Sekian kali aku membuktikan bahwa “ilmu mengenai perempuan” dari ibuku tidak terbukti. Dia berkata setelah melahirkan bisa melakukan kegiatan dengan normal dalam beberapa hari. Fakta di lapangan: Aku harus pelan-pelan ketika berjalan, memakai pakaian mirip kemben (atas dasar saran Mrs. Mary), dan menghindari makanan tertentu. Mrs. Mary memperingatkanku agar tidak tidur pada jam-jam tertentu demi kesehatan. Lalu, itu belum termasuk ketika Dante bangun di malam hari, menangis, dan membuatku terkaget-kaget seperti orang linglung—masih belum terbiasa dengan kondisi rumah yang kini ditempati oleh bayi.
Barangkali kami bertiga—kakak lelakiku, aku, dan adik perempuanku—merupakan bayi manis hingga ibuku tidak merasa repot atau bisa jadi dia memang pro dalam mengurus kami.
Ibuku dan segala macam petuah terkait perempuan, ilmu pemberian beliau, benar-benar tidak valid pada kasusku.
Kesulitan berikutnya terkait mengurus bayi adalah menyusui. Aku beri tahu, entah karena kondisi tubuh Camila yang lemah atau barangkali aku yang terlalu berlebihan, menyusui tidak sama seperti gambaran sinetron. Dadaku sakit dan perih karena lidah bayi yang kasap dan kasar. Aku sampai bertanya-tanya: “Kenapa aku tidak bisa menyusui tenteram seperti ibu-ibu di iklan sabun bayi?” Bahkan tetanggaku, di kehidupan modern, tampak aman dan damai ketika menyusui bayinya.
Lagi-lagi, masalahku dipecahkan oleh Mrs. Mary. Dia menyarankanku menggunakan alat untuk memompa ASI. Hal ini, memompa ASI, benar-benar menolongku. Aku tidak bisa membayangkan menahan sakit selama menyusui. Untung saja di dunia Camila masih ada sentuhan teknologi, bukan jenis dunia “murni” zaman kesatria seperti Game of Throne. Jelas aku tidak memiliki kualifikasi.
Aku memutuskan berhenti dari toko buku dan fokus menulis. Mrs. Mary tidak keberatan, menurutnya aku harus memusatkan perhatian kepada Dante. Andai suatu saat aku ingin kembali, Mrs. Mary akan tetap membiarkanku menjadi pegawai.
Mr. Brooks, yang kadar keseksiannya membahayakan kesehatan mataku, memberiku salinan cerita bergambar dari dongeng karanganku. Ya, dia mengetahui alamatku dan datang berkunjung (tanpa tangan kosong) dengan membawa buah tangan berupa sekeranjang buah dan mainan bayi.
Jantungku hampir saja berhenti berdetak ketika Mr. Brooks mengomentari Dante. “Warna rambutnya mengingatkanku kepada seseorang,” katanya.
Catat, nada suara Mr. Brooks meski terdengar monoton, tanpa maksud tertentu, sekadar bualan saja, tapi bisa mengakibatkan jantungku senam poco-poco.
Lantas aku hanya tersenyum, mencoba mengalihkan perhatian Mr. Brooks, dan UNTUNGNYA, berhasil.
Sekarang aku bisa merawat Dante dan mendapatkan uang dengan cara yang tidak terlalu menyakitkan fisik. Dulu aku kerja keras banting tulang, siang malam mencoba memenuhi tuntutan dari keluarga. Uang hanya singgah sebentar, sisanya mendarat di tangan Ibu dengan alasan sudah sewajibnya aku membalas budi.
Akan tetapi, sekarang berbeda. Di dunia Camila, seniman mendapatkan perhatian dan tempat khusus di masyarakat. Museum tidak pernah sepi pengunjung. Ada bermacam toko buku dan perpustakaan.
Tidak seperti tempat asalku.
Museum hanya dikunjungi ketika ada darmawisata, itu pun kami, murid-murid, hanya sekilas memandang tanpa benar-benar mengerti dan paham arti dari benda-benda bersejarah tersebut. Guru SMP-ku hanya memanfaatkan waktu darmawisata sebagai ajang jalan-jalan dan refresing. Berbeda dengan guru di sekolah temanku yang benar-benar mengajari murid didiknya sejarah dan arti dari setiap benda yang dipamerkan di museum.
Mengenai perpustakaan, perpustakaan SD-ku yang paling parah. Buku-buku dimakan rayap, hancur, tak berbekas. Kami, para murid, tidak mengerti betapa asyik dan menyenangkan kegiatan membaca.
Oleh karena itu, ketika sudah mampu mencari nafkah, aku tidak ragu menghabiskan uang untuk membeli buku dan langganan baca di aplikasi mana pun.
Oh ini benar-benar membuat diriku senang!
