8. Orang Baru

2003 Words
“Macetnyaaa!” Dimas menggerutu sambil mengetuk kemudi dengan jari telunjuk. Dia melirikku dari kaca spion mobil sambil mengulum senyum. Dimas asem! Ini malam sabtu, itu artinya jalanan kota Jogja sudah mulai macet. Memang seperti itu, biasa kan, kalau weekend? “Dipuk-puk kek, Mbak, pacarnya!” seloroh dimas santai. Wah, benar-benar minta ditabok ini anak. “Diem lu, kutu!” Aku mendesis pelan. Aku melirik Pak Razan yang terlelap di sampingku. Entah dia beneran tidur atau hanya pura-pura, aku tidak tahu. Jadi, setelah acara dipeluk mendadak yang menyebabkan aku spot jantung dan yang berujung kepergok Dimas, Pak Razan memintaku untuk ikut. Begitu pun Dimas, dia bilang mau nyetirin kalau aku ikut dan motorku ditinggal saja. Nanti kalau pulang ke rumah, teman Dimas yang tadi ikut datang sudah janji mau menjemput pakai mobil. “Mbak, pacarnya kedinginan loh. Dipeluk lagi lah, kaya tadi.” Dimas terus meledekku sambil terkekeh. Sialan betul ini bocah! Kalau Pak Razan sampai dengar, bagaimana? “Nyesel aku ikut!” Jantungku kembali jumpalitan ketika ada kepala menyandar di bahuku dengan nyamannya. Praktis aku menggerakkan telapak tanganku di depan wajahnya. Kalau ini sih, dia tidur beneran. Modus benget, asli! “Eaaak, icikiwirrrr!” Sumpah ya, ingin sekali aku sumpal mulut Dimas pakai kaos kaki. Aku melotot ke arah kaca spion mobil dan Dimas hanya menjulurkan lidah tak peduli. “Masih lama enggak sih, Dim, nyampai rumahnya?” “Tuh depan ada bangjo, terus belok kiri. Nanti ada gang masuk perumahan, masuk deh.” “Oh iya dim, kamu waktu main ke rumahnya, ada Ayah sama Ibunya atau enggak?” tanyaku dengan suara pelan. “Sendirian, Mbak, kan orang tua kandung Mas Razan di Bandung. Kalau kemarin aku enggak salah denger, Mas Razan baru pindah sekitar tiga bulan yang lalu.” “Iya, po?” “Iya. Tanya sendiri kalau enggak percaya, sama pacar ini.” “Dim, mulutnya! Kami enggak pacaran, ya. Sembarangan!” Aku melirik sebelah dan Si Tukang Modus ini masih tak bergerak dalam tidurnya. “Pacaran juga enggak papa, Mbak. Kalian berdua sama-sama single.” “Dih! Lagian kok kamu jadi tahu semuanya, sih, Dim?” “Orang aku diceritain semuanya kemarin. Termasuk tentang Ayah angkat Mas Razan alias bos besar Mbak Della di kantor. Aku bener, kan?” Aku terdiam beberapa saat. Ini betulan Dimas tahu semuanya? Sebenarnya malam itu Dimas pulang sampai jam sembilan malam diceritain apa saja, sih? “Kamu ajalah, Dim, yang jadi pacarnya. Kamu ‘kan suka batangan.” Aku terkikik pelan. “Nguawuuur! Adik gantengmu ini seribu persen normal.” “Oh, ya? Kok kalau malem sabtu sama minggu kencannya sama laki?” “Serah Mbak Della aja, deh!” Dimas mendengus dan aku tertawa puas. Saking puasnya, tawaku menyebabkan seseorang yang tadinya tidur dengan lelapnya, jadi terbangun. Matanya mengerjap beberapa kali lalu tangannya memegangi kepala. “Hampir sampai, Mas, maaf ini jalanan agak macet.” Itu suara Dimas. Aku sendiri sudah bergeser beberapa senti. “Maaf ya, Dim, jadi ngerepotin...” balasnya dengan suara serak. “Santai, Mas.” Dimas menghentikan mobil di depan rumah minimalis berlantai dua. Meski minimalis, aku bisa menangkap kesan mewah rumah itu. Ketika Pak Razan keluar, aku juga ikut keluar. “Mbak Della bawa Mas Razan masuk dulu, biar aku parkir mobilnya di halaman.” “I-iya.” Aku menjawab ragu. Aku mengitari mobil lalu berdiri tepat di samping Pak Razan yang sedang membuka pintu gerbang. “Biar saya aja pak.” Aku merebut kunci ditangannya lalu mendorong gerbang agar terbuka lebar. “Terimakasih, Dell..” Melihat Pak Razan lemas seperti ini aku jadi percaya betulan kalau Pak Razan memang sedang sakit. Pak Razan terlihat kembali memegangi kepalanya, jadi aku reflek menghampirinya dan memapahnya masuk. Karena tinggiku hanya sebatas dagunya, dia melingkarkan tangannya ke pundakku. Asli, ini badan apa setrika? Panas banget! “Makasih, Dell,” lirihnya lagi ketika aku membantu membuka pintu rumah. Jantungku mulai ketar-ketir tidak karuan ketika Pak Razan berjalan menuju pintu yang aku yakini adalah kamarnya. “Saya tunggu Dimas aja, Pak.” Aku melepaskan tangannya dan mundur dua langkah. Pak Razan melirikku sejenak lalu membuka kamarnya. “Mas, kunci mobilnya taruh mana?” Aku mendesah lega ketika Dimas masuk dan berjalan ke arah kami. “Sini Dim, kuncinya. Makasih banyak ya?” Dimas mengangguk. “Saya Dimas langsung pulang aja ya, Pak, soalnya—“ “Eh, Mas, aku haus. Minta minumnya...” “Ambil aja di kulkas.” Mataku mengekori Dimas yang dengan santainya berjalan ke arah kulkas tanpa ragu. Ini anak bisa-bisanya bertingkah seperti sedang di rumah sendiri? “Mas, mau nyicip masakannya Mbak Della atau enggak? Mbak Della pinter masak, loh!” ucap Dimas tepat setelah meneguk air mineral di dalam botol. Aku mendelik padanya, lalu menggeleng. “Dim, jangan aneh-aneh!” “Sepertinya kakakmu yang enggak mau, Dim.” Aku menoleh ke arah Pak Razan, lalu meringis. “Eee, maksud saya—“ “Mbak, emang Mbak Della tega apa, ngebiarin orang sakit kelaparan?” “Ya bukannya gitu. Lain kali aja, deh.” “Mbak Dell—“ “Enggak papa Dim, jangan dipaksa.” Aduh, jadi enggak enak kan, kalau begini! Suara lirihnya itu, loh! “Saya bisa delivery, kamu sama Dimas pulang saja enggak papa. Terimakasih banyak ya...” Tatapan sayu itu membuatku sedikit luluh. “Ini saya sama Dimas di usir, gitu?” Pak Razan tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. “Saya bukannya ngusir. Saya justru akan senang kalau kalian lebih lama di sini. Tapi sepertinya kamu sudah enggak betah di sini, jadi saya membolehkan kalian pulang.” Aku menoleh ke arah Dimas, dan anak itu justru dengan tak tahu dirinya malah sedang mengunyah apel. Dari mana pula dia dapat apel itu? “Ya kalau Mbak Della tega sih, enggak papa. Orang sakit kan enggak boleh makan sembarang makanan.” “Kamu tuh emang gini sukanya! Mentang-mentang tahu kalau aku paling enggak bisa lihat orang sakit.” Aku balik badan, lalu berjalan menuju dapur sambil menggulung lengan baju. “Berasnya di mana pak? Saya buatin bubur sebelum pulang. Awas kalau nggak dimakan!” Dimas tersenyum lebar lalu menatapku dan Pak Razan bergantian. Kok aku mencium aroma-aroma enggak beres, ya? *** Keesokan harinya... Aku menatap lurus ke arah ruangan yang masih tertutup rapat. Sepertinya Pak Razan hari ini tidak masuk kerja. Buburku dimakan enggak ya, semalam? Jadi, semalam ketika aku selesai masak bubur, aku mengintip kamarnya dan ternyata dia sudah tidur. Aku sempat menaruh bubur buatanku di nakas dan memberi note kecil di sampingnya. Tak lupa aku juga mengganti kompres yang sebelumnya dipasang Dimas di dahinya. Setelah aku diantar pulang sama teman Dimas, Dimas bukannya ikut masuk rumah bersamaku, dia malah ikut pulang ke rumah temannya. “Heh, Mbak Dell! Kok ngelamun?” “Eh, gimana?” Juni memicingkan mata ke arahku. “Mbak Della tuh, ngelamun terus dari tadi. Mana sambil liatin ruangan Pak Razan terus. Kenapa? Kangen?” “Dih! Malah seneng kali, kalau dia enggak masuk. Tandanya hari ini aku bebas dari omelannya.” Aku berdehem untuk menetralkan suaraku. “Aku mau ambil minum dulu, Jun.” Aku berdiri lalu berjalan ke arah pantry. Aku menuangkan satu gelas air putih dan langsung meneguknya sampai habis. Kulirik lagi ruangan Pak Razan yang masih tertutup rapat. Separah itu kah, demamnya? Aku baru saja menuangkan air putih lagi, ketika tiba-tiba Leni masuk ruangan dengan heboh. “Pengumuman pengumuman. Ada pengumuman penting!” “Apa sih, Len?” Aku berjalan kembali ke mejaku. “Palingan info nggak penting.” Reno memutar bola mata malas. “Ini penting ya, enak aja.” “Makanya buruan ngomong!” “Jadiiii—” Leni menjeda kalimatnya. Tiba-tiba aku kepikiran gimana kalau pelukan Pak Razan tadi malem terekam CCTV? Eh iya, ya? Kok aku enggak kepikiran sampai sana? Duh, gimana dong? “Kok kamu jadi tegang banget sih, Dell?” “Apa? Tegang? Ya enggak, lah.” Aku menelan ludah agak susah. “Jadi gini, Gengs...” Asli, rasanya pengen kupites Leni yang selalu saja sengaja melama-lamakan berita. “Kutimpuk juga lama-lama kalau enggak buruan ngomong!” Reno tampaknya mendadak jadi kepo maksimal. Aku sendiri malah khawatir. Pasalnya, di dekat parkiran memang ada CCTV yang terpasang di sana. “Mau ada orang baru di divisi kita! Dan dia laki-laki. Yeeeey!” Leni bersorak heboh. Sementara itu, aku, Juni, Reno, dan Bang Gani, hanya saling menatap satu sama lain. “Kok pada biasa aja, sih?” Leni tampak kecewa karena berita darinya tak mendapat sambutan hangat. “Kukira apa, Len...” aku menghela napas lega. “Cewek atau cowok, Len?” tanya Bang Gani kemudian. “Cowok, dong!” “Yah, enggak jadi seneng kalau batangan, mah!” tukas Reno malas. Sementara Leni, anak itu malah semakin cengar-cengir tidak jelas. “Udah lihat orangnya emang, sampai kamu segitu excited-nya?” “Udah, lah. Ganteng tahu Dell, ganteng, asli. Aku udah liat dia barusan habis dari ruangan HRD.” “Pantesan!” Leni nyengir, dan dia bergegas ke mejanya. Baru saja Leni duduk dan menyalakan laptop, seseorang sudah mengetuk pintu. “Selamat pagi... ini benar ruangan Divisi Keuangan?” Aku mendongak dan menatap laki-laki yang berdiri di ambang pintu. Eh sebentar, kok kaya kenal? “Evan?” tanpa sadar aku menggumam. “Loh? Della? Iya, kamu Della, kan?” Aku berdiri ketika laki-laki itu mendekat. Iya, benar, ini Evan. Teman KKn-ku dulu. “Beneran ini Evan?” tanyaku masih tak percaya. “Iya, aku Evan. Kerja di sini juga, Dell? Wahhh!” Aku dan Evan berjabat tangan cukup lama sampai kami mendengar deheman agak keras. “Salamannya udah kaleeee, lama amat!” Itu suara Leni. Seketika itu, aku dan Evan langsung melepas tangan kami. “Sapa yang lain gih, Van!” Evan mengangguk. “Iya, Dell.” Aku tak bisa menyembunyikan senyumku ketika Evan menyalami Leni, Juni, Reno dan Bang Gani bergantian. “Aku duduk di mana ya, Dell?” tanya Evan ketika dia sudah selesai berkenalan. “Hari ini mejanya baru mau dipindah katanya, tunggu aja. Itu ambil kursi di dekat mesin fotocopy biar enggak berdiri,” jawab Leni si paling tahu segalanya. “Okey, thanks!” Evan tersenyum lebar, dan Leni langsung mencubitku pelan. Ini anak memang tidak bisa kalau lihat cowok bening. Evan segera mengambil kursi di dekat mesin fotocopy, kemudian dia duduk tepat di depanku. “Udah lama kerja disini, Dell?” tanyanya beberapa detik kemudian. “Lumayan, kamu sendiri gimana? Maksudku tadinya kamu kerja di mana?” “Di Jakarta, ini baru balik Jogja lagi. Aku cepek kerja di kota orang.” “Haha, bisa gitu, ya?” “Meski bayaran di sana gede, tapi biaya hidup juga gede, Dell. Mending di sini. Apalagi ada kamu juga ternyata.” “Ehmmmm!” aku berjengit kaget ketika Reno tiba-tiba berdehem keras. “Oh iya teman-teman, jangan salah paham, ya. Evan ini temen Kkn-ku dulu. Jadi jangan heran kalau kami bisa langsung akrab.” “Temen apa temen?” Aku dan Evan kompak tersenyum. Kalau boleh jujur, kami dulu pernah cinlok waktu KKN. Tapi enggak sampai pacaran, cuma sampai pedekate saja. “Eh Dell, bentar, ada bulu mata kamu yang jatuh.” “Oh ya? Mana, Van?” Aku reflek meraba-raba wajahku. “Pipi kiri, samping hidung.” Aku meraba-raba pipiku kiriku mengikuti instruksi Evan. Karena tidak kunjung ketemu, akhirnya tangan Evan terulur untuk mengambilnya. Brak! Aku terlonjak kaget ketika mendengar debuman pintu cukup keras. Praktis aku menoleh bingung. “Barusan ada apa, Jun?” Juni tampak sedang mengelus dadanya. Sepertinya dia juga sama kagetnya denganku. “Pak Razan, Mbak. Barusan dia tiba-tiba datang, berhenti sejenak di ambang pintu, terus masuk ruangan sambil ngebanting pintu.” “Heh? P-pak Razan? Dia masuk?” “Iya, Mbak. Aku jadi takuttt. Dia kenapa, ya?” Juni masih terus mengelus dadanya. Aku menoleh sekeliling, dan tampaknya, Leni, Reno, dan Bang Gani, juga sedang sama kagetnya. “Pak Razan itu siapa Dell?” tanya Evan dengan ekspresi bingung. “Atasan kita, Van.” “Oh... iya, iya.” Aku segera melirik pintu ruangan Pak Razan yang lagi-lagi tertutup rapat. Bedanya, si empunya kini sudah ada di dalam sana. Dia kenapa, ya? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD