6

1245 Words
Dante memiliki kebiasaan unik. Ketika bersama Anna maupun Henry atau orang lain, maka dia tidak mau diletakkan di ranjang dan selalu menuntut digendong olehku. Dia akan menangis begitu aku bermaksud menggeletakkannya di ranjang. Menangis nyaring seolah aku hendak membuangnya ke negeri jauh, ke negeri para trol dan jembalang yang senang membuat sihir jahat, dan menjauhkannya dari sukacita seluruh dunia. Menangis seperti kekasih yang tidak ingin dicampakkan oleh pasangan jiwa, berharap selalu bersama, ingin dicinta selamanya, dan tidak sudi terpanah duka. Hanya bisa tenang begitu berada dalam buaian, aman bersamaku, di dekat d**a, mendengarkan suara detak jantung milikku. Akan tetapi, begitu hanya ada kami berdua, dia tidak keberatan berada di ranjang maupun kereta dorong. Tidur, tampak tenang dalam alam mimpi, dan sama sekali tidak keberatan dengan kegiatanku. Kenapa dia seperti itu? Barangkali dia memang tidak suka berada di keramaian atau sekadar keinginan menempel saja denganku. Bisa jadi dia tidak suka ditimang Anna dan mengoek merupakan salah satu cara baginya melarikan diri. “Wah, dia tidak suka digendong olehku,” kata Anna, sedih. Misteri itu, alasan Dante menangis dan enggan berpisah dariku, tidak pernah terjawab sampai dia menginjak usia enam tahun. Dia sudah bisa melakukan petualangan, menjelajahi seluruh ruangan, bahkan makin memperlihatkan tanda-tanda pesona tokoh penting. Pesona tokoh penting. Begini, akan aku jelaskan secara terperinci. Siap? Dante benar-benar mewarisi seratus persen genetik Elijah (walau aku belum melihat secara langsung si duke ini, tapi aku yakin mengenai warisan), Duke Axton. Mulai dari rambut, mata, hidung, bibir, aku bahkan curiga keberuntungan milik Axton pun telah menempel pada Dante. Aku sempat tergoda mengubah warna rambut Dante, sekadar pencegahan bila ada hal yang tidak aku harapkan muncul, dan menjauhkannya dari pandangan ingin tahu ibu-ibu muda. Mereka, para wanita dengan tingkat keingintahuan tinggi, selalu berkata, “Dia mengingatkanku kepada seseorang.” Namun, setelah berkontemplasi, aku membatalkan rencana mengubah warna rambut dan fokus pada membesarkan Dante dan menjauhkannya dari rute antagonis. Seperti Dante yang berhasil mengetahui rahasia neraka dan keagungan surga, aku berharap dengan memberikan nama Dante kepada Hector, maka ia akan terbebas dari benang-benang plot dan menemukan kebahagiaan miliknya sendiri. Nama adalah doa. Doaku ialah semoga Dante tumbuh menjadi pribadi bijaksana dan tidak terkekang oleh kepentingan orang lain. Jangan sampai dia sepertiku, seperti diriku di kehidupan lain; bekerja demi menyenangkan orangtua yang selalu membandingkanku dengan saudara dan anak tetangga, tidak cukup menikmati keindahan hidup, dan berakhir sebagai b***k kapitalis. Dante boleh menjadi apa pun yang ia hendaki. Aku akan berusaha semampuku mendukung minat dan cita-citanya. Berdasar pengalaman, sebagai anak yang terlahir di era para oligarpus, aku tidak akan menuntut dia menjadi pahlawan. Semua anak bebas bermimpi. Aku tidak akan mematikan harapan yang mekar dalam hati Dante. Dengan senang hati akan aku siram hingga bersemi segala cinta dan rasa dalam dirinya. Membantunya tumbuh. Melindunginya dari duka. Semoga Dante berbahagia. Selamanya. Dante tidak harus menemui Elijah. Menjadi orang kaya memang menyenangkan, tapi bisa memiliki kehendak bebas dan bebas bermimpi adalah sesuatu yang menakjubkan. Uang bisa diperoleh dengan jalan apa pun. Selalu ada cara. Tidak harus menjadi mengikuti rute Elijah. Biarkan Elijah bersama Benjamin, mereka tidak perlu tahu keberadaan Dante. Lagi pula, Camila telah melakukan tindak kejahatan. Meracuni Elijah, melakukan pelecehan, dan tidak memedulikan perasaan orang lain yakni, Elijah. Aku tidak sudi menebus dosa milik orang lain. Maaf ya, aku tidak yakin mampu bertindak seperti karakter dalam n****+; pindah ke dunia lain, merasuki tubuh antagonis, berhasil mengubah pendapat para tokoh utama, dan hidup bahagia. Hahaha. Jangan bercanda. Pikirkan mengenai tindakan Camila: Pelecehan. Elijah pasti akan membunuhku! Dia hanya mencintai Isabela, istrinya. Mana mungkin aku berlutut sembari memohon ampun seperti ini: “Duke, maafkan aku. Aku tidak bersalah. Sebenarnya aku bukan Camila. Percayalah.” Dih! Dia