Ayah sudah balik lagi ke kantor tempatnya berdinas. Kalau dilihat, keluarga Gya adalah keluarga PNS. Hampir sebagian besar dari keluarga besar dari Ayah ataupun Ibu berprofesi sebagai PNS. Namun, entah mengapa Ibu seperti sangat anti jika anak-anak perempuannya menikah dengan PNS. Padahal Kakak Laki-laki Gya juga berprofesi sebagai pegawai negeri sipil. Dan Ibu juga sangat membanggakannya. Jika Ibu bangga dengan Kakak Laki-lakinya, lalu mengapa Ibu tidak bangga jika calon menantunya adalah PNS? Apalagi seperti suami Kak Hanin yang memang sedang berusaha untuk lolos dalam seleksi.
"Semua untuk besok udah siap?" tanya Ibu sambil membereskan meja makan.
"Sudah."
"Pokoknya kamu harus menciptakan banyak peluang agar bisa ketemu sama Rajendra itu. Dan harus bisa dilirik sama dia. Kalau bisa tidur sama dia, itu lebih bagus. Kalau udah begitu, kamu tinggal teror dan ancam aja," ucap Ibu tanpa beban.
"Ibu, Gya gak semurah itu!" bentak Gya. Bahkan piring yang ada di tangannya sudah jatuh dan pecah berhamburan.
"Gak perlu pakai teriak-teriak gitu. Ibu cuma ingin hidup kamu lebih baik dari pada Ibu. Lihat, menikah dengan PNS gak seperti yang di cerita-cerita itu. Apalagi yang model masih berjuang kayak suaminya si Hanin. Makanya ...."
"Udah, Bu. Gya capek denger semua ceramah Ibu itu. Apa salahnya punya suami seperti Kak Hanin? Ibu selalu lihatnya dari Kak Hanin versi gak punya uang. Apa Ibu gak pernah lihat senyum bahagia Kak Hanin setiap dia ke sini?"
Tanpa menunggu jawavan dari Ibu, Gya langsung berlalu ke dalam kamar. Bahkan piring yang tadinya dia banting, pecahan kacanya juga tidak dia bersihkan. Gya sudah cukup sabar dengan semua doktrin yang Ibunya buat. Namun, sampai sejauh ini, entah mengapa sepertinya sudah sangat kelewatan. Apa lagi setiap Ibunya mulai ceramahnya, hal pertama yang diingat di pikiran Gya adalah Kak Hanin dan kehidupannya. Apakah Kak Hanin tidak bahagia seperti yang Ibu ucapkan setiap saat? Dan yang paling Gya tidak habis pikir, kenapa Ravi juga muncul di sepanjang lamunannya.
"Pokoknya Ibu enggak suka kamu bergaul sama orang kayak Ravi!"
Gya masih mendengar semua hal yang diucapkan Ibunya meskipun dirinya sudah masuk ke dalam kamar. Gya lelah dan tertekan. Di satu sisi, Gya percaya bahwa menikahi Rajendra, dia setidaknya tidak akan kekurangan uang. Tidak akan berantem seperti Ibu dan Ayah hanya karena finansial keluarga. Tidak akan berantem hanya karena anaknya minta p********n uang gedung sekolahnya. Namun, di satu sisi dia juga merasa bukan levelnya Rajendra. Dan keajaiban seperti di film atau cerita tidak akan pernah terjadi. Kadang, Gya berpikir menikahi Ravi akan lebih membuatnya bahagia. Gya sudah mengenal Ravi luar dalam. Ravi adalah tipe cowok idaman dari semua wanita lajang. Dia tampan, baik hati, dan juga mapan. Sayangnya, Ravi benar-benar tidak bisa masuk ke dalam mata Ibunya.
[Ravi, apa aku berdosa kalau harus membentak Ibu? Kamu tahu, aku lelah dengan semua impian-impian Ibu. Terlalu tinggi dan aku takut jatuh.] send!
Di kondisi seperti ini, Gya hanya bisa mengirimi Ravi sebuah chat di aplikasi berwarna hijau. Inginnya Gya langsung bertemu dengan Ravu. Sayangnya, dengan kondisi Ibu yang sepertinya marah, Gya tidak ingin membawa Ravi ke dalam masalahnya. Jika Gya nekat untuk menemui Ravi, sudah bisa diterka apa yang akan Ibunya lakukan. Dia tidak ingin malu dengan para tetangga yang sudah tahu impian kosong Ibunya. Apa lagi, Ibu Ravi juga tidak terlalu senang dengan kedatangannya. Yang memang, setiap Gya pergi ke rumah Ravi, meskipun hanya mengobrol, Ibunya selalu membuat huru-hara.
[Tidak perlu kamu pikirkan. Yang terpenting adalah besok kamu harus tampil dengan maksimal. Jangan sampai membuat kesan buruk dengan HRD di hari penandatanganan berkas kontrak. Gya yang aku kenal adalah cewek yang penuh semangat. Ingat, ada Ravi di sini.]
Gya tersenyum melihat balasan dari chat Ravi. Selalu bisa menenangkan amarahnya. Bukankah sebuah kebahagiaan jika memiliki suami dengan tipe seperti Ravi? Apalagi Ravi benar-benar mengingatkan Gya kepada Ayahnya. Ayah yang selalu mengalah hanya untuk menciptakan kekuarga harmonis di depan anak-anaknya. Meskipun Ayahnya tidak pernah berdiri di sisi Gya seperti Ayah yang berdiri di posisi Hanin, tapi Gya selalu tahu bahwa Ayahnya selalu mengamatinya. Mungkin Ayah belum bertindak karena selama ini Gya hanya diam saja. Ya, Gya diam karena dia tidak ingin menyakiti hati Ibu. Karena Gya juga tahu bahwa semua yang Ibu lakukan adalah untuk kebaikannya. Hanya saja, semua impian Ibu sangat tinggi. Gya tidak bisa terbang setinggi itu meskipun dipaksakan.
***
Setiap kali Gya merasa marah, dia tanpa sadar selalu tertidur. Memang, tidur mampu membuat Gya menahan semua emosi yang ada di hatinya. Namun, bangun tidur sore ini benar-benar tidak bisa membuat hati Gya damai. Bukan karena apa, tapi karena Gya bangun dalam keadaan kaget. Ya, Gya bangun karena suara teriakan Ibunya. Samar-samar juga terdengar suara tangis Kak Hanin.
"Kak Hanin? Sebentar, Kak Hanin pulang?" gumam Gya.
Karena reflek, Gya langsung bangun dan berlari ke kamar mandi. Tidak mungkin dia keluar dengan keadaan penuh iler. Setidaknya dia harus mencuci muka dan menata rambutnya. Bagaimanapun Kak Hanin sepertinya pulang dengan suaminya. Karena tanpa sengaja, Gya juga mendengar tangisan anak kecil yang sepertinya anak dari Kak Hanin—Safa.
"Ibu, berhenti marah-marah di depan anak kecil berumur empat tahun! Ibu benar-benar mencoba membuat Safa trauma datang ke sini?" tanya Gya dengan tegas.
Setelah selesai menata rambut, Gya memilih cepat-cepat keluar. Dan yang dilihatnya hanyalah Kak Hanin yang sepertinya sedang mengandung dan anak perempuan yang sudah Gya kenal. Namun, bukannya berhenti membentak Kak Hanin, Ibu malah sepertinya tidak akan berhenti. Padahal Safa sudah seperti orang yang kesusahan bernapas karena menangis terlaku histeris.
"Kamu gak lihat anak pembangkang ini? Dia datang cuma mau ...."
"Apa, Bu? Mau apapun alasannya, jangan marah di depan anak kecil," potong Gya dengan cepat. Dia menoleh ke arah Kakaknya yang sedang duduk sambil memeluk anaknya. "Kakak mending masuk ke kamar Gya dulu. Lalu tenangin Safa di dalam kamar. Apapun tujuan Kakak datang, tunggu sampai Ayah pulang. Bentar lagi Ayah juga akan pulang," lanjut Gya sambil menatap ke arah jam yang berada di dinding. Sudah pukul lima sore, itu artinya tidak lama lagi Ayahnya akan pulang.
"Ibu juga jangan berbuat macam-macam. Tolong, sekiranya Ibu gak kasihan dengan Kak Hanin, setidaknya kasian dengan Safa. Dia cucu pertamamu, Bu," ucap Gya sebelum meninggalkan Ibunya di ruang tamu. Menyusul Kakaknya ke dalam kamar. Benar-benar dengan hati yang penuh dengan amarah. Dia besok akan tanda tangan kerja, tapi kenapa moodnya tidak baik sama sekali.
***
Saat Gya masuk ke dalam kamar, dia bisa melihat Kak Hanin sedang membujuk Safa untuk berhenti menangis. Ibunya benar-benar keterlaluan hari ini. Bisa-bisanya marah-marah dan mengumpat di depan anak kecil seperti Safa. Sebenci-bencinya Ibu dengan Kak Hanin dan suaminya, apa Ibu juga ikut membenci Safa, cucunya? Padahal orang-orang banyak yang bilang, mau seperti apa bentuknya, nenek dan kakek akan selalu mencintai cucunya. Apalagi Safa adalah cucu pertama bagi Ibu dan Ayah.
"Safa, Tante punya cokelat, tapi Safa harus janji ubtuk berhenti menangis," bujuk Gya.
Gya berjalan ke meja belajar yang sekaligus meja riasnya. Mengambil tas yang dia pakai untuk pergi interviwe. Untungnya, Gya masih memiliki stok cokelat. Karena jika gugup, Gya akan sulit melakukan apapun. Dan cokelat adalah obat paling ampuh untuk mengurangi rasa gugupnya.
"Terima kasih, Tante. Safa sudah tidak menangis lagi," ucap Safa dengan aksen anak kecilnya.
"Safa makan cokelatnya dengan tenang. Tante mau ngobrol dengan Bunda sebentar ya." Melihat Safa mengangguk dan tenang, Gya kini menoleh ke arah Kakaknya. Wanita cantik dengan paras yang lembut itu sudah berhenti menangis. Namun, mata dan hidungnya masih sedikit memerah.
"Sebenarnya apa yang dilakukan Kakak? Kenapa Ibu sangat marah?" tanya Gya. Biasanya Ibu hanya akan sekadar menyindir, tidak sampai semarah itu.
"Kakak Iparmu kena tipu investasi bodong. Padahal niatnya hanya ingin menjadi menantu yang baik seperti saran Ibu. Hanya saja, yang membuat masalah di sini, uang yang untuk investasi diam-diam itu adalah uang untuk persiapan melahirkan. Karena dokter sudah mengatakan bahwa kemungkinan Kakak akan operasi sesar," jawab Hanin dengan mengembuskan napas lelah.
"Kakak ipar tahu soal investasi seperti ini dari Ibu?" tanya Gya tidak yakin. Karena setiap Kak Hanin dan suaminya datang, Gya memilih mengurung diri di kamar.
"Ya, dari Ibu. Dan saat seperti ini, Ibu bahkan tidak mau membantu dengan meminjami uang untuk persiapan operasi sesar. Menyebut bahwa Kakakmu itu tidak memiliki prospek masa depan yang bagus. Dan bahkan menyebut dia dan Safa pembawa sial."
Gya hanya bisa mengusap wajahnya dengan gusar. Ibu kali ini memang sudah kelewat kasar. Jika Gya sudah bekerja jauh-jauh hari, mungkin dia bisa membantu Kakaknya ini diam-diam. Hanya saja, dia bahkan baru akan tanda tangan kontrak besok pagi. Bagaimana dia bisa membantu? Dia punya tabungan, tapi itu tidak seberapa. Hanya upah menulis di sebuah platform online. Dan dia juga bukan penulis terkenal. Saat Gya bingung, dia bisa mendengar suara motor Ayah yang familiar.
"Itu Ayah sudah pulang. Biarkan Safa di kamar jika Kakak ingin berbicara dengan Ayah," ucap Gya. Dia berjalan ke meja belajar sekaligus riasnya. Membuka tas kecil yang berada di laci. Sebentar saja dia mencari dan menemukan kartu ATM tempat dia biasanya menyimpan uang yang memang digunakan sebagai tabungan. Dan menyerahkannya kepada Kakaknya.
"Gya gak bisa bantu banyak. Di sini ada sedikit tabungan Gya. Kakak pakai dulu buat beli baju bayi atau sejenisnya. Besok Gya sudah mulai tanda tangan kontrak. Jadi gak perlu khawatirin Gya."