Terima kasih atas semua keberuntungan, terutama terkait mengurus Dante. Tentu saja aku tidak seorang diri merawat Dante. Mrs. Mary mengajariku memandikan bayi serta membuat bubur. Anna juga sering, sangat sering, menemaniku. Bila ada kesempatan, Anna akan bermalam di rumahku dan menolong.
Henry? Dia, sama seperti Anna dan Mrs. Mary, sering mengunjungiku. Pernah aku bertanya, “Apa kau tidak sayang menghabiskan uang untukku?” Maksudku, dia terlalu loyal! Namun, dia hanya tersenyum dan berkata, “Tidak masalah.”
Sudah. Begitu saja. Tidak masalah.
Anna masih meyakini teori konspirasi perasaan Henry terhadapku. “Pasti karena cinta,” katanya, dengan mata berbinar dan senyum cemerlang. “Semua ini karena cinta.”
Di saat seperti itu, ketika Anna merancang hubungan romantis antara aku dan Henry, percuma menyanggah. Tidak mempan.
Alih-alih mendebat, aku akan menananyakan hal lain. “Apa kau tahu tempat tinggal Henry?”
Baik Anna maupun Mrs. Mary, keduanya, tidak tahu domisili Henry. Hal yang makin meruncingkan insting Anna terkait Henry seorang bangsawan.
“Kau tahu,” Anna melanjutkan gosip. Dia mencuci pir dan apel sementara aku duduk dan menimang Dante. “Ada seorang gadis yang menyatakan cinta kepada Henry.”
“Lalu?” Daripada menanggapi dengan histeria gembira ala pemandu sorak, aku memilih menyemangati Anna dengan menyuruhnya melanjutkan gibah.
“Dia menolak.” Anna meletakkan buah ke keranjang. Lalu, dia memindahkan keranjang ke meja, meraih pisau, lantas mengupas. “Akan aku buatkan pastel apel dan manisan pir. Kau suka, Mila?”
“Aku menyukai semua masakanmu,” jawabku. Masakan Anna amat sedap. Kadang dia membawakanku sup dan semur daging. Aku tidak peduli dengan hubungan antara Camila asli dan Anna, sekarang aku yang menempati raganya. Akulah yang berkuasa! “Apa dia tidak sakit hati? Maksudku gadis itu.”
Anna menggeleng. Dia meletakkan apel yang telah terkupas ke dalam baskom dan mulai mengupas pir. “Henry bilang dia menyukai orang lain. Begitu.”
Dante mulai menggerakkan tangan dan menguap.
“Dia maniiiis sekali,” Anna mengomentari Dante. “Mila, rambut Dante warnanya seperti langit musim panas. Oh aku akan teringat laut setiap kali melihat Dante.”
Sama seperti Mr. Brooks, komentar Anna membuat jantungku senam sehat! Satu dua! Satu dua! Kanan, kanan! Kiri, kiri! Hup, mari kita tingkatkan tekanan adrenalin!
Dalam hati aku berdoa semoga Anna tidak teringat dengan Axton. Lebih baik bila dia tidak mengucapkan apa pun tentang Axton.
“Kenapa Dante mengingatkanku kepada seseorang, ya?” Anna berhenti mengupas, tatapannya terfokus kepada Dante.
Beruntung ketukan pintu berhasil mengalihkan perhatian Anna. Dia tidak melanjutkan sesi detektif; setelah mengamankan pisau, meletakkan buah ke tengah meja, dia bergegas membuka pintu.
Henry masuk, mengekor di belakang Anna. Dia mengenakan topi hitam dan mantel kelabu. Bila aku perhatikan, sekali lagi, dengan teliti. Henry benar-benar terlalu berkilau sekadar menjadi pegawai di toko buku. Bagaimana bisa dia hanya karakter sampingan? “Aku ingin menengok Dante,” katanya, sembari tersipu. “Aku harap kau tidak keberatan dengan roti gandum dan selai stroberi.”
Henry, mengapa kau tersipu malu seperti kupu-kupu yang hendak merayu bunga?
“Duduklah,” kataku mempersilakan. “Dante sedang tidur siang. Dia tidak mau aku baringkan di ranjang.”
“Akan menangis begitu dipisahkan dari ibunya,” sahut Anna sembari meletakkan pemberian Henry ke lemari makanan. “Karena itulah aku datang dan membantu Mila.”
“Dia tidak terlihat serewel itu,” kata Henry. Setelah duduk, dia melepas topi dan meletakkannya di meja.
“Itu karena dia berada dalam buaian Mila,” Anna menjawab. Dahinya berkerut kemudian berkata, “Hei, sebaiknya kau cuci tangan dahulu sebelum menyentuh Dante.”
Henry menurut. Tidak membantah.
Sepanjang siang kami menikmati pastel apel buatan Anna dan secangkir teh madu. Kadang Dante menangis, haus, lalu setelah minum dia pun kembali tenang.
Aku harap kedamaian ini tidak akan terusik apa pun.