pasti menganggap aku mereka cerita dan semakin yakin membasmiku. Seperti serangga kena racun, mati. Tidak. Mari kita pikirkan rencana aman dan berusaha hidup damai. Itulah yang penting. Mengumpulkan uang, membesarkan Dante, dan jadi seniman kaya raya! Betapa indah hidup ini. *** Suatu hari Henry mengajakku jalan-jalan. Dia berkeras bahwa Dante pasti menyukai taman dan ingin bermain di luar. Tebakan Henry tidak salah. Dante benar-benar senang. Dia menunjuk semak bunga aster dan bertanya, “Apa ada peri yang bersembunyi di sana?” “Mungkin,” Henry menjawab. Dia berjongkok di samping Dante. “Barangkali ada beberapa peri yang sedang memperhatikan kita.” Dante mengenakan topi dan setelan bermotif kotak-kotak berwarna krem dan cokelat; celana pendek selutut, kemeja putih, rompi, dan sepatu hitam. Henry terlihat seperti pangeran yang tengah menyamar. Padahal dia hanya mengenakan kemeja putih dan celana kelabu, tetapi mampu menarik perhatian wanita yang ada di sekitar kami. “Ibu, apa mereka membuat sarang di dalam tanah seperti yang Ibu ceritakan?” Kedua mata Dante berbinar-binar. Dia seperti bunga di antara bunga. Terlalu indah. Dante, kenapa kau semanis ini, Nak? “Hanya peri pemburu yang tinggal di bawah tanah,” kataku menjelaskan. Aku, sama seperti Henry, tengah berjongkok di samping Dante. “Kau harus berpura-pura tidak mengetahui keberadaan mereka.” “Tapi, kenapa?” “Karena mereka tidak menyukai manusia,” kataku sok misterius. “Mereka tidak ragu menjampi siapa pun yang berani mengusik kehidupan koloni. Mengerti?” Dante hanya tertawa, sama sekali tidak takut dengan ceritaku. “Hei, Nak. Kau tidak boleh tebar pesona. Bisa-bisa ratu peri akan menculikmu,” begitulah kataku dalam hati. Sepanjang hari itu kami menghabiskan waktu dengan bermain (yang didominasi oleh Dante dan Henry), menonton pertunjukan boneka (yang hanya dinikmati Dante dan Henry), dan makan siang di restoran (yang dibiayai Henry). Kami pun sempat mampir di toko buku milik Mrs. Mary. Dia langsung menyambut kehadiran kami, koreksi, menyambut Dante; memeluk, menciumnya, dan sepertinya lupa ada aku dan Henry. Mrs. Mary berkata bahwa Anna sepertinya akan menikah. Pada akhirnya dia berhasil menemukan cinta sejati. Lelaki itu, melamar Anna, adalah seorang aktor opera bernama sesuatu yang mirip pasta. Entahlah, aku tidak ingat karena sibuk memperhatikan Dante memilih buku. Sama sepertiku, Dante memiliki minat terhadap buku. Setelah berhasil mengenal huruf, dia mulai tertarik membaca cerita bergambar, lalu berlanjut ke dongeng dengan sedikit ilustrasi, dan buku tanpa ilustrasi. Aku curiga itu karena pengaruh Axton, semua Axton itu jenius, begitulah yang tertulis di cerita. “Apa aku boleh membaca ini?” Dante memperlihatkan sebuah buku, SANGAT TEBAL untuk ukuran anak-anak. Buku itu bersampul merah tua, memiliki tulisan emas, dan sama sekali tidak mengandung humor maupun legenda. “Buku sejarah?” “Boleh, ya?” Dante memeluk buku, sama sekali tidak peduli dengan kecemasanku. “Aku ingin yang ini.” Sampai kapan pun aku akan kalah melawan pesona Dante. “Baiklah.” Setelah itu kami pulang. Dante tidur pulas dalam gendonganku, menolak tawaran Henry, dan kami pun berjalan bersama menuju rumah. Matahari telah merangkak kembali ke peraduan. Lampu-lampu jalanan mulai dinyalakan. Aroma roti dan kopi menguar di udara. “Mila, aku harus pergi.” Sontak aku berhenti, menatap Henry yang kini berada di depanku. “Keluargaku memanggilku,” katanya menjelaskan. Keluarga. Selama ini Henry tidak pernah menjelaskan siapa dirinya; keluarga, pendidikan, bahkan tempat tinggal. Aku tidak keberatan. Bagiku dia sama seperti Anna, teman yang menyenangkan. Akan tetapi, mendengar dia akan pergi rasanya amat menyedihkan. Aku akan kehilangan satu teman dan itu tidak menyenangkan. “Apa kau akan kembali?” Pada akhirnya hanya itu yang berani aku tanyakan. Henry menggeleng. “Entahlah,” jawabnya. “Namun, aku pasti akan berusaha menemuimu lagi.” Dia menunduk, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. “Aku pasti akan berusaha menemuimu.” Tenggorokkanku rasanya sakit. Aku ingin menyemangatinya dan meyakinkannya agar tidak mencemaskanku. Namun, pada akhirnya aku hanya bisa berkata, “Henry, hati-hati.” Hanya itu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD