut samar ketika melihat Rere saat ini berdiri di depan Pak Razan. “Hari ini aku ambil cuti, Ayahku masuk rumah sakit lagi.” Oh iya, rumah Rere kan memang di daerah sini. Aku paham letak rumahnya karena beberapa kali sempat berkunjung. Tapi itu dulu, waktu kami masih baik-baik saja. Kalau sekarang, jelas sudah tidak akan pernah sama lagi. “Ini juga lagi nunggu Mas Radit mau jemput,” lanjutnya santai. SHIT! Aku bakal ketemu Radit, dong! Ini Rere sengaja mau memanasiku, begitu? Oke, baiklah, silahkan. Sekarang mereka berdua boleh tertawa di atas penderitaanku. Tapi lihat saja nanti, aku akan cari cowok yang lebih ganteng, lebih kaya, lebih hot dari Radit. Dan yang pasti yang setia plus bukan otak s**********n. Pokoknya lihat saja! Kalau boleh jujur, sedikit mengenai Radit, secara luarnya dia memang ganteng, tajir, tinggi, dan badannya juga bagus. Dia Pacarable, katakanlah begitu. Sayang sekali, dia yang sudah diberi kelebihan begitu banyak, malah jadi tukang selingkuh! “Oh gitu. Ya udah, kami balik dulu ya, Re,” Aku membuka pintu mobil. Namun, tiba-tiba saja tanganku ditahan oleh Pak Razan. “Memangnya saya sudah bilang mau pulang?” Demi squidward yang tidak pernah pakai celana! Ini Pak Razan tidak tahu, apa, kalau aku mau bertemu mantanku yang otak s**********n itu? Atau justru dia sengaja karena ingin tahu? “Loh, katanya tadi mau makan siang, Pak? Kan saya enggak suka nasi padang, terus Bapak sudah setuju buat cari tempat makan lain. Kita makan bebakaran aja kaya kemarin. Gimana?” Aku bicara sok akrab. Sengaja, biar Rere dengar. Aku mau mengumpat rasanya waktu Pak Razan justru hanya melirikku malas. Ini orang kenapa tidak bisa diajak kompromi, sih? Tadi saja dia bisa. Malah dia dulu yang bilang kalau aku ini istrinya yang sedang ngidam demi tidak kena omelan Ibu-ibu Nasi Padang. Emangnya kalau aku beneran ngidam, dia mau tanggung jawab? “Hai, Re! Sudah lama?” Matilah aku! Mobil merah Radit berhenti sekitar lima meter dari tempat kami berdiri saat ini. “Eh ada Della, hai!” Bunuh, enggak? Bunuh, enggak? Bunuh mantan itu dosa atau enggak, sih? “Hai, Dit...” Aku membalas kikuk. “Mas Radit jadi bawain Bika Ambon buat Ayah, kan?” Serius, demi apa pun aku ingin sekali menimpuk kepala Rere pake batu bata. Dia pasti sengaja begitu di depanku. “Iya dong, Sayang. Malah aku bawain dua kotak.” Preeet, sok pakai sayang-sayangan segala! Seumur-umur pacaran denganku, Radit tidak pernah memanggilku sayang. Eh pernah, ding, beberapa kali kalau dia sedang ingin mengajakku begituan. Tapi najis. Tidak sudi, aku! “Pak, Saya masuk mobil dulu, ya? Kepala saya tiba-tiba pusing,” kataku pelan sambil menarik ujung jasnya. Aku beneran pusing. Bodo amatlah, kalau aku terlihat menyedihkan di mata sejoli busuk itu. Aku sudah tidak kuat kalau harus melihat mereka pamer kemesraan di depanku. Selain tidak punya hati, mereka juga tidak punya malu. Terutama si Rere, sudah tahu lagi cuti, malah dengan santainya pacaran di depan atasan sendiri. Enggak ngotak namanya! “Kamu pusing? Darah rendah kamu kambuh?” Aku agak terkesiap ketika Pak Razan tiba-tiba memelukku dan mengusap kepalaku beberapa kali. Wadidaw, Pak Razan wangi banget! “Dell?” Aku hanya mengangguk mengiyakan. Pak Razan tahu dari mana aku punya darah rendah? Atau dia hanya asal menebak? “Mau pulang?” Nada lembut itu membuatku merasa diperhatikan lagi, setelah beberapa bulan terakhir aku banyak ‘makan ati’. Rasanya aku mau nangis, sumpah! “Semoga Ayah kamu lekas sembuh ya, siapa tadi? Rere ya?” “I—ya pak.” Aku mendengar suara Rere tampak bergetar. Mungkin dia sangat terkejut karena melihat Pak Razan memelukku. Aku sendiri tidak tahu apa motif Pak Razan memelukku. Yang jelas, terlepas dari apa pun motifnya, aku berterimakasih karena setidaknya aku jadi tidak begitu terlihat menyedihkan. “Dell, kamu kenapa? Masih sering kena darah rendah?” Itu suara Radit. Aku diam tak berniat menjawabnya. Memang dia siapa, sampai harus tahu aku masih sering kena darah rendah atau tidak? “Kami pulang dulu ya, Della butuh istirahat.” Pak Razan membuka pintu mobil lalu membantuku masuk. Aku hanya patuh tak melawan. Air mataku lolos lagi ketika menoleh keluar jendela mendapati Radit dan Rere sedang tertawa sambil berjalan menuju mobil merah milik Radit. Dulu akulah yang hampir tiap hari antar jemput pakai mobil itu. Dan Rere biasanya ikut nebeng di jok belakang karena kosnya searah dengan rumahku. Tapi lihatlah sekarang, Rere berhasil merebut posisiku dan mendepakku dengan mudahnya. “Itu mantan kamu yang kamu bilang otak s**********n itu?” “Ya?” Aku reflek menoleh ketika mendengar pertanyaan itu. “Kamu menangis?” Aku langsung memalingkan wajah, dan segera mengusap air mataku. “Terimakasih, Pak, untuk tindakan Bapak yang setidaknya sudah membuat saya enggak begitu terlihat menyedihkan di mata mereka. Ya, laki-laki itu adalah mantan saya dan yang perempuan adalah selingkuhannya sekaligus sahabat saya dulu.” Aku menjawab pelan sambil menunduk. Entah kenapa aku jadi terlalu jujur begini. Padahal belakangan ini aku mati-matian mengingkari fakta bahwa aku sudah dikhianati pacar sekaligus sahabat sendiri “Sepertinya kamu masih belum bisa melupakan mantan kamu.” “Enggak juga.” “Air mata kamu enggak bisa bohong, Dell.” “Begitu, ya, Pak?” Aku tertawa sumbang. Hening. “Dell,” “Iya, Pak?” Aku menoleh dan ternyata Pak Razan sedang menatapku. “Bagaimana kalau saya bantu kamu melupakan mantan kamu itu?” “Eh, gimana?